Rundingkan PKB Periode 2022-2024, SP PJB: Pekerja dan Perusahaan Berkomitmen Menjadi Lebih Baik

Pengurus Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa-Bali (SP PJB) Dewanto Wicaksono menyampaikan, keberadaan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di PT Pembangkitan Jawa-Bali (PT PJB) sangat strategis dan penting. Dengan adanya PKB, posisi pihak pekerja dan pihak perusahaan menjadi semakin jelas. Itulah yang kemudian menjadi tumpuan bagi masing-masing pihak untuk saling bersinergi, demi kemajuan perusahaan dan kesejahteraan pekerja.  

“Di periode kemarin, misalnya. Perusahaan selalu mengajak kita berdiskusi ketika ada kebijakan baru yang hendak dikeluarkan. Semua surat keputusan atau aturan yang merupakan pelaksanaan dari PKB atau yang menyangkut karyawan selalu melibatkan serikat pekerja,” ujarnya. Dengan duduk bersama, berdiskusi untuk mengambil keputusan yang terbaik, boleh dibilang hubungan industrial menjadi lebih harmonis.

Itulah sebabnya, ketika di tahun ini periode PKB sudah habis, serikat dan perusahaan kembali duduk bersama untuk membahas perpanjangan PKB periode 2022 – 2024. Ketika PKB berhasil diperpanjang, dengan sendirinya hubungan yang selama ini terjalin dengan baik akan tetap terjaga.

Saat ini perundingan PKB periode 2022-2024 sudah memasuki tahap kedua. Sementara total keseluruhan, perundingan direncanakan melalui lima tahap. Dengan masing-masing tahap jeda selama dua pekan. “Kemarin tahap kedua diselenggarakan di Solo. Sebelumnya, tahap pertama diselanggarakan di Semarang. Tahap ketiga akan diselenggarakan di Jogja tanggal 21-23 September 2022,” katanya.

Disampaikan, saat ini isu yang menguat dalam PKB adalah memberikan perlindungan kepada pekerja atas dampak dari holding sub holding. Diharapkan, PKB bisa memberikan perlindungan kepada pekerja jika terjadi perubahan kebijakan bisnis di PLN. Terlebih lagi, saat ini PLN sedang menyusun Human Experience Management System (HXMS). Setidaknya PKB di PT PJB harus bisa mengantisipasi itu.

Hingga saat ini, masih ada beberapa pasal yang pending. Namun demikian, serikat pekerja optimis ini perundingan bisa diselesaikan. Apalagi antara pekerja dan perusahaan sebenarnya memiliki tujuan yang sama.  

“Kami paham, perusahaan ada keterbatasan. Terikat dengan kebijakan PLN. Tetapi selama tidak bertentangan dengan kebijakan di PLN, bisa diputuskan dengan cepat di PJB,” katanya.  

“Perundingan akan berjalan tiga tahap lagi. Awal Oktober direncanakan sudah selesai. Tetapi jika ternyata lebih cepat, itu lebih baik,” lanjutnya. Apalagi pasal-pasal yang sulit sudah terlewati, meski beberapa masih pending.

Menurut Dewanto, meskipun Pemerintah dan DPR sudah mengesahkan omnibus law UU Cipta Kerja yang banyak mereduksi kesejahteraan para pekerja, tetapi pihaknya sepakat tidak ada penurunan kualitas di dalam PKB. Prinsipnya tidak akan ada pengurangan kesejahteraan di dalam PKB yang akan dirundingkan. Bahkan PKB haruslah mengatur sesuatu yang lebih baik dari undang-undang dan/atau mengatur ketentuan yang tidak ada di dalam undang-undang.




SP PDAM Jakarta: Berakhirnya Kerjasama Mitra Swasta Jangan Merugikan Karyawan dan Pelanggan

“Berbuat untuk sebuah harapan, yang tidak lagi dikeluhkan, tetapi diperjuangkan.” Tulisan ini bisa dibaca dalam salah satu spanduk di dalam ruangan yang digunakan SP PDAM Jakarta untuk melakukan konsolidasi, Jum`at (9/9). Sebuah tulisan yang mengingatkan kepada semua yang hadir, bahwa perubahan tidak akan pernah bisa diwujudkan dengan hanya berpangku tangan. Perubahan harus diperjuangkan.

Konsolidasi itu sendiri terbilang istimewa. Diselenggarakan untuk merapatkan barisan guna menghadapi berakhirnya kerjasama mitra swasta pada tanggal 31 Januari 2023 nanti. Dihadiri hampir 50 orang perwakilan anggota, koordinator wilayah dan pengurus SP DPAM Jakarta.

“Saat kerjasama dengan mitra swasta dimulai, saat itu sekitar 4.000 orang karyawan masing-masing diberi surat tugas oleh PAM Jaya untuk diperbantukan di perusahaan mitra. Sekarang yang tersisa sekitar 260 orang. Oleh karena itu, di akhir kerjasama ini, kita meminta perusahaan tidak melihat keberadaan kita dengan sebelah mata,” ujar Ketua Umum SP PDAM Jakarta Abdul Somad memulai sambutannya.

Ketika kerjasama dengan mitra swasta dimulai pada tahun 1998, belum satu tahun, demo besar-besaran terjadi. para buruh menolak dan menentang kerjasama yang dilakukan pemerintah dengan pihak swasta. Dasarnya adalah konstitusi. UUD 1945. Tidak boleh pengelolaan air, yang notabene adalah kebutuhan publik, diserahkan kepada swasta.

Perjuangan itu berhasil, ketika pada tahun 2017 Mahkamah Agung menyetop swastanisasi air dan mengembalikan pengelolaan air minum ke Provinsi DKI Jakarta. Tetapi sayang, di tahun 2018, putusan PK menyatakan berbeda. Namun demikian, hak ini setidaknya membuktikan, bahwa serikat pekerja perjuang bukan semata untuk kepentingan pekerja. Tetapi juga mengawal konstitusi dengan menolak privatisasi.

Abdul Somad menyampaikan, selama ini SP PDAM Jakarta terus berjuang untuk memastikan para pekerja bisa mendapatkan hak-haknya. Ketika serikat pekerja melihat penilaian pangkat dan golongan yang tidak adil, serikat meminta penilaian ditinjau ulang. Berhasil. Karyawan yang tidak naik pangkat menjadi akhirnya bisa naik pangkat.

Ketika di tahun 2018 ada karyawan yang dipecat tidak hormat, SP PDAM Jakarta pun melakukan pembelaan. Akhirnya ketiga karyawan tersebut diberhentikan dengan hormat dan dipenuhi haknya, sampai dengan pensiun.

“Kami juga menyoroti perlakuan diskriminasi. Ketika karyawan PAM Jaya mendapatkan tunjangan kesejahteraan, sementara kami yang diperbantukan di mitra tidak mendapatkannya. Harusnya hak kita sama,” tegas Abdul Somad.

Perwakilan anggota dan pengurus yang hadir dalam konsolidasi ini menyepakati satu hal: bahwa di akhir kerjasama dengan mitra swasta ini perusahaan  tidak lagi melakukan diskriminasi. Ibaratnya, para karyawan yang dulu diperbantukan pada awal tahun 2023 nanti akan kembali pulang ke rumah sendiri. Oleh karena itu, tidak boleh ada lagi perlakuan yang berbeda. Bahkan harus diberikan semacam penghargaan, karena berhasil menjalankan tugas yang baik selama diperbantukan ke mitra swasta.

Sebagaimana yang disampaikan di awal, pada tahun 1998 ketika perjanjian kerjasama dimulai, jumlah yang diserahkan kepada mitra kurang lebih sebanyak 4.000 orang. Sementara itu, sekarang di akhir kerjasama tinggal 260 orang. Mereka adalah karyawan yang sudah menunjukkan dedikasi dan loyalitas tinggai kepada perusahaan. Kalau pun ada penghargaan yang diberikan, jumlahnya tidak banyak.

Konsolidasi juga menyepakati untuk terus meningkatkan kekompakan dan kebersamaan di antara sesama anggota. Semangat juang yang militan harus diperlihatkan. Sebab itulah modal serikat pekerja dalam berjuang.

“Perjuangan kita ke depan semakin berat. Dirut bisa berganti 13 kali, tetapi kita tetaplah karyawan,” tegasnya. Untuk itu, dalam proses pengakhiran kerjasama ini, karyawan tidak boleh ditinggal. Dalam prosesnya, harus dilibatkan.

Di tempat yang sama, Ketua Dewan Penasehat Hukum Anton Sihotang, SH menegaskan, bahwa serikat pekerja akan kuat kalau anggotanya mendukung. Tetapi kalau anggota hanya menunggu di tikungan, serikat tidak akan kuat.

“Hanya kita yang bisa mengubah nasib kita. Tidak mungkin orang luar,” tegasnya.

Anton berharap, ketika kerjasama dengan mitra swasta berakhir, kondisinya akan lebih baik. Dan untuk itu, adalah tugas kita bersama untuk berjuang guna memastikan agar perusahaan memuliakan karyawannya, juga memastikan bahwa layanan air untuk masyarakat semakin membaik dengan dikelola publik lagi.

Organized: the best way to fight against the violence and harassment at the workplace

“One of our strength to fight against violence and harassment at the workplace is by organizing ourselves in the union. By joining the union, we can sit equally with and have more strength to push the company to agree on the regulation related to women protection in the CBA,” Izzah Inzamliyah in her opening remark. She was the trainer of Training for Trainers for women leaders and activists under the theme of “ILO Convention 190 on Elimination of Violence and Harassment at the Workplace” organized by The Public Services  International (PSI) held in 5G Resort Cijeruk, Bogor, 29-31 August 2022.

Izzah continued by saying that when the CBA contains women’s protection, it will minimize gender-based violence. In turn, it will change the mindset of workers and employers, that every person has the right of a world free of violence and harassment.

Talking about violence and harassment, women are the most vulnerable object of violence in under employement relation. Women are considered to be weak creature, abide to, and dependent upon superiors or men.

“Women’s fear and weakness are the cause of violence in the employment relation. Therefore it is just right for women workers to be active in the unions. By joining the union, workers have the strength to fight against the violence and harassment at the workplace,” Izzah asserted the importance of organized workers in front of 20 women workers , the participants of the ToT. The participants came from SP PLN, SP PPIP, SP PJB, SP EE, dan SPICON+.

Indah Budiarti, the PSI Communications and Project Coordinator, added that this training is also about introduction to use the ILO Convention 190 toolkit. The toolkit is translated into Bahasa Indonesia by IndustriAll Indonesi project office so that it would be easier for participants and unions to design their own activities.

“PSI together with trade unions globally promote the ratification of this convention,” asserted Indah.

She hoped that with this training will be beneficial and encourage the campaign on local and national level. She also hped that the action plan produced in the training wold stimulate the participants and their unions to take a step to push the campaign for Convention 190 ratification in Indonesia.

There are many people who do not understand the real definition of gender-based violence. Therefore, many tolerate the gender-basd violence. Gender-based violence is violence that is aimed at specific gender. It is happen due the social/cultural/religious belief that is embedded to certain gender that result in violence or disproportionate treatment.

There are at least four important features to understand gender-based violence. They are (a) threat; (b) physical, verbal, social, and economic acts that are harmful and detrimental or there is a possibility of harm; (c) beyond one’s will; and (d) based on the social construction on “women” and “men”.

“Silence is not consent. We have to see whether there is a power relation invloved between the perpetrator and the victim. If the perpetrator holds a power over the victim, the victim tends to be silent,” she added.

The problem of power relation is also the root of gender-based violence. The socio-cultural  patriarchal belief that presume that women are in the position of non-importance, where the power rests on men (power relation), women are not decision makers, only complementing. Women’s role are in the domestic realm and reproduction only. Whe women enter the public sphere/employment, their income is secondary, as a compliment for their husbands’.

The adoption of the ILO Convention No. 190 and Recommendation No. 206 on Violence and Harassment in the world of work brings a new hope for us. We can say that the adoption of both instruments is a victory for the trade union and labour movement. The adoption of these instruments is the culmination of years of campaigning and lobbying by trade unions, and in particular women trade unionists, built on the narratives and experiences of discrimination and violence from women workers global. The convention is an instrument to recognizes the right of everyone to have the a working life free from  violence and harassment. For the first time ever internationally agreed the definition of violence and harassment in the world of wok, including the gender-based violence that is understood as “unwanted behavior and practices that is directed to, or result in, or possible to result in physical, psychological, sexual, or economic harm.” The definition covers everyone in this world, including person in training (interns and apprentices), and individuals exercising the authority, duties, or responsibilities of an employer, and includes public and private sector, informal and formal economies, and urban and rural areas.

As trade unions, we have an important role to play in ensuring this Convention and Recommendation do not just remain on paper but are transformed into action on local. Trade unions are leading local and global campaigns, calling for the ratification and effective implementation of C190 and R206, so that these standards are integrated into national legislation.

Berserikat. Cara Jitu Melawan Kekerasan dan Pelecehan di Tempat Kerja

“Salah satu kekuatan kita dalam melawan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja adalah dengan bergabung dalam serikat pekerja. Dengan berserikat, kita bisa duduk dalam status yang sama dan memiliki kekuatan untuk mendorong Perusahaan agar menuangkan aturan terkait perlindungan perempuan di dalam PKB,” demikian disampaikan Izzah Inzamliyah dalam Pelatihan untuk Pelatih bagi Pemimpin dan Aktivis Perempuan dengan tema “Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang diselenggarakan Public Service International (PSI) di 5G Resort Cijeruk, Bogor, 29-31 Agustus 2022.

Ketika perlindungan terhadap perempuan diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama, lanjut Izzah, diharapkan akan meminimalisir kekerasan berbasis gender. Pada gilirannya, hal ini akan mengubah cara berfikir para pekerja dan pengusaha, bahwa semua orang memiliki hak atas dunia yang bebas dari kekerasan dan pelecehan.

Bicara tentang kekerasan dan pelecehan, perempuan adalah objek yang paling rentan terhadap kekerasan dalam hubungan kerja. Perempuan dianggap makhluk yang lemah, tidak bisa melawan, dan merasa tergantung terhadap atasan atau laki laki.

“Ketakutan dan kelemahan perempuan itulah yang menjadi penyebab seringnya terjadi kekerasan dalam hubungan kerja. Karenanya, tepat sekali jika buruh perempuan harus terlibat aktif di dalam serikat pekerja. Dengan berserikat, pekerja memiliki kekuatan untuk melawan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja,” tegas Izzah di hadapan 21 orang pekerja perempuan yang merupakan peserta pelatihan yang berasal dari SP PLN, SP PPIP, SP PJB, SP EE, dan SP ICON.

Indah Budiarti selaku PSI Communications and Project Coordinator menambahkan, pelatihan ini juga mengenalkan bagaimana mengunakan ILO Toolkit Konvensi ILO 190. Toolkit ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh kantor IndustriAll proyek Indonesia sehingga memudahkan peserta dan nantinya serikat pekerja dalam merancang aktifitasnya sendiri.

“PSI secara global bersama serikat pekerja global unions lainnya mendorong pada ratifikasi konvensi ini,” tegas Indah.

Pihaknya berharap, melalui training yang diselenggarakan akan mendorong pada kampanye lokal dan nasional, melalui rencana aksi yang diskusikan bersama diharapkan para peserta bersama serikat pekerjanya mengambil langkah untuk mendukung kampanye ratifikasi Konvensi 190 di Indonesia.

Masih banyak yang belum memahami arti sesungguhnya dari kekerasan berbasis gender. Sehingga peristiwa ini seringkali ditolerir. Disampaikan, kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang ditujukan terhadap jenis kelamin tertentu. Terjadi karena adanya keyakinan sosial/budaya/agama yang dilekatkan terhadap jenis kelamin tertentu yang mengakibatkan kekerasan atau berakibat pada perlakuan yang tidak proporsional.

Setidaknya ada empat hal kunci terkait kekerasan berbasis gender. Meliputi: (a) adanya ancaman; (b) tindakan dalam bentuk fisik verbal, sosial, serta ekonomi membahayakan dan merugikan atau ada kemungkinan merugikan; (c) di luar kehendak seseorang; dan (d) berdasarkan konstruksi sosial tentang “perempuan” dan “laki- laki”.

“Diam tidak sama dengan setuju. Harus dilihat apakah ada relasi kuasa antara pelaku dan korban. Ketika yang melakukan memiliki kuasa, korban cenderung takut untuk bersuara,” ujarnya.

Persoalan relasi inilah yang juga menjadi akar masalah kekerasan berbasis gender. Keyakinan sosial/budaya patriartki yang menganggap perempuan berada di posisi tidak dianggap penting, kuasa ada pada laki-laki (relasi kuasa), bukan pengambil keputusan, pelengkap, khusus pada peran domestik dan seputar reproduksi saja, ketika masuk ke ruang publik/dunia kerja dianggap pencari nafkah tambahan, dsb.

Adopsi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) No. 190 dan Rekomendasi No. 206 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja membawa harapan baru bagi kita. Bisa dikatakan, lahirnya konvensi dan rekomendasi ini merupakan kemenangan bagi serikat pekerja dan gerakan buruh. Adopsi dari kedua instrumen ini merupakan titik kulminasi dari kampanye dan lobi selama bertahun-tahun yang dilakukan oleh serikat pekerja, dan khususnya para pemimpin serikat pekerja perempuan, yang dibangun di atas narasi dan pengalaman tentang diskriminasi dari perempuan di seluruh dunia.

Konvensi ini merupakan instrumen untuk mengafirmasi bahwa semua orang memiliki hak atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan. Konvensi ini juga memberikan definisi yang pertama kali disetujui secara internasional tentang kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, termasuk kekerasan berbasis gender, yang dipahami sebagai “berbagai perilaku dan prakti yang tidak bisa diterima” yang “bertujuan untuk, berakibat pada, atau kemungkinan besar akan berakibat pada luka atau kerugian fisik, psikologis, seksual atau ekonomi”. Definisi ini melindungi semua orang di dunia kerja, termasuk pekerja magang, dan orang-orang yang menjalankan tugas atau wewenang sebagai pemberi kerja, dan mencakup sektor publik maupun swasta, ekonomi informal maupun formal, dan wilayah perkotaan maupun pedesaan.

Sebagai serikat pekerja, kita memiliki peran penting dalam memastikan bahwa Konvensi dan Rekomendasi ini tidak hanya berada di atas kertas tetapi mengubahnya menjadi tindakan. Di tingkat lokal maupun global, serikat pekerja mendorong ratifikasi dan implementasi efektif Konvensi dan Rekomendasi tersebut sehingga standar yang berada di dalamnya terintegrasi ke dalam perundang-undangan nasional.

#RatifikasiKonvensiILO190

Serikat Pekerja Sektor Ketenagalistrikan dan Air Memulai Proyek untuk Memajukan Hak-Hak Pekerja

PSI/SASK menyelenggarakan pertemuan perencanaan dan workshop start-up dengan Serikat peserta proyek di Indonesia, pada tanggal 3 – 4 Agustus 2022 yang dihadiri serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan dan air Jakarta. Serikat pekerja sektor ketenagalistrikan yang hadir adalah Serikat Pekerja PLN (SP PLN), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), Serikat Pekerja Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB), Serikat Pekerja Elektronik Elektrik (SP EE), Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) dan Serikat Pekerja PDAM Jakarta (SP PDAM Jakarta).

Dalam pertemuan tersebut, SASK Regional Coordinator, Farizan Fajari menjelaskan proyek kerjasama antara PSI dan SASK ini bertujuan untuk memajukan hak-hak serikat pekerja. SASK merupakan singkatan dari Trade Union Solidarity Centre of Finland (SASK). Ini adalah serikat pekerja pekerja solidaritas yang ada di Finlandia.

“SASK berdiri tahun 1986. Salah satu isu yang kemudian melahirkan SASK adalah perjuangan apartheid di Afrika. Adapun partners SASK adalah serikat pekerja di negara berkembang: Afrika, Amerika Latin, Asia Tengah, dan Asia Tenggara,” kata Farizan.

Lebih lanjut dia menjelaskan, strategi SASK adalah meningkatkan decent work dan living wage. SASK juga menambahkan fokus perjuangan, seperti gender equality, just transition, dan digitalisasi. Dalam hal ini, PSI dan serikat pekerja sektor publik di Indonesia merupakan salah satu contoh, bagaimana serikat pekerja ikut berperan dalam memajukan isu just transition.

Farizan juga mengungkapkan keinginannya untuk menyambungkan kawan-kawan di Indonesia dengan serikat pekerja di Finlandia. Di sana serikat pekerja sudah maju. Dengan adanya pertemuan antara serikat pekerja di Finlandia dan Indonesia, diharapkan pekerja di Indonesia bisa belajar dari gerakan serikat pekerja di Finlandia.

Pohon Masalah

Dalam pertemuan ini, Indah Budiarti, PSI SEA Communications & Project Coordinator menjelaskan beberapa persoalan perburuhan yang terjadi, baik di Indonesia maupun di Filipina.

“Ada 4 pohon masalah yang ditemukan. Pertama, kapasitas internal serikat pekerja yang lemah. Kedua, lingkungan kerja yang buruk. Ketiga, keanggotaan serikat pekerja yang rendah. Dan keempat, kesadaran tentang kesetaraan dan perbedaan gender,” kata Indah.

Menurutnya, ada beberapa sebab mengapa kapasitas internal serikat pekerja lemah. Di antaranya adalah kapasitias pengurus serikat pekerja yang tidak kuat. Pemimpinnya kurang pengalaman atau kurang mendapatkan pelatihan. Sehingga serikat pekerja terfokus di pimpinan pusat. Sementara itu, di tingkat cabang dan tempat kerja tidak kuat. Akibatnya, proses kaderisasi tidak berjalan dengan baik.

“Berikutnya adalah tentang keterampilan membuat PKB yang masih rendah. Di beberapa perusahaan, PKB memang sudah ada. Tetapi kualitasnya tidak baik. Hal ini terjadi karena kemampuan untuk menegosiasikan PKB masih kurang memadai,” kata Indah Budiarti.

Terkait dengan lingkungan kerja yang buruk, ini bisa kita lihat dengan lahirnya omnibus law UU Cipta Kerja. Dengan lahirnya regulasi yang baru ini, penggunaan buruh outsourcing dan kontrak semakin merajalela.

Di Filipina, ada kebijakan anti terror. Di mana kebijakan ini menggangu aktivitas individu serikat pekerja. Karena aktivis buruh yang dianggap menganggu keamanan, bisa ditahan tanpa ada surat penahanan.

Berikutnya adalah muncul precarious work. Seperti buruh kontrak, outsourcing, harian. Ada banyak buruh yang tidak memiliki jaminan sosial. Mudah di PHK, kontrak kerja yang bebas. Hal ini membuat keamanan pekerjaan terganggu.

Permasalahan ketiga adalah keanggotaan serikat pekerja yang rendah. Banyak serikat pekerja tidak mampu meningkatkan jumlah anggota. Faktor internal, bisa jadi karena kurangnya organizer serikat. Sedangkan faktor eksternal, adanya union busting yang mempersulit serikat pekerja dalam mengorganizing. Pemberangusan serikat pekerja mempersulit langkah dan gerakan serikat. Kondisi ini juga disumbang dari rendahnya kesadaran berserikat di kalangan pekerja.

Ian Mariano, Sub-regional Secretary PSI Asia Tenggara juga hadir dalam pertemuan hari ke dua, dia menjelaskan persoalan kritis yang terjadi di Filipina, dengan maraknya tindakan pemerintah melakukan red tagging.

“Di masyarakat, khususnya di Filipina, masih ada yang menganggap mereka yang aktif di serikat ditandai (red tagging). Baik sebagai komunis atau teroris. Itu yang membuat banyak pekerja tidak tertarik dengan serikat,” katanya.

Masih banyak serikat belum mencapai keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan. Persoalan ini muncul karena ada banyak hambatan. Mulai dari persoalan kesempatan yang diberikan kepada perempuan. Termasuk peran ganda pekerja perempuan juga mempersulit mereka dalam berinteraksi atau aktif di dalam kegiatan serikat.

Setelah mencermati pohon masalah yang dijabarkan di atas, berikutnya Indah Budiarti selaku PSI Communications and Project Coordinator menjelaskan, bahwa projek ini akan berlangsung dari tahun 2022 sampai 2025.

Adapun hasil yang diharapkan, sampai dengan tahun 2025, serikat layanan publik menjadi serikat yang kuat dan mampu berhasil melindungi dan memajukan hak-hak serikat pekerja di Indonesia dan Filipina.

“Kemudian, dampak yang diharapkan, pada tahun 2030, serikat pekerja layanan publik di Indonesia dan Filipina bisa menjalankan hak politik, ekonomi, dan sosial sepenuhnya,” ujarnya.

Setidaknya ada 4 hal yang diharapkan:

Pertama, pengetahuan dan sumber daya yang digunakan untuk meningkatkan kapasitas serikat pekerja untuk bertindak, terlibat, dan mengambil tindakan atas persoalan hak-hak serikat pekerja.

Kedua, sampai dengan 2025, legislatif, eksekutif, dan influencer kunci mendukung dan menyetujui tindakan yang diajukan yang mendorong dan memajukan hak-hak serikat pekerja.

Ketiga, pada tahun 2025, keanggotaan serikat sektor layanan publik akan meningkat dan terkonsolidasi secara signifikan.

Sedangkan hasil keempat, pada tahun 2025, pemimpin perempuan yang berdaya mampu mengampil peran utama dalam memajukan hak-hak serikat pekerja dan mendorong tempat kerja yang bebas dari kekerasan.

Samsol, bersama kita kuat!

SERBUK PLTU Sumsel I Strike, A Struggle to Defend Workers’ Rights

Muara Enim – Tuesday (26/7), the strike at PLTU (Coal-Steam Power Plant) Sumatera Selatan (Sumsel) I today is officially started. Workers members of SERBUK PLTU Sumsel I stopped working after several negotiations between SERBUK Sumsel I with the Management of SGLPI, as the owner of PLTU Sumsel I, failed.

SERBUK PLTU Sumsel I demands the SGPLI management and its subcontractors to comply with applicable labour norms. The company pays its workers under the legal minimum wage, unilaterally terminate its workers, does not provide workers with annual leave, and no sufficient health facilitiies for the workers. The company also did not respond well for the demand of health facility.

SERBUK PLTU Sumsel I had held numerous negotiations, bipartite as well as tripartite negotiations. Even last negotiation, on Monday, involved many parties i.e. SERBUK PLTU Sumsel I, SGLPI management, local Labor office, the Police and also local government officials. And it was a deadlock! Therefore, there is no option left, to fight for the appropriated rights, the workers then decided to hold a strike, which is legal and guaranteed by law.

The strike is planned to last until August 1. As stated by the Chairperson of Regional Committee of SERBUK Sumsel, the workers decided to hold a strike as a result of management ignoring the workers’ demands. “If only the management complied with the law and regulation, we would not have to hold a strike,” said Tajudin expressing his disappointment due to the company’s unwillingness to fulfill workers’ demands.

The representative of SERBUK Executive Committee, Muhammad Husain Maulana, who was amongst the striking mass kept pumping up the spirit of the striking mass. “Comrades, we are on the right path. It is an obligation for us to fight for our rights. It is not just a tradition (sunnah). Once again, this is an obligation,” asserted Husain and the mass greeted it by shouting “long live the workers” repeatedly.

Representing the mass’ aspiration, SERBUK Sumsel I representative, Tajudin, said that there is still an open space for the management to do negotiation in order to avoid more loss on the company side. “We open the space for negotiation, so that this matter will not be dragged on. However, we are not going to negotiate our basic rights,” he asserted.

Union Questions the Regional Representative Council of Indonesia’s (DPD RI) motive on initiating the amendment to Law no. 21 of 2000 on Trade Union/Workers Union

The General Secretary of Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP), Andy Wijaya, questions the Regional Representative Council of Indonesia’s (hereafter, DPD RI) motive on initiating the amendment to Law no. 21 of 2000 on Trade Union/Workers Union. The DPD RI’s tasks as stated by the 1945 Constitution is to propose to the People’s Representative Council of Indonesia (hereafter, DPR RI) a bill related to regional autonomy, relation between national and regional government, formation, expansion, and unification of areas, natural resources management and other economic sources, and in relation to fiscal balance between central and regional governments. Andy Wijaya told this when he spoke in a Public Hearing with Commission III of DPD RI in relation to inventory on initiative bill drafting on amendment of Law No.21 of 2000, on Monday (20/6).

Further, Andy said, unions currently tend to focus on the Employment Creation Law that already amended some of the clauses in the Labor Law. The Constitutional Court found at least three constitutional violation and stated that the Employment Creation Law must be cancelled. In other words, the revision of Law No. 21 of 2000 is not an urgency.

Meanwhile, if the Law No. 21 of 2000 is to be revised, the unions thinks that it must be based on:

First, the number of trade union/workers union membership that tend to stagnate since the Reformation 1998 but on the other hand, the number of union, federation, and confederation increased.

“An information from satudata.kemnaker said that up to 2020 there are 3,256,025 unionized workers in 10,746 unions/16 Federations/6 Confederation. This number is not much different from the Reformation era and relatively very small compared to the number of formal workers in 2021 that is more than 50 million workers as showed by BPS’ data,” said Andy.

“Even in some cases, there are overlapped unions in terms of membership and sectors. Even there are some unions who have similar or exactly same logos and emblems or even same registration number,” he proceeded.

Andy also thought that in order to strengthen the function of unions, there needs to be acknowledgment that unions are legal entitites who can act on the name of the organizations legally as other legal entities.

Second, there are efforts to stop or prevent the formation or establishment of unions in a company. Unions are considered to be obstruction to the harmony between workers and the company.

Third, lack of support from the government to the development of unions function.

Another important point is that the rights to union must be initiated since the very first day of a worker works. Besides, the right to union must be aligned with the permit regime of company establishment. A company permit mus also include informing workers to union and facilitate union formation in addition to BPJS subscription for the workers. A company must also include human rights enforcement, such as freedom of association.

“There also needs to be a regulation on quality and exclusive CBA that will benefit the members of the union,” added Andy Wijaya.

Currently, CBA in a particular company is also applicable to non-union members. This can be seen as one of the reasons why union membership is decreasing as being members of unions are not a “privilege”. We should hold on to a contract principle, i.e. the agreement only applies on the parties who agrees. There have been several regulations on this matter i.e. Law No. 13 of 2003 on Labor and Minister of Labor Regulation No. 28 of 2014. However, the amendment of Law No. 21 of 2000 could assert that a function of union is to form a CBA that is only applicable to its members.

Unions also have interests in supporting company’s productivity and growth to create common welfare.

“Another thing is that we found many employers who refuse to help unions with union dues by using COS mechanism. Therefore, unions must collect dues mannually to each and every member. This should not have happened if companies/employers are obliged to facilitate the collection,” he added.

Meanwhile, in responding the proposal of amendment of some clauses of Law No. 21 of 2000, Andy highlighted article 4 that seems to be using conlict paradigm in the relation between unions and employers. Therefore, there needs to be the employers’ perspective added, not just the legal norms related to the function and objectives of union.

“The existing norms on implementation of union function should also be supported by sanction so that the law is enforced and more meaningful,” Andy asserted.

In relation to regulaiton on federation and confederation, Andy thought that there must be clear sector differentiation between one federation with the other. There are even unions whose membership is multi and cross business sectors.

“Therefore, we think that union federation needs to be returned to the sector where they function and their membership are. This will also impact the representation in the tripartite institution and other similar institutions. In terms of confederation, we think that there should only be a few, maybe 2 or 3. Confederation is the the top of hierarchy of unions,” he added.

We propose for a protection. The chapter is now on protection, development, and monitoring. There should be protection on implementation union function that are not carried out by their partners, i.e. the company.

There should be a regulation on labor offices so that those office would be more competent and capable in taking action needed to protect unions. For example, regulation on how labor office must respond to a complaint on alleged union function violation so that it would not be a conflict. And then labor office would take a decisive action and impose a sanction.

“In short, what we want to say is that the law must also regulate labor office so that they would be more competent and capable,” added Andy.

Another problem to be discussed further is related to intimidation and obstruction to union activities and how they can be measured. For example, the company is not willing to negotiated the CBA, refuse to cut workers’ wage for union dues using Check off system, and not willing to give dispensation for workers to participate in union activities.

According Andy, those real cases should be regulated in the article 28 that is added in the law and that has correlation to article 43 of Law No. 21 of 2000. In addition, the mechanism of implementation of article 43 must be clarified and emphasized. As well as the relation between labor office and the police.

“Even the Law could just order local police offices to create a special for labor issue so that any complaint or reports from workers on any criminal violation can be responded better,” Andy added.

Herewith position paper that presented by bro Andy Wijaya during the workshop, please click here (bahasa Indonesia)

Apakah Energy Transition Mechanism dan Green Climate Fund Pintu Masuk Privatisasi Sektor Kelistrikan?

Selasa, 26 April 2022, Public Services International (PSI) bersama dengan serikat pekerja di sektor kelistrikan mengadakan diskusi secara online dengan dua tema sekaligus, yaitu Energy Transition Mechanism (ETM) dan Green Climate Fund: Indonesian Geothermal. Dua narasumber utama dalam diskusi ini adalah Tom Reddington, Sekretaris Sub-regional PSI wilayah Oseania , dan Andy Wijaya, Sekretaris Jenderal Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP). Kegiatan melalu Zoom meeting ini dimoderatori oleh Budi Setianto, dari Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP. PLN Persero.)

Seperti yang kita ketahui bersama, 3 November 2021, bertepatan dengan diselenggarakannya Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) di Glasgow, Inggris, pemerintah Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, menandatangi kerja sama antara Indonesia dengan Bank Pembangunan Asia (ADB), terkait dengan studi kelayakan dan rancangan penerapan Energy Transition Mechanism (ETM). Indonesia dan Filipina adalah dua negara yang dijadikan pilot project untuk proyek ini.

PSI yang merupakan Federasi Serikat Pekerja Global di sektor publik, memiliki komitmen yang tinggi agar sektor-sektor publik tetap dikuasai oleh negara. Oleh karena itu, bersama dengan afiliasinya di Indonesia penting untuk mengetahui secara detail bagaimana sebenarnya konsep ETM dan Green Climate Fund: Indonesian Geotermal. Seperti yang dipaparkan Tom yang juga menjabat sebagai koordinator Asia Pasific PSI untuk Just Transition itu, seringkali proyek-proyek yang didanai oleh lembaga keuangan internasional, disertai oleh agenda Noeliberalisme. Dan transisi menuju energi baru terbarukan hanya menjadi kedok belaka. “Jangan sampai kita, Serikat Pekerja, kecolongan dengan agenda privatisasi di dalam ETM ini.” Tom mengingatkan.

Dalam pemaparan pemaparan Andy Wijaya, sepertinya kekhawatiran Tom menemukan konteksnya. Bahwa ETM adalah semacam tukar guling antara pembangkit-pembangkit PLN yang berbahan bakar fosil dengan investasi pembangunan pembangkit berbahan bakar EBT. Bung Andy juga menegaskan, Apakah kemudian pembangkit-pembangkit setelah diambil alih oleh ADB akan dimatikan? Sayangnya sekali tidak, pembangkit-pembangkit tersebut ternyata akan tetap beroperasi dengan dalih sebagai cadangan. “Di situ lah problematikanya. Pembangkit-pembangkit berbahan bakar fosil itu akan tetap memproduksi listrik, jika sebelumnya PLTU-PLTU tersebut dimiliki oleh negara, setelah ETM berjalan, pembangkit-pembangkit tersebut dikuasi oleh swasta. Dampaknya adalah kenaikan tarif dasar listrik, yang akan membebani masyarakat.” tegas Andy.

Terkait dengan Green Climate Fund: Indonesian Geotermal, Andy juga mengingatkan, berdasarkan kajian para ahli eksplorasi geotermal bukan tanpa dampak negatif. Setidaknya ada tiga dampak negatif dari eksplorasi panas bumi ini, yaitu fracking, gempabumi minor, dan pencemaran air. Artinya, masih perlu kajian yang komprehensif untuk memanfaatkan sumber energi ini.

Diskusi yang berlangsung kurang lebih dua jam ini juga menegaskan, bahwa PSI dan serikat pekerja sektor kelistrikan tidak anti EBT, justru sebaliknya, mereka mendorong transisi menuju green energy. Dan senantiasa mendukung komitmen pemerintah Indonesia demi mencapai target penurunan emisi maupun Net Zero Emission (netralitas karbon) yang ditargetkan akan tercapai di tahun 2060 atau lebih awal. PSI dan serikat pekerja di sektor kelistrikan hanya tidak menginginkan transisi menuju energi hijau ini hanya menjadi kedok belaka, yang tujuan sebenarnya adalah melakukan privatisasi energi listrik di Indonesia. Jika itu yang terjadi, PSI dan serikat pekerja di sektor kelistrikan akan berada di barisan terdepan untuk melakukan perlawanan demi melindungi kepentingan publik.

Situasi Terkini Ketenagakerjaan di Indonesia: Semakin Buruk

Kondisi perburuhan di Indonesia saat ini membuat buruh resah. Utamanya pasca kenaikan harga minyak goreng. Kenaikan ini sangat terasa imbasnya, karena secara umum kenaikan upah di Indonesia hanya 1,09%. Kenaikan upah tidak bisa menutup inflansi. Indikasi umumnya adalah, banyak buruh terjerat pinjol. Untuk kebutuhan pokok, mereka harus meminjam.

Demikian disampaikan  Hepi Nur Widiatmoko (Serbuk) dalam diskusi dan update tentang situasi terkini ketenagakerjaan di Indonesia. Kegiatan ini merupakan salah satu sesi dari rangkaian PCM Meeting 2022: Review dan Planning Serikat Pekerja Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia yang diselenggarakan di Bogor tanggal 18-19 April 2022.

“Buruh sudah melakukan aksi untuk memprotes kenaikan harga. Termasuk merespon situasi yang dihadapi ketika harga-harga terus naik, misalnya PHK. Harus diakui, PHK masih sering terjadi. Beberapa contoh, di basis Serbuk, ada 3 basis yang di PHK. Situasinya menjadi sangat sulit untuk di advokasi, karena pengusaha punya pegangan, yaitu PP 35/2021. Dengan PP 35, dia bisa memberi pesangon hanya 0,5 kali ketentuan,” katanya.

Situasi tersebut membuat gerakan buruh menjadi sangat dilematis. Banyak perusahaan memanfaatkan situasi pandemi untuk melakukan PHK. Ini dipermudah dengan lahirnya omnibus law. Undang-undang itu dimanfaatkan untuk mengubah status buruh menjadi karyawan kontrak atau outsourcing. Hubungan kerjanya menjadi sangat fleksibel.

Menurut Hepy, berkaitan dengan sikap politik pekerja, dalam konteks terlibat atau mempengaruhi pembuatan peraturan perundang-undangan. Teman-teman merasa perlu untuk terlibat di dalam politik atau membangun kembali Partai Buruh. Ini adalah upaya agar gerakan buruh terlibat dalam pembuatan kebijakan. Meski tantangannya juga tidak mudah.

Hal senada juga disampaikan oleh Slamet Riyadi, Sekretaris Umum SPEE-FSPMI. Menurutnya, selama ini, perjuangan buruh fokus pada kepastian upah, pekerjaan, dan jaminan sosial. Tetapi sayangnya, semakin ke sini, kondisi upah, pekerjaan, dan jaminan sosial tidak menjadi lebih baik.

“Perjuangan upah mencapai titik tertinggi di tahun 2012-2013. Di mana pada saat itu kenaikan upah minimum bisa mencapai 30%. Bahkan, Presiden SBY mengatakan selamat tinggal upah murah di Indonesia. Itu disampaikan dalam G20. Di sana disampaikan, upah murah bukan lagi menjadi iming-iming untuk menarik investor untuk masuk ke Indonesia,” kata Slamet.

“Setelah pergantian rezim, lahir PP 78/2015. Kalau tadinya pemerintah mengatakan selamat tinggal upah murah, sekarang menjadi selamat datang upah murah. Kondisi ini menyadarkan kita, kebijakan upah murah tergantung pada siapa yang memimpin. Partai mana yang menang. Kalau kebijakan negara tergantung siapa yang memimpin, setiap ada perubahan pemimpin, kebijakan negara juga akan berubah. Sehingga situasi perburuhan tidak akan stabil,” lanjutnya.

Setelah PP 78/2015, lahir UU 11/2020. Dengan regulasi ini, semua kesejahteraan buruh turun. Tidak ada lagi kepastian kerja. Kontrak kerja dan outsourcing semakin fleksibel. Upah semakin turun. Dengan adanya rumusan upah sudah ditentukan, bahkan upah minimum sektoral tidak ada lagi. Praktis, sejak lahirnya UU 11/2020, praktis upah murah sudah nyata. Banyak daerah yang tidak mengalami kenaikan. Padahal kebutuhan pokok kenaikannya cukup drastis.

Apa yang disampaikan Slamet dibenarkan oleh Rita Olivia Tambunan, Consultant dari FNV Mondiaal, yang secara spesifik menguliti isi omnibus law. Menurutnya, omnibus law sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2019. Saat itu yang dibicarakan adalah terkait dengan revisi ketenagakerjaan. Beberapa hal yang disoroti adalah terkait dengan produktivitas, menurunnya angka investasi langsung, kemudian desentralisasi.

Di tahun 2021, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menjelaskan, setidaknya ada 4 alasan mengapa omnibus law akhirnya dibuat. Mengatasi obesitas regulasi, jumlah pengangguran mencapai 7 juta orang, tingkat kompetisi bisnis yang rendah, dan mendorong transformasi terhadap kurang lebih 64.2 juta unit UMKM informal menjadi formal.

“Jika kita perhatikan, tujuan dari dibentuknya omnibus law sangat baik. Kita setuju jika persoalan-persoalan di atas diselesaikan. Tetapi masalahnya, omnibus law justru tidak menjawab hal tersebut,” kata Rita.

Menurut Rita, dalam kaitan dengan itu, setidaknya ada 3 dampak yang ditimbulkan oleh omnibus law. Pertama, adanya dikotomi yang keras untuk mendapat kerja dan hak dalam pekerjaan. Ini masalah yang besar. Dalam HAM, hak untuk mendapat kerja dan hak dalam pekerjaan tidak bisa dibenturin. Tetapi dalam omnibus law justru dibentukan. Akhirnya orang bersaing satu dengan yang lain.

Kedua, omnibus law menciptakan formalisasi UMKM dengan status buruh. Dalam hal ini, pengakuan status UMKM tidak berbanding lurus dengan pengakuan hak atas buruh yang bekerja di sektor UMKM. Kemudian, kemudahan pembentukan UMKM dan sejumlah fasilitas yang diberikan (one-stop-service, Pph, dll), adanya pengecualian hak perburuhan bagi buruh UMKM, dan coverage penerima manfaat jaminan sosial nasional, seperti BPJS TK, BPJS Keseharan, dan JKP.

Ketiga, kerentanan hak kebebasan berserikat dan berunding secara kolektik. Ini memang tidak disebut langsung. Tetapi yang muncul pertama, lokalisasi buruh di tingat perusahaan. Kalau mendirikan serikat buruh, juga harus didirikan di tingkat perusahaan, di mana kita bekerja. Dampak tidak langsungnya adalah, omnibus law sedikit demi sedikit mendegradasi serikat buruh untuk berunding.

“Namun demikian, ada sejumlah kesempatan yang bisa kita optimalkan agar nasib buruh tidak semakin terpuruk,” Rita memberikan harapan.

Misalnya, yang harus dilakukan dengan serial reformasi transformative, dengan merevitalisasi kekuatan SB perlu menjadi prioritas, yakni pengorganisasian. Kemudian. perluasan ruang negosiasi menggunakan sejumlah diskursus baru, seperti multi-Stakeholder Partnership, B&HR.

“Selain itu, terlibat aktif mengubah paradigma legal-formal eksistensi serikat buruh dan perluasan konsolidasi baik melalui lintas-sektor mau pun konsolidasi pakta sosial dengan menemukan sejumlah usulan- usulan populer. Misalnya, isu perempuan dalam state feminism, Flexicurity, hingga just transition,” pungkasnya.

Pertemuan ini sesi ini ditutup dengan membawa beberapa rekomendasi kegiatan dan aksi guna menguatkan posisi serikat di sektor ketenagalistrikan terkait isu-isu yang muncul. Termasuk tindak lanjut serikat terkait RUU Revisi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk kepentingan UU Cipta Kerja No 11/2020 dan rencana revisi UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Energi Hijau dan Terbarukan: Antara Kepentingan Pekerja, Keberlangsungan Perusahaan, dan Harga Listrik yang Terjangkau untuk Rakyat

Ketika berbicara mengenai energi hijau pasti akan persinggungan dengan privatisasi. Ketika privatisasi terjadi, kepemilikan perusahaan akan bergeser. Harga energi pun menjadi semakin mahal. Itulah sebabnya, banyak kebijakan yang harus dikritisi dan dilihat lagi oleh serikat pekerja, di mana isu perburuhan harus menjadi prioritas. Demikian disampaikan Sub-Regional Secretary Asia Tenggara Ian Mariano dalam pengantar forum energi hijau dan terbarukan yang diselenggarakan di Bali, 13 Oktober 2021.

Lebih lanjut Ian menegaskan, forum ini akan mempertimbangkan perkembangan baru ini di Indonesia dan negara berkembang, serta berusaha mempengaruhi arah energi terbarukan di masing-masing negara.

“Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat penting dalam transisi berkeadilan dalam hal energi terbarukan,” ujarnya.

“Masa depan energi di Indonesia harus dilihat dan diletakkan dalam perubahan konstitusi di Indonesia. Intinya, layanan publik harus dikendalikan dan dimiliki oleh publik,” dia menegaskan.

Hal senada juga disampaikan SASK Coordinator Representative untuk wilayah Asia Tenggara, Farizan Fajar. “Dari persepsi SASK, kami menganggap isu ini sangat sentral yang perlu diangkat. Sejalan dengan strategi SASK, transisi berkeadilan merupakan satu dari tiga isu prioritas selain gender equality dan feature of work,” ujar Farizan melalui Zoom.

Lebih lanjut Farizan menyampaikan, input dan hasil diskusi tidak hanya bermanfaat sebagai pemetaan awal yang terkait dengan negara tempat SASK melakukan kerjasama, namun juga bagian dari serikat pekerja untuk mengangkat isu penting ini ke permukaan.

Perjuangan SP PLN Group: Historis, Yuridis, dan Solidaritas

Saat memberikan pesan utama terkait  kebijakan dan posisi serikat pekerja terhadap masa depan energi untuk publik, Ketua Umum SP PLN M Abrar Ali menyampaikan tiga pendekatan, yakni hostoris, yuridis, dan solidaritas.

Menurut Abrar, SP PLN mewarisi sebuah sektor yang sangat strategis bagi bangsa dan negara, yaitu sektor ketenagalistrikan.

“Dulu kita merebut perusahaan listrik dari Belanda untuk kemudian diserahkan ke Indonesia, agar bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Mengapa hal ini kita lakukan? Sebab, dulu listrik hanya dinimati orang-orang kaya,” ujarnya.

Secara yuridis atau hukum, serikat pekerja diamanahi oleh konstitusi, yakni Pasal 33 UUD 1945. Disebutkan di sana, bahwa cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Disampaikan Abrar, di sini, peran dari serikat pekerja tidak hanya bagaimana meningkatkan kesejahteraan anggota dengan memperjuangkan, membela, dan melindungi hak dan kepenitngan anggota; tetapi juga menjaga kepentingan bangsa dan negara.

“Bagi SP PLN Group, menjaga kepentingan bangsa dan negara bukan sekedar slogan. Ini pernah kita lakukan, dengan memenangkan upaya privatiasi melalui judicial review UU UU 20/2002 yang kemudian dibatalkan pada tahun 2004. Kemudian lahir UU 30/2009, yang juga kita uji di Mahkamah Konstitusi. Memang tidak dibatalkan, tetapi kemudian ditetapkan bersyarat,” tegasnya.

Sedangkan dari sisi solidaritas, lanjutnya, saat ini kita mulai membangun solidaritas dan komunikasi yang intens, baik sesama perusahaan di PLN Group maupun dengan elemen yang lain.

Ke depan, di samping menkonsolidasikan internal, kita juga menyusun arah perjuangan kita. Saat ini adalah generasi yang beda dengan mereka yang dulu melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, kita harus memberikan pemahaman yang lebih ekstra terhadap generasi yang sekarang tentang pentingnya melawan privatisasi. Salah satu yang diwacanakan tetapi belum terjadi adalah membuat buku putih perjuangan SP PLN.

Temuan Kunci Hasil Riset

Masih dalam forum energi hijau dan terbarukan, Diana Gultom dan Suriadi Darmoko dari DebtWatch Indonesia memaparkan hasil riset tentang Negara dan Masa Depan Energi bagi Publik, Energi Terbarukan, dan Transisi yang Adil.

Dalam riset yang dilakukan pada bulan Oktober dan berakhir November 2020 ini berfokus dalam tiga hal. Energi energi baru terbarukan, dekarbonisasi, dan potensi kerjasama antara serikat pekerja dengan LSM lingkungan.

Ada beberapa temuan kunci yang dihasilkan dalam riset ini. Untuk energi terbarukan, ternyata kita menemukan ada ketergantungan terhadap energi fosil. Selain itu, mengenai peran negara terkait eneri terbarukan, lalu bagaimana ada distribusi yang adil, dan peran swasta dalam energi baru terbarukan.

Terkait dengan dekarbonisasi, temuan kuncinya adalah adanya dekarbonisasi yang semu (misleading decarbonization), lalu bagaimana implementasi agenda energi terbarukan, dan bagaimana skenario agenda dekarbonisasi.

Sementara temuan kunci terkait dengan serikat pekerja sektor ketenagalistrikan dan jejaringnya adalah terkait dengan bagaimana kekuatan pengalaman serikat pekerja dan peran LSM yang bergerak di sektor ketenagalistrikan.

Disampaikan, potensi energi terbarukan di Indonesia, yang terbesar adalah energi surya, yakni 207.898 MW atau 46,9%. Kemudian ada air sebesar 75.091 MW atau 16.9%, angin sebesar 60.647 MW atau 13.7%, bioenergi sebesar 32.654 MW atau 7,4%, panas bumi sebesar 29,544 MW  atau 6,7%, laut sebesar 17.989 MW atau 4,1%, Mini dan Mikro Hidro sebesar 4,4%

“Kalau kita melihat realisasi dari energi terbarukan di Indonesia, potensinya adalah 443.208 MW. Sampai pertengahan tahun 2020 kemarin, realisasi penggunaannya adalah 10.426 MW. Target di tahun 2025 adalah 45.153,2 MW dan tahun 2050 adalah 167.646 MW,” kata Suriadi yang memparkan hasil penelitiannya bergantian dengan Diana.

Penelitian ini juga menguak tentang dekarbonisasi yang semu. “Kalau kita lihat, target tahun 2025 ketersediaan listrik adalah 115 GW. Di tahun 2050 menjadi 430 GW. Ini kebijakan energi nasional yang tidak berubah sampai sekarang. Tetapi kalau kita melihat agenda dekarbonisasi, kalau tidak beralih sumber energinya, maka harusnya baurannya dinaikkan. Tetapi ketika kita lihat data pemerintah, trend penggunaan batubaranya justru terus meningkat. Bahkan energi bari terbarukan prosentasenya terus menurun, sebaliknya trend penggunaan baturabara jauh melampui penggunaan energi terbarukan,” jelas Diana.

Untuk mendorong semua itu, Diana menyampaikan, ada beberapa LSM lingkungan yang bisa kita ajak berkolaborasi. Mereka cukup aktif, baik dalam level kampannye atau membuat analisanya. Beberapa di antaranya adalah Institute for Essential Services Reform (IESR), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Greenpeace, Koaksi Indonesia, Koalisi Bersihkan Indonesia.

Dalam hal Energi Baru Terbarukan, rekomendasinya adalah; roadmap PLN untuk Energi Terbarukan dibangun bersama antara Pemerintah dan SP (termasuk skema perburuhan yang terkait langsung dengan keahlian dan teknologinya). Hal ini juga seharusnya mendorong fungsi PLN sebagai tangan Negara dalam memenuhi kebutuhan listrik warga negaranya. Political will pemerintah untuk mengembalikan fungsi PKUK PLN sebagaimana mandat Pasal 33 UUD 1945.

Sedangkan rekomendasi untuk dekarbonisasi, perlu ada political will yang kuat dari pemerintah untuk menurunkan penggunaan batu bara baik untuk keperluan ekspor maupun konsumsi dalam negeri. Mendorong PLN untuk memprioritaskan sumber listrik berbasis non fosil, mendorong swasta- terutama skala kecil dan berbasis lokal- untuk berpartisipasi membangun energi terbarukan, serta tidak mengeluarkan izin baru untuk pertambangan batu bara. Menghitung tren kelebihan pasokan (trend over supply) dan tren konsumsi yang menurun karena efisiensi alat listrik, sehingga perencanaan bisa lebih fokus kepada pemenuhan energi pada Energi Terbarukan dan tidak lagi membangun PLTU baru.

Sedangkan rekomendasi untuk Serikat Pekerja Ketenagalistrikan, perlu membuat RUEN tandingan yang sungguh-sungguh memperhatikan roadmap meningkatnya penggunaan energi terbarukan.

Namun demikian, yang terpenting dari itu semua adalah, bagaimana kita mendorong agar negara memberikan perlindungan kita sendiri terhadap keamanan kerja kita. Termasuk keamanan usaha, karena dari awal kita menyatakan sebagai pengawal konstitusi. Jangan sampai mengubah kepemilikan usaha. Apakah kepemilikan itu masih menjadi usaha publik, milik PLN atau kemudian berubah menjadi milik swasta. Termasuk di dalamnya adalah berbicara soal tarif yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Srategi dan Aksi

Dalam kesempatan ini, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyampaikan, ada empat fraktor yang mendorong transisi energi. Pertama, urgensi mengatasi krisis akibat pemanasan global dan perubahan iklim. Di mana krisis iklim ini akan berdampak pada ekomomi, sosial, dll. Kedua, kebijakan negara-negara untuk memangkas emisi gas rumah kaca dan mencapai dekarbonisasi. Ini menjadi penting, karena 70% emisi gas rumah kaca dihasilkan dari pembakaran energi fosil. Ketiga, perkembangan teknologi energi non-fossil dan energy storage yang semakin kompetitif. Keempat, saat ini juga terjadi preferensi konsumen dan investor/pelaku usaha terhadap energi bersih (ESG). Saat ini, Cina mengatakan tidak akan lagi mendani priyek batubara di luar China. Kita tahu, dalam 20 tahun terakhir, China adalah sumber pembiayaan PLTU di Indonesia.

“Itu juga yang merubah pengguna listrik untuk memilih energi baru terbarukan dan tidak lagi menggunakan energi fosil. Beberapa faktor ini membuat transisi energi menjadi sangat penting. Untuk menghindari krisis akibat perubahan iklim, harus menurunkan emisi gas rumah kaca,” katanya.

Dalam rangka untuk mengatasi perubahan iklim tersebut. Negara-negara membuat kebijakan. Salah satunya yang saya ambil contoh adalah Uni Eropa, yang bulan Juni lalu mengumumkan seiring dari upaya mereka untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca 55% di tahun 2030 dari tahun 2025. Uni Eropa akan menerapan yang namanya carbon boder tax. Artinya, barang-barang yang masuk ke Uni Eropa yang diimpor dari negara lain, itu akan dihitung konten dari karbonnya. Berdasarkan itulah, Uni Eropa akan mengenakan pajak.

Dengan demikian, kalau produk yang kita ekspor ke luar negeri memiliki kandungan karbon yang tinggi, maka tidak lagi kompetitif karena harganya akan lebih mahal. Menjadi sangat penting, karena sumber emisi yang dihitung untuk setiap barang dan jasa yang di ekspor, itu adalah berasal dari pembangkitan tenaga listrik. Jadi listrik punya peran dalam konteks untuk mengatasi perubahan iklim.

Peta jalan yang dijalan oleh international energi agency, kalau kita ingin mencapai zero emission di 2050 itu seperti apa. Rekomendasinya, setelah 2021 tidak boleh ada satu pun tambahan listrik tenaga uap baru. Kemudian jangan ada lagi pembukaan tambang batubara dan minyak dan gas. Lalu pada tahun 2025 tidak boleh ada penjualan fosil full boilers. Ini adalah contoh yang direkomendasikan oleh IEA, dalam rangka mencapai net zero emission di 2050.

Konsekwensi dari rekomendasi ini, produksi dari tambang batubara tidak boleh lagi diperluas. Demikian juga produksi dari minyak dan gas. Jadi di era transisi ini, diperkirakan dari energi fosil itu akan semakin turun. Dan ini adalah konsekwensi dari kita ingin menyelamatkan bumi dari ancaman krisis iklim.

Bagaimana dengan Indonesia? Dengan kondisi hari ini, 92% dari 300 GW PLTU Batubara yang sedang dan akan dibangun di China, India, Jepang, Vietnam dan Indonesia akan menjadi tidak ekonomis, dan $150 miliar investasi akan sia-sia.  Bisa kita lihat, 27% kapasitas PLTU yang beroperasi saat ini di 5 negara tersebut tidak menguntungkan dan 30% dalam kondisi breakeven, dengan margin $5/MWh. Pada 2026 seluruh kapasitas PLTU Global akan lebih mahal dioperasikan ketimbang membangun pembangkit energi terbarukan yang baru. Sedangkan 52% kapasitas PLTU di seluruh dunia tidak menguntungkandi 2030 , dan akan naik jadi 77% di 2040. Di sisi lain, potensi stranded asset dari 22,8 GW PLTU milik PLN diperkirakan mencapai $15,4 miliar. Kalau kita menjalankan PLTU lebih lama, itu akan lebih mahal.

Sementara itu, PLN sudah punya rencana mulai melakukan retirement PLTU batubara menuju carbon neutral 2060. Ada dua scenario. Yang pertama, replacement untuk PLT dimulai pada 2025 rencananya adalah mengganti PLTU dengan PLTMG dengan PLT EBT Baseload 1,1 GW dan ini masuk dalam RUPTL, kemudian 2030 retirement subcritical tahan pertama (1GW) menyusul 9 GW di 2035 dan terus sampai terakhir di 2055.

Tetapi ada juga sckenario kedua, bahwa pembangkit yang subcritical dan critical itu akan dilengkapi denan CCUS. Jadi PLN tidak harus mempensiunkan PLTU nya tetapi ditambah dengan CCUS. Konsekwensi apa kalau ditambah dengan CCUS, menurut saya, CCUS ini belum bisa menurunkan 100% emisi gas rumah kaca. Kemudian akan ada tambahan biaya investasi. Ini menjadi penting, siapa yang akan berinvestasi.

Kesimpulannya, kata Fabby, sejak 2015 dengan disepakatinya Persetujuan Paris (Paris Agreement), seluruh dunia sedang berupaya mengatasi ancaman krisis iklim dengan melakukan penurunan intensitas emisi GRK dan transisi energi.

Opsi transisi energi yang low hanging fruit ada di sektor kelistrikan, dengan phase out/phase down PLTU. Kondisi ini didukung dengan perkembangan yang cepat teknologi energi terbarukan, energy storage system, tekanan dari investor global dan lembaga finansial, shareholder, serta preferensi konsumen energi, serta aturan -aturan ESG yang semakin ketat.

Keterdesakan untuk melakukan transisi energi di sektor kelistrikan akan berdampak pada permintaan batubara global (yang menjadi tujuan ekspor BB Indonesia) dan batubara untuk pembangkit listrik, yang menghadapi pilihan opportunity lost dan potensi stranded asset jika tidak mengoptimalkan bauran pembangkit energi terbarukan yang harganya semakin kompetitif.

PLN memerlukan rencana transisi menuju “modern public utility” dan menghindari effect utility death spiral, dengan fokus: 1) mengganti asset pembangkit thermal dengan aset renewable & storage; 2) investasi pada teknologi maju: smartgrid, V2G, VPP, DERs; Power Wheeling; 3) perubahan business model; 4) mengoptimalkan revenue dari asset non listrik, dsb.

Catatan dan Kesimpulan

Di akhir acara, Sekretaris Jenderal PP Indonesia Power Andy Wijaya ketika menyampaikan catatan dan kesimpulan menyampaikan, dalam roadmap transisi energi Indonesia menuju net zero emission pada 2060 dari Kementerian ESDM, negara sudah menbuat blue print untuk penurunan emisi, salah satunya pengurangan energi fosil

“Roadmap menuju net zero emission sudah diperlihatkan oleh bung Fabby, tapi ini versi dari kementerian ESDM,” kata Andy. Di dalam RUPTL 2021-2030 Indonesia itu menyaratkan EBT, porsinya sekitar 51% dari ketenagalistrikan di Indonesia. 51% itu berapa MW? Data yang sekarang, per April 2021 memiliki 72.889 MW di mana 13,55% adalah EBT dan sisanya dari fosil. Porsinya masig 86,45%.

Di RUPTL dari 2021-2030, yang sekarang 13,55 dengan 86,45 akan dibalik menjadi 51% dan bawahnya akan menjadi 49%. Memang kalau kita lihat bauran energi yang sekarang, kalau kita bilang kerja keras sudah lebih baik. Kalau saya mengatakan, itu mustahil. Kenapa? Karena ini belum termasuk program 35.000 MW yang total dari fosil.

“72.889 ini sudah mencakup 10.000 MW dari 35.000. Artinya dari data 2021, masih ada sebesar 25.751 MW fosil yang belum masuk. Dan itu akan masuk dalam 2-3 tahun ke depan. Kalau kita anggap tanpa penambahan apa-apa selain dari 35.000 MW, yang tadi Mas Fabby sudah mengatakan stop pembangunan, tapi ini kan sudah ada kontrak, artinya akan jalan terus.”

PLTU yang ditandatangani dan diizinkan terakhir di Indonesia, adalah PLTU 9-10. Itu terakhir, dalam rangkaian 35 GW. Dengan masuknya 25.751, dari data yang saya buat, itu nanti kalau 3 tahun 2024 itu EBT hanya tersebua 10,5%. Fosil 89,3%. Tadi saja yang cuma 86,35% itu saya bilang mustahil. Apalagi ini, yang 89 sama 10. Apakah bisa, bisa? Caranya seluruh PLTU dan pembangkit fosil punya PLN dimatikan. Tanpa itu, tidak akan berhasilan bauran energi hingga 2030.

Kami mendukung energi hijau, yang berkeadilan. Bukan hanya dari sisi lingkungan, tetapi juga harga. Sekarang kalau kami dipaksa menghasilkan harga listrik yang mahal, bagaimana kami harus bersikap?

Bahkan ada sebuah data yang menyebutkan, emisi di Indonesia paling kecil, karena kita punya paru-paru dunia. Hutan kita masih lebat. Tetapi sayangnya, kita digambarkan sebagai masyarakat luar, kita pro energi kotor.

Menjawab apakah energi yang baru sebanding dengan pekerjaan yang hilang. Sebagai perbandingan, PLTS di Cirata yang 145 MW diperkirakan pegawainya hanya 10 orang. Sedangkan untuk PLTU, dibutuh 500 orang.

“Bayangkan, berapa ratus orang yang akan kehilangan pekerjaan jika ini diterapkan?” Tegas  Andy. Karenanya, hal ini harus menjadi perhatian bersama bagi serikat pekerja.