SPLAM Merayakan Kemenangan

Selasa (10/1), Serikat Pekerja Listrik Area Magelang (SPLAM) Korwil Borobudur mengadakan tasyakuran di salah satu rumah anggota yang terletak di Dusun Malang Wirosuko, Sawangan, Magelang. Di lereng Gunung Merbabu, yang saat acara berlangsung puncaknya sedang diselimuti kabut tebal.

Tasyakuran ini digelar setelah di pertengahan Desember 2022 lalu, SPLAM berhasil memenangkan perjuangan melawan PT. DJU yang telah melakukan pemotongan upah secara ilegal, dalam satu setengah tahun terakhir. PLN UID Jateng-DIY melakukan pemutusan kontrak sepihak kepada PT. DJU setelah mereka tidak mau mengembalikan pemotongan upah yang telah dilakukan secara melanggar hukum.

Para pekerja Tenaga Alih Daya PLN ini kemudian dialihkan kepada vendor baru, yakni PT. Haleyora Powerindo. Memang, tidak ada yang ideal dengan sistem Outsorcing, namun setidaknya, anggota-anggota SPLAM yang bekerja sebagai tenaga pencatat meter ini sekarang telah menerima upah sesuai nominal yang diperjanjikan. Rerata ada kenaikan sebesar 300 ribu dari upah terakhir yang mereka terima di vendor lama.

Abdul Gopur yang hadir sebagai Koordinator Wilayah Jateng—DIY SERBUK Indonesia, dalam sambutannya memberikan catatan penting, agar SPLAM tidak lengah dengan kemenangan yang berhasil diraih, sebab tantangan di hari-hari depan tidak lah mudah. “Ok. Hari ini boleh kita bergembira. Senang-senang. Tapi, jangan berlarut, jangan lena. Masih banyak tuntutan lain yang menunggu untuk diperjuangkan. Tetap solid dan kompak.” Pesan Gopur.

PPIP Menduga Adanya Praktik Union Busting Gaya Baru

Union busting gaya baru. Barangkali ini adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi dengan perundingan addendum Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di PT Indonesia Power. Jika dulu union busting dilakukan dengan cara “menghilangkan” pengurus serikat pekerja. Tetapi yang sekarang terjadi adalah “menghilangkan” kewenangan serikat pekerja.

Normalnya, PKB di PT Indonesia Power akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2023. Tetapi baru pada tanggal 11 November 2022, perusahaan meminta untuk dilakukan perundingan addendum PKB. Atas permintaan tersebut, serikat pekerja memberikan balasan pada tanggal 15 November. Intinya, serikat pekerja setuju dilakukan perundingan. Baru kemudian tanggal 29 November dilakukan pertukaran SK juru runding, dan tanggal 30 November dilakukan pertukaran draft PKB.

Perundingan sendiri dijadwalkan akan diselenggarakan di Semarang pada tanggal 1-2 Desember 2022. Kemudian dilanjutkan di Bogor, tanggal 5-7 Desember 2022.

Mengapa harus ada addendum? Ini berawal dari kebijakan PT PLN (Persero) yang akan menugaskaryakan pegawainya ke Sub Holding. Di mana PT PLN (Persero) menegaskan, konpensasi (remunerasi dan benefit) pegawai yang ditugaskaryakan ke Sub Holding tidak akan lebih rendah dari kompensasi yang dibayarkan kepada pegawai PT PLN (Persero) yang ditugaskan ke Holding. Untuk memastikan hal itu, Sub Holding diminta untuk meratifikasi PKB PT PLN untuk menjamin kesetaraan hak-hak kepegawaian antara pegawai PT PLN (Persero) yang ditugaskaryakan ke Sub Holding dengan pegawai PT PLN (Persero) yang bertugas di Holding.

Bagi PPIP, kebijakan untuk meratifikasi PKB PT PLN (Persero) dinilai sebagai pemaksaan aturan dari PLN. Padahal, meskipun satu group, antara PT PLN dan PT Indonesia Power terdapat aturan yang berbeda. Sayangnya, ketika menetapkan aturan baru, PT PLN tidak mempertimbangkan sudah sejauh mana benefit yang didapatkan anak perusahaan. Jika kemudian PT Indonesia Power diminta mengikuti ketentuan PT PLN, maka bisa dipastikan beberapa kesejahteraan pegawai PT Indonesia Power akan turun.

Seharusnya Perusahaan Induk terlebih dahulu membuat pemetaan. Di bagian mana saja yang unggul, itulah yang dijadikan base line perubahan system. Jika harus mengikuti standard yang di tetapkan oleh Induk Perusahaan, maka banyak yang turun. Terutama di PT Indonesia Power dan PT PJB.

Dalam berunding, kedua belah pihak sifatnya setara. Tidak boleh dipaksakan. Dalam hal ini, PP IP memiliki hak untuk tidak setuju jika benefit yang selama ini diterima akan diturunkan. Masalahnya, Induk Perusahaan memiliki daya tekan. Mereka adalah pemegang persetujuan atas Rencana Kerja Anggaran (RKA) di anak perusahaan. Seperti biaya kepegawaian, biaya operasional, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, Induk Perusahaan mempunyai hak untuk mengurangi biaya kepegawaian. Dan jika itu terjadi, PT Indonesia Power sebagai anak perusahaan tidak bisa berbuat apa-apa. Artinya, ketentuan yang diatur di dalam PKB PT Indonesia Power tidak bisa dijalankan, karena anggarannya tidak disetujui oleh Induk Perusahaan.

Jika itu terjadi, apa namanya jika bukan pemaksaan? Dan pemaksaan sepihak untuk melakukan ratifikasi itulah yang patut diduga sebagai union busting gaya baru. Serikatnya masih ada, tetapi tidak bisa lagi memutuskan syarat kerja. Belum lagi adanya potensi pelanggaran dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu syarat sah perjanjian, khususnya dalam syarat Kesepakatan Para Pihak, Dimana kesepakatan para pihak tersebut harus lahir dari kehendak para pihak tanpa ada unsur kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Jika hal seperti ini terjadi di PLN Group, bukan tidak mungkin akan diterapkan di group-group yang lain.

Semangat dalam perundingan PKB mustinya adalah perbaikan, “More or Equal”. Tetapi kali ini dibayangi dengan penurunan. Perundingan kali ini dilakukan untuk mengakomodir Perdir 30. Padahal di dalam Perdir 30 tersebut terdapat sejumlah hal yang kualitasnya lebih rendah jika dibandingkan dengan apa yang telah di dapat oleh PT Indonesia Power.

Pegawai PT Indonesia Power mendukung penuh tim perunding serikat pekerja. Mereka tidak mau benefit yang selama ini didapatkan akan diturunkan. Dukungan itu dilakukan dengan membuat status serentak di media sosial dengan poster bertuliskan “We Support PPIP in Collective Bargaining Agreement! More or Equal.” Dengan tagar #WeStandWithPPIP.

Dukungan itu menjadi bukti, perundingan ini dikawal oleh ribuan anggota PPIP yang tersebar di berbagai daerah. Dan tidak hanya itu, Serikat Pekerja dan Pekerja yang lain pun juga mencermati apa yang terjadi di PLN Group. Mereka tidak ingin apa yang patut diduga sebagai “union busting gaya baru” ini sama juga terjadi tempat yang lain.

English version, below!

PPIP Suspects of New Style of Union Busting in the 2022-2023 CBA Addendum Negotiation

A new version of union busting. It only right to name the situation as a new version or new style of union busting. The situation in question is the addendum of Collective Bargaining Agreement (CBA) negotiation in PT Indonesia Power. If union busting was done by “removing” union leaders, now, by ‘removing’ the role and authority of union.

Normally, CBA in PT Indonesia Power will end on December 2023. However, on November11, 2022, the company requested an addendum to the CBA to be negotiated. The company sent a letter to the union for the request. Upon the request, the union replied on November 15, 2022 that the union agreed to prepare a revised CBA and appoint a negotiator. On November 30, the union and the company submitted their version of CBA revised draft.

The negotiation is scheduled to be held in Semarang on 1 to 2 December 2022. Then, it was continued in Bogor on 5 – 7 November .

Why addendum? It was started when PT PLN (Persero) issued a new policy of assigning their workers to work in their sub-holding companies. For this, PT PLN stated that the compensation (remuneration and benefits) for the workers who are assigned to the subholdings will not be lower than the compensation for workers who are assigned to the holding companies in order to ensure the implementation, sub holding companies must ratify PT PLN’s CBA. Hopefully, this will guarantee equality of workers’ rights between PT PLN (Persero) workers who are assigned to sub holding companies with the ones who are assigned to holding companies.

For PPIP, the requirement to ratify PT PLN’s CBA is seen as PT PLN enforces some rules to PPIP. Whereas, although under the same group, PT PLN and PT PPIP has its own distinct regulation. On the other hand, PT PLN does not consider the benefits that are already applicable in its subsidiaries, such as PT Indonesia Power. If PT Indonesia Power, then, follows the new policy imposed by PT PLN, there will be benefit loss or decrease in PT Indonesia Power.

What PT PLN should have done is to do an initial mapping. From the mapping, PT PLN would find out which benefit is higher then it would be the base line for systemic change. To follow the standards set by the mother company, there will be decrease in benefit, as the benefit in the subsidiaries are better than in the mother company, especially in PT Indonesia Power and PT PJB.

To hold a negotiation, both parties must be on an equal position. A negotiation must not be enforced. PPIP has the right to diasagree to the new benefit that would be lower than the benefit they received before the new policy. The poblem is mother company has a pressure power. They holds the veto over its subsidiaries Budget Workplan (Rencana Kerja Anggaran/RKA). The Budget Plan includes payrolls, operational cost, and many other item budgets. PT PLN, the mother company, holds the right to cut the payroll item in the Budget plan of its subsidiaries. If that should happen, PT Indonesia Power as a subsidiary of PT PLN will not be able to do anything. It means, whatever is agreed in the CBA of PT Indonesia Power will not be implemented.

If that happens, is it a coercion? A coercion to ratify PT PLN’s CBA is a union busting, a new version. The union still exists, but is no longer able to negotiate the requirement. There is also a potential violation of article 1320 of the Civil Code on the conditions that are required for the validity of agreements, specifically on the condition of the parties in agreement. There must be consent of the individuals who are bound thereby, meaning no coercion nor fraud; capacity to conclude an agreement, a specific subject, and an admissible cause. Should this happen in PLN Group, other companies will follow.

The spirit of a CBA negotiation is improvement, to be “More or Equal”. However, this time, it leads to a deterioration. The negotiation is done to accomodate the Director Regulation No. 30. Although in that regulation, there are lower qualities of benefits compared to what is applicable in PT Indonesia Power currently.

PT Indonesia Power workers support the union’s negotiation team. They do not want to lose the benefits that they have been having. The support is expressed in a social media simultaneous status with a poster of “We Support PPIP in Collective Bargaining Agreement! More or Equal,” and a hashtag #WeStandWithPPIP.

The support proves that this negotiation will be monitored by thousands of PPIP members all over Indonesia. In addition to that, union and other workers are scrutinizing what is happening in PT PLN Group. They do not want what is suspected as a new style of union busting to happen in other workplace, in or outside PLN Group.

The Adverse Impact of Privatization on Jakarta Citizen and Water Sector Workers

Instead of giving good impact, privatization has adverse impacts on the workers and citizen. In the first five years of water privatization in Jakarta, the price of water increased by tenfold. The price of water in Jakarta, at that time, was the most expensive in Southeast Asia. On the other hand, during the same period, there was not any increase in the number of new consumers in Jakarta. Meanwhile, there have had been labor disputes in the company. The dispute was brought to the Industrial Relation Court. Both facts were revealed by the  reasearch on the potential adverse impacts of the termination of privatization agreement between PDAM and its partners on water sector workers in Jakarta.

As it is known, the water privatization agreement in Jakarta that was signed in 1998 will end on February 1, 2023. However, in practice, there are several problems arose from that agreement termination. Some problems were already there even before the termination.

Since the beginning, the privatization agreement bear so many questions. There are doubts that the privatization was actually the answers to different problems faced by water sector: the quality, effectivity, and efficiency. This is understandable as since the beginning, the water privatization agreement in Jakarta was dominated by global capitalism interest due to multi-dimensional crisis hit Indonesia at the end of the nineties. 

Jakarta water privatization is considered unprocedural. The process also did not meet the precondition for a privatization to succeed, i.e. to benefit from the market to resolve the efficiency problem in public service sector. The water privatization contract in Jakarta also did not go through open bidding (it was more like a direct appointment which is laden with nepotism and corruption) and was not preceded by a systematic due diligence process to determine rational target.

A number of critics and lawsuits accompanied the privatization project. The critics and mainly concerned with the low quality of the service delivered to the consumers and also the high price. The study conducted by Amrta Institute for Water found that the water tariff applicable in Jakarta has increased tenfold and became the highest in Southeast Asia. The high price is suspected to be the cause of no increase in the number of new consumer in Jakarta.

In addition to economic problem, water privatization in Jakarta also failed to improve the quality of service the company provided. For example, media reported that there has been a decline on water quality delivered to the consumers. It reported that in the mid 1999 to 2001 about 8.5% water provided by PAM di Jakarta and cities around Jakarta was not drinkable and did not meet the standard of physical and chemical quality.

This study shows that there has not been any significant change in terms of water quality compared to before the privatization. A statistical data supports the finding. Up to December 2013, PAM Jaya received more than 53,000 complaints related to service. Out of that number, 74% was related to the dysfunctional water tap. PAM Jaya alrs recorded that there have been high number of leaks, around 42% (from the target of 38% only). New service scope is 60% (from the target of 66%), and water pressure (the amount of water that is received by consumers) is also under 50% (from the target of 100%).

A number of labor disputes occured during the first four to five years of the contract. The most prominent case is the remuneration problem. The amount of retirement fund given by partner company to workers who worked directly to them is different from the one given to PAM Jaya’s wokers whose status was assigned to work at the partner company (seconded). There three cases which ended up in the Industrial Relation Court (PHI). Those are: Case of Maisril et. al. (4 persons) 2014-2016, Ponimin et. al. (1,055 persons) 2008-2009, and Dondi Syahtriandi (2011-2015).

On February 1, 2023, the agreement or contract of privatization will end. However, there is a scepticism about whether or not the termination of privatization agreement on February 1, 2023 means that PAM Jaya will be remunicipalized: the return of the control over management and service of water to the hands of the public via the regional/provincial government.

A number of newly found facts show the tendency of new privatization in the form of unbundling of water service supply chain in Jakarta. A series of MoUs have been signed by representatives of different ministries witht the Governor of Jakarta. In October 2022, the new agreement on water production management was signed.

Some big private companies including the private company that previously was in the contract with PAM Jaya, are in the offer exchange of water privatization bidding in Jakarta and cities around Jakarta. There have been some questions about the transition process. The company claims that it has established a transition team as mandated by a clause in the privatization agreement of 1998/2001. However, there is not any valid information related to the composition of the transition team.

In order for the transition process to be smooth, there has to be improvement of inter-agency communication and between stakeholders. The problem with availability of communication media must also be handled seriously. The interviewed informan stated that there needs to be a responsive actions from the government side to ensure that the transition team is valid, representative, and work tranparently.

In addition to that, there are a number of potential labor problems arise during the transition period and before the end of the agreement on February 1, 2023. If the problems are left unattended and poorly handled, there is a possibility for legal disputes to emerge. The uncertainty will disrupt productivity and performance of water service in Jakarta which at the end, will violate the rights of the citizen overn quality public service.

There are at least four potential problems emerge during the transition period and after the the privatization agreement ends. First, a problem related to employment status. The termination of privatization agreement will have a concrete impact on the workers’ employment status in both partner companies. Although clause number 32.12 of the collective agreement  guarantees that workers in both partner companies can be recruited by PAM Jaya. Workers said that they had been asked to fill a questionaire and to sign a letter that they agreed to work in PAM Jaya. There are two clauses in the statement letter that workers find unclear. Those clauses are related to their employement status at PAM Jaya: first, a clause that said that workers are agree to be a permanent or contract workers at PAM Jaya; and second, workers must agree to participate in the recruitment process to able to work at PAM Jaya.

Both problems have raised a number of questions: for previously permanent workers at hired by a private companye, will they be contract workers in PAM Jaya later after the termination of privatization agreement? If workers must participate in the recritment process, does it mean that there are possibilities that they fail in the recruitment process? What will the consequence be?

The second problem is related to job loss compensation. The clause number 32.12 of the collective agreement implies that PAM Jaya has a prerogrative right to recruit workers and/or not after the collective agreement is no longer applicable. The question is what will happen to workers who are not recruited by PAM Jaya but already resign from the partner company?

A legal issue will arise, will workers be terminated/fired or considered as resignation? Who will be responsible to pay the compensation to the concerned workers; PAM Jaya or the partner company?

Third, the seconded workers. The seconded workers are in an uncertain situation. The Clause number 32.12 of the collective agreement says “All parties agreed that this the contact of Seconded Workers will end automatically with the change of employment status.”

Refering to that clause, the contract of seconded workers will automatically end exactly when the collective agreement expired. However, there is not any further explanation on how will the change of employement status for seconded workers be carried out: will they be automatically return to their original position at PAM Jaya just like before they were assigned to work at the partner company? Or, will they have new position and duties? How will the transition be? Those questions are left unanswered.

Next, the fourth, the deficit of human resources and its impact on the performance of public service. Based on BPS data in 2020, the number of water PAM Jaya workers is approximately 910,000,21, while the number of water sector workers in Jakarta up to 2020 is 2,200.

By assuming that the growth of water sector consumers is about 0.7%-0.9% per year, the ration of workers in Jakarta to the number of customers is 1: 410. That means each worker must provide a service to 410 customers (which mostly are households, companies, etc.).The deficit of human resources bears a big problem. Statistically, the number of workers in their retirement age is also significant. This matter must be handled seriously and must be included in the deliberation of transition team.

Unfortunately, although union existence in water sector in Jakarta is acknowledged by the company, however, workers are relatively excluded from the transition process. The communication with management were initiated by the union, not by the company. In the context of social dialogue, this situation hinders the possibilities of challenge solving in the win-win solution.

The explanation above is the summary of a research initiated by the Public Service International (PSI), a global union federation in public sector. The research was conducted to ensure the protection and fulfilment of water sector workers in Jakarta who are impacted by the remunicipalization process what will take place on February 1, 2023.

The reseach lasted for three months, from end of August to end of October 2022. The research objective is to support the struggle for equal rights to quality public service by fighting for the fundamental rights of the workers. Included in the research the socio-political context of Indonesia’s labor policies; identification of problems in fulfillment and protection of workers rights and union rights resulted from remunicipalization process of water company in Jakarta, and provided recommendations for PSI the take precautious steps in advocating the workers rights and union’s rights in the process of remunicipalization of water in Jakarta.

On 25 November 2022, 16 people representing SP PDAM Jakarta, Sekar Aetra and Sekar Palyja, gathered to launch the report and discuss further input for strategic actions.

Konsolidasi TAD PLN SERBUK Indonesia:Berserikat! Kuat! Bermartabat!

SERBUK Indonesia menggelar Konsolidasi Nasional Tenaga Alih Daya (TAD) PLN, pada Hari Sabtu, 12 November yang lalu, di Aula Malioboro Inn, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah. Konsolidasi anggota ini dimaksudkan untuk mempererat solidaritas, memperkokoh perkokoh barisan, dan mengasah daya juang.

Hadir dalam kegiatan ini perwakilan dari Serikat Buruh Anggota (SBA) SERBUK Indonesia dari sektor ketenagalistrikan, seperti Serikat Pekerja Listrik Area Magelang (SPLAM), Serikat Pekerja Listrik Area Banyuwangi (SPLAB), SPL. HPI Klaten, SPLAS Solo, dan beberapa perwakilan lainnya.

Dinamika kebijakan di PT. PLN menjadi perhatian serius SERBUK Indonesia, khususnya yang berpengaruh kepada tenaga alih daya. Jangan sampai kebijakan yang merugikan TAD PLN gagal dimitigasi, yang ujung-ujungnya membuat TAD PLN menderita. Seperti akhir-akhir ini, diterbitkannya Edaran Direksi 019./DIR/2022 tentang Standar Prosedur Pengelolaan Tenaga Alih Daya, surat edaran ini jika tidak ditolak akan membuat TAD PLN kehilangan jaminan keberlangsungan kerja dan berpotensi mengurangi pendapatan TAD.

Dalam konsolidasi ini, SERBUK Indonesia melakukan kajian secara mendalam, utamanya tentang bagaimana latar belakangnya sampai edaran tersebut muncul. Dalam diskusi yang panjang selama konsolidasi, akhirnya forum konsolidasi mendapatkan kesimpulan bahwa, edaran tersebut memang dimaksudkan untuk memangkas biaya beban tenaga kerja untuk dialihkan kepada pembiayaan pembelian tenaga listrik yang terus membengkak. Skema Take or Pay (TOP) dalam Power Purchase Agreement (PPA) antara PLN dengan Pembangkit Listrik Swasta, membuat PLN harus membeli semua energi listrik yang dihasilkan oleh pembangkit yang dimiliki perusahaan swasta tersebut, meskipun tenaga listrik tersebut tidak dipakai.

Hal itu tentu saja membebani keuangan PLN, karena listrik yang sudah dibeli tidak berhasil dijual karena laju konsumsi listrik secara nasional belum sebanding dengan kecepatan penambahan produksi tenaga listrik. Ujung-ujungnya terjadi over kapasitas, bahkan di akhir tahun 2022 ini kelebihan pasokan listrik diperkiran mencapai 61%. Oleh karena itu PLN harus melakukan efisiensi.

Pengurangan biaya tenaga kerja lazim ditempuh oleh perusahaan-perusahan untuk menyehatkan keuangan perusahaan, meskipun problematikanya bukan pada tenaga kerjanya. Seperti di PLN kesalahan terbesarnya adalah pada tata kelola keuangaan utamanya kegagalan menentukan fokus investasi, tapi mengapa TAD yang harus menjadi korban? Begitu lah pertanyaan besar dari para peserta konsolidasi. Dan mereka sepakat TAD atau para pekerja yang berada di garis depan industri kelistrikan nasional jangan sampai menjadi korban. Jangan sampai TAD kembali diupah seperti jaman Koperlis, begitu kata salah satu peserta.

Di akhir sesi rencana tindak lanjut, para peserta konsolidasi berhasil merumuskan strategi dan taktik untuk menghadang tiap-tiap kebijakan yang akan merugikan TAD. Dua poin besar dari rumusan strategi dan taktik tersebut adalah densitas dan kapasitas serikat buruh. Tanpa jumlah keanggotan yang mayoritas di Tenaga Alih Daya PLN dan kapasitas personil serikat buruh yang prima, jangan berharap TAD PLN bisa memenangkan agenda-agendanya.

Preparing to Face Workplace Dispute Settlement, Five Unions Parcitipated in Advocacy Training

Advocacy literally means mentoring support, suggestion, and defense. In the world of employment, advocacy is an activity or a series of activities in the form of suggestion, mentoring, statement of defense by union for its members or organizaton in response to a situation or problem.

It is very important for unions to have an advocacy skill, especially because advocacy is very critical to unions. In an employment relation, there is always a possibility for a ‘dispute’.

That is the backgroung of five unions participating in an advocacy training. The training titled “Developing Organising Strategy “Organiser’s Skills on Labour Laws and Dispute Settlement” located in 5G Resort, Bogor, on 7 – 10 November 2022. The five unions are: SPEE FSPMI, SP PLN, SP PPIP, SP PJB and SP SERBUK.

Suherman, one of the resource persons, explained that the first session of the training would discuss labor law and regulations in Indonesia in relation to industrial dispute settlement. The session also discussed the Basics of Labor Laws and the implementing and supporting regulations. Case studies were also included in the discussion. Along with Suherman, Mahfud Siddik and Aep Rianandar from Advocacy Team of the SPEE-FSPMI supporting this training as resource person.

Disputes between workers and employers basically happen with or without a violation of law that precedes. If a law violation precedes a dispute, there are several factors involved. Those factors are, among others, different understanding on labor law implementation (conflict of rights), a discriminative treatment by employer to workers; or, employers who do not fully understand the role and function of trade unions as a bagaining institution and workers’ representative.

Workplace dispute is avoidable. However, sometimes it is unavoidable due to several factors. First, a unilateral decision on sanction imposed by the employer regardless of the agreed regulation applicable in the company. The company only considers workers as a factor or production and are oriented to profit only (prioritize productivity). Second, failed negotiation as an effort to solve a problem due to bad and ineffective communication; and third, no recognizition for union as the institution that represents the workers in that workplace.

The next session discussed bipartite and mediation as parts of workplace dispute settlement. A dispute must be settled/negotiated between the trade union and management. After the trade union and management agree on the disputed matter, both will create a Collective Agreement. If the negotiation failed, both will go to mediation.

The session invited participants to do a mediation simulation. Participants were divided into two groups. One group played the role of the employers, the other the trade union/workers. The case used in the simulation was demotion of a worker accompanied by decrease in wage.

The simulation went well and was very interesting. Each group had a role, different problems, responses and answers. The session used undated legal terms and legal arguments.

The seminar about Understanding Dispute Settlement in the Industrial Relation Court (PHI) was delivered by Aep Risnandar. The seminar was followed by a simulation of a court session in the Industrial Relation Court (PHI).

In this session, participants acted like they were in a court session. They also tried to formulate their lawsuit, answer from the defendant, second declaration (replik), final reply from the defendant (duplik), provide evidences (documents and witnesses), conclusion, and final statement.

It is hoped that the training will improve the labor organisers’ knowledge and skills on Indonesian labor law and on how to do advocacy on workers’ rights vioilation in their respective workplaces in addition, organizers would be able to use their skill and knowledge to develop their organization’s organizing strategies.

Hasil Musnik Konsolidasi dan Musnik Nasional PUK SPEE FSPMI PT Haleyora Powerindo

Kegiatan Konsolidasi dan Musnik Nasional PUK SPEE FSPMI PT Haleyora Powerindo yang diselenggarakan pada tanggal 5-6 November 2022 di Depok, Jawa Barat, sudah berakhir. Selain menghasilkan susunan kepengurusan, kegiatan yang berlangsung dua hari ini berhasil menyusun program kerja.

“Secara garis besar, ada empat program utama dalam periode kepengurusan ini. Pertama, PKB start di tahun 2023. Kedua, penambahan jumlah anggota sebanyak 20.000 anggota. Ketiga, advokasi yang kuat, di mana PUK Nasional memastikan tidak ada lagi permasalahan hak normatif,” kata Mochammad Mauchbub yang terpilih sebagai Ketua PUK di dalam Musnik kali ini.

“Sedangkan keputusan yang keempat adalah penguatan iuran COS. Penertiban iuran pun akan dimulai pada awal tahun 2023,” lanjutnya. Semua ini dilakukan demi mendukung terciptanya tiga program di atas, maka perlu didukung pula kekuatan iuran anggota.

Sebelumnya, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Elektronik Elektrik Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (PP SPEE FSPMI) Slamet Riyadi dalam pembukaan Musnik menjelaskan, bahwa sebelumnya PUK PT. Haleyora Powerindo tersebar di berbagai wilayah. Sehingga hal ini menimbulkan kendala dalam hal komunikasi dan koordinasi.

“Dengan terbentuknya PUK secara Nasional hari ini, penyelesaian kasus kedepannya agar lebih mudah terselesaikan,” tegasnya.

Hadir dalam Musnik Nasional PUK SPEE FSPMI PT Heleyora Powerindo, Presiden FSPMI Riden Hatam Aziz dalam sambutannya menyampaikan pentingnya komunikasi dalam hal menyelesaikan masalah dengan pihak Manajemen. “Bagaimana pun juga, tanpa komunikasi yang baik, apapun masalahnya tidak akan terselesaikan,” ujarnya.

Riden juga menegaskan, adalah tugas FSPMI untuk terus melakukan perbaikan – perbaikan kesejahteraan untuk seluruh anggotanya di seluruh Indonesia. Untuk itu, dalam berjuang, dalam Kongres FSPMI ke VI telah diputuskan strategi perjuangan organisasi yang baru yaitu politik. Ini melengkapi strategi perjuangan yang lain, yaitu Konsep, Lobby dan Aksi atau yang biasa disebut KLA.

Lebih lanjut Riden memaparkan, FSPMI yang dilahirkan pada tahun 1999 dalam berjuang tidak sebatas tingkat pabrik dan daerah. Tetapi juga di tingkat nasional dengan melakukan tekanan melalui aksi dengan jumlah massa yang sangat besar dan massif untuk mengubah kebijakan.

Maka dari itu, Riden meminta agar serikat pekerja memanfaatkan dan memaksimalkan setiap pertemuan, konsolidasi, ataupun rapat-rapat untuk mensosialisasikan setiap program dan cita-cita perjuangan. Tujuannya adalah agar semua anggota menjadi paham dan kemudian ikut berpartisipasi di dalam perjuangan.

Adapaun susunan kepengurusan yang dihasilkan dalam Musnik Nasional PUK SPEE FSPMI PT Haleyora Powerindo adalah sebagai berikut:

Ketua: Moch Machbub (Cirebon)

Wakil Ketua I: Alain Alfian Tourik (Karawang)

Wakil Ketua II: Erick Meidiartha  (Bandar Lampung)

Wakil Ketua III: Bayu Prastyanto Ibrahim (DKI Jakarta)

Wakil Ketua IV: Hidrawan Sukmanto (Karawang)

Sekretaris: Ramdani (DKI Jakarta)

Wakil Sekretaris I: Yanto Sulistianto (Purwakarta)

Wakil Sekretaris II: Tri Yuliawan (Karawang)

Wakil Sekretaris III: Rana Rustiana (Sukabumi)

Wakil Sekretaris IV: Ria Beti Novianti (Bandung)

Bendahara: Ali Sadikin (Purwakarta)

Selenggarakan Konsolidasi dan Musnik, PUK Haleyora Powerindo Tegaskan Hubungan Industrial, Manajemen Pengakuan Serikat, dan Membuka Dialog untuk Negosiasi

“Kita sebagai pekerja dengan manajemen ibarat satu keluarga. Oleh karena itu, mari kita jadikan suasana di tempat kerja kita menjadi nyaman. Harus ada komunikasi, harus ada dialog, harus ada rasa saling percaya,” demikian disampaikan Sekretaris Umum SPEE Slamet Riyadi saat memberikan sambutan dalam pembukaan Musnik PUK SPEE FSPMI PT Haleyora Powerindo yang diselenggarakan di Depok, Sabtu – Minggu, 5 hingga 6 November 2022

Sebelumnya, Slamet memberikan apresiasi dan ucapan terima kasih atas kehadiran Direktur SDM PT Haleyora Powerindo, Haidar Syaifulloh. Baginya, ini adalah sebuah kehormatan. Terlebih di dalam momentun penting, di mana PUK HPI bersatu dalam agenda Musnik.

“Kehadiran managemen membuka ruang untuk berkomunikasi dengan serikat pekerja,” kata Slamet. Dengan adanya komunikasi antara managemen dan pekerja, maka kita optimis hubungan industrial akan menjadi lebih baik lagi.

Slamet menegaskan, ke depannya mari sama-sama kita jaga hubungan baik ini. Kita satu keluarga. Kita jaga rumah kita. Kita buat semua menjadi nyaman. Perusahaan bisa mengembangkan usahanya, kita sebagai pekerja bisa menjadi lebih sejahtera.”

Slamet juga menyampaikan, FSPMI dan SPEE sudah bertemu dengan pihak PT PLN. Karena ini bukan masalah yang bisa cepat diselesaikan, maka akan dilakukan pertemuan secara rutin. Tidak cukup hanya sekali dua kali pertemuan. Oleh karena itu, terdekat, sudah direncanakan untuk menyelenggarakan pertemuan pada tanggal 11 November 2022.

“Dengan adanya respon positif dari pihak PLN, itu kita sambut baik. Semoga akan ada perbaikan positif yang bisa kita ambil. Oleh karena itu, kegiatan aksi yang rencananya akan kita selenggarakan tanggal 7 November kita batalkan,” ujarnya.

Senada dengan apa yang disampaikan Slamet, Koodinator Project PSI-SASK Indonesia Indah Budiarti menyampaikan, bahwa hubungan industrial modern memerlukan serikat pekerja yang kuat. Termasuk di dalamnya pengakuan serikat pekerja dari management. Dengan adanya hubungan industrial yang harmonis, niscaya akan tercipta rasa nyaman dalam bekerja yang ujungnya meningkatkan produktivitas.

PSI sendiri, di dunia memiliki hampir 30 juta anggota, di 152 negara dan teritori, dengan 692 serikat pekerja anggotanya. Di Indonesia kita memiliki 7 serikat anggotanya, dimana 3 serikat mewakili sektor ketenagalistrikan, yaitu: SP PLN, SP PJB, dan PP INDONESIA POWER.

Prinsip kesatuan, atau unity, dan persatuan untuk tumbuh besar bersama dan kuat, mendorong PSI untuk membangun solidaritas di luar afiliasinya. Kegiatan tersebut bukan yang pertama melibatkan non-afiliasi dalam proyek PSI. Melihat pentingnya menguatkan serikat anggotanya, adalah juga menguatkan serikat pekerja yang lain. Maka akhir 2019, PSI mengajak SPEE-FSPMI dan Serikat Buruh Kerakyatan atau Serbuk, khususnya sektor elektrikal untuk mengembangkan dan memperbanyak jumlah keanggotaan mereka disektor ini.

“PSI menyambut baik kegiatan konsolidasi dan MUSNIK Nasional PUK HPI ini. Kegiatan ini merupakan bentuk revitalisasi organisasi, agar lebih mapan dan lebih dinamis dalam menghadapi persoalan-persoalan ketenagakerjaan, akibat lemahnya pemahaman pekerja terhadap hak mereka dan kecurangan atau pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha,” kata Indah.

Indah menambahkan, sektor ketenagalistrikan menguasai hajat hidup orang banyak. Bekerja pada sektor ini tidak hanya memikirkan tentang upah dan kesejahteraan, tetapi memastikan bahwa sektor ini tetap ditangan publik dan melawan segala bentuk privatisasi. Privatisasi tidak hanya berdampak buruk pada para pekerja. Tetapi juga berdampak buruk masyarakat luas, karena tarif listrik menjadi mahal. Lebih dari itu, privatisasi di sektor ketenagalistrikan melanggar konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945.

“PSI akan terus mendukung dan menguatkan solidaritas bersama SPEE-FSPMI, proyek akan berlangsung setidaknya sampai tahun 2025. Kita berharap bahwa keanggotaan bertambah massive, setidaknya akan mencapai 25 ribu orang atau lebih, dan memiliki PKB setidak di HPI,” tegasnya.
Sementara itu, dari sisi management, Haidar Saifulloh menyambut baik kegiatan ini. Dia juga merasa bangga bisa hadir di tempat ini. Apalagi sebelumnya, sudah ada pertemuan dengan pimpinan FSPMI dan SPEE untuk membicarakan permasalahan yang ada, dan sudah ada kesepahaman Bersama untuk mencari jalan keluar atas permasalahan tersebut.

“Kita jangan terpecah belah karena perbedaan golongan dan status,” kata Haidar. Itu artinya, harus ada sinergi antara pekerja dan manajemen.

”Acara ini penting dan untuk membangun kebaikan,” tegasnya. Dia juga berjanji untuk lebih memperhatikan hak-hak buruh, terutama yang terkait dengan hak normative.

Perlu diketahui, kegiatan ini diselenggarakan secara hybrid. Di mana peserta dari PUK SPEE FSPMI PT PHI se-Jawa dan Sumatera mengiktui secara luring, sedangkan dari berbagai daerah yang lain mengikuti kegiatan ini secara daring. Musnik sendiri dibuka oleh Sekretaris Umum SPEE FSPMI Slamet Riyadi, mewakili Ketua Umum yang berhalangan hadir.

Musnik juga dihadiri perwakilan SP PLN, Jaya Kirana yang hadir mewakili Ketua Umum DPP SP PLN Muhammad Abrar Ali. Dalam sambutannya, Jaya menegaskan dukungan dan solidaritas serikat terhadap perjuangan teman-teman di SPEE-FSPMI demi kesejahteraan pekerja dan kejayaan perusahaan.

Yang Fenomenal Dari Hari Listrik Nasional

Hari Listrik Nasional (HLN) yang jatuh pada tanggal 27 Oktober tahun ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Adalah Perhimpunan Pegawai PT Indonesia Power  (SP PJB) dan Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa-Bali (SP PJB) yang membuatnya berbeda, bahkan terasa istimewa.

Bagaimana tidak? Pagi itu, kurang lebih 400 orang anggota PP IP dan SP PJB datang ke Kantor Pusat PT PLN (Persero). Tujuan mereka hadir ke sini adalah untuk mengikuti upacara peringatan HLN, yang rutin diselenggarakan setiap tahun. Secara bertahap, mereka masuk ke lapangan upacara yang berada di dalam area perusahaan.

Mengingat jumlahnya terlalu banyak, sebagian anggota PP IP dan SP PJB sempat dilarang masuk ke dalam lapangan. Namun demikian, mereka bergerak ke depan pintu gerbang. Jika tidak diperbolehkan mengikuti dari dalam, mereka akan mengikuti upacara dari luar. Tepat di pinggir jalan raya. Akhirnya mereka diperbolehkan masuk.

Di lapangan, mereka berada dalam satu barisan, yang memang diperuntukkan bagi pekerja dari anak perusahaan. Karena jumlah yang hadir mencapai ratusan, sebagian peserta meluber hingga ke luar lapangan upacara. Tepatnya di bagian belakang,

Ketika upacara dimulai, ratusan anggota serikat pekerja ini mengikuti dengan tertib. Namun demikian, ketika upacara selesai, mereka tidak segera meninggalkan lapangan. Mereka tetap bertahan di lapangan, sambil mengenakan ikat kepala berwarna merah dengan tulisan “Tolak Pembentukan N-2 HSN PT PLN (Geothermal Co dan New Energy Co). Sedangkan di lengan kanannya, terpasang kain hitam bertuliskan “Tolak Perdir No 30 (HXMS).

Aksi ini menarik perhatian. Apalagi dilakukan di momentum yang terbilang sakral. Hari Listrik Nasional.

Bagaimana pun, PP IP dan SP PJB tidak bermaksud mengacaukan peringatan HLN. Beberapa hari sebelumnya, mereka sudah berkirim surat untuk beraudiensi dengan Direktur Utama PT PLN. Adapun tempatnya di lapangan, usai pelaksanaan upacara peringatan HTN, dengan peserta kurang lebih 200 orang.

Ada tiga hal yang akan disampaikan dalam audiensi ini. Pertama penolakan pembentukan N2 (Geothermal co dan New Energy Co). Kedua, penolakan privatisasi dengan penjualan asset ketenagalistrikan nasional secara ketengan berkedok green energy. Dan ketiga, penolakan terhadap union busting berkedok Perdir No 30/2022.

Tetapi hingga hari H pelaksanaan upacara peringatan HTN, tidak ada kabar apakah audiensi tersebut diterima atau tidak. Namun demikian, hal itu tidak menurutkan ratusan anggota PP IP dan SP PJB ini untuk tetap hadir mengikuti upacara.

Mengingat lapangan akan digunakan untuk kegiatan lain, ratusan orang dengan ikat kepala merah ini bergerak depan lobi pintu masuk. Di sini, lokasi aksi semakin stragis. Mereka yang hilir mudik ke PLN akhirnya bisa melihat aksi protes para buruh.

Hal itu berhasil memaksa management untuk datang menemui massa aksi.

Kepada perwakilan management dijelaskan, bahwa mereka tidak bermaksud menodai peringatan HTN. Sebelumnya mereka sudah berkirim surat untuk beraudiensi, sejak bulan Juli. Lalu disusul surat berikutnya pada bulan Agustus. Bahkan pada bulan September, mereka mengirimkan pernyataan sikap bersama. Karena tidak ada jawaban, mereka kembali melayangkan surat perihal permohonan audiensi pada tanggal 27 Oktober, dengan waktu jam 09.00 usai melakukan upacara HTN.

Awalnya para buruh diminta tidak berkerumun di depan lobi. Tetapi mereka mengancam, kalau tidak diperbolehkan di lobi, akan bergeser ke jalan. Depan pintu gerbang. Tetapi jangan salahkan buruh jika hal itu justru memantik perhatian masyarakat dan menjadi pemberitaan yang luas di media.

Setelah perwakilan Direksi hadir, akhirnya disepakati bahwa audiensi akan dijadwalkan antara tanggal 20 – 25 Oktober, usai pelaksanaan G20 di Bali. Tidak lupa, dalam kesempatan ini PP IP dan SP PJB juga menyerahkan hasil kajian dari serikat pekerja terkait dengan isu yang sedang disuarakan.

Bagaimana pun, apa yang dilakukan PP IP dan SP PJB adalah torehan sejarah yang fenomenal. Selan aksi seperti ini baru pertama kali dilakukan, tetapi juga mengambil momentum yang tepat.

Semoga apa yang diperjuangkan serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan, untuk memastikan ketenalistrikan tetap dalam penguasahaan negara bisa terwujud. Liberalisasi selain menyalahi konstitusi, juga akan merugikan rakyat Indonesia sendiri.

Pembentukan Holding Subholding PLN Karpet Merah Liberalisasi di Sektor Ketenagalistrikan

“Kalau baru sanggup makan tempe, jangan dipaksa makan daging. Jangan sok-sokan ikut Barat.” Istilah ini disampaikan Ekonom INDEF Abra Talattov dalam diskusi bertajuk Seri Pembelajaran Serikat Pekerja: ‘Pembentukan Sub-Holding PLN Dari Kacamata Konstitusi dan Ekonomi’ yang diselenggarakan secara daring, Selasa (18/10).

Menurut Abra, negara-negara di dunia memang memiliki komitmen kuat dalam mewujudkan transisi energi menuju green energy. Tetapi masing-masing negara juga melihat kepentingan nasional. Khususnya bagaimana transisi energi harus bisa memenuhi tiga aspek: security, affordability, dan low emission.

Di mana transisi energy dilakukan dengan melihat kesiapan dan kemampuan masing-masing negara. Termasuk dari sisi keuangan negara, keuangan masyarakat, dan BUMN. “Tidak dipaksakan kita latah mengikuti agenda global. Padahal negara maju yang saat ini mengembar-gemborkan energi hijau juga menjilat ludah sendiri, dengan memanfaatkan energi berbasis fosil dalam jumlah besar,” tegasnya.

Transformasi holding dan sub-holding di PLN sudah menjadi keputusan pemerintah. Tugas kita sekarang adalah memastikan agar Geothermal Co dan New Energi Co tidak menyebabkan liberalisasi ketenagalistrikan. Karena, memang, ada dorongan untuk meningkat peran swasta yang lebih besar.

Abra menguraikan, bagaimana swasta diberi karpet merah untuk masuk di sektor ketenagalistrikan dengan dalih transisi energi. Salah satu strateginya adalah dengan pembentukan subholding. Menurutnya, memberikan insentif agar swasta membangun EBT tidak cukup. Karena listrik dari swasta, khususnya EBT, harus bisa terserap dan bersaing dengan listrik yang disuplay PLN. Dibutuhkan desain kebijakan agar swasta tertarik untuk masuk. Di sini terlihat jelas, ada kesadaran untuk mengundang swasta.

“Tetapi swasta pun tidak mau mengeluarkan investasi besar, tetapi tidak ada kepastian siapa yang akan membeli listrik mereka. Tidak ada kepastian penjualan kepada masyarakat. Kita tahu, PLN adalah BUMN ketenagalistrikan yang bisa mensuplay listrik sampai ke konsumen. Di sini ketemu jawabannya. Transformasi kelembagaan PLN tidak lepas dari konstelasi bagaimana bisa mendorong peran swasta lebih maksimal,” ujarnya.

Di sisi lain, potensi geotehermal Indonesia memang sangat besar, nomor 2 di dunia. Saat ini baru 2.132 MW yang sudah teroptimalkan, dari potensi 23,9 GW. Baru 8,9%. Inilah juga yang menjadi daya tarik swasta untuk bisa mengembangkan energi terbarukan sekaligus memanfaatkan potensi yang besar ini. Awalnya ada skenario dibentuk perusahaan baru, tetapi berhenti di tengah jalan. Dan sekarang menggunakan mekanisme holding dan sub-holding, termasuk geotermal co.

Di samping itu, potensi EBT yang lain juga sangat menjanjikan. Tenaga air, surya, angin, dan sebagainya. Di tengah potensi besar untuk dikembangkan, dari kapasitas pembangkit yang dimiliki PLN maupun kerjasama IPP yang setiap tahun bertambah, capacity faktornya relatif stagnan. Meskipun masih ada ruang untuk menambah pasokan lsitrik dengan meningkatkan capacity factor. Apalagi kalau ditambah pembangkit baru, termasuk EBT, maka over kapasitas akan semakin besar.

Ironisnya, meski EBT didorong akan tumbuh ambisius, tetapi kebutuhan untuk tetap menggunakan baturabara masih tinggi. Sampai dengan 2030, kebutuhan batubara diperkirakan mencapai 153 juta ton. Masih dominan. Tentu ini menunjukkan kita tidak serta merta menjalankan transisi energi tanpa melihat bukan hanya dari aspek lingkungan, tetapi juga dari sisi keekonomian yang masih sanggup kita jalani, Jangan juga memaksakan diri, yang diistilahkan Abra baru sanggup beli tempe sudah dipaksa makan daging.

Di sisi lain, subdisi dan konpensasi listrik masih besar. Tahun ini konpensasi listrik 41,0 T dan subdisi 59,6T. Tahun depan, subdisi listrik diperkirakan 72,3T. Ini belum termasuk konpensasi. Kesimpulannya, pembiayaan listrik tidak lepas dari supposrt atau dukungan dari rakyat melalui APBN. Jangan sampai pemerintah mengatakan ini uang nagara. APBN adalah pajak rakyat, uang rakyat,” ujar Abra.

Dengan kata lain, meski saat ini tarif listrik kita termasuk yang murah di ASEAN, hanya 1.445, tetapi itu berkat dukungan rakyat. Di Filipina yang menerapkan liberalisasi listrik sudah mencapai 2.616. Hal ini menunjukkan liberalisasi listrik membuat harga listrik semakin mahal dan memberatkan rakyat.

Bahwa liberalisasi listrik harus dihindari, hal ini juga ditegaskan oleh Praktisi Hukum M. Fardian Hadistianto. Liberalisasi listrik bertentangan dengan konstitusi.

Fardian menyampaikan, listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam hal ini, kita harus memaknai penguasaan oleh negara dalam kaca mata konstitusi. Merujuk pada ketentuan dalam pertimbangan hukum ptusan MK No 001-021-0211/PUU-I/2002, di sana disebutkan. penguasaan negara berada dalam 5 dimensi: kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan. dan pengawasan. Kelimanya bersifat kumulatif, satu kesatuan. Tidak boleh diterapkan hanya salah satunya.

“Kalau kita bicara bagaimana listrik bisa dinikmati rakyat Indonesia, ada beberapa tahapan yang harus dilewati. Dimulai dari tahapan pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan ke konsumen. Maka penguasaan negara harus dalam semua tahapan tersebut. Tidak bisa dimaknai hanya di tahapan retail saja, atau transmisi saja. Semuanya dalah satu paket,” ujarnya.

Kemudian dia menegaskan, “Karena pengejawantahan penguasaan negara mengamanatkan penyediaan ketenagalistrikan tidak boleh bersifat unbandling atau terpisah-pisah.”

Dengan demikian, pembentukan holding sub-holding PLN berpotensi kuat bertentangan dengan UUD 1945. Karena akan menyebabkan praktek unbundling dan hilangnya pengusahaan negara dalam usaha penyediaan ketenagalistrikan karena kepemilikan Geothermal Co dan New Energy Co tidak dimiliki secara langsung oleh PT PLN sebagai BUMN yang ditugaskan untuk menyelenggarakan usaha ketenagalistrikan.

Selain itu, ketergantungan dengan pembangkit listrik tenaga uap dan energi baru terbarukan dalam usaha penyediaan ketenagalistrikan yang jika diterapkan konsep holding sub-holding menyebabkan Geothermal Co dan New Energy Co merupakan perusahaan murni swasta dan lepas dari penguasaan PT PLN sebagai pengejawantanhan negara di sektor ketenagalistrikan.

Sekretaris PSI Asia Tenggara Memberikan Selamat Atas Penandatanganan PKB di PT PLN Persero

Bro Ian Mariano, Sekretaris PSI Asia Tenggara mengirimkan ucapan selamat melalui pesan video kepada teman-teman SP PLN atas selesainya perundingan dan penandatangan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) mereka.

Dibawah ini terjemahan pesan video beliau dalam bahasa Indonesia.

Atas nama PSI-Kantor Asia Tenggara, Saya dengan tulus dan sepenuh hati mengucapkan SELAMAT!

Akhirnya, setelah sepuluh tahun SP PLN berhasil menegosiasikan dan menandatangani Perjanjian Kerja Bersama (PKB).


Saya ingin mengucapkan selamat kepada Bro Abrar Ali, Ketua Umum SP PLN dan tentu saja Bro Bintoro, Sekretari Jenderal SP PLN dan seluruh pimpinan unit kerja yang telah bekerja keras demi tercapainya tonggak penting dalam sejarah SP PLN.

Saya yakin semua di SP PLN memiliki peran penting dalam proses tercapainya kesepakatan ini.

Saya menyadari bahwa perjanjian ini sudah melalui perjalanan panjang, terjal, dan melelahkan. Saya juga yakin teman-teman di SP PLN telah berjuang dan menunggu dengan sabar, berusaha terus saling membantu mengkonsolidasikan seluruh serikat di dalam PLN. Dan saya yakin konsolidasi itulah yang membuka jalan bagi SP PLN untuk menjadi lebih kuat dan di saat yang sama membesarkan keanggotaan, untuk menguatkan posisi dan melalui PKB, memberikan anggota kondisi hidup dan kondisi kerja yang lebih baik dan mendorong serta melindungi hak-hak mereka.

Selama ini kita sudah berhasil dan saya tahu bahwa banyak di antara kita yang menunggu penuh harap kesepakatan dalam PKB ini.

PKB adalah alat fundamental bagi kita SERIKAT untuk mewujudkan tempat kerja dan kehidupan yang lebih baik.

Dengan demikian, saya ingin sekali lagi mengucapkan selamat kepada teman-teman semua atas keberhasilan usaha ini dan saya harap ini hanyalah permulaan dari perjuangan kita untuk mewujudkan layanan publik berkualitasn dan tetap berada di tangan publik.


Salam solidaritas!