Kegagalan energi listrik

Di seluruh dunia, dari Nigeria sampai Filipina sampai Uni Eropa, privatisasi energi sudah mengecewakan banyak orang dan merusak bumi. Pemerintah negara-negara di dunia sudah menjual habis utilitas publik, mengubah energi menjadi komoditas untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dan bukan untuk kepentingan publik.

Privatisasi energi dipaksakan kepada negara-negara berkembang sebagai persyaratan untuk mendapatkan pinjaman dan untuk pembangunan infrastruktur dari institusi keuangan multilateral seperti IMF dan Bank Dunia. Investors swasta meraup keuntungan, tetapi tidak banyak yang dilakukannya kecuali memperkaya sekelompok kecil orang dengan mengorbankan banyak orang. Privatisasi energi telah memperlebar jurang ketimpangan dan menunda transisi penting menuju energi terbarukan.

Investors swasta meraup keuntungan, tetapi tidak banyak yang dilakukannya kecuali memperkaya sekelompok kecil orang dengan mengorbankan banyak orang

Privatisasi energi listrik

Di bawah kepemilikan publik, suatu jaringan energi listrik bekerja sebagai satu sistem yang memanfaatkan integrasi antara pembangkit, transmisi, distribusi, dan pasokan bagi pengguna listrik. Privatisasi memecah-mecah berbagai fungsi ini. Pembangkit dijual, distribusi dibuat menjadi waralaba, dan pasar besar untuk perdagangan energi dibuat. Bagian-bagian yang dapat mendatangkan keuntungan dari jaringan ini diserahkan kepada investor swasta, sementara bagian-bagian yang tidak menguntungkan tetap berada di tangan publik

Ideologi pasar besar menyebutnya sebagai “deregulasi”, tetapi kenyataannya tidak mungkin mengelola jaringan listrik yang telah terprivatisasi tanpa ekspansi birokrasi yang masif, termasuk pasukan staf pemasaran yang menghabiskan jutaan dollar untuk belanja iklan guna menyakinkan konsumen untuk membeli elektron “mereka”. Aspek-aspek ini – unbundling, penciptaan keuntungan yang baru diperkenalkan, dan menciptakan beragam regulasi yang rumit untuk mengelola pasar—membuat jaringan listrik yang telah terprivatisasi menjadi secara inheren tidak efisien, lebih tidak stabil dan lebih mahal

Di mana privatisasi listrik sudah berlangsung, biasanya dibarengi dengan janji bahwa investasi swasta akan membuat harga lebih murah, meningkatkan pasokan dan layanan. Tetapi berbagai kebijakan privatisasi justru berujung pada tagihan listrik yang lebih tinggi, pemutusan jaringan listrik sebagai hukuman akibat tidak membayar tagihan, kerentanan energi yang meningkat dan gagal meluaskan jaringan listrik ke komunitas-komunitas yang belum teraliri listrik. Bagi pekerja di sektor ini, privatisasi menyebabkan pekerjaan yang lebih berbahaya dan prekariat karena outsourcing, pemutusan hubungan kerja, dan pemotongan upah besar-besaran yang dialihkan ke keuntungan korporat.

Alih-alih kompetisi yang mendorong “pilihan konsumen’, privatisasi justru menghasilkan dominasi korporasi besar atas pasar.

Ketika energi tidak lagi secara demokratis akuntabel, maka ia akan membuka celah baru untuk korupsi.

Ketika energi tidak lagi secara demokratis akuntabel, maka ia akan membuka celah baru untuk korupsi, dan ketika pasar ini betul-betul gagal, pemerintah dan publik harus menanggungnya, karena sistem energi ini merupakan aspek yang sangat penting bagi masyarakat modern.

Komitmen untuk dekarbonisasi dan memperkenalkan pembangkit energi terbarukan menciptakan gelombang baru privatisasi energi. Para pembuat kebijakan sektor energi sudah berhasil membuat para pembuat undang-undang percaya bahwa hanya perusahaan energi swasta saja yang mampu mengelola teknologi produksi energi terbarukan. Ini berarti bahwa banyak utilitas listrik publik yang mumpuni, dan terintegrasi secara vertikal dilarang membangun pembangkit listrik tenaga matahari dan angin yang baru. Pilihan kebijakan yang keliru yang demikian diperkuat oleh beragam perjanjian perdagangan yang memaksa negara-negara untuk memperlakukan korporasi swasta dengan cara yang sama dengan utilitas publik dalam negeri mereka.


Perusahaan-perusahaan swasta belum cukup berinvestasi dalam hal memperluas infrastruktur yang ada. Sektor swasta tidak akan menghasilkan transisi energi bersih yang sangat kita butuhkan untuk mencegah terjadinya pemanasan global.

Hanya melalui kepemilikan publik maka kemajuan pesat dalam investasi pembangkit dan penyimpanan energi terbarukan skala besar bisa terjadi, menyediakan energi yang rendah karbon, terjangkau dan aman. Investasi di energi terbarukan publik penting untuk memenuhi tujuan Pembangunan Berkelanjutan Persatuan Bangsa Bangsa untuk akses terhadap energi modern yang terjangkau, handal, berkelanjutan dan modern bagi semua orang.

Privatisasi di seluruh dunia

Harga listrik di Eropa dan Inggris terus naik sejak energi listrik dideregulasi pada tahun 1990an, dan kerentanan energi tumbuh dua kali lipat selama 10 tahun terakhir karena kepemilikannya menjadi terkonsentrasi di tangan segelintir perusahaan multinasional yang mendominasi pasar energi Eropa. Di Inggris, salah satu negara pioner dalam hal privatisasi energi listrik, 60% pekerjaan di sektor energi hilang dari awal 1990an sampai 2001. Sekarang, hanya ada enam perusahaan energi besar yang mendominasi pasar energi di Inggris, mencetak rekor keuntungan empat kali lipat dari margin yang dianggap sebagai patokan yang masuk akal oleh otoritas yang mengatur. Sementara itu, harga energi naik delapan kali lipat lebih cepat dari rata-rata upah.

Europe at night via Wikimedia Commons

Filipina

Wire chaos at Intramuros - Andrew Moore via Wikimedia Commons

Tiga konglomerat yang dikendalikan oleh oligarki kuat mengendalikan hampir 60% pembangkit listrik di Filipina.

Privatisasi pada tahun 2001 berarti bahwa pembangkit, transmisi dan distribusi dipisah-pisah (unbundled). Perusahaan Listrik Nasional (NPC) yang dimiliki oleh pemerintah dipecah-pecah dan asetnya dijual kepada investor swasta. Privatisasi sedianya untuk menjamin harga untuk dipandu oleh pasar, menuju efisiensi yang lebih besar dan menggeser beban biaya dari negara kepada sektor swasta. Namun, harga justru meroket and sekarang ini, Filipina adalah negara dengan harga energi termahal di Asia, setelah Jepang. Tiga konglomerat yang dikendalikan oleh oligarki kuat mengendalikan hampir 60% pembangkit listrik di Filipina. Pembangkit listrik tetap bergantung pada batu bara, minyak dan gas.

Nigeria

Kebijakan privatisasi sudah gagal dalam menjamin pasokan listrik yang handal di Nigeria. Nigeria adalah negara dengan ekonomi terbesar di Afrika dan salah satu penghasil minyak dan gas terbesar di dunia, namun ia terus menerus mengalami kelangkaan pasokan energi, dengan hampir setengah dari populasinya tidak memiliki akses terhadap jaringan listrik. Orang Nigeria membayar harga listrik yang sangat tinggi terlepas dari angka penggunaan per-orangnya salah satu yang paling rendah di dunia. Bagi mereka yang memiliki akses terhadap jaringan listrik, pasokan energinya tersedia rata-rata hanya 3,6 sampai 6,3 jam per-hari. Nigeria memprivatisasi listriknya pada bulan November tahun 2013, dan 20.000 pekerja kehilangan pekerjaan. Power Holding Company of Nigeria (PHC), perusahaan listrik yang dimiliki oleh negara, dipecah-pecah dan dibagi-bagi menjadi 18 perusahaan. Namun, model bisnis perusahaan distribusi swasta ini sudah betul-betul gagal.

Emeka Okechukwu – Wikimedia Commons

Nigeria adalah salah satu negara di Afrika pengekspor minyak dan gas terbesar di dunia, namun hampir setengah dari populasinya tidak memiliki akses terhadap jaringan listrik.

Mereka gagal untuk menarik investasi dan menanggung hutang yang sangat besar. Ini berakhir pada kekurangan pasokan energi yang bersifat artifisial, di mana perusahaan tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk membeli energi dari perusahaan pembangkit. Dalam usaha untuk mengatasi persoalan ini, tarif listrik naik dua kali lipat pada bulan September 2020, tetapi tindakan yang teramat tidak disukai di tengah krisis COVID-19 ini menyebabkan pemogokan dan kerusuhan menentang kebijakan penghematan dan korupsi.

Mengambil Alih: membalik privatisasi melalui demokrasi energi, kepemilikan dan penguasaan publik

Di seluruh dunia, orang mulai menuntut re-nasionalisasi energi sebagai respon terhadap krisis iklim dan pemulihan ekonomi pasca COVID-19. Kegagalan uji coba privatisasi listrik menghasilkan pemerintah sejumlah negara-negara di dunia untuk me-renasionalisasi perusahaan-perusahaan energi mereka sekaligus komunitas yang merebut kembali kendali atas listrik di tingkat munisipal atau daerah. Pada tahun 2019 ada 374 kasus remunisipalisasi energi – 4 dari 5 terjadi di Jerman – dikarenakan buruknya kinerja perusahaan energi swasta dan karena komunitas menuntut energi terbarukan.

Pada tahun 2019 ada 374 kasus remunisipalisasi energi – 4 dari 5 terjadi di Jerman.

Pemerintah sebaiknya berinvestasi secara langsung pada listrik yang rendah karbon, dapat diakses, dan terjangkau bagi semua orang. Pemerintah dapat dengan efektif mengelola upgrade sistem dan berbagai tantangan yang dimiliki oleh energi terbarukan, sekaligus bagi pekerja dan membangun kepemilikan pekerja dan komunitas. Pemerintah seharusnya mempertahankan utilitas yang dimiliki negara yang terintegrasi secara vertikal dan tidak boleh melakukan unbundling dan privatisasi energi lebih lanjut.

Kepemilikan yang demokratis atas layanan publik harus dibela dan diperluas.

Sumber: Public Services International (PSI)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s