Menguatkan Peran Serikat Pekerja Dalam Mewujudkan Transisi Berkeadilan

“Serikat Pekerja memiliki peran signifikan di dalam pengelolaan kebijakan transisi energi di Indonesia. Peran signifikan ini sudah dijalankan oleh serikat pekerja, memastikan bahwa transisi energi baru ini dimiliki dan dikelola oleh negara. Demikian disampaikan Indah Budiarti saat memberi pengantar dalam dalam Seminar tentang Transisi Energi Berkeadilan untuk Menguatkan Posisi dan Advokasi Serikat Pekerja yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (6/6).

Sikap serikat pekerja yang mengambil peran strategis itu lahir dari sebuah kesadaran, bahwa Pasal 33 UUD 1945 mengatur pengelolaan sumber daya energi haruslah dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan dikelola oleh negara. Karenanya, serikat pekerja bukan hanya selain memperjuangkan kepentingan pekerja, tetapi juga lebih luas dari itu, memastikan hak konstitusi warga negara terkait dengan listrik.

Dihadiri 46 pengurus dari serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan SP PLN, PP IP, SP PJB, SPEE-FSPMI, dan Serbuk; seminar ini bertujuan untuk memastikan bahwa serikat pekerja terlibat sebagai posisi kunci dalam proses transisi energi berkeadilan. “Tidak hanya itu, seminar juga bertujuan untuk menguatkan posisi transisi energi berkeadilan dari sudut pandang serikat pekerja dan masyarakat. Serta memastikan bahwa transisi energi berkeadilan tetap mencakup bahwa ketenagalistrikan dikuasai oleh negara,” ujar Indah.

Hadir juga dalam seminar ini adalah wakil dari Public Services International (PSI) yaitu Luis Monje (Project Officer) dan Ian Mariano (SEA Sub-regional Secretary), dari the Trade Union Solidarity Centre of Finland SASK, Farizan Fajari (Regional Representative for SEA), dari JHL – the Finish Trade Union for the Public and Welfare Sectors, Eveliina Petälä dan Kjartan Lund, Sekretaris Jenderal KNS.

Dalam seminar sehari yang diselenggarakan secara hybrid ini, narasumber berasal dari dalam dan luar negeri. Paparan pertama disampaikan David Elzinga dan Rangina Nazmieva dari Bank Pembangunan Asia (ADB), yang menjelaskan mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism atau ETM). 

Dalam paparannya, David dan Rangina lebih menekankan pendekatan pada mekanisme transisi energi dengan prioritas pada keuntungan dan investasi. Termasuk apa yang dilakukan di Indonesia untuk mempercepat terjadinya transisi, di mana salah satunya adalah mempercepat penutupan PLTU.  

Sesuatu yang dinilai oleh peserta, bahwa kebijakan semacam ini membuka peluang terjadinya privatisasi. Bagaimana pun, pihak swasta orientasinya adalah pada keuntungan. Sehingga ada kesan, kerjasama dengan ADB lebih menguntungkan pihak swasta.

Sesi ini mendapat banyak tanggapan dari peserta. Di mana pada intinya, peserta mendorong agar pembahasan mengenai transisi berkeadilan juga melibatkan dengan serikat pekerja. Tidak hanya keterlibatan secara formalitas, tetapi juga saling mendiskusikan satu sama lain. Termasuk memperhatikan apa yang menjadi kepentingan pekerja guna menghindari dampak buruk yang terjadi, seperti hilangnya pekerjaan dan potensi terjadinya PHK. Selain itu juga dampaknya kepada keberlanjutan penyelenggaraan ketenagalistrikan dan masyarakat selaku pengguna.

Narasumber berikutnya, Andy Wijaya dari PPIP menyampaikan kondisi Indonesia menuju transisi energi, khususnya terkait dengan kebijakan dan praktik di lapangan. Andy menekankan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU No 20 tahun 2004 dan UU No 30 Tahun 2009, listrik termasuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan karenanya harus dikuasai oleh negara. 

“Dalam hal ini, penguasaan oleh negara harus mencakup pada empat hal. Fungsi pengurusan, fungsi pengelolaan, fungsi pengaturan, dan fungsi pengawasan oleh negara. Dengan demikian sudah jelas, bahwa listrik tidak boleh diprivatisasi,” ujar Andy.

Karenanya, Serikat Pekerja mendukung energi transisi berkeadilan jika memenuhi tiga syarat berikut, tidak bertentangan dengan UUD khususnya Pasal 33 Ayat 2 (tanpa privatisasi), harga jual terjangkau, dan menjamin keselamatan bagi konsumen dan lingkungan.

Setelah Andy, selanjutnya giliran Tom Reddington dari PSI memaparkan tentang transisi energi berkeadilan di Asia dan Pasifik. Tom mengambil contoh bagaimana pelajaran di Australia. Dengan pentingnya posisi serikat pekerja menguatkan pengelolaan listrik kepemilikannya tetap berada di tangan publik. 

Tom bercerita, melalui peran serta serikat, di negara bagian Victoria serikat berhasil menyakinkan pemerintah lokal untuk mengeluarkan paket dana untuk memastikan agar dampak buruk transisi bisa dihindari. 

“Mereka juga bekerjasama dengan organisasi masyarakat sipil lain, kelompok pemuda, organisasi lingkungan, untuk mengkampanyekan energi terbarukan yang dimiliki publik. Kampanye ini mendapatkan momentum yang banyak sampai pada titik energi lingkungan ada dalam platform mereka di pemilihan umum. Sehingga pemerintah terpilih mengambil kembali kepemilikan publik atas energi listrik,” ujar Tom. Keberhasilan serupa juga terjadi di negara bagian yang lain, Queensland.

Mendapat kesempatan berbicara mengenai posisi serikat pekerja terhadap skema power wheeling untuk energi terbarukan di Indonesia, Muhammad Abrar Ali, Ketua Umum DPP SP PLN menegaskan bahwa power wheeling tidak ada dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait RUU Energi Terbarukan. Oleh karena itu, menurutnya, power wheeling bukanlah persoalan.

Namun demikian, yang menjadi catatan dalam sesi ini, kita harus waspada atas kemungkinan pasal terkait power wheeling disusupkan di dalam kembali ke RUU. Karena jika ini terjadi, maka power wheeling juga menjadi pintu masuk bagi terjadinya privatisasi. Semua sepakat, bahwa persoakan ini harus tetap diwaspadai, meskipun tidak ada di dalam DIM Pemerintah maupun DPR RI.

Berbicara melalui Zoom, Anna Korpikoski, Special Advisor JHL untuk Perubahan Cuaca dan Transisi Adil menyampaikan perihal transisi berkeadilan di Finlandia. Dalam hal ini, Anna mengingatkan bahwa persoalan transisi berkeadilan masih berlanjut dan berlangsung dalam jangka panjang. Untuk itu, perlu melihat juga apa yang akan terjadi di masa depan, dan serikat harus memainkan peran penting di sini.

“Ibukota Helsinki akan mencapai netralitas karbon pada 2030,” ujar Anna. Sebagai bagian dari kebijakan tersebut, maka mau tidak mau energi fosil harus dihapus diganti dengan energi baru yang lebih bersih. Persoalan inilah yang kemudian menyebabkan adanya potensi PHK, seperti yang terjadi di Helsingin Energia Ltd atau biasa disebut HELEN LTD.

Namun demikian, serikat pekerja melihat persoalan ini dari sisi transisi yang berkeadilan, di akhir tahun 2021, pekerja di Helen berjumlah lebih kurang 1000 orang pekerja. Tetapi di tahun 2022, jumlahnya hanya 700-an orang. Sebesar 250-an orang pekerja disalurkan ke perusahaan Enersense yang juga perusahaan energi yang netral karbon. Sejumlah besar pekerja tetap berada di Helen. Itu artinya, serikat pekerja juga punya peran untuk memastikan pekerja yang terdampak tidak kehilangan pekerjaan karena bisa disalurkan ke perusahaan lain.

Sementara itu, Rita Tambunan dari APHEDA/ITUC IKI-JET Project mengajak peserta untuk lebih memahami transisi berkeadilan berdasarkan keadilan sosial dan hak-hak buruh.

Menurutnya, istialah transisi berkeadilan justru muncul dari aktivis serikat buruh, Tonny Mazzocchi. Saat itu ada penutupan industri kimia di Amerika dan dampaknya, buruh kehilangan pekerjaan. Karena itu, Tonny berpendapat, bahwa lingkungan hidup perlu dipertimbangkan. Tetapi pada saat yang sama, buruh juga harus diperhatikan.

“Jangan cuma ngomongin soal lingkungan, pikiran juga soal pekerjanya,” ujar Rita.

Narasumber terakhir, David Boys menjelaskan strategi dan aksi serikat untuk transisi energi yang berkeadilan. David memaparkan level global terkait diskusi tentang transisi berkadilan, yang ternyata masih condong pada privatisasi. Dari David peserta melihat gambaran yang lebih besar inti transisi berkeadilan dan tentu saja keputusan yang lebih besar. 

“Pada dasarnya adalah untuk menaruh investasi swasta, yang di banyak tempat justru mengarah pada privatisasi,” ujar David. Untuk itulah, kita perlu mengkonsolidasikan poisisi kita dan menguatkan peran serikat dengan meningkatkan keanggotaan dan menegaskan posisi kita. 

Terakhir, Ian Mariano merangkum dan menegaskan dengan baik semua paparan narasumber. Dalam kesimpulannya, Ian menegaskan, bahwa perlu dilakukan riset yang berhubugan dengan transisi berkeadilan sehingga advokasi kita dipandu oleh riset. Hal itu akan membantu serikat dalam merumuskan posisi dan juga untuk melihat posisi yang diambil oleh pemerintah.

Di samping itu, serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan sangat menyadari ada putusan MK dan ini bisa dilakukan menjadi bagian dari dialog sosial. Di samping itu, serikat pekerja memiliki posisi yang kuat bersama dengan aliansi dan organisasi yang serupa dalam hal persoalan transisi berkadilan.

Ian juga mengapresiasi aliansi yang terbentuk di serikat pekerja sektor ketenagalistrikan dan keteguhannya dalam melawan privatisasi. Termasuk berbicara terkait dengan omnibus law UU Cipta Kerja yang menyusupkan pasal-pasal yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Di akhir, peserta sepakat bahwa tindak-lanjut kerja serikat akan bersama diteruskan melalui forum group discussion untuk mempersiapkan kertas posisi serikat.

Tolak Power Wheeling: Jaringan Transmisi Bukan Jalan Tol

Satu hal yang paling membuat risau adalah ketika jaringan transmisi (dan distribusi) listrik disamakan dengan jalan tol. Siapa saja boleh lewat. Nggak bisa seperti itu. Jaringan listrik itu diatur frekwensinya, tegangannya, daya semunya, dan lain sebagainya. Itu dampaknya bukan ke dia saja, tetapi ke system. Power wheeling adalah bentuk liberalisasi yang melanggar konstitusi, kita harus menolak ini.

Setidaknya, itulah inti pernyataan Ketua Umum SP PLN Muhammad Abrar Ali yang disampaikan saat menjadi narasumber dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan BEM KG UGM 2023 bertema “Tantangan Konstitusi dan Peluang Transisi Energi di Indonesia: Dampak Kebijakan Power Wheeling dari Perspektif Legal, Transisi Energi, Ketahanan Energi, dan Ekonomi” di Kampus UGM, Jumat (26/5). 

Menurut Abrar, power wheeling merupakan model transaksi yang biasa dikenal dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan dengan menciptakan skema Multi Buyer Multi Seller (MBMS), banyak pembeli banyak penjual. Dengan penerapan model transaksi power wheeling, maka jaringan transmisi (dan distribusi) digunakan sebagai jalan tol (open access). Semua pembangkit bisa menggunakannya dengan membayar “toll fee”. Kebijakan yang sungguh liberal. 

Tidak berlebihan jika pernyataan Abrar didukung Pakar Ekonomi Politik yang juga akademisi UGM, Fahmy Radhi. Fahmy dengan tegas menyebut, “Batalkan power wheeling dalam RUU EBT.” Di bagian akhir artikel ini akan dijelaskan, mengapa Fahmy Radhi berpendapat demikian.

Sebelum lebih jauh menjelaskan mengenai power wheeling, Abrar yang beberapa waktu lalu terpilih sebagai Ketua Umum SP PLN untuk kedua kalinya terlebih dahulu memperkenalkan profil organisasi SP PLN. Menurutnya, SP PLN sebagai sebagai sebuah organsiasi tidak hanya bagaimana menjaga kesejahteraan pegawai dan pensiunan PLN, tetapi juga memastikan ketenagalistrikan tetap berada di jalur konstitusi.

SP PLN berdiri seiring proses reformasi, tepatnya tanggal 18 Agustus 1999. Karena berdiri tangal 18 Agustus, sehari setelah peringatan hari kemerdekaan, SP PLN juga bertugas menjaga konstitusi. Dalam hal ini Pasal 33 UUD 1945 yang intinya menyebutkan, cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang bayak harus dikuaasi oleh negara. 

“Saat ini setiap orang tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan akan listrik. Oleh karena itu, listrik tidak boleh dikuasai oleh perorangan atau swasta karena merupakan cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang bayak,” tegas Abrar.

“SP PLN diamanahi oleh mayoritas pengawai PT PLN. Sekitar 70% dari total 42 ribuan karyawan. Di tingkat nasional kami terafiliasi dengan GEKANAS dan FSP BUMN, sedangkan di internasional kami tergabung dalam Public Services Internasional (PSI),” lanjutnya.

Itu artinya, SP PLN membuka sekat-sekat. Tidak ada lagi mendikotomi antara buruh kerah putih atau kerah biru. SP PLN juga berbicara tentang kesejahteraan nasional. Bagaimana pun, kalau harga listrik naik, siapa pun pasti terdampak. 

Dalam pengelolaan ketenagalistrikan di Indonesia, posisi SP PLN adalah sebagai organisasi perwakilan Pegawai PLN dalam mempertahankan eksistensi PLN dalam pengelolaan aset strategis bangsa. Termasuk melindungi hak dan kepentingan anggota beserta keluarganya. 

“Tetapi tidak hanya itu. Kami juga turut serta menjaga kepentingan bangsa dan negara,” tegasnya. Karena itulah, SP PLN juga ikut ambil bagian terkait dengan kebijakan ketenagalistrikan di Indonesia. Ini terlihat bagaimana peran dan kontribusi SP PLN dalam sejarah ketenagalistrikan.

Dijelaskan Abrar, sejarah ketenagalistrikan dimulai di era tahun 1897 – 1920. Di mana saat itu didirikan perusahaan-perusahaan Listrik Hindia Belanda dibangun di Indonesia (NV. NIEM, ANIEM, GEBEO). Baru kemudian pada 27 Oktober 1945, ketika Indonesia  merdeka, dilakukan nasionalisasi aset-aset asing dengan dbentuknya JAWATAN LISTRIK & GAS oleh Presiden Soekarno (157,5 MW). 

“Itulah sebabnya pada tanggal 27 Oktober diperingati sebagai hari listrik, yang ditandai dengan nasionalisasi, atau pengambilalihan dan pengaturan kepemilikan usaha yang dimiliki swasta oleh pemerintah untuk kepentingan negara. Kalau sekarang yang terjadi adalah proses melakukan privatisasi kembali aset-aset milik negara tersebut.

Selanjutnya, pada 1 Januari 1961 dibentuk Badan Pimpinan Umum-PLN (BPU-PLN), bergerak di bidang listrik, gas dan kokas. Lalu 1 Januari 1965, BPU-PLN dibubarkan dan dibentuk PLN & Perusahaan baru yaitu PGN (300 MW). Berikutnya, tahun 1972 ditetapkan status PLN sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara (PERUM) dan kemudian tahun 1985 ditetapkan PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK). Di tahun ini juga lahir UU No 15 Tahun 1985 yang menegaskan bahwa listrik sebagai infrastruktur.

Barulah kemudian di tahun 1989 lahir PP No 10 Tahun 1989 yang mengatur kegiatan usaha Ketenagalistrikan dibagi dua, yaitu usaha penyediaan dan usaha penunjang. Di tahun 1994, sektor swasta diberi kesempatan untuk masuk ke dalam bisnis kelistrikan di Indonesia. Pada bulan Juni di tahun ini, PLN dialihkan dari Perusahaan Umum menjadi Perusahaan Perseroan

Seiring reformasi, datang IMF. Di sini ada kesepakatan dengan Pemerintah RI di tahun 1999, yang salah satu isinya, Pemerintah RI berjanji akan menerbitkan UU Kelistrikan Baru  untuk membuka ruang terjadinya liberalisasi kelistrikan. Dalam prakteknya, ini kemudian diwujudkan dengan terbitnya UU Kelistrikan Nomor 20 Tahun 2002 yang mengatur unbundling vertical & horizontal PLN

“Di situlah pertamakali SP PLN tampil sebagai penguji Undang-Undang. Adapun yang diuji adalah ruh dari undang-undang ketenagalistrikan. Ketika dibatalkan ruhnya, dengan sendirinya seluruh undang-undang itu batal. Jadi tidak hanya membatalkan pasal,” tegasnya.

Keberhailan SP PLN membatalkan UU UU No 20 Tahun 2002 adalah kemenangan yang penting untuk dicatat dalam sejarah ketenagalistrikan di Indonesia. Karena ini membuktikan bahwa serikat pekerja mampu tampil ke depan untuk membela kepentingan publik.

Setelah dibatalkan, di tahun 2005, melalui PP No 3 Tahun 2005 Pemerintah membuka kembali peluang terjadi unbundling PLN secara vertikal dan horizontal. Berikutnya disahkan UU No 30 Tahun 2009 yang isinya kembali membuka ruang liberalisasi ketenagalistrikan. 

“Saya masih ingat. Saat itu di bulan puasa, kami demo di Senayan. Di tengah panas terik untuk menolak UU No 30 Tahun 2009 disahkan. Tetapi tetap saja disahkan, dan kami kembali menguji ke MK. Itulah perjalanan panjang dalam masa transformasi,” ujar Abrar.

Berdasarkan UU Ketenagalistrikan yang baru tersebut, Pemerintah membuka peluang bagi BUMN di luar PLN, swasta, koperasi, bahkan LSM untuk menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum. Dengan demikian, sejak saat itu PLN  bukan lagi sebagai PKUK tetapi sebagai Pemegang Ijin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL) untuk kepentingan umum.

“Hukum dibuat untuk merekayasa kepentingan,” keluh Abrar. 

Regulasi ketenagalisttikan berdasarkan UU No 30 tahun 2009 sudah mulai ada pemecahan. Mulai dari pemecahan core bisnis PLN, menjadi kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha jasa penunjang tyenaga listrik. kemudian penerapan tarif adjustment, sewa jaringan PLN untuk swasta. Inilah yang kemudian di tahun 2022 skema power sweeling direncanaka masuk ke RUU EBT, dan membuka kesempatan asing dan swasta masuk di ketenagalistrikan. 

Menurut Abar, secara umum ada 4 struktur pasar ketenagalistrikan dunia. Monopoly, single buyer, wholesale com, dan retail com.  Tetapi apa yang terjadi di PLN bukan monopoli. Tetapi petugasan. Dulu ketika perusahaan listrik direbut dari perusahaan Belanda, semangatnya adalah PLN sebagai agen pembangunan. Tidak menghitung biaya, untung-rugi. Kalau pun di puncak gunung ada 5 rumah, maka PLN harus tetap menyuplai listrik ke sana. Negara kesejahteraan tidak berbisnis dengan rakyatnya. 

Karena itu, dampak power wheeling bagi ketahanan energi menurut abrar bisa dilihat dari tiga aspek. Pertama. Soal ketersediaan dan akses. Dengan resiko menambah kerumitan pengaturan sistem yang berujung pada Blackout berulang, maka jaminan pasokan tidak akan tercapai sehingga akses terhadap listrik menjadi terbatas.

Kedua, harga yang melonjak. Dengan adanya tambahan beban TOP (Take or Pay) dan alokasi investasi untuk spinning reserve, maka BPP listrik akan naik yang mengakibatkan harga listrik melonjak. Berikutnya yang ketiga, rendah emisi. Emisi di Indonesia masih tergolong rendah, apalagi RUPTL 2021 – 2030 telah memprioritaskan Pembangunan Pembangkit EBT dengan porsi 51,6% dimana porsi swasta mencapai 64,8% sejalan dengan rencana Net Zero Emission 2060, sehingga tidak ada urgency nya untuk menerapkan Power Wheeling dengan resiko yang sangat besar dari berbagai aspek.

Sementara itu, Pengamat Energi UGM Fahmy Radhi menegaskan, Power Wheeling dalam RUU EBT harus dibatalkan. Jangan sampai menjadi pasal selundupan dalam ETB. RUU ini sudah dibahas DPR dan ditargetkan sebelum pertemuan G20 akan disahkan, namun kemudian tidak jadi disahkan. Hal ini, karena, ada salah satu pasal terkait power wheeling yang belum mendapat persetujuan.

Dalam power wheeling yang diusulkan oleh pemerintah, justru kementerian keuangan keberatan. Namun demikian, Fahmy melihat, ada upaya sistematik untuk memasukkan power wheeling sebagai pasal siluman di dalam RUU EBT.

“Tadi pak Abrar mengatakan power wheeling hanya menguntungkan oligarki, maka dalam hak ini perlu dikawal,” ujarnya. 

“Dalam sekama penyediaan lsitrik ada multi buyer dan single player sebagai satu-satunya yang menjual. Sedangkan IPP menghasilkan listrik dan menjualnya ke PLN. Ini ide power wheeling yang membahayakan dan bertentangan dan konstitusi,” ujarnya.

Power wheeling  adalah mekanisme pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik milik PLN melalui open source, sesuai pasal 47A, butir 3b RUU EBT. Dengan demikian, power wheeling sesungguhnya  menyerupai pola unbundling yang diatur dalam UU No.20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan

“Power wheeling memanfaatkan jaringan yang dimiliki jaringan PLN. Seperti jalan tol. IPP bisa menghasilkan listrik dan mejual langsung ke konsumen. Tetapi justru menggunakan jaringan milik PLN. Saya kira ini tidak benar,” tegas Fahmy.

Ketika menggunakan jaringan PLN, maka tidak perlu membangun. Jadi ada kecurangan di situ. Banyak pemain tadi dan harus bersaing, maka itu sesungguhnya liberal. Salah satu karakteristik liberalisasi itu akan berdampak pada tarif mahal, jika pemerintah tidak memberikan subsidi.

Tarif ditetapkan mekanisme pasar, tergantung demand and supply.  Ini akan menggerus permintaan pelanggan dari konsumen tegangan tinggi hingga 50%, yang berakibat pada pembengkakan beban APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN akibat penurunan permintaan. Itulah kenapa Kementerian Keuangan tidak setuju dengan system ini.

Jadi saya mau tegaskan, power wheeling merupakan liberalisasi kelistrikan, melanggar UU dan UUD 1945,  berpotensi memperat beban rakyat dan/atau APBN. Batalkan power wheeling dalam RUU EBT. Serikat pekerja harus bersatu, bahu membahu membatalkan power wheeling, dan saya akan mendukung. Kita lawan liberalisasi yang sangat merugikan rakyat,” tegasnya.

Sebagai informasi, seminar ini terbagi dalam dua sesi. Sesi pertama diisi dengan tiga narasumber yaitu Sofie Wasiat (Pengamat Kebijakan Publik) terkait “Strategi Advokasi Kebijakan Publik untuk Transisi Energi yang Berkeadilan di Indonesia,” kemudian Dr Mailinda Eka Yniza, S.H.,LL.M (Praktisi dan Dosen Hukum Universitas Gadjah Mada” yang berbicara tentang “Tantangan dan Peluang Konstitusi untuk Transisi Energi di Indonesia”, dan  Tumiran (Anggota Dewan Energi Nasional Periode 2009-2014 dan 2014-2019) yang berbicara mengenai Manfaat, Risiko, dan Dampak Kebijakan Power Wheeling bagi Transisi Energi di Indonesia”.

Sedangkan di sesi kedua, selain M. Abrar Ali dan Fahmy Radhi, juga hadir sebagai pembicara Herman Darnel Ibrahim sebagai Anggota Dewan Energi Nasional Periode 2020-2025 yang berbicara mengenai “Roadmap Transisi Energi yang Berkeadilan sesuai Kondisi Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia: Best Practice and Case Study.”

Meningkatkan Kesejahteraan dan Perlindungan Pekerja Melalui Perjanjian Kerja Bersama

“Berserikat itu mengikat. Dengan berserikat, tidak ada lagi sekat. Melalui serikat pekerja, permasalahan yang dihadapi satu orang menjadi permasalahan bagi semua. Karena kita percaya, persatuan akan menguatkan. Sedangkan perpecahan hanya akan merugikan dan menggagalkan perjuangan.” Demikian disampaikan Indah Budiarti selaku perwakilan Public Services International dalam Musnik Nasional PUK SPEE FSPMI PT. Mitra Karya Prima yang diselenggarakan di Sidoarjo, Selasa (23/5).

Pernyataan ini relevan dengan spirit pelaksanaan Musnik Nasional PUK MKP yang mengambil tema “melangkah untuk transisi kesejahteraan”. Sebelumnya, PUK MK didirikan berdasarkan kabupaten/kota tempat para pekerja bekerja. Kemudian melalui Musnik Nasional ini, PUK-PUK yang ada disatukan kedalam satu unit kerja sehingga akan memudahkan dalam konsolidasi dan penguatan organisasi. 

“Melalui Musnik Nasional ini, teman-teman PUK MKP tidak lagi berjuang sendirian. Tetapi bertindak bersama, secara kolektif untuk meningkatkan daya pengaruh dan daya tawarnya, guna menegakkan kepentingan ekonomi pekerja ditempat kerjanya, di sektornya dan perlindungan atas pekerjaan dan masa depan kerja,” ujar Indah.

Lebih lanjut Indah mengingatkan, perusahaan yang mengakui kontribusi pekerja dalam memajukan perusahaan dan menghargai hak kebebasan berserikat menunjukkan komitmennya yang matang dalam membangun hubungan industrial yang modern, adil, dan berkelanjutan.  

“Komitmen tersebut, salah satunya dibuktikan dengan adanya Perjanjian Kerja Bersama (PKB) untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan berdaya saing. PUK MKP berharap hal itu bisa diwujudkan, untuk memastikan target-target perusahaan terpenuhi secara produktif dan pada saat yang sama kesejahteraan karyawan tercukupi dan meningkat,” tegasnya.

Hal senada juga disampaikan Sekretaris Umum SPEE FSPMI Slamet Riyadi. Dia menyampaikan, setidaknya ada dua hal yang menjadi target Musnik Nasional PUK MKP. 

“Pertama adalah terbentuk PKB. Kita tahu, capaian terpenting dari serikat adalah pembentukan PKB, untuk memastikan hak serta kepentingan pekerja bisa terlindungi,” ujarnya.

PKB merupakan instrumen penting dalam menjaga hubungan harmonis antara pengusaha dan serikat pekerja serta memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak, sehingga mengurangi ketidakpastian dan konflik di tempat kerja. Dalam PKB, disepakati berbagai hal seperti upah, jam kerja, cuti, kebijakan kesejahteraan, dan prosedur penyelesaian sengketa. Ini memberikan pedoman yang jelas bagi pengusaha dan serikat pekerja dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

“Selain itu, PKB juga memperkuat hak-hak pekerja dan memberikan perlindungan yang lebih baik. Pekerja dapat memperoleh upah yang adil, jaminan kesejahteraan, perlindungan keselamatan kerja, dan hak-hak lainnya. PKB juga dapat mengatur mengenai promosi, pemutusan hubungan kerja, dan penghargaan prestasi, memberikan kepastian bagi pekerja mengenai prosedur yang akan diikuti dalam kasus-kasus tersebut,” lanjutnya.

Sementara itu, target kedua adalah meningkatkan jumlah anggota serikat pekerja. Ini langkah penting dalam memperkuat perlindungan hak-hak pekerja dan memperjuangkan keadilan di tempat kerja. Semakin banyak anggota yang tergabung dalam serikat pekerja, semakin besar kekuatan yang dimiliki untuk membela kepentingan kolektif.

Dengan anggota yang lebih banyak, serikat pekerja memiliki suara yang lebih kuat dalam perundingan dengan pengusaha, memperjuangkan upah yang adil, kondisi kerja yang aman, dan jaminan sosial yang memadai. Meningkatnya keanggotaan juga berarti peningkatan solidaritas dan dukungan antar-pekerja, menciptakan lingkungan yang lebih kooperatif dan memperkuat perjuangan bersama.

“Dalam dunia kerja yang terus berubah dan penuh tantangan, meningkatkan jumlah anggota serikat pekerja adalah langkah strategis untuk melawan ketidakadilan dan memastikan kesejahteraan pekerja. Dengan lebih banyak pekerja bergabung dalam serikat pekerja, kita dapat menciptakan kekuatan kolektif yang tak terbantahkan dan mewujudkan perubahan positif di tempat kerja dan dalam masyarakat secara keseluruhan,” tegasnya.

Ketua DPW FSPMI Jawa Timur Jazuli dalam sambutannya juga menekankan pentingnya persatuan dan pembentukan PKB di PT MKP. Dengan adanya perjanjian kerja bersama, maka dispasritas upah bisa diselesaikan.

“Misal, saat ini buruh MKP yang bekerja di Jember atau Jombang mendapatkan upah sebesar nilai UMK di sana. Sedangkan yang bekerja di Sidoarjo atau Surabaya menggunakan upah sesuai standar UMK Surabaya. Perusahaannya sama, pekerjaannya sama, hanya karena lokasinya berbeda maka upahnya berbeda,” ujar Jazuli.

Dengan demikian, ketika ada PKB, maka di mana pun dipekerjakan buruh akan mendapatkan upah yang setara. Tentu saja, acuan upah yang digunakan adalah upah tertinggi. Karena PKB juga tidak boleh mengurangi hak pekerja yang saat ini sudah didapatan.

Melalui Musnik Nasional, penanganan kasus dan pengambilan kebijakan juga bisa cepat dilakukan. Karena di daerah, pasti akan terlebih dahulu menunggu pusat. Jika kemudian PUK dibentuk secara nasional, maka perundingan bisa langsung dilakukan dengan otoritas tertinggi yang bisa mengambil keputusan.

Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja

Penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja adalah sesuatu yangn tidak bisa ditawar. Agenda ini sangat penting untuk memastikan bahwa lingkungan kerja menjadi tempat yang aman dan produktif bagi semua. 

Untuk memberikan pemahaman yang lebih baik bentuk-bentuk kekerasan dan pelecehan yang mungkin terjadi di tempat kerja serta bagaimana cara menghindari atau menangani situasi yang tidak diinginkan tersebut, Public Services International (PSI) mengadakan Lokakarya Pelatihan bagi pengurus dan aktifis perempuan serikat pekerja. Titik tekan lokakarya pelatihan ini berkaitan dengan Konvensi ILO 190 tentang “Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja”. Diselenggarakan di 5G Resort Bogor dari tanggal 8 sampai 10 Mei 2023, dengan peserta berjumlah 23 orang pengurus serikat afiliasi PSI.

Indah Budiarti, PSI Project Coordinator dalam proyek ini mengatakan setidaknya ada 4 (empat) tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan ini. Pertama, menciptakan sekelompok pimpinan dan aktivis sebagai juru kampanye dan trainer untuk mengadvokasi dan mendorong implementasi Konvensi ILO 190 bagi serikat dan pekerja. Kemudian yang kedua, mengembangkan keterampilan dan pengetahuan para pemimpin dan aktivis untuk membuat mereka bisa menuntut hak atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan.

Hal lain yang menjadi tujuan dari Lokakarya Pelatihan membangun serikat yang lebih kuat melalui training bagi pemimpin dan aktivis yang mampu menggunakan instrumen ini untuk mengintegrasikan Konvensi ILO 190 ke dalam agenda negosiasi perjanjian kerja bersama. Selain itu, hal yang tak kalah penting adalah ikut serta dalam gerakan nasional untuk ratifikasi Konvensi ILO 190.

PSI bekerjasama dengan Indah Sapto dari IndustriAll dan Ira Laila dari FSPKEP-SPSI meminta mereka untuk menjadi trainers/fasilitarors dalam program pelatihan ini.

Pembelajaran diselenggarakan dengan metode pedagogik. Di mana peserta lebih diajak untuk berdiskusi terkait kondisi penerapan aturan di tempat kerja.

Di hari pertama, peserta diajak untuk lebih mengenal perbedaan gender dan jenis kelamin. Sehingga peserta memahami konsep kekerasan berbasis gender. 

Jenis kelamin mengacu pada karakteristik biologis yang dibawa sejak lahir, yaitu apakah seseorang lahir dengan organ reproduksi laki-laki atau perempuan. Jenis kelamin juga mencakup faktor-faktor biologis lainnya, seperti tingkat hormon dan struktur fisik tertentu. Sementara itu, gender merujuk pada peran sosial, perilaku, dan identitas yang dianggap cocok dengan jenis kelamin tertentu dalam suatu budaya. Gender tidak selalu berkorelasi dengan jenis kelamin biologis, dan seseorang dapat mengidentifikasi diri sebagai laki-laki, perempuan, atau gender non-biner (tidak sepenuhnya laki-laki atau perempuan) terlepas dari jenis kelamin biologis mereka.

Setelah memahami apa itu gender dan jenis kelamin, peserta kemudian melakukan “gender ceklist” dengan memeriksa hak-hak pekerja perempuan di dalam PKB (Perjanjian Kerja Bersama). Misalnya yang terkait dengan cuti haid, cuti hamil, melahirkan dan gugur kandung, hak menyusui dan penitipan anak, fasilitas kebersihan dan kantin, perlindungan pekerja perempuan atas kekerasan dan pelecehan seksual, tunjangan keluarga, kesehatan dan keselamatan kerja, peran perempuan dalam serikat pekerja.

Dalam sesi ini, peserta juga menyusun rekomendasi tentang redaksi yang dapat dituangkan dalam pasal-pasal PKB sebagai salah satu solusi penerapan yang belum baik terkait perlindungan pekerja perempuan di dunia kerja.

Sedangkan materi ketiga adalah memahami kekerasan dan pelecehan di duna kerja serta kekerasan berbasis gender. Dengan metode body mapping dan workplace mapping, peserta secara berkelompok mendidentifikasi serta memetakan kekerasan dan pelecehan seksual serta kekerasan berbasis gender baik yang ada di dalam badannya maupun di area tempat bekerja.

Di hari kedua, peserta mengenali instrumen/standard di tingkat nasional dan international terkait isu kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja. Standard yang dikeluarkan oleh Pemerintah, APINDO, Konvensi ILO 190, Rekomendasi ILO no 206 tentang kekerasan dan pelecehan.

Selanjutnya, peserta diajak berdiskusi terkait kebijakan perusahaan, isi PKB, atau PP tentang kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerjanya masing-masing. Pada sesi ini diperkenalkan konsep joint commitment antara serikat pekerja dan pengusaha terhadap isu kekerasan dan pelecehan seksual. 

Adapun isi joint commitment merujuk kepada KILO 190 dan Rekomendasi ILO no 206, yang memuat diantaranya: komitmen bersama antara pengusaha dan serikat pekerja, definisi kekerasan dan pelecehan seksual termasuk kekerasan maternitas dan kekerasan ekonomi berikut contohnya, komitmen bersama untuk melaksanakan promosi, sosialiosasi, pendidikan, dan pelatihan terkait kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja, pembentukan tim, pembuatan prosedur penanganan aduan dan tahapan pengaduan formal, kepastian setiap orang mendapatkan kemudahan dan perlindungan sebagai korban maupun saksi, serta kepastian setiap orang yang sudah ditetapkan sebagai pelaku mendapatkan sanksi tanpa terkecuali.

Materi ketiga di hari kedua adalah berdiskusi dan berbagi informasi tentang kebijakan perusahaan tempat kerja masing-masing, mekanisme penyelesaian yang ada di tempat kerja masing-masing, dan membedah isi PKB tempat kerja masing-masing. Di sesi ini juga diperkenalkan model PKB yang memuat klausul pasal –pasal perlindungan kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja, serta prinsip K3 perlindungan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja.

Lanjut di hari ketiga, peserta diperkenalkan hal-hal apa saja yang dapat dilakukan secara konkret untuk memulai perlindungan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja. Pada sesi ini dijelaskan Permen PPA No 01/2020 tentang Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan di dunia kerja.

Sedangkan di sesi terakhir, peserta berdiskusi kelompok sesuai dengan tempat kerja untuk menetapkan point-point apa saja yang dapat dilakukan yang dituangkan dalam rencana tindak lanjut. Beberapa agenda tindak lanjut meliputi, komitmen bersama antara pengusaha dan serikat pekerja zero tolerance kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja, sosialisasi, edukasi dan kampanye kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja, serta perbaikan pasal PKB perlindungan pekerja perempuan.

Melawan Privatisasi, Menghilangkan Ketergantungan Swasta, Memperkuat BUMN Ketenagalistrikan

Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS) yang di dalamnya terdapat serikat pekerja ketenagalistrikan seperti SP PLB, PP IP, dan SP PJB mendatangai Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (8/5). Kehadiran mereka ke MK untuk menghadiri persidangan uji konstitusional bagian ketenagalistrikan UU No 6 tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang dinilai melanggar konstitusi.

Ini sekaligus sebagai bentuk penegasan atas perlawanan terhadap privatisasi listrik melalui uji konstitusional UU Cipta Kerja dengan menghilangkan ketergantungan listrik dari swasta dan memperkuat BUMN Ketenagalistrikan sesuai cita konstitusi.

Ketua Umum SP PLN Muhammad Abrar Ali ketika membacakan siaran pers GEKANAS di depan Gedung MK mengatakan, data 2021, negara mengalami Kelebihan pasokan energy listrik dengan kasitas terpasang 72 GW dan daya rat-rat digunakan sebesar 40 GW. Dan perkirakan di tahun 2023, Indonesia Oversupply sebanyak 60% dari kebutuhan maksimal harian.

“Pasokan energi listrik saat ini disokong oleh Pembangkit swasta sebesar 28% atau sebesar 22 GW dan diperkirakan pada tahun 2023 ini mencapai 30 GW, dengan masuknya pembangkit yang tergabung dalam proyek 35 GW,” tegasnya. Abrar melanjutkan, di dalam skema perjanjian Kerjasama dengan Pembangkit Swasta /Independence Power Producer (IPP) listrik yang dihasilkan digunakan atau tidak digunakan tetap harus dibayar.

Dijelaskan, pada tahun 2003 MK telah memutuskan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum wajib dilakukan secara terintegrasi mulai dari bisnis pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan. 

“Listrik tak dapat disangkal, sudah menjadi kebutuhan dimana masyarakat sangat bergantung. Manusia mungkin masih bisa hidup tanpa listrik, tapi ketiadaan listrik membuat banyak hambatan bagi manusia,” ujarnya. Itu artinya, listrik sebagai hajat hidup masyarakat banyak senantiasa perlu dipastikan agar negara tetap menjalankan amanat konstitusi dan cita pancasila. 

Dalam kesempatan ini juga disampaikan, beberapa dalil terkait pelanggaran konstitusi UU Cipta Kerja. Di mana UU Cipta Kerja mengaburkan frase usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum yang serharusya dilakukan secara terintegrasi berdasarkan 2 putusan MK terdahulu. Selain itu, tidak adanya peran DPR RI dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional sehingga mengurangi pengawasan publik terhadap pelaksanaan usaha ketenagalistrikan oleh pemerintah, hingga perlu penegasan bahwa pembelian listrik berlebih tidak boleh dilakukan didaerah yang telah surplus listrik.

Bersama-sama dengan GEKANAS, setidaknya ada tiga hal yang hendak dipastikan oleh serikat pekerja ketenagalistrikan SP PLN, PPIP, dan SB PJB. Pertama, meminta agar Pemerintah dan DPR RI jangan malu melaksanakan putusan MK terkait ketenaglistrikan. Kedua, Negara harus menghilangkan ketergantungan pada pasokan listrik swasta (IPP) dan memberdayakan BUMN Ketenagalistrikan yang telah ada (PLN, PJB, dan Indonesia Power) sebagai pemasok energi listrik bagi bangsa ini.  Sedangakan yang terakhir, meminta negara membuka kontrak perjanjian kerjasama dengan IPP dengan skema take or pay yang merugikan bangsa jika dilakukan di wilayah surplus energi.

Serikat Pekerja Ketenagalistrikan Selenggarakan Project Committee Management Meeting (PCM)

Pimpinan serikat pekerja sektor ketenagalistrikan yang terdiri dari SP PLN, PPIP, SP PJB, SPEE FSPMI, dan SERBUK menghadiri Project Committee Management Meeting di Jakarta, Rabu (13/4). 

Membuka pertemuan, Indah Budiarti menyampaikan, ada tiga hal yang akan dilakukan dalam PCM kali ini. Pertama, membahas isu terkini serikat pekerja, termasuk aktivitas kegiatan, keanggotaan, dan kepengurusan. Kedua, persiapan kunjungan SASK dan JHL yang akan hadir ke Indonesia pada 6-9 Juni 2023 untuk bertemu serikat pekerja dan melakukan observasi terkait aktivitas serikat. Yang ketiga, buka puasa bersama.

Mengawali paparannya terkait dengan situasi terkini di serikat pekerja, Sekretaris Umum SPEE FSPMI Slamet Riyadi menyampaikan, “Untuk sektor elektronik elektrik, kondisi ketenagakerjaan yang paling terdampak adalah di sektor elektronik. Ekonomi global sedang turun akibat perang Ukraina. Banyak barang yang sudah di ekspor tidak laku dan numpuk di gudang. Hal ini diperparah dengan susahnya bahan baku dan dampak covid yang belum sepenuhnya pulih.” 

“Permasalahan lain adalah dampak dari UU Cipta Kerja, yakni perubahan aturan PKB yang kualitasnya mengalami penurunan. Khususnya terkait dengan uang pesangon. Pengusaha meminta berunding untuk menurunkan nilai pesangon sesuai dengan undang-undang. Ketika PUK menolak, justru pengurusnya di PHK dengan beragam alasan,” ujar Slamet.

Slamet juga menyampaikan, di perusahaan alih daya PLN yang terdapat di Cirebon, saat ini sedang terjadi PHK 123 orang. Awalnya, mereka tidak bersedia menandatangani perjanjian kerja baru yang mengalami keturunan upah akibat kebijakan volume based yang diterapkan PLN. “Karena mereka tidak mau, akhirnya dimutasi ke Sumatera Utara. Buruh menolak, kemudian dianggap mengundurkan diri,” ujarnya.

Senada dengan Slamat Riyadi, Happy Nur Widiatmoko dari SERBUK menyampaikan, bahwa kondisi yang dialami SERBUK tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di SPEE. Menurutnya, saat ini pekerjaan buruh OS PLN semakin berat. Tetapi upah ditekan, dan tidak ada jenjang karir.  Celakanya tidak ada perbedaan upah antara pekerja baru dan lama. Hanya ada TMK yang sangat kecil. 

Namun kabar baiknya, menurut Happy, karena tekanan kerja yang cukup tinggi, banyak yang mulai menyadari pentingnya untuk berserikat. Ada penambahan anggota, dan rencana pembentukan serikat pekerja baru,

Sekjend SP PJB Ide Bagus Aksara menyampaikan, untuk iternal, saat ini SP PJB sedang menyelesaikan penyusunan juknis PKB. Sedangkan permasalahan yang sedang hangat adalah terkait dengan ekses dari dua hal yang sekarang sedang diksanakan kementerian BUMN dan PLN yaitu: holdong subholindg dan perubahan peraturan kepegawaian. 

“Dari dua hal itu, ada potesi merugikan karyawan. Kita ingin ketika ada perubahan, tidak merugikan kepentingan anggota,” tegasnya.

Berikutnya, Andy Wijaya sebagai Sekjend PPIP menyampaikan, pada bulan Mei hingga Juli 2023, PPIP akan melaksanakan musyawarah unit kerja untuk 20 unit kerja. Sementara itu, pada bulan Agustus akan dilakukan Kongres.

Sedangkan untuk eksternal, tergabung dalam 10 serikat/pekerja dan 111 pemohon, PPIP sudah mendaftarkan judicial review UU 6/2023, baik formil maupun materiil. Di mana khusus untuk materiil, gugatan klaster ketenagakerjaan dan klaster ketenagalistrikan dipisah.

“Tujuannya agar isu klaster ketenagalistrikan bisa naik. Pengalaman kemarin, ketika digabung, yang naik hanya isu ketenagakerjaan,” tegasnya.

Menurut Andy, PPIP akan melakukan roadshow ke Thailand dengan membawa 25 orang delegasi. Tujuannya adalah untuk mendiskusikan tentang JTEP, mengingat ada tiga negara yang sedang menjadi percontohan. Indonesia, Filipina, dan Thailand. 

Mendapat kesempatan terahir, Muhammadd Abrar Ali sebagai Ketua Umum SP PLN menjelaskan, bahwa SP PLN ikut menjadi pemohonan dalam judicial review Perppu Cipta Kerja. Ia berharap, MK akan memutuskan judicial review ini dengan berpihak pada kepentingan rakyat. Sementara itu, terkait dengan dengan PKB yang sudah ditandatangani, banyak pekerja yang tadinya bergabung dengan serikat pekerja lain sudah kembali ke SP  PLN. 

Menyingung terkait rencana kunjungan SASK – JHL ke Indonesia pada tanggal 6 – 9 Juni 2023, Indah berharap semua pimpinan serikat pekerja bisa meluangkan waktu dan ikut hadir dalam pertemuan ini. Di mana selama kurun waktu 4 hari tersebut ada beberapa kegiatan yang sudah direncanakan.

Di antaranya adalah Seminar tentang Transisi Energi Berkeadilan untuk memperkuat posisi dan advokasi serikat pekerja, pertemuan dengan partner yang meliputi SP PLN, SP PJB, PPIP, SPEE FSPMI, dan Serbuk, kunjungan ke Kantor Serikat Pekerja dan bertemu managemen, serta kampanye dan advokasi bersama untuik memmpromosikan tempat kerja yang bebas dari kekerasan dan memajukan hak-hak serikat pekerja. 

Usai membahas mengenai perkembangan/kondisi terkini dari serikat pekerja dan rencana kunjungan SASK dan JHL ke Indonesia, pertemuan ditutup dengan buka bersama.

Strong Leadership in Unions is the Key to to Quality Collective Bargaining Agreement

It is important for union leaders to participate in trainings that will equip them with skills needed to run the organization in a professional and dynamic way. In doing the struggle for the rights and interest of the workers, they must posses the understanding and insight about the current socio-economic-political situation, labor laws and regulations, skill to handle industrial relation disputes, collective bargaining agreement and skill to do negotiation, and organizational communication skill. Given that union leaders are the representatives of workers’ interest. Those points were made by Indah Budiarti, PSI Project Coordinator, in her opening remarks on the Training for Trade Union Leaders and Collective Bargaining organized by PSI/SASK Advancing Trade Union Rights Project located in 5G Resort Cijeruk, Bogor, West Java.

This training was held from 27 February to March 1, 2023 and participated by 23 union leaders from SP PLN, PPIP, SP PJB dan SPEE-FSPMI.

Further, Indah Budiarti explained the purpose of the training was to increase the capacity and ability of union leaders in organizing and leading the unions. In addition to that, to build the capacity and administrative quality of union leaders in acting their roles and fucntion in their respective unions; as well as to improve the qualty and skill of leaders in running the organization which is fraught with obstacles and dynamics.

The first session of the training started with a presentation delivered by Indah Budiarti which basically explained the current labor situation in Indonesia. The presentation briefly offered information on Indonesia’s population and the demographic bonus, economic situation in relation to the VUCA (Volatile, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) as well as economic disruption, unemployment, union density, and union power, and also the future of union.

Next session was a discussion led by Bro Suherman from SPEE FSPMI. The theme of the discussion was “trade union leadership: who to do as union leaders”. Bro Suherman invited participants to think about how union leaders are the core team in any union, hence, they must formulate the steps and method of their work in order to build the capacity and quality of the union they run. Therefore, the union will be useful for the members and workers. He mentioned that union programs will be helpful for them to do their job in a structured way. Unions is also about collective leadership and leadership that represents their members. Building trust and capacity to work in a team is necessitate.

In the second day of the training, Bro Ismail Rifai and Bro Suherman, both from SPEE FSPMI, talked about Industrial Relation dispute settlement. The sessions was fundamental that introduced participants with terms such as bipartite, mediation/concilliation/arbitration, and industrial relation court.

Following that was the session about building an effective communication in a dynamic union. The session was led by Kahar S. Cahyono, the Information and Communication officer of KSPI.

In his session, Kahar explained that the dynamic movement of a trade union must involve interaction between the members of the union, union leaders, and external parties such as the management, government, and public. Therefore, understanding the effective communication is very important for trade union to be a dynamic movement.

Being able to communicate effectively improves the ability to convey messages clearly and appropriately. It is very important for unions to be able to communicate effectively in order to conve the message and the movement’s goals to their members, other union leaders, and external parties. The unclear and ineffective communication could create misunderstanding and disruption to the movement’s course to achieve its goals.

According to Kahar, effective communication will strengthen the coordination and collaboration of union members. It will also help to strengthen the coordination and collaboration between union members in achieving their collective goal. By communicating effectively, union members would be able to understand thier respective duties and responsibilities and work together to achieve their collective goals.

In doing its work, a union oftentime requires to influence externals parties such as the company management or the government. An effective communication will help unions to strengthen their capacity to influence the external parties and achieve their collective goal.

“An effective communication will increase union members’ participation in the movement. Members would feel that their voices is heard and then tend to get involve in the activities and retain their support for the union’s objective,” said Kahar.

“In negotiating a collective bargaining agreement, union leaders must fight for their members’ rights and interests in a fair way and in favor of the workers. They also must create an agreement that benefits both parties. Therefore, training and capacity building for union leaders is a necessitate in order to formulate and then come to a good and sustainable collective bargaining agreement,” he added.

Some other important points discussed in the training was Collective Bargaining Agreement and Trade Union, techniques and skills in CBA negotiation, and dynamic union leadership.

On these points, Herman explained that union must master the techniques and skills of negotiation. Both of them are the most effective tools to accomplish the organization’s goals dan fight for the workers’ rights. In the context of CBA negotiation between the union and management, negotiation skill is important for union leaders to attain the agreement that benefits members most.

Maintaining good relation between the union and the company is also another important point. A good negotiation could help to maintain a good relation between the union and the company. By speaking in a polite way and repsect the other parties, union leaders could create a positive atmosphere in a negotiation and promote a productive dialogue.

“By using a good negotiation skill, union leaders could then minimize the risk of potential conflict and promote constructive dialogue with mangement, hence, achieve the better result for both parties involved,” he said.

At the end of the session, participants were invited to discuss and analyze their respective union’s situation by using SWOT analysis, and how union leaders together with the members build a strong, united, and big unions. It is expected that coming back from the training, participants will be able to implement their newly acquired knowledge in their respective contexts and unions. Therefore, unions will be better in their works to defend, protect, and fight for their members.


Kepemimpinan yang Kuat di Dalam Serikat, Kunci Terwujudnya Perjanjian Kerja Bersama Berkualitas

Penting bagi bagi pengurus serikat pekerja untuk mengikuti pelatihan demi membekali diri dengan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan dalam menjalankan organisasi serikat pekerja secara professional dan dinamis. Dalam memperjuangkan hak dan kepentingan para pekerja, mereka harus memiliki pemahaman yang baik tentang situasi socio-ekonomi-politik, peraturan perburuhan, ketrampilan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, perjanjian kerja bersama dan ketrampilan negosiasi, dan keterampilan komunikasi organisasi. Hal ini mengingat, bahwa pengurus adalah perwakilan yang mewakili kepentingan para pekerja. Demikian disampaikan oleh Indah Budiarti, PSI Project Coordinator dalam kata pembuka pelatihan Pemimpin Serikat Pekerja dan Perjanjian Kerja Bersama yang diselenggarakan oleh PSI/SASK Advancing Trade Union Rights Project di 5G Resort Cijeruk, Bogor, Jawa Barat.

Pelatihan ini diselenggarakan dari tanggal 27 Februari sampai 1 Maret 2023 diikuti 23 orang peserta mewakili SP PLN, PPIP, SP PJB dan SPEE-FSPMI.

Lebih lanjut, Indah Budiarti menyampaikan, tujuan dari pelatihan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas pemimpin serikat pekerja dalam ketrampilan berorganisasi dan memimpin serikat pekerja. Di samping itu, untuk membangun kapasitas dan kualitas administrative pemimpin serikat pekerja dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam organisasi serikat pekerja; serta meningkatkan kualitas dan ketrampilan pemimpin dalam menjalankan organisasi serikat pekerja yang penuh dengan tantangan dan dinamika.

Sesi pertama pelatihan diawali dengan presentasi dari Indah Budiarti yang memaparkan situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Presentasi ini memberikan kilasan informasi akan situasi terkini terkait kondisi jumlah penduduk dan bonus demografi, kondisi ekonomi terkait dengan era VUCA (Volatile, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) dan disrupsi ekonomi, pengganguran, densitas serikat dan kekuatan serikat, dan masa depan serikat pekerja.

Sesi berikutnya diisi oleh Bro Suherman, SPEE-FSPMI, membawa peserta dalam diskusi “kepemimpinan dalam serikat pekerja: menjadi pengurus dan apa yang harus dilakukan”. Bro Suherman mengajak peserta untuk mendalami bahwa pengurus adalah tim inti dalam serikat pekerja, langkah dan kerja mereka menentukan kapasitas dan kualitas bagaimana serikat pekerja itu dijalankan dan manfaatnya bagi para anggota dan pekerja. Program kerja yang dibuat membantu mereka untuk melakukan pekerjaan secara lebih terstruktur. Serikat pekerja adalah juga kepemimpinan kolektif dan kepemimpinan yang mewakili anggotanya. Membangun kepercayaan dan kemampuan untuk melakukan kerja dalam tim sangatlah dibutuhkan.

Hari ke dua pelatihan, Bro Ismail Rifai dari SPEE-FSPMI  dan Bro Suherman mengisi materi tentang Penyelesaian Hubungan Industrial. Dalam sesi ini materi masih sangat mendasar, tetapi mengenalkan peserta mengenai bipartit, mediasi/konsiliasi/arbitrasi, dan pengadilan hubungan industrial.

Selanjutnya, materi mengenai membangun komunikasi efektif dalam pergerakan serikat pekerja yang dinamis adalah materi yang dibawakan oleh Kahar S. Cahyono, sebagai Ketua Bidang Infokom KSPI.

Disampaikan Kahar, pergerakan serikat pekerja yang dinamis melibatkan interaksi antara anggota serikat, pemimpin serikat, dan pihak eksternal seperti perusahaan, pemerintah, dan masyarakat. Oleh karena itu, memahami komunikasi efektif sangat penting dalam pergerakan serikat pekerja yang dinamis.

Hal itu, karena, akan meningkatkan kemampuan untuk menyampaikan pesan dengan jelas dan tepat. Dalam serikat pekerja, komunikasi yang jelas dan tepat sangat penting untuk menyampaikan pesan dan tujuan gerakan secara efektif kepada semua anggota serikat, pemimpin serikat, dan pihak eksternal. Komunikasi yang tidak jelas atau tidak tepat dapat menyebabkan ketidaksepahaman dan mengganggu tujuan gerakan.

Menurut Kahar, dengan kemampuan berkomunikasi yang efektif, akan memperkuat koordinasi dan kolaborasi antara anggota serikat. Komunikasi yang efektif dapat membantu memperkuat koordinasi dan kolaborasi antara anggota serikat dalam mencapai tujuan gerakan. Dengan komunikasi yang efektif, anggota serikat dapat memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

Dalam serikat pekerja, seringkali ada kebutuhan untuk mempengaruhi pihak eksternal seperti perusahaan atau pemerintah. Komunikasi yang efektif dapat membantu memperkuat kemampuan serikat pekerja dalam mempengaruhi pihak eksternal dan mencapai tujuan gerakan.

“Komunikasi yang efektif dapat membantu meningkatkan partisipasi anggota serikat dalam gerakan. Anggota serikat yang merasa didengar dan dipahami akan lebih cenderung terlibat dalam kegiatan dan mempertahankan dukungan terhadap tujuan gerakan,” ujar Kahar.

“Dalam perjanjian kerja bersama, pemimpin/pengurus serikat pekerja harus mampu memperjuangkan hak dan kepentingan para pekerja dengan cara yang adil dan menguntungkan, serta mampu mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, pelatihan dan pengembangan keterampilan bagi pemimpin/pengurus serikat pekerja merupakan hal yang penting untuk mencapai perjanjian kerja bersama yang baik dan berkelanjutan,” ujarnya.

Hal lain yang disampaikan dalam pelatihan ini adalah berkaitan dengan Perjanjian Kerja Bersama dan Serikat Pekerja, teknik dan keterampilan Negosiasi PKB, dan kepemimpinan serikat pekerja yang dinamis.

Dalam hal ini, Herman menjelaskan, pengurus serikat pekerja perlu menguasai teknik dan keterampilan negosiasi karena negosiasi merupakan salah satu alat yang paling efektif dalam mencapai tujuan organisasi dan memperjuangkan hak-hak pekerja. Dalam konteks perundingan antara serikat pekerja dan pengusaha, keterampilan negosiasi yang baik dapat membantu pengurus serikat pekerja untuk memperoleh kesepakatan yang lebih menguntungkan bagi anggota serikat pekerja.

Menjaga hubungan yang baik antara serikat pekerja dan pengusaha: Negosiasi yang baik juga dapat membantu menjaga hubungan yang baik antara serikat pekerja dan pengusaha. Dengan berbicara dengan sopan dan menghormati pendapat lawan bicara, pengurus serikat pekerja dapat menciptakan atmosfer yang positif dalam perundingan dan mempromosikan dialog yang produktif.

“Dengan menggunakan keterampilan negosiasi yang baik, pengurus serikat pekerja dapat meminimalkan risiko konflik dan mempromosikan dialog yang konstruktif dengan pengusaha. Ini dapat membantu menghindari tindakan yang tidak produktif dan memperoleh hasil yang lebih menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat,” ujarnya.

Mengakhiri sesi peserta diajak diskusi untuk menganalisa SWOT kondisi serikat pekerja mereka masing-masing dan bagaimana pengurus bersama anggota menjadi serikat pekerja besar, bersatu dan kuat.

Diharapkan, setelah pelatihan ini peserta bisa mengimplementasikan pengetahuan yang didapatkan selama pelatihan untuk sebesar-besarnya kepentingan anggota. Dengan demikian, serikat pekerja bisa lebih optimal dalam membela, melindungi, dan memperjuangkan anggotanya.

PLN’s Union Achieve in CBA Negotiation

“Unity will strengthen us. On the contrary, disunity will only weaken us.” The truth contained in this sentence is believed by Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP PLN). They experienced failure in building the unity. Consequently, they had to pay the price. For more than ten years, since the last CBA ended in 2012, SP PLN failed to negotiate the new one.

The last Collective Bargaining Agreement (CBA) was agreed and signed in 2010. That was the CBA that applicable from 2010 to 2012. Finally, SP PLN succeeded in negotiating and then agreeing the CBA in 2010. It was the PKB that was valid from 2010 to 2012.  While it was still valid, the agreed CBA extended until 2013.

The CBA should had been renewed and renegotiated in 2013. However, due to the split, hence the leadership dualism, the negotiation failed to take place. The SP PLN was split into two unions: SP PLN third floor and SP PLN ninth floor. Beside, there are another fraction of workers that established another 3 more unions.

This split then weakened the union, so that they were unable to reach an agreement in the PKB negotiations. In turn, this has an impact on the interests of workers.

During the period where there was no CBA, the board of director issued regulations without any consultation with the union. Ironically, the issued directors’ regulations mostly harmed the workers. To name some, the provision about workers mutation, career system, and also a provision about prohibition for workers to marry co- workers. If a worker marries her/ his co- worker that works in PT PLN, one of them must resign.

This provision was actually a product of the old CBA that stated that the board of directors is allowed to create a system of Human Resources (HR) with a communication with the union. The clause ” with a communication” was interpreted as notification to the union after the provision was issued, not as consultation and then agreed by the union. The Communication can be done in written or oral manner. When it was done in oral manner, there was no proof/ evidence of it. On the ground that the the communication was done, the board of directors issued different provisions, specifically on the new HR provision during the time when CBA was non-existent.

In 2016, there was an attempt to renegotiate the CBA by the union. However, the negotiation did not complete, hence did not result in the new CBA. The main problem for this failure was the dualism of leadership on the union side.

Luckily, the leaders of SP PLN immediately realize that. Finally, the leaders of third floor and ninth floor SP PLN took a step to unite themselves just like before.

In 2019, the unification of the third and ninth floor happened after the dualism for ten years. As mentioned earlier, the unification was initiated by the members who wanted to unite. They were tired of the endless leadership dualism of trade union in PT PLN. On the other hand, the company kept issuing regulations that harmed the workers.

The Negotiation

The newly unified union’s priority was to formulate and negotiate the new CBA.

However, it was not that easy. Each union (beside SP PLN, it is existing 3 more unions) claimed that it was the rightful and held the mandate to represent the workers in the negotiation. Under this situation, the union held a membership verification in order to determine which union had the right to represent the members in the negotiation.

The membership verification resulted in SP PLN had the majority membership with 29,452 members. Together with SP PLN, there was another union that was decided to participate in the negotiation.

However, the problem did not end there. There were misconceptions between unions that slowed the negotiation process down. While the negotiation was still going, the management of PT PLN filed a lawsuit to Jakarta Selatan District Court to determine which union was to represent in the negotiation. The District Court rejected the suit as it was an industrial relation case, not a criminal one.

The next mezasure taken was to get a recommendation from the Ministry of Manpower on who or which union has the right to be in the negotiation. The Ministry of Manpower’s recommendation was for the unions to do membership verification. The result of the verification was SP PLN to represent the workers in the negotiation as other unions only had less than 10% membership each.

In essence, now SP PLN was the rightful representative in the CBA negotiation. And it was proven that with the support of all members and the negotiation team, the negotiation that was started on August 19 was concluded and signed on October 12, 2022.

The result was a CBA consisted of 15 chapters and 90 articles. The articles were formulated by the elaboration of several agreements discussed during the negotiations of 2016’s CBA, board of directors’ decisions issued during the absence of CBA, and the newest draft. It was acknowledged that the end product, the new CBA, wasso much better than the initial draft proposed by SP PLN.

Old and New CBA, What’s theDifference?

The Chairperson of SP PLN, Muhammad Abrar Ali, said that the result of the negotiation was fantastic. “The newly agreed CBA is beyond our expectation. It is so much better than the draft that we proposed. It all thanks to the solid members of SP PLN and also all the functionaries,” he said.

“I am optimistic that the CBA that was signed on 12 October 2022 would be able to improve the company’s performance, and it is a collective effort to accelerate the company’s transformation process. The agreed CBA became the momentum for PLN’s breakthrough. The union had been waiting for this momentum for more than ten years. Through this agreement, the management and union could then harmonized their mission and vision in order to achieve PLN’s objectives,” he added.

He also asserted that the CBA had helped to unite the union’s and the management’s vision and mission. Each had its own that many times are contradicting. However, after both discussed the company’s vision and mission, both parties then found that actually they had similar vision and mission.

“We could find it. We agreed that PLN is the heart of Indonesia, especially in managing the electricity. We work together to contribute to the nation and the state,” he added.

In the same occasion, the head of the Negotiation Team who was also the General Secretary of SP PLN, Bintoro Suryo Sudibyo, asserted that “Thanks to SP PLN’s negotiation strategy that the union could conviced the board of directors to agree to what we had proposed.”

“This is very encouraging. The most important is that this CBA’s orientation is to improve workers’ welfare that essentially is the right of the workers and their families. Even all the things that are related to nominal, it will be the minimum amount. It means, when PLN is in financial trouble, that will be the minimum amount that will be paid to the workers. But if the situation is better, the workers will receive a bigger amount just like what was agreed in the CBA,” he said.

Bintoro then mentioned in detail what are the differenced between the old and the new CBA.

In the old CBA, the remainder of annual leave (the days that is not taken by workers) can not be taken the next year. In the new CBA, half of the remainder of annual leave can be used in the upcoming year. For example, if a worker has a remainder twelve days of annual leave this year. He/she will have six days (half of the remainder) of extra annual leave next year. So the total of his/her annual leave next year will be eighteen days instead of twelve.

In the old CBA, the annual leave deducts workers’ workhours. But in the new one, it does not. The consequence of workhour deduction is the decrease of thier benefits. With the new applicable CBA that ensure workers do not loss their workhour due to leave, workers tend to take their annual leave now.

In the new CBA, a long period of rest is awarded every six years and the duration is three months. While in the old CBA, the validity period of long period of rest was two years, now, it is six years. It means that although it has been two years since the last long period of rest, a worker still could take the leave before the period ends.

In addition, the long period of rest would annihilate the annual leave in the old CBA. While in the new CBA, this type of rest does not deduct the number of annual leave nor wage. Meanwhile, the number of days of rest used to be a fifteen days cycle, now it is ten days of cycle. In other words, the long period of rest is ninety days in total can be taken nine times. Under old CBA, although the leave is only taken once and the number of days is less than fifteen days, then it is taken.

In the new CBA, there is also a recomposition. In the old one, the fix cost and variable cost are almost equal in number. Monthly payroll and bonus are also almost equal. Finally, it was agreed to be 70% fix cost and 30% variable cost. With the changes in the composition, at least there are three benefits. First, the uncertain cost become certain. For example, bonus. The old CBA said that if one received a disciplinary sanction, one would lose one’s bonus. The new one says that one will still get the bonus although one receive a disciplinary sanction because the bonus is a fixed cost. Second, the money that we get now is different from the the money that we will get tomorrow. Third, reduce the company’s actuarial burden. This is because the long term liability that used to be very big, now it si withdrawn forward.

Another difference is about maternity leave. The old CBA said that maternity leave is only three months, now, it is four months. The old CBA also said that maternity leave reduced the number of annual leave and workhour. The new one is the opposite.

For joint-holiday-leave, the new CBA does not reduce the number of annual leave and long period of rest. Even for workers who work during joint-holiday-leave will be awarded with compensation. For example, workers who work in Idul Fitri days or Chrismast. The old CBA said that no compensation for them as it is an obligation.

The old CBA said that workers only receive one holiday allowance ever year. Now, workers will receive two holiday allowance per year. Because the amount is minimum, there is a possibility to get more than once.

For dispensation or leaving work but does not deduct the wage, the new CBA makes a significant improvement. The old CBA said that for their wedding, a worker only got three days, but now they will get five days. It also applies for a worker who marries their childre off. They will get five days instead of three days off the work.

For husbands whose wives are giving birth, they only got two days leave. But now, they could ge a month without any wage deduction. For parents, parent-in-laws, wives, children whose family member(s) dies, they would get five days. It used to be only three days.

In addition to that, workers whose family member dies but in different city, they would get extra leave up to twelve days to account for the travel needed.

To take care of their sick parents/parent-in-laws/husbands/wives/children, workers get two days leave. For graduation (theirs or their children’s) they will get a day leave. These provisions did not exist in the old CBA.

When there is a force majeur such as natural disaster, workers are also entitled of a leave, maximum of a month.

The old CBA said that workers would receive 1.5 million rupiah per workers for glasses. The new one increases the amount to be 5 million rupiah per workers. While it used to be once in three years, now it is once in two years. It used to be only the workers who got the benefit, now it is also the family: husband/wife and children. But only for once.

There are also improvement in assistance and facilities for trade union. There are three assistance provided by the company. First, the check of system. Second, direct assistance that is calculated based on the number of the member, and third, trade union secretariat. There are three conditions to get those assistance from the company. The conditions are as follow: the number of member must be a least 10% of the total workers; second, the organizational structure on DPD level must be at least 50% plu sone from the parent unit; and third, a secretariat will be provided in the area where the union is registered.

Under this new CBA, SP PLN is the only union in PT PLN that is eligible for the assistance and facilities. Therefore, it is SP PLN who will receive facilities from the company in the form of direct assistance, check of system for membership dues, and secretariat. However, other unions who are not eligible for this are allowed to do their function in the industrial relation. They just will not receive any facilities from the company.

The agreed CBA regulates the age of retirement is 56. But now it is being discussed to change it to be 58 years or more. Therefore, the CBA says that should the ministry allow, the age of retirement is 58 years or more or will follow the decision. While the amount of pension also increase.

Working after retirement used to be based on the company’s need and willingness of the retiree. But now it is different. Other than based on the company’s need and willingness of the retiree, it is also based on the request of the retiree. So it does not have to wait for the company. It used to be bound and must wait until the end, but now, they can propose the new ones.

There are new benefits and allowance for performance incentive under the new CBA. Worekrs will get several types of allowance in addition to P1, which is the fixed income. There were only P2 and P3 for allowance, but now there is P2 1A, P2 1B. And there is also P2 1A, P2 1B, and also P3 1A dan P3 1B.

PLN did not cover the workers’ wives’ health insurance if the wives work in different company. Now, the wives who work in other company/office whose health insurance is BPJS  are included in the health insurance provided by PLN. Principally, anyone with health insurance that is lower than the one provided by PLN will be covered.

There was not any official travel, now there is. Workers who choose to work outside their areas, they will get official trave allowance. If his/her family member(s) dies, he/she will get official travel allowance to attend their funeral. The worker’s family who must travel to bury  her/him will also receive official travel allowance.

Another thing that the new CBA regulates is related to mutation. A worker who will retire in three months can propose a mutation/move to other area/city. He/she will receive the movement allowance. The company must not reject the request.

Workers who work under high risk condition, use a lot of physical force, when they turn 45 years old, they must be transferred to other position that does not require physical labor. Including workers who work in frontiers, outermost, and remoted areas, after two years, they have to be transferred to other areas which does not belong to the category of three. Prior to the CBA’s signed the union able to negotiate for the cancellation of pension age discrimination, therefore it will be no more pension age 46 for the HCMS employees. The decision benefited for more that 2000 employees

A worker can propose for a mutation based on their personal curcumstance such as to move with their husband/wife or children, or other specific reasons. Previously, workers who proposed a mutation/tranfer would be demoted. Now, they won’t be. Workers are allowed to propose mutation/transfer twice. Previously, it was only once. There were not any rules on when a worker would get an answer/decision on his/her mutation/transer request. Now, the company must answer or respond in 30 days at the latest. If there is not answers, the concerned official will receive a disciplinary sanction.

As for the categories of work accidents that result in death, total or partial permanent disability, burns, and work-related illnesses, insurance are provided. So they will not only get treatment, but also get benefits.

In the case of  a worker who experience a work accident either disabled or dies, assistance is given to the child’s education until they graduate from S1. Their children will also be given a priority to work in the company during an open recruitment.

Another thing that is new is that the company does not only guarantee physical health. But also mentally, in the form of psychological rehabilitation as needed.

Previously, umroh was included in training before retirement, now it is not included in training. Umrah is a separate facility. 1 time umrah allowance with husband/wife. Meanwhile, training ahead of retirement is a separate facility.

Working after Retirement

Will the new CBA at PT PLN (Persero) have an impact on the subsidiary companies? There will be an indirect effect.

This is due to the commitment in the CBA the subsidiary companies must provide the same welfare and career opportunities for workers who are assigned to work there. Those workers must not receive any lower benefits. Therefore,whether they like it or not, the subsidiaries must ratify PT PLN’s CBA and adjust to as well comply with the provisions in the new CBA.

There has been a communication that HR wants the union members who are assigned to subsidiaries to be members of SP PLN.

Closing

Currently, the technical guidelines for CBA implementation (juknis) are being discussed. It has been agreed in the CBA that the technical guidelines must be discussed and agreed upon with the unions, and will become effective as of October 2022 even though the discussions will end in 2023.

Some of the technical guidelines that are being discussed are the workers talent management system, career system, reward management system, performance management system, discipline regulations, and also the health care system.

So far, SP PLN has conducted socialization on the contents of the CBA to several main units. Majority of workers appreciate and welcome the new CBA. Even workers said they were satisfied with the contents of the CLA.

As a result, the membership of the SP PLN workers union has increased. Many workers then register as members of SP PLN. Workers believe that SP PLN is able to defend, protect and fight for the interests of workers.

Again, as written at the beginning of the article, this proves that unity will strengthen. As the slogan of the movement is often repeated, “Workers united cannot be defeated.”

Memperkuat Solidaritas Pekerja Ketenagalistrikan melalui Forum Komunikasi Serikat Pekerja Ketenagalistrikan (FKSPK) Jawa Tengah—DIY

Forum Komunikasi Serikat Pekerja Ketenagalistrikan (FKSPK) Jawa Tengah—DIY menggelar pertemuan hari ini, Rabu, 8 Februari 2023 di Pondok Tingal, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Hadir dalam pertemuan ini adalah perwakilan dari DPD SP PLN UID JTY, SERBUK Indonesia, SPEE FSPMI, PPIP, SPLAS, SPLAM, SPL HPI, dan perwakilan-perwakilan TAD PLN yang belum berserikat.

Forum Komunikasi yang digagas oleh DPD SP PLN UID JTY dan Komwil SERBUK Jateng—DIY ini dimaksudkan untuk membangun kesepemahaman antar serikat-serikat pekerja ketenegalistrikan di Jawa Tengah DIY. Ketenagalistrikan sebagai sektor ekonomi strategis harus bisa memberi manfaat bagi para buruh di sektor ini dan masyarakat pada umum.

Forum yang dikemas dalam bentuk sarasehan ini menghasilkan beberapa rekomendasi penting untuk menghadapi dinamika di sektor ini, khususnya menghadapi isu privatisasi PLN dan problem ketenagakerjaan akibat PERPPU Cipta Kerja, contohnya adalah pemberlakuan sistem kerja berbasis volume yang berpeluang besar menghilangkan hak-hak kesejahteraan yang selama ini diterima oleh pekerja.

Hamdani AP, Koordinator FKSPK sekaligus Ketua DPD SP PLN UID JTY, dalam sambutannya menegaskan tentang pentingnya persatuan dan sinergi antar serikat pekerja untuk menjawab tantangan di sektor ketenagalistrikan. “Dampak buruk berlakunya PERPPU Cipta Kerja bagi kaum buruh tidak bisa lagi dihadapi sendiri-sendiri, sebab daya rusaknya bersifat massal. Oleh karena itu diperlukan persatuan antar serikat pekerja untuk menahan dampak buruk itu.” Tegas Bung Hamdani.

Hadir juga dalam acara ini bung Slamet Supriyadi, sekretaris umum SPEE – FSPMI. Beberapa buah pemikiran penting yang dia sumbangkan hari ini adalah bagaimana pentingnya memetakan persoalan-persoalan yang sedang dan akan dihadapi kaum buruh, khususnya di sektor ketenagalistrikan.

Bung Slamet memberi contoh mengapa SPEE memilih bernegosiasi dengan PLN terkait isu-isu di Tenaga Alih Daya (TAD) PLN, padahal TAD-TAD tersebut kontrak kerjanya dengan vendor-vendor PLN bukan dengan PLN. “Jika kami sebelumnya tidak melakukan pemetaan kemungkinan besar negosiasi dan aksi kami hanya ditujukan kepada vendor saja. Namun, dengan pemetaan masalah kita menjadi tahu pihak-pihak mana saja yang menjadi penyebab munculnya masalah tersebut.” Terang bung Slamet. Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan tentang mengapa SPEE aksi ke PT. PLN pusat beberapa waktu lalu.

Indah Budiarti, PSI Communications and Project Coordinator (Southeast Asia Office) hadir dalam forum ini. Indah menyampaikan bahwa forum ini hendaknya mampu membuat rencana dan aksi strategis. Mampu memiliki tuntutan yang jelas dan dapat dicapai; memiliki kekuatan yang besar, dan bersatu; memiliki daya tahan yang sama, konsisten dan semakin kuat.

Salah satu rekomendasi yang menjadi prioritas dalam forum hari ini adalah meningkatkan rekruitmen ke dalam serikat pekerja/buruh untuk TAD di Jawa Tengah. Hal ini untuk menjawab salah satu problem rendahnya densitas serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan, khususnya serikat pekerja di TAD di Jawa Tengah, yang mayoritas buruhnya belum berserikat.

Ke depan FKSPK akan rutin bertemu untuk merumuskan metode yang tepat agar rekomendasi-rekomendasi yang dicanangkan bisa tercapai.

Raturan Buruh TAD Geruduk Kantor Pusat PT. PLN (Persero) Tuntut Haknya

Ratusan orang buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Elektronik Elektrik – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPEE FSPMI) menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Pusat PT PLN (Persero) yang terletak di Jl Trunojoyo, Jakarta, Kamis (2/2).

Massa aksi berasal dari berbagai daerah seperti Lampung, Cirebon, Sumbar, Bogor, Indramayu, Purwakarta, Bandung, Makassar, Depok, Cianjur, Karawang, Tangerang, Sukabumi, hingga Bekasi. Mereka bekerja di perusahaan vendor PLN atau Tenaga Alih Daya (TAD) di Pembangkitan, Distribusi, Jaringan:  Pelayanan Handalseperti Penanganan Gangguan Alat Pengukur & Pembatas (APP), Penanganan Gangguan Sambungan Rumah (SR), Penanganan Gangguan Jaringan Tegangan Rendah (JTR), Penanganan Gangguan Gardu Distribusi, Penanganan Gangguan Jaringan Tegangan Menengah (JTM), Penanganan Gangguan Saluran Kabel Tegangan Menengah (SKTM). Serta Tenaga Alih Daya ( TAD ) di bagian retail atau bagian catat meter dan penagihan tunggakan pelanggan yang biasa disebut Biller.

Aksi ini dipicu oleh keluarnya Perdir PLN Nomor 0219 tahun 2019, maka telah mengakibatkan terjadinya penurunan upah TAD berupa penurunan upah pokok, Tunjangan Hari Raya, Tunjangan Hari Tua, Tunjangan Pensiun, Kompensasi pesangon, dan upah lembur.

Hal itu diperparah lagi dengan dikeluarkannya kebijakan yang baru dari PT. PLN (Persero ) melalui EDIR 019 tahun 2022 bahwa beberapa jenis pekerjaan di PLN memakai system Volume Based yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hubungan kerja, kepastian upah, dan kepastian jaminan sosial.

Untuk Tenaga Alih Daya bagian Biller, selain terdampak terhadap hal tersebut di atas, juga terdampak atas perubahan kebijakan dari PLN atas periode pelunasan tagihan pelanggan. Di mana sebelumnya periode 6 bulan menjadi periode 1 bulan.

Setiap bulan harus nihil tunggakan pelanggan. Akibatnya, Tenaga Alih Daya terpaksa harus melunasi (menalangi) tagihan pelanggan PLN agar kinerjanya tidak buruk dan terhindar dari sanksi surat peringatan sampai PHK.

Lebih dari itu, di dalam pasal 33 Undang Dasar 1945 sudah ditegaskan, bahwa cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan yang mengusai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Berkaitan dengan hal tersebut, sudah perlu diragukan lagi, bahwa listrik adalah cabang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga harus dikuasai oleh negara.

Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud di atas harus kita maknai dalam kerangka konstitusi. Dalam hal ini kita bisa merujuk pada ketentuan dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi  No 001-021-0211/PUU-I/2002 terkait dengan pengujian UU no. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Dsebutkan disana bahwa penguasaan negara dalam kacamata konstitusi haruslah berada dalam 5 dimensi: kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.

Ketika kita bicara bagaimana listrik bisa dinikmati rakyat Indonesia, ada beberapa tahapan yang harus dilewati, yaitu mulai dari pembangkitan, transmisi, distribusi, hingga retail atau penjualan. Oleh karena itu , penguasaan negara harus mencakup semua tahapan tersebut. Tetapi sayangnya saat ini telah terjadi privatisasi, karena semua tahapan tersebut sebagian diserahkan ke pihak swasta.

Seharusnya di semua tahapan tersebut dikuasai oleh negara melalui perusahaan BUMN, dalam hal ini PT. PLN (Persero) yang diberi mandat berdasarkan Undang undang untuk mengelola sektor ketenagalistrikan. Dengan kata lain tidak boleh diserahkan kepada perusahaan swasta yang akhirnya menyebabkan diskriminasi  dan pelanggaran terhadap hubungan kerja serta tingkat kesejahteraan terhadap Tenaga Alih Daya ( TAD ). Dalam jangka panjang privatisasi  akan berdampak kepada mahalnya tari listrik yang merugikan masyarakat luas.

Swastanisasi sektor ketenagalistrikan bukan saja pelanggaran terhadap konstitusi, tetapi juga menyebabkan ketidakpastian terhadap perlindungan K3, status hubungan kerja, dan menurunya kesejahteraan para buruh yang bekerja di sektor ketenagalistrikan.  Dan dalam jangka panjang, akan berakibat pada mahalnya tarif listrik.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam aksi ini SPEE-FSPMI mengusung 7 tuntutan, berikut :

1. Tolak Penurunan Upah Pekerja/Tenaga Alih Daya (TAD)

2. Tolak Perubahan Status Hubungan Kerja Tenaga Alih Daya ( TAD )

3. Tolak Jenis Pekerjaan berdasarkan Volume Based dan Pola Kemitraan.

4. Tolak Dana Talangan Pelanggan PLN.

5. Stop Kecelakaan Kerja di Lingkungan Kerja PLN

6. Angkat Tenaga Kerja Alih Daya ( TAD ) menjadi pekerja di anak perusahaan PT. PLN

7.  Pekerjakan kembali 19 Tenaga Alih Daya (TAD) yang telah di PHK sepihak oleh PT. DKB di Lampung.


Hundreds of Outsourced Workers Held a Protest in front of PT PLN (Persero) demanding their fightful Rights

Hundreds of workers under the Serikat Pekerja Elektronik Elektrik – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPEE FSPMI) held a protest action in front of PT PLN (Persero) head office on Jalan Trunojoyo, Jakarta, on Thursday (2/2).

The protest mass came from different areas of the country such as Lampung, Cirebon, Sumbar, Bogor, Indramayu, Purwakarta, Bandung, Makassar, Depok, Cianjur, Karawang, Tangerang, Sukabumi, and Bekasi. They are the workers of PLN vendors, in other words,  PLN’s outsourced workers. They mainly work in the distribution, generation, network-grid:   Reliable Service such as Troubleshooting on Gauges and Circuit Breaker (APP), Troubleshooting on House Installation (SR), Troubleshooting on Low Voltage Network (JTR), Troubleshooting on Distribution Substation, Troubleshooting on Medium Voltage Network (JTM), Troubleshooting on Medium Voltage Cable Line (  Pelayanan Handal seperti Penanganan Gangguan Alat Pengukur &SKTM). Also participating, the outsourced workers in retail or workers who record the meter of electricity and debt collectors called biller.

The protest action was triggered by the inssuance of PLN’s President Regulation No. 0219 of 2019 that resulted in the the decrease of outsourced workers’ wages, holiday benefit, JHT, pension, severance payment and compensation, and overtime pay.

This situation was aggravated by the issuance of new policy under the EDIR 019 of 2022 that resulted in several jobs in PLN to be using volume based system. This new policy resulted in the loss of job security, the employment certainty, wage certainty, and also social  security.

The outsourced workers in retail section or called the biller experienced all of the above-mentioned changes. PLN’s new policy also changed the period of customers’ payment from 6 months to only a month.

The new policy sets that there must be no outstanding payment from the consumer side. Consequently, the outsourced workers must pay the outstanding payment every month so that they will not get bad review due to bad performance, hence they would not get any sanction or warning letter, or even termination.

Furthermore, article 33 of Indonesian Constitution of 1945 asserts that sectors of production which are important for the country and affect the life of the people shall be under the powers of the State. It is no doubt that electricity is a sector of production that is important and affect the life of the people and therefore must be under the power of the state.

Under the power of the state as mentioned above must be understood under the fram of the constitution. We can refer to the provisions in the legal considerations of Constitutional Court Decision No 001-021-0211/PUU-I/2002 on judicial review against Law No. 20/2002 on Electricity. The provision said that under the constitution, the ownership of the state over electricity must be in five dimensions: policy, action, management, regulation, and supervision.

When we talk about how Indonesian can enjoy electricity, there are several steps from generation, to transmission, distribution, to retail or sale. Therefore, control of the state must also covers all the steps. However, unfortunately, today, some of the steps have been privatized, by handing them over to the privates.

The state must control all the sections through its State-owned companies (BUMN), in this matter is PT PLN (Persero). PT PLN is mandated under the Law to manage the electricity in this coutnry. In other words, electricity must not be handed over to private companies that could create discrimination and violate the employment relation the outsourced workers. Finally, the outsourced workers would lose their basic rights. In the long run, privatization will increase the price of electricity that will put more burden to the people.

Privatization of electricity is not just unconstitutional, but also worsen the OSH protection, violate the employment contract, and decline in the welfare of workers working in the electricity sector. Finally, it will also increase the price of electricity.

Against that background, SPEE-FSPMI demand the following:

1. Reject the decline of wage of workers and outsourced workers

2. Reject the alteration of Employment Agreement of Outsourced Workers

3. Reject the volume-based system and partnership system

4. Reject the bailout for PLN Customers

5. Stop Work accidents in PLN

6. Regularize the Outsourced Workers to be the workers of PT PLN’s subsidiaries

7.  Reinstate the 19 Outsourced workers who were laid off unilaterally by PT DKB in Lampung