




“Serikat Pekerja memiliki peran signifikan di dalam pengelolaan kebijakan transisi energi di Indonesia. Peran signifikan ini sudah dijalankan oleh serikat pekerja, memastikan bahwa transisi energi baru ini dimiliki dan dikelola oleh negara. Demikian disampaikan Indah Budiarti saat memberi pengantar dalam dalam Seminar tentang Transisi Energi Berkeadilan untuk Menguatkan Posisi dan Advokasi Serikat Pekerja yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (6/6).
Sikap serikat pekerja yang mengambil peran strategis itu lahir dari sebuah kesadaran, bahwa Pasal 33 UUD 1945 mengatur pengelolaan sumber daya energi haruslah dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan dikelola oleh negara. Karenanya, serikat pekerja bukan hanya selain memperjuangkan kepentingan pekerja, tetapi juga lebih luas dari itu, memastikan hak konstitusi warga negara terkait dengan listrik.
Dihadiri 46 pengurus dari serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan SP PLN, PP IP, SP PJB, SPEE-FSPMI, dan Serbuk; seminar ini bertujuan untuk memastikan bahwa serikat pekerja terlibat sebagai posisi kunci dalam proses transisi energi berkeadilan. “Tidak hanya itu, seminar juga bertujuan untuk menguatkan posisi transisi energi berkeadilan dari sudut pandang serikat pekerja dan masyarakat. Serta memastikan bahwa transisi energi berkeadilan tetap mencakup bahwa ketenagalistrikan dikuasai oleh negara,” ujar Indah.
Hadir juga dalam seminar ini adalah wakil dari Public Services International (PSI) yaitu Luis Monje (Project Officer) dan Ian Mariano (SEA Sub-regional Secretary), dari the Trade Union Solidarity Centre of Finland SASK, Farizan Fajari (Regional Representative for SEA), dari JHL – the Finish Trade Union for the Public and Welfare Sectors, Eveliina Petälä dan Kjartan Lund, Sekretaris Jenderal KNS.
Dalam seminar sehari yang diselenggarakan secara hybrid ini, narasumber berasal dari dalam dan luar negeri. Paparan pertama disampaikan David Elzinga dan Rangina Nazmieva dari Bank Pembangunan Asia (ADB), yang menjelaskan mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism atau ETM).
Dalam paparannya, David dan Rangina lebih menekankan pendekatan pada mekanisme transisi energi dengan prioritas pada keuntungan dan investasi. Termasuk apa yang dilakukan di Indonesia untuk mempercepat terjadinya transisi, di mana salah satunya adalah mempercepat penutupan PLTU.
Sesuatu yang dinilai oleh peserta, bahwa kebijakan semacam ini membuka peluang terjadinya privatisasi. Bagaimana pun, pihak swasta orientasinya adalah pada keuntungan. Sehingga ada kesan, kerjasama dengan ADB lebih menguntungkan pihak swasta.
Sesi ini mendapat banyak tanggapan dari peserta. Di mana pada intinya, peserta mendorong agar pembahasan mengenai transisi berkeadilan juga melibatkan dengan serikat pekerja. Tidak hanya keterlibatan secara formalitas, tetapi juga saling mendiskusikan satu sama lain. Termasuk memperhatikan apa yang menjadi kepentingan pekerja guna menghindari dampak buruk yang terjadi, seperti hilangnya pekerjaan dan potensi terjadinya PHK. Selain itu juga dampaknya kepada keberlanjutan penyelenggaraan ketenagalistrikan dan masyarakat selaku pengguna.
Narasumber berikutnya, Andy Wijaya dari PPIP menyampaikan kondisi Indonesia menuju transisi energi, khususnya terkait dengan kebijakan dan praktik di lapangan. Andy menekankan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU No 20 tahun 2004 dan UU No 30 Tahun 2009, listrik termasuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan karenanya harus dikuasai oleh negara.
“Dalam hal ini, penguasaan oleh negara harus mencakup pada empat hal. Fungsi pengurusan, fungsi pengelolaan, fungsi pengaturan, dan fungsi pengawasan oleh negara. Dengan demikian sudah jelas, bahwa listrik tidak boleh diprivatisasi,” ujar Andy.
Karenanya, Serikat Pekerja mendukung energi transisi berkeadilan jika memenuhi tiga syarat berikut, tidak bertentangan dengan UUD khususnya Pasal 33 Ayat 2 (tanpa privatisasi), harga jual terjangkau, dan menjamin keselamatan bagi konsumen dan lingkungan.
Setelah Andy, selanjutnya giliran Tom Reddington dari PSI memaparkan tentang transisi energi berkeadilan di Asia dan Pasifik. Tom mengambil contoh bagaimana pelajaran di Australia. Dengan pentingnya posisi serikat pekerja menguatkan pengelolaan listrik kepemilikannya tetap berada di tangan publik.
Tom bercerita, melalui peran serta serikat, di negara bagian Victoria serikat berhasil menyakinkan pemerintah lokal untuk mengeluarkan paket dana untuk memastikan agar dampak buruk transisi bisa dihindari.
“Mereka juga bekerjasama dengan organisasi masyarakat sipil lain, kelompok pemuda, organisasi lingkungan, untuk mengkampanyekan energi terbarukan yang dimiliki publik. Kampanye ini mendapatkan momentum yang banyak sampai pada titik energi lingkungan ada dalam platform mereka di pemilihan umum. Sehingga pemerintah terpilih mengambil kembali kepemilikan publik atas energi listrik,” ujar Tom. Keberhasilan serupa juga terjadi di negara bagian yang lain, Queensland.
Mendapat kesempatan berbicara mengenai posisi serikat pekerja terhadap skema power wheeling untuk energi terbarukan di Indonesia, Muhammad Abrar Ali, Ketua Umum DPP SP PLN menegaskan bahwa power wheeling tidak ada dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait RUU Energi Terbarukan. Oleh karena itu, menurutnya, power wheeling bukanlah persoalan.
Namun demikian, yang menjadi catatan dalam sesi ini, kita harus waspada atas kemungkinan pasal terkait power wheeling disusupkan di dalam kembali ke RUU. Karena jika ini terjadi, maka power wheeling juga menjadi pintu masuk bagi terjadinya privatisasi. Semua sepakat, bahwa persoakan ini harus tetap diwaspadai, meskipun tidak ada di dalam DIM Pemerintah maupun DPR RI.
Berbicara melalui Zoom, Anna Korpikoski, Special Advisor JHL untuk Perubahan Cuaca dan Transisi Adil menyampaikan perihal transisi berkeadilan di Finlandia. Dalam hal ini, Anna mengingatkan bahwa persoalan transisi berkeadilan masih berlanjut dan berlangsung dalam jangka panjang. Untuk itu, perlu melihat juga apa yang akan terjadi di masa depan, dan serikat harus memainkan peran penting di sini.
“Ibukota Helsinki akan mencapai netralitas karbon pada 2030,” ujar Anna. Sebagai bagian dari kebijakan tersebut, maka mau tidak mau energi fosil harus dihapus diganti dengan energi baru yang lebih bersih. Persoalan inilah yang kemudian menyebabkan adanya potensi PHK, seperti yang terjadi di Helsingin Energia Ltd atau biasa disebut HELEN LTD.
Namun demikian, serikat pekerja melihat persoalan ini dari sisi transisi yang berkeadilan, di akhir tahun 2021, pekerja di Helen berjumlah lebih kurang 1000 orang pekerja. Tetapi di tahun 2022, jumlahnya hanya 700-an orang. Sebesar 250-an orang pekerja disalurkan ke perusahaan Enersense yang juga perusahaan energi yang netral karbon. Sejumlah besar pekerja tetap berada di Helen. Itu artinya, serikat pekerja juga punya peran untuk memastikan pekerja yang terdampak tidak kehilangan pekerjaan karena bisa disalurkan ke perusahaan lain.
Sementara itu, Rita Tambunan dari APHEDA/ITUC IKI-JET Project mengajak peserta untuk lebih memahami transisi berkeadilan berdasarkan keadilan sosial dan hak-hak buruh.
Menurutnya, istialah transisi berkeadilan justru muncul dari aktivis serikat buruh, Tonny Mazzocchi. Saat itu ada penutupan industri kimia di Amerika dan dampaknya, buruh kehilangan pekerjaan. Karena itu, Tonny berpendapat, bahwa lingkungan hidup perlu dipertimbangkan. Tetapi pada saat yang sama, buruh juga harus diperhatikan.
“Jangan cuma ngomongin soal lingkungan, pikiran juga soal pekerjanya,” ujar Rita.
Narasumber terakhir, David Boys menjelaskan strategi dan aksi serikat untuk transisi energi yang berkeadilan. David memaparkan level global terkait diskusi tentang transisi berkadilan, yang ternyata masih condong pada privatisasi. Dari David peserta melihat gambaran yang lebih besar inti transisi berkeadilan dan tentu saja keputusan yang lebih besar.
“Pada dasarnya adalah untuk menaruh investasi swasta, yang di banyak tempat justru mengarah pada privatisasi,” ujar David. Untuk itulah, kita perlu mengkonsolidasikan poisisi kita dan menguatkan peran serikat dengan meningkatkan keanggotaan dan menegaskan posisi kita.
Terakhir, Ian Mariano merangkum dan menegaskan dengan baik semua paparan narasumber. Dalam kesimpulannya, Ian menegaskan, bahwa perlu dilakukan riset yang berhubugan dengan transisi berkeadilan sehingga advokasi kita dipandu oleh riset. Hal itu akan membantu serikat dalam merumuskan posisi dan juga untuk melihat posisi yang diambil oleh pemerintah.
Di samping itu, serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan sangat menyadari ada putusan MK dan ini bisa dilakukan menjadi bagian dari dialog sosial. Di samping itu, serikat pekerja memiliki posisi yang kuat bersama dengan aliansi dan organisasi yang serupa dalam hal persoalan transisi berkadilan.
Ian juga mengapresiasi aliansi yang terbentuk di serikat pekerja sektor ketenagalistrikan dan keteguhannya dalam melawan privatisasi. Termasuk berbicara terkait dengan omnibus law UU Cipta Kerja yang menyusupkan pasal-pasal yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Di akhir, peserta sepakat bahwa tindak-lanjut kerja serikat akan bersama diteruskan melalui forum group discussion untuk mempersiapkan kertas posisi serikat.