PP IP Pertanyakan Motif DPD RI Inisiasi Revisi UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Sekretaris Jenderal Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP) Andy Wijaya mempertanyakan motif DPD RI berinisatif terhadap isu perubahan UU SP/SB? Apalagi tugas DPD seperti yang tertera pada UUD 1945 adalah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini disampaikan Andy Wijaya saat diundang sebagai Narasumber dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komite III DPD RI terkait dengan inventarisasi berkenaan dengan penyusunan RUU Inisiatif tentang Perubahan UU No 21 Tahun 2000, Senin (20/6).

Terlebih lagi, kata Andy, saat ini serikat pekerja lebih condong untuk mengawal agar UU Cipta Kerja yang mengubah sebagian UU Ketenagakerjaan. Di mana ditemukan adanya setidaknya 3 (tiga) pelanggaran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi agar dibatalkan. Dengan kata lain, revisi UU No 21 Tahun 2000 bukankah sesuatu yang mendesak untuk dilakukan.

Sementara itu, jika UU No 21 Tahun 2000 hendak direvisi, PP IP yang berafiliasi dengan Public Service International (PSI), dan beraliansi dengan Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS), dan Global Union Federation (GUF) Indonesia, berpandangan harus didasari setidaknya hal-hal berikut:

Pertama, jumlah keanggotaan SP/SB yang cenderung tidak bertambah sejak reformasi 1998 namun jumlah SP/Federasi/Konfederasi yang semakin besar.

“Informasi dari satudata.kemenaker yang kami dapatkan, hingga tahun 2020 terdapat 3.256.025 pekerja yang tergabung berorganisasi SP yang masuk kedalam 10.746 SP/16 Federasi/6 Konfederasi. Jumlah ini cenderung tidak banyak berbeda sejak era reformasi dan jauh dari jumlah pekerja formil yang ada menurut Data BPS tahun 2021 yang mencapai lebih dari 50 juta pekerja,” kata Andy.

“Bahkan dalam beberapa hal, keberadaan SP selain ditemukan tumpang tindih sektoral keanggotaan satu dengan lainnya. beberapa SP/SB diduga terdapat logo dan lambang yang sama atau mungkin nomor bukti pencatatan yang sama,” lanjutnya.

Andy juga berpandangan, penguatan fungsi SP/SB juga perlu didukung dengan menyatakan dengan tetas SP/SB adalah badan hukum yang diakui dan dapat bertindak atas nama organisasi dalam berbagai hal yang menurut hukum juga dapat dilakukan oelh badan hukum pada umumnya.

Hal kedua yang harus diperhatikan adalah adanya anti pembentukan SP/SB di suatu perusahaan. Karena SP/SB dianggap akan menggangu harmonisasi antara pekerja dengan pengusaha.

Ketiga, kurangnya dorongan dari pemerintah terhadap perkembangan fungsi SP/SB.

Hal lain yang perlu diperhatikan, hak berserikat perlu diinisasi sejak awal pekerja bekerja. Selain itu, hak berserikat perlu diselaraskan dengan rezim perizinan pembentukan perusahaan. Bukan hanya kewajiban kepesertaan BPJS, kewajiban untuk memfasilitasi pembentukan SP atau menginfokan pekerja untuk ber SP atau tidak juga sejak awal secara regulatif masuk kedalam sistem perizinan perusahaan yang juga memasukan isu penegakan HAM seperti kebebasan berserikat.

“Perlu juga diatur, bahwa pembentukan PKB yang berkualitas dan ekslusif hanya bermanfaat bagi anggota serikat pekerja,” kata Andy Wijaya.

Hal ini, karena, PKB yang saat ini juga berlaku bagi non anggota SP disatu perusahaan tak dapat dibantah menajdi salah satu pemicu kian berkurangnya keanggotaan SP karena Ber SP menjadi “tidak istimewa’ Oleh Karena itu, sebagaimana asas perjanjian pada umumnya, haruslah hanya mengikat pada pihak yang membuatnya. Memang secara regulatif, ketentuan ini selama ini ada diatur dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Permenaker No 28 tahaun 2014, namun perubahan UU SP/SB dapat menegaskan salah satu fungsi SP/SB adalah membentuk PKB yang hanya berlaku bagi anggotanya.

Serikat Pekerja jyuga berkepentingan untuk mendukung upaya produktivitas kerja dan mampu meningkatakan pertumbuhan perusahaan guna mewujudkan peningkatan kesejahtaran bersama

“Hal lain yakni temuan banyak pemberi kerja yang enggan membantu iuran SP dengan menggunkana mechanism COS, sehingga SP harus satu persatu secara manual meminta iuran anggota. Hal ini seharusnya tidak terjadi manakala perusahaan diwajibkan untuk memfasilitasinya,” ujarnya.

Sementara itu, menanggapi usulan perubahan dalam beberapa pasal dalam UU SP/SB, Andy menyoroti perubahan pasal 4 yang mengesankan terjadinya paradigma konflik dalam relasi SP dengan pemberi kerja. Oleh karena itu, perlu kiranya dilihat dari perspektif pemberi kerja itu sendiri juga, bukan sekedar dari norma-norma hukum terkait fungsi dan tujuan SP.

“Norma-norma yang ada dalam pelaksanaan fungsi-fungsi SP hendaknya didukung dengan norma sanksi agar hukum lebih bermakna untuk dijalankan,” tegas Andy.

Sehubungan dengan pengaturan mengenai federasi dan konfederasi, Andy berpandangan harus ada perbedaan sektor yang jelas antara satu federasi dan federasi lainya. Bahkan terdapat SP yang keanggotaannya multi dan lintas sektor bisnis.

“Oleh karena itu, hemat kami federasi SP perlu dikembalikan terhadap sektor apa dia berfungsi dan melekat keanggotannya yang juga akan berdampak pada representasi pada lembaga kerjasama tripartite dan kelembagaan sejenisnya. Sedangkan keberadaan konfederasi menurut kami tidak perlu terlalu banyak, cukup 2 atau 3 maksimal konfederasi itu ada dan menjadi ujung dari hierarkisme perjenjangan serikat tertinggi dengan fungsi dan kerja-kerja nasional,” ujarnya.

Kami mengusulkan perlu dipastikan ada unsur perlindungan. Karena itu bab tersebut menjadi perlindungan, pembinaan, dan pengawasan. Unsur perlindungan yang ditambahkan mengenai perlindungan terhadap imolementasi fungsi-fungsi SP yang tidak mampu/mau dijalankan oleh mitranya yakni perusahaan.

Koreksi terhadap kerja dan tugas instansi ketenagakerjaan juga perlu diatur agar instansi ketenagakerjaan dapat lebih cakap dan cekatan bertindak terhadap berbagai penerapan perlindungan SP. Misalkan pengaturan bagaimana instansi ketenagakerjaan merespon pengaduan terhadpa dugaan pelanggaran fungsi SP yang tidak harus berujung pada perselisihan, melainkan cukup penindakan tegas dari pengawas ketenagakerjaan dengan sanksi yang ada.

“Hematnya, yang ingin kami katakan, atur juga agar instansi ketanagakerjaan gerak cepat dan cermat dalam bekerja,” tegas Andy.

Hal lain yang perlu dijawab adalah terkait dengan bagaimana bentuk tindakan intimidasi atau penghalangan kegiatan SP itu dapat mudah diukur. Misalkan yang perlu dicontohkan, perusahaan yang tidak mau merundingkan PKB, tidak mau memotong iuran anggota melalui Check Off System (COS), tidak memberikan dispensasi kegiatan SP yang dilakukan dengan wajar.

Menurut Andy, kasus-kasus nyata tersebutlah yang seharusnya diatur dalam norma tambahan pasal 28 yang berkorelasi dengan pasal 43 UU SP/SB. Selain itu, pelaksanaan Pasal 43 perlu dipertegas dan diperjelas mekanisme pelaksanaan pasal tersebut. bagaimana hubungan pengawas ketenagakerjaan dan instansi kepolisian.

“Bahkan UU dapat juga memerintahkan di setiap kantor kepolisian daerah khusus membuat direktorat khusus mengenai isu ketenagakerjaan ini sehingga laporan pekerja terhadap dugaan tindak pidana tersebut lebih terarah,” tegasnya.

Dalam pertemuan ini, Andy membawa kertas posisi sebagai naskah pandangan PP IP terkait Inisiasi DPD RI terkait Revisi UU No 21/2000 tentangf SP/SB. Bisa diunduh dibawah ini:

Apakah Energy Transition Mechanism dan Green Climate Fund Pintu Masuk Privatisasi Sektor Kelistrikan?

Selasa, 26 April 2022, Public Services International (PSI) bersama dengan serikat pekerja di sektor kelistrikan mengadakan diskusi secara online dengan dua tema sekaligus, yaitu Energy Transition Mechanism (ETM) dan Green Climate Fund: Indonesian Geothermal. Dua narasumber utama dalam diskusi ini adalah Tom Reddington, Sekretaris Sub-regional PSI wilayah Oseania , dan Andy Wijaya, Sekretaris Jenderal Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP). Kegiatan melalu Zoom meeting ini dimoderatori oleh Budi Setianto, dari Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP. PLN Persero.)

Seperti yang kita ketahui bersama, 3 November 2021, bertepatan dengan diselenggarakannya Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) di Glasgow, Inggris, pemerintah Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, menandatangi kerja sama antara Indonesia dengan Bank Pembangunan Asia (ADB), terkait dengan studi kelayakan dan rancangan penerapan Energy Transition Mechanism (ETM). Indonesia dan Filipina adalah dua negara yang dijadikan pilot project untuk proyek ini.

PSI yang merupakan Federasi Serikat Pekerja Global di sektor publik, memiliki komitmen yang tinggi agar sektor-sektor publik tetap dikuasai oleh negara. Oleh karena itu, bersama dengan afiliasinya di Indonesia penting untuk mengetahui secara detail bagaimana sebenarnya konsep ETM dan Green Climate Fund: Indonesian Geotermal. Seperti yang dipaparkan Tom yang juga menjabat sebagai koordinator Asia Pasific PSI untuk Just Transition itu, seringkali proyek-proyek yang didanai oleh lembaga keuangan internasional, disertai oleh agenda Noeliberalisme. Dan transisi menuju energi baru terbarukan hanya menjadi kedok belaka. “Jangan sampai kita, Serikat Pekerja, kecolongan dengan agenda privatisasi di dalam ETM ini.” Tom mengingatkan.

Dalam pemaparan pemaparan Andy Wijaya, sepertinya kekhawatiran Tom menemukan konteksnya. Bahwa ETM adalah semacam tukar guling antara pembangkit-pembangkit PLN yang berbahan bakar fosil dengan investasi pembangunan pembangkit berbahan bakar EBT. Bung Andy juga menegaskan, Apakah kemudian pembangkit-pembangkit setelah diambil alih oleh ADB akan dimatikan? Sayangnya sekali tidak, pembangkit-pembangkit tersebut ternyata akan tetap beroperasi dengan dalih sebagai cadangan. “Di situ lah problematikanya. Pembangkit-pembangkit berbahan bakar fosil itu akan tetap memproduksi listrik, jika sebelumnya PLTU-PLTU tersebut dimiliki oleh negara, setelah ETM berjalan, pembangkit-pembangkit tersebut dikuasi oleh swasta. Dampaknya adalah kenaikan tarif dasar listrik, yang akan membebani masyarakat.” tegas Andy.

Terkait dengan Green Climate Fund: Indonesian Geotermal, Andy juga mengingatkan, berdasarkan kajian para ahli eksplorasi geotermal bukan tanpa dampak negatif. Setidaknya ada tiga dampak negatif dari eksplorasi panas bumi ini, yaitu fracking, gempabumi minor, dan pencemaran air. Artinya, masih perlu kajian yang komprehensif untuk memanfaatkan sumber energi ini.

Diskusi yang berlangsung kurang lebih dua jam ini juga menegaskan, bahwa PSI dan serikat pekerja sektor kelistrikan tidak anti EBT, justru sebaliknya, mereka mendorong transisi menuju green energy. Dan senantiasa mendukung komitmen pemerintah Indonesia demi mencapai target penurunan emisi maupun Net Zero Emission (netralitas karbon) yang ditargetkan akan tercapai di tahun 2060 atau lebih awal. PSI dan serikat pekerja di sektor kelistrikan hanya tidak menginginkan transisi menuju energi hijau ini hanya menjadi kedok belaka, yang tujuan sebenarnya adalah melakukan privatisasi energi listrik di Indonesia. Jika itu yang terjadi, PSI dan serikat pekerja di sektor kelistrikan akan berada di barisan terdepan untuk melakukan perlawanan demi melindungi kepentingan publik.

May Day: Momentum Penguatan Hak Pekerja dan Penguasaan Listrik Oleh Negara

Oleh Andy Wijaya, Sekretaris Jenderal Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP)

Menjelang May Day atau Hari Buruh Internasional yang jatuh pada tanggal 1 Mei 2022, perasaan Buruh di seluruh dunia bergetar dan bersuka cita. Hari Buruh pada dasarnya adalah hari peringatan atas tragedi kemanusiaan terhadap perjuangan buruh yang memperjuangkan 8 jam kerja. Saat itu, buruh bekerja 19 bahkan 20 jam sehari.

Saat itu tanggal 1 Mei tahun 1886, sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari. Aksi ini berlangsung selama 4 hari sejak tanggal 1 Mei.

Pada tanggal 4 Mei 1886. Para Demonstran melakukan pawai besar-besaran, Polisi Amerika kemudian menembaki para demonstran, sehingga ratusan orang tewas dan para pemimpinnya ditangkap kemudian dihukum mati. Peristiwa itu dikenang sebagai tragedi Haymarket dan kemudian diperingati sebagai hari buruh.

Dengan demikian jelas, apa yang didapatkan buruh hari ini hasil dari perjuangan. Bukan hasil belas kasihan, atau bahkan atas hasil pemberian pengusaha. Satu hal yang pasti. Esensi dari peringatan Hari Buruh adalah perjuangan hak-hak pekerja sebagai hak asasi pekerja.

Selain memperjuangkan hak normatif pekerja, kami di sektor ketenagalistrikan ingin memberikan satu perspektif perjuangan pekerja. Apa itu? Yaitu perjuangan kaum pekerja untuk memastikan usaha-usaha yang penting negara untuk di kelola negara.

Salah satunya adalah para buruh di sektor ketenagalistrikan.

Sebelum Indonesia merdeka, pembangkit listrik hanya dimiliki oleh pejabat/pengusaha Hindia Belanda, yang berfungsi untuk pengelolaan pabrik-pabrik tebu dan juga kantor-kantor pemerintahan Belanda. Tetapi para pekerjanya adalah para pekerja dari Indonesia.

Selepas penguasaan Belanda berpindah ke penguasaan Jepang, maka otomatis pengelolaan pembangkit listrik berpindah kepemilikan.

Lalu, dengan mundurnya Jepang dan di proklamasikannya kemerdekaan Negara Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, maka para pekerja ketenagalistrikan menguasai asset-aset ketenagalistrikan untuk diserahkan kepada Negara Indonesia untuk sebesarnya digunakan untuk kemakmuran Negara Indonesia.

Setelah masuknya sekutu kembali ke Indonesia setelah proklamasi, para pekerja Indonesia yang sudah menyerahkan asset-aset ketenagalistrikan tersebut, ramai-ramai meninggalkan asset-aset ketenagalistrikan karena tidak sudi bekerja dan pengelolaan asset-aset ketenagalistrikan berpindah lagi kepada penguasaan sekutu.

Selanjutnya, setelah sekutu meninggalkan Indonesia dan Indonesia bisa berdaulat, para pekerja ketenagalistrikan pada saat ini mengoperasikan kembali asetp-aset ketenagalistrikan untuk negara Indonesia.

Itulah semangat para buruh ketenagalistrikan pada saat itu. Buruh Ketenagalistrikan berjuang untuk memastikan pengelolaan ketenagalistrikan tetap ada pada negara

Perlu diketahui, kewajiban pengelolaan negara tersebut di cantum pada UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan (3), yang telah dipertegas oleh putusan MK No. 001-02-022 Tahun 2002 dan Putusan MK No. 111 Tahun 2015

Tetapi saat ini, ancaman pengambilalihan asset-aset ketenagalistrikan datang kembali, bukan oleh moncong-moncong senjata ataupun bukan oleh para penjajah.

Ancaman pengambilan alihkan asset-asset ketenagalistrikan datang dengan alasan efisiensi, ketidakmampuan dan uang. Sekarang, apakah semangat para pekerja ketenagalistrikan saat ini masih sama dengan semangat para buruh ketenagalistrikan dahulu kala?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita berkaca pada diri sendiri. Apa tujuan kita bekerja. Hanya sekedar mempertahankan dan memperjuangkan hak normatif? Atau kita juga bertekad untuk menjaga amanah dari para pekerja buruh ketenagalistrikan jaman dahulu, yaitu memastikan pengelolaan ketenagalistrikan tetap di tangan Negara?

Jawabannya adalah, untuk kedua-duanya.

Situasi Terkini Ketenagakerjaan di Indonesia: Semakin Buruk

Kondisi perburuhan di Indonesia saat ini membuat buruh resah. Utamanya pasca kenaikan harga minyak goreng. Kenaikan ini sangat terasa imbasnya, karena secara umum kenaikan upah di Indonesia hanya 1,09%. Kenaikan upah tidak bisa menutup inflansi. Indikasi umumnya adalah, banyak buruh terjerat pinjol. Untuk kebutuhan pokok, mereka harus meminjam.

Demikian disampaikan  Hepi Nur Widiatmoko (Serbuk) dalam diskusi dan update tentang situasi terkini ketenagakerjaan di Indonesia. Kegiatan ini merupakan salah satu sesi dari rangkaian PCM Meeting 2022: Review dan Planning Serikat Pekerja Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia yang diselenggarakan di Bogor tanggal 18-19 April 2022.

“Buruh sudah melakukan aksi untuk memprotes kenaikan harga. Termasuk merespon situasi yang dihadapi ketika harga-harga terus naik, misalnya PHK. Harus diakui, PHK masih sering terjadi. Beberapa contoh, di basis Serbuk, ada 3 basis yang di PHK. Situasinya menjadi sangat sulit untuk di advokasi, karena pengusaha punya pegangan, yaitu PP 35/2021. Dengan PP 35, dia bisa memberi pesangon hanya 0,5 kali ketentuan,” katanya.

Situasi tersebut membuat gerakan buruh menjadi sangat dilematis. Banyak perusahaan memanfaatkan situasi pandemi untuk melakukan PHK. Ini dipermudah dengan lahirnya omnibus law. Undang-undang itu dimanfaatkan untuk mengubah status buruh menjadi karyawan kontrak atau outsourcing. Hubungan kerjanya menjadi sangat fleksibel.

Menurut Hepy, berkaitan dengan sikap politik pekerja, dalam konteks terlibat atau mempengaruhi pembuatan peraturan perundang-undangan. Teman-teman merasa perlu untuk terlibat di dalam politik atau membangun kembali Partai Buruh. Ini adalah upaya agar gerakan buruh terlibat dalam pembuatan kebijakan. Meski tantangannya juga tidak mudah.

Hal senada juga disampaikan oleh Slamet Riyadi, Sekretaris Umum SPEE-FSPMI. Menurutnya, selama ini, perjuangan buruh fokus pada kepastian upah, pekerjaan, dan jaminan sosial. Tetapi sayangnya, semakin ke sini, kondisi upah, pekerjaan, dan jaminan sosial tidak menjadi lebih baik.

“Perjuangan upah mencapai titik tertinggi di tahun 2012-2013. Di mana pada saat itu kenaikan upah minimum bisa mencapai 30%. Bahkan, Presiden SBY mengatakan selamat tinggal upah murah di Indonesia. Itu disampaikan dalam G20. Di sana disampaikan, upah murah bukan lagi menjadi iming-iming untuk menarik investor untuk masuk ke Indonesia,” kata Slamet.

“Setelah pergantian rezim, lahir PP 78/2015. Kalau tadinya pemerintah mengatakan selamat tinggal upah murah, sekarang menjadi selamat datang upah murah. Kondisi ini menyadarkan kita, kebijakan upah murah tergantung pada siapa yang memimpin. Partai mana yang menang. Kalau kebijakan negara tergantung siapa yang memimpin, setiap ada perubahan pemimpin, kebijakan negara juga akan berubah. Sehingga situasi perburuhan tidak akan stabil,” lanjutnya.

Setelah PP 78/2015, lahir UU 11/2020. Dengan regulasi ini, semua kesejahteraan buruh turun. Tidak ada lagi kepastian kerja. Kontrak kerja dan outsourcing semakin fleksibel. Upah semakin turun. Dengan adanya rumusan upah sudah ditentukan, bahkan upah minimum sektoral tidak ada lagi. Praktis, sejak lahirnya UU 11/2020, praktis upah murah sudah nyata. Banyak daerah yang tidak mengalami kenaikan. Padahal kebutuhan pokok kenaikannya cukup drastis.

Apa yang disampaikan Slamet dibenarkan oleh Rita Olivia Tambunan, Consultant dari FNV Mondiaal, yang secara spesifik menguliti isi omnibus law. Menurutnya, omnibus law sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2019. Saat itu yang dibicarakan adalah terkait dengan revisi ketenagakerjaan. Beberapa hal yang disoroti adalah terkait dengan produktivitas, menurunnya angka investasi langsung, kemudian desentralisasi.

Di tahun 2021, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menjelaskan, setidaknya ada 4 alasan mengapa omnibus law akhirnya dibuat. Mengatasi obesitas regulasi, jumlah pengangguran mencapai 7 juta orang, tingkat kompetisi bisnis yang rendah, dan mendorong transformasi terhadap kurang lebih 64.2 juta unit UMKM informal menjadi formal.

“Jika kita perhatikan, tujuan dari dibentuknya omnibus law sangat baik. Kita setuju jika persoalan-persoalan di atas diselesaikan. Tetapi masalahnya, omnibus law justru tidak menjawab hal tersebut,” kata Rita.

Menurut Rita, dalam kaitan dengan itu, setidaknya ada 3 dampak yang ditimbulkan oleh omnibus law. Pertama, adanya dikotomi yang keras untuk mendapat kerja dan hak dalam pekerjaan. Ini masalah yang besar. Dalam HAM, hak untuk mendapat kerja dan hak dalam pekerjaan tidak bisa dibenturin. Tetapi dalam omnibus law justru dibentukan. Akhirnya orang bersaing satu dengan yang lain.

Kedua, omnibus law menciptakan formalisasi UMKM dengan status buruh. Dalam hal ini, pengakuan status UMKM tidak berbanding lurus dengan pengakuan hak atas buruh yang bekerja di sektor UMKM. Kemudian, kemudahan pembentukan UMKM dan sejumlah fasilitas yang diberikan (one-stop-service, Pph, dll), adanya pengecualian hak perburuhan bagi buruh UMKM, dan coverage penerima manfaat jaminan sosial nasional, seperti BPJS TK, BPJS Keseharan, dan JKP.

Ketiga, kerentanan hak kebebasan berserikat dan berunding secara kolektik. Ini memang tidak disebut langsung. Tetapi yang muncul pertama, lokalisasi buruh di tingat perusahaan. Kalau mendirikan serikat buruh, juga harus didirikan di tingkat perusahaan, di mana kita bekerja. Dampak tidak langsungnya adalah, omnibus law sedikit demi sedikit mendegradasi serikat buruh untuk berunding.

“Namun demikian, ada sejumlah kesempatan yang bisa kita optimalkan agar nasib buruh tidak semakin terpuruk,” Rita memberikan harapan.

Misalnya, yang harus dilakukan dengan serial reformasi transformative, dengan merevitalisasi kekuatan SB perlu menjadi prioritas, yakni pengorganisasian. Kemudian. perluasan ruang negosiasi menggunakan sejumlah diskursus baru, seperti multi-Stakeholder Partnership, B&HR.

“Selain itu, terlibat aktif mengubah paradigma legal-formal eksistensi serikat buruh dan perluasan konsolidasi baik melalui lintas-sektor mau pun konsolidasi pakta sosial dengan menemukan sejumlah usulan- usulan populer. Misalnya, isu perempuan dalam state feminism, Flexicurity, hingga just transition,” pungkasnya.

Pertemuan ini sesi ini ditutup dengan membawa beberapa rekomendasi kegiatan dan aksi guna menguatkan posisi serikat di sektor ketenagalistrikan terkait isu-isu yang muncul. Termasuk tindak lanjut serikat terkait RUU Revisi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk kepentingan UU Cipta Kerja No 11/2020 dan rencana revisi UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

The Statement of the SP PLN Group toward the Constitutional Court Ruling on Job Creation Law

On today (06/12/2021) join press conference via zoom, PLN Group Trade Union (SP PLN Group) that consist of The Trade Union of State Electricity Enterprises (SP PLN), the Indonesia Power Employee Association (PPIP), and The Trade Union of Java-Bali Power Plant (SP PJB) express the disappointment on the government behavior to keep implementing the Law number 11 year 2020 on Job Creation along with its implementing regulations.

As we all know that on November 25, 2021, the Constitutional Court has ruled the judicial review appeal for the Law Number 11 year 2020 on Job Creation filed by trade unions, including SP PLN Group.

Responding to the ruling, SP PLN Group stated its position as follow:

  1. Appreciating and respecting the Constitutional Court ruling stating that the making of Job Creation Law is un-constitutional although conditionally.
  2. Disappointed by the Government as they keep stating that the Job Creation Law and its implementing regulation still into effect for two years.
  3. Requesting all parties to understand and implement all point of the Constitutional Court Ruling for the decision number 91/PUU-XVIII/2020 related to Law Number 11 Year 2020 on Job Creation.
  4. Referring to the ruling point Number 7 of the decision Number 91/PUU-XVIII/2020 urge the Government and Judicial Institutions to not implement the government decree as the implementing regulation for the Job Creation Law which are strategic and invasive or having a broad impact.
  5. Especially for the manpower cluster and sub-cluster electricity, where the appeal of SP PLN Group considered as lost its object, so by this affirmed that the Job Creation Law, especially manpower cluster and sub-cluster electricity is not into effect and postpone its implementation for two years.
  6. SP PLN Group will keep trying to do follow up action to revoke the Job Creation law permanently and will take any necessary legal action, should there any parties keep implementing the Job Creation Law and its implementing regulation before being amended.

Prepared by:

  1. Muhammad Abrar Ali, the General Chairperson of DPP SP PLN Persero (HP: 0811-6562-973)
  2. Dwi Hantoro, the General Chairperson of PP IP (HP: 0812-8643-9018)
  3. Agus Wibawa, the General Chairperson of SP PJB (HP: 0896 8750 0690)

Energy Unions Rally that Job Creations Law need to be called off

The action from thousands of workers this time was a historical action. Not only it coincide with the verdict reading of the judicial review of the Job Creation Law, but also the attendance of workers as members of   SP PLN Group that consist of  Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (SP PLN), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), and Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB).

Allied in the National Prosperity Movement (Gerakan Kesejahteraan Nasional -GEKANAS), SP PLN Group is in the forefront in voicing the rejection for electricity privatization that will give a bad impact to workers and the people. This is also emphasizing that not only the manpower cluster is problematic but also other cluster, sub-cluster electricity is one among many that is also problematic. 

Electricity is public needs. Basic needs for the people should be controlled by the state and being used for the greater goods. That is why when the job creation law  opened up a chance for privatization, the union should fight to reject it.

These are the statement of SP PLN Chairperson M Abrar Ali when he did the oration in the action on Thursday (25/11).

“Today we take off our white and blue collar. We are the same. Because trade union task is not only protecting workers and members interest. But more than that, protecting the interest of the state and nation,” stated Abrar.

It is a state task to protect Indonesian people and its land. Making the people intelligent and advancing general public prosperity. That is why we gather today. From Aceh to Papua praying for us who are attending today’s rally. Praying for the Constitutional judges so Law Number 11 year 2020 being revoked,” he stated firmly.

During the rally, workers spreading banners with the following messages: “Because of Job Creation Law, Electricity being Privatized”. “Reject State Electricity Privatization Regardless of the Reasons. Don’t Make People’s Life Miserable”. “Stop Privatization of State Electricity. Privatization of State Electricity is Against State Constitution UUD 1945. Harming the Country and Make People Poorer”.

Meanwhile, there are some important issues within in the verdict of the Constitutional Court number 91/PUU-XVIII/2020. Firstly, stated that the creation of Job Creation Law is in against the state constitution UUD 1945 and doesn’t have a legal binding conditionally as long not interpreted as “not being repaired within the two years period since the verdict were read”.

Secondly, stated that the Job Creation Law still be in force up till an amendment on the making process within the time frame provided by the verdict.

Thirdly, ordered to the law maker to amend it for no longer than two years since the verdict being read and should there no amendment during that period, the law will be permanently un-constitutional.

Fourthly, stated that should the law maker not completed the amendment process of the law, the law or the provisions or the content regulated by the revoked law  or amended by the Job Creation Law considered to be reinforced.

Fifthly, stated for put off all strategic actions/policy with a greater impact, also it is not allowed to issue new implementing regulation related to Job Creation Law.

Reacting to the ruling, the General Secretary of PPIP Andy Wijaya having an analogy, the Constitutional Court stated “the Job Creation Law is like a dangerous car, that is why it should be destroyed if within two years not being repaired”.

These are the things used by the government to legitimizing (their action) by saying, we agree that should the car hasn’t been repaired within two years then it will be destroyed. But while under repairing, the car still run and can be functioned.

The logic is that if something is dangerous, before it’s repaired, it shouldn’t be utilized. That is why the next step is to file a citizen lawsuit to the government if within two years the Job Creation Law and its implementing regulation still being enacted.

“We will sue the Minister who implement or enforce the implementing regulation and the job creation law within two years with the accusation of the act against the law. If necessary we will also drag the President as he let the minister to execute the Job Creation Law and its implementing regulation,” he stated firmly.

Gekanas Presidium Indra Munaswar stated that to avoid bigger impact on the enforcement of the law Number 11/2020 within the two years period, the Court is also stated that the enforcement of the law with a strategic nature and have a greater impact to be call off first, including the ban of issuing new implementing regulation and also it’s not allowed for the state apparatus to take a strategic policy that has a greater impact by using Law Number 11/2020 as the legal standing that formally has been ruled as conditionally un-constitutional.

Quoted from Indra, the phrase “it’s not allowed to make new implementing regulation” having two meanings.

Firstly: the phrase can be interpreted, since the law proofed to be un-constitutional (conditionally), so there shouldn’t be any new implementing regulation created based on the mandate from the Job Creation Law. By that then the implementing regulation that just issued based on the mandate from the Job Creation Law automatically nullified.

Secondly: the phrase can be interpreted that since the time when the Constitutional Court ruling being announced or stated (by the judges) then it is not allowed to issue or create new implementing regulation. While the one that already exist are still valid.  

To understand the Constitutional Court ruling stating to postpone all strategic measures/policy and has a wide impact also it’s not allowed to issue new implementing regulation related to Job Creation Law, we should see the considerations taken by the court as stated in point 3.20.5 page 414 stated as follows: To avoid bigger impact for the enforcement of Law number 11/2020, for the period of two years the court stated that the enforcement of Law Number 11/2020 related to the strategic things and having a wider impact to be called off first, including that it’s not allowed to create new implementing regulation also it’s not allowed for the state administrator to take a strategic policy that will impacted greatly by using the norm or provision under the law number 11/2020 that formally has been ruled as conditionally un-constitutional

With this, it’s clear that the court doesn’t want the enforcement of Law Number 11/2020 for the next two years that will cause a greater impact. So, to avoid the problem, the court firmly stated that the enforcement of the law related to the strategic and causing a wider impact things should be call off first.

The question is: What does the court meaning when they ruled on the strategic and wider impact things? For workers, the meaning behind the strategic and wider impact things is all regulations related to wages, contract workers, outsourcing, severance, termination, foreign workers, and all regulations related to workday and leave. Including the provisions in the sub-cluster electricity that enabled electricity to be privatized.

That is why, based on the constitutional court legal considerations as stated in point number 3.20.5 and the verdict point 7th, workers demand that all employment regulations such as Government Regulation (PP) Number 34 year 2021 on The use of Foreign Workers, PP No. 35 Year 2021 on the Definite Period of Employment Relation (contract workers), Outsourcing, Work Hour and Break Time, and Employment Termination, PP No 36 Year 2021 on Wages, PP No 37 Year 2021 on The Enforcement of Job Lost Security, and PP No 25 Year 2021 on the Enforcement of Energy, and Mineral Resources should be called off on their implementation.

Not only the employment cluster and the sub-cluster electricity as mentioned above, other clusters are also need to be called off.

Energi Hijau dan Terbarukan: Antara Kepentingan Pekerja, Keberlangsungan Perusahaan, dan Harga Listrik yang Terjangkau untuk Rakyat

Ketika berbicara mengenai energi hijau pasti akan persinggungan dengan privatisasi. Ketika privatisasi terjadi, kepemilikan perusahaan akan bergeser. Harga energi pun menjadi semakin mahal. Itulah sebabnya, banyak kebijakan yang harus dikritisi dan dilihat lagi oleh serikat pekerja, di mana isu perburuhan harus menjadi prioritas. Demikian disampaikan Sub-Regional Secretary Asia Tenggara Ian Mariano dalam pengantar forum energi hijau dan terbarukan yang diselenggarakan di Bali, 13 Oktober 2021.

Lebih lanjut Ian menegaskan, forum ini akan mempertimbangkan perkembangan baru ini di Indonesia dan negara berkembang, serta berusaha mempengaruhi arah energi terbarukan di masing-masing negara.

“Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat penting dalam transisi berkeadilan dalam hal energi terbarukan,” ujarnya.

“Masa depan energi di Indonesia harus dilihat dan diletakkan dalam perubahan konstitusi di Indonesia. Intinya, layanan publik harus dikendalikan dan dimiliki oleh publik,” dia menegaskan.

Hal senada juga disampaikan SASK Coordinator Representative untuk wilayah Asia Tenggara, Farizan Fajar. “Dari persepsi SASK, kami menganggap isu ini sangat sentral yang perlu diangkat. Sejalan dengan strategi SASK, transisi berkeadilan merupakan satu dari tiga isu prioritas selain gender equality dan feature of work,” ujar Farizan melalui Zoom.

Lebih lanjut Farizan menyampaikan, input dan hasil diskusi tidak hanya bermanfaat sebagai pemetaan awal yang terkait dengan negara tempat SASK melakukan kerjasama, namun juga bagian dari serikat pekerja untuk mengangkat isu penting ini ke permukaan.

Perjuangan SP PLN Group: Historis, Yuridis, dan Solidaritas

Saat memberikan pesan utama terkait  kebijakan dan posisi serikat pekerja terhadap masa depan energi untuk publik, Ketua Umum SP PLN M Abrar Ali menyampaikan tiga pendekatan, yakni hostoris, yuridis, dan solidaritas.

Menurut Abrar, SP PLN mewarisi sebuah sektor yang sangat strategis bagi bangsa dan negara, yaitu sektor ketenagalistrikan.

“Dulu kita merebut perusahaan listrik dari Belanda untuk kemudian diserahkan ke Indonesia, agar bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Mengapa hal ini kita lakukan? Sebab, dulu listrik hanya dinimati orang-orang kaya,” ujarnya.

Secara yuridis atau hukum, serikat pekerja diamanahi oleh konstitusi, yakni Pasal 33 UUD 1945. Disebutkan di sana, bahwa cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Disampaikan Abrar, di sini, peran dari serikat pekerja tidak hanya bagaimana meningkatkan kesejahteraan anggota dengan memperjuangkan, membela, dan melindungi hak dan kepenitngan anggota; tetapi juga menjaga kepentingan bangsa dan negara.

“Bagi SP PLN Group, menjaga kepentingan bangsa dan negara bukan sekedar slogan. Ini pernah kita lakukan, dengan memenangkan upaya privatiasi melalui judicial review UU UU 20/2002 yang kemudian dibatalkan pada tahun 2004. Kemudian lahir UU 30/2009, yang juga kita uji di Mahkamah Konstitusi. Memang tidak dibatalkan, tetapi kemudian ditetapkan bersyarat,” tegasnya.

Sedangkan dari sisi solidaritas, lanjutnya, saat ini kita mulai membangun solidaritas dan komunikasi yang intens, baik sesama perusahaan di PLN Group maupun dengan elemen yang lain.

Ke depan, di samping menkonsolidasikan internal, kita juga menyusun arah perjuangan kita. Saat ini adalah generasi yang beda dengan mereka yang dulu melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, kita harus memberikan pemahaman yang lebih ekstra terhadap generasi yang sekarang tentang pentingnya melawan privatisasi. Salah satu yang diwacanakan tetapi belum terjadi adalah membuat buku putih perjuangan SP PLN.

Temuan Kunci Hasil Riset

Masih dalam forum energi hijau dan terbarukan, Diana Gultom dan Suriadi Darmoko dari DebtWatch Indonesia memaparkan hasil riset tentang Negara dan Masa Depan Energi bagi Publik, Energi Terbarukan, dan Transisi yang Adil.

Dalam riset yang dilakukan pada bulan Oktober dan berakhir November 2020 ini berfokus dalam tiga hal. Energi energi baru terbarukan, dekarbonisasi, dan potensi kerjasama antara serikat pekerja dengan LSM lingkungan.

Ada beberapa temuan kunci yang dihasilkan dalam riset ini. Untuk energi terbarukan, ternyata kita menemukan ada ketergantungan terhadap energi fosil. Selain itu, mengenai peran negara terkait eneri terbarukan, lalu bagaimana ada distribusi yang adil, dan peran swasta dalam energi baru terbarukan.

Terkait dengan dekarbonisasi, temuan kuncinya adalah adanya dekarbonisasi yang semu (misleading decarbonization), lalu bagaimana implementasi agenda energi terbarukan, dan bagaimana skenario agenda dekarbonisasi.

Sementara temuan kunci terkait dengan serikat pekerja sektor ketenagalistrikan dan jejaringnya adalah terkait dengan bagaimana kekuatan pengalaman serikat pekerja dan peran LSM yang bergerak di sektor ketenagalistrikan.

Disampaikan, potensi energi terbarukan di Indonesia, yang terbesar adalah energi surya, yakni 207.898 MW atau 46,9%. Kemudian ada air sebesar 75.091 MW atau 16.9%, angin sebesar 60.647 MW atau 13.7%, bioenergi sebesar 32.654 MW atau 7,4%, panas bumi sebesar 29,544 MW  atau 6,7%, laut sebesar 17.989 MW atau 4,1%, Mini dan Mikro Hidro sebesar 4,4%

“Kalau kita melihat realisasi dari energi terbarukan di Indonesia, potensinya adalah 443.208 MW. Sampai pertengahan tahun 2020 kemarin, realisasi penggunaannya adalah 10.426 MW. Target di tahun 2025 adalah 45.153,2 MW dan tahun 2050 adalah 167.646 MW,” kata Suriadi yang memparkan hasil penelitiannya bergantian dengan Diana.

Penelitian ini juga menguak tentang dekarbonisasi yang semu. “Kalau kita lihat, target tahun 2025 ketersediaan listrik adalah 115 GW. Di tahun 2050 menjadi 430 GW. Ini kebijakan energi nasional yang tidak berubah sampai sekarang. Tetapi kalau kita melihat agenda dekarbonisasi, kalau tidak beralih sumber energinya, maka harusnya baurannya dinaikkan. Tetapi ketika kita lihat data pemerintah, trend penggunaan batubaranya justru terus meningkat. Bahkan energi bari terbarukan prosentasenya terus menurun, sebaliknya trend penggunaan baturabara jauh melampui penggunaan energi terbarukan,” jelas Diana.

Untuk mendorong semua itu, Diana menyampaikan, ada beberapa LSM lingkungan yang bisa kita ajak berkolaborasi. Mereka cukup aktif, baik dalam level kampannye atau membuat analisanya. Beberapa di antaranya adalah Institute for Essential Services Reform (IESR), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Greenpeace, Koaksi Indonesia, Koalisi Bersihkan Indonesia.

Dalam hal Energi Baru Terbarukan, rekomendasinya adalah; roadmap PLN untuk Energi Terbarukan dibangun bersama antara Pemerintah dan SP (termasuk skema perburuhan yang terkait langsung dengan keahlian dan teknologinya). Hal ini juga seharusnya mendorong fungsi PLN sebagai tangan Negara dalam memenuhi kebutuhan listrik warga negaranya. Political will pemerintah untuk mengembalikan fungsi PKUK PLN sebagaimana mandat Pasal 33 UUD 1945.

Sedangkan rekomendasi untuk dekarbonisasi, perlu ada political will yang kuat dari pemerintah untuk menurunkan penggunaan batu bara baik untuk keperluan ekspor maupun konsumsi dalam negeri. Mendorong PLN untuk memprioritaskan sumber listrik berbasis non fosil, mendorong swasta- terutama skala kecil dan berbasis lokal- untuk berpartisipasi membangun energi terbarukan, serta tidak mengeluarkan izin baru untuk pertambangan batu bara. Menghitung tren kelebihan pasokan (trend over supply) dan tren konsumsi yang menurun karena efisiensi alat listrik, sehingga perencanaan bisa lebih fokus kepada pemenuhan energi pada Energi Terbarukan dan tidak lagi membangun PLTU baru.

Sedangkan rekomendasi untuk Serikat Pekerja Ketenagalistrikan, perlu membuat RUEN tandingan yang sungguh-sungguh memperhatikan roadmap meningkatnya penggunaan energi terbarukan.

Namun demikian, yang terpenting dari itu semua adalah, bagaimana kita mendorong agar negara memberikan perlindungan kita sendiri terhadap keamanan kerja kita. Termasuk keamanan usaha, karena dari awal kita menyatakan sebagai pengawal konstitusi. Jangan sampai mengubah kepemilikan usaha. Apakah kepemilikan itu masih menjadi usaha publik, milik PLN atau kemudian berubah menjadi milik swasta. Termasuk di dalamnya adalah berbicara soal tarif yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Srategi dan Aksi

Dalam kesempatan ini, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyampaikan, ada empat fraktor yang mendorong transisi energi. Pertama, urgensi mengatasi krisis akibat pemanasan global dan perubahan iklim. Di mana krisis iklim ini akan berdampak pada ekomomi, sosial, dll. Kedua, kebijakan negara-negara untuk memangkas emisi gas rumah kaca dan mencapai dekarbonisasi. Ini menjadi penting, karena 70% emisi gas rumah kaca dihasilkan dari pembakaran energi fosil. Ketiga, perkembangan teknologi energi non-fossil dan energy storage yang semakin kompetitif. Keempat, saat ini juga terjadi preferensi konsumen dan investor/pelaku usaha terhadap energi bersih (ESG). Saat ini, Cina mengatakan tidak akan lagi mendani priyek batubara di luar China. Kita tahu, dalam 20 tahun terakhir, China adalah sumber pembiayaan PLTU di Indonesia.

“Itu juga yang merubah pengguna listrik untuk memilih energi baru terbarukan dan tidak lagi menggunakan energi fosil. Beberapa faktor ini membuat transisi energi menjadi sangat penting. Untuk menghindari krisis akibat perubahan iklim, harus menurunkan emisi gas rumah kaca,” katanya.

Dalam rangka untuk mengatasi perubahan iklim tersebut. Negara-negara membuat kebijakan. Salah satunya yang saya ambil contoh adalah Uni Eropa, yang bulan Juni lalu mengumumkan seiring dari upaya mereka untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca 55% di tahun 2030 dari tahun 2025. Uni Eropa akan menerapan yang namanya carbon boder tax. Artinya, barang-barang yang masuk ke Uni Eropa yang diimpor dari negara lain, itu akan dihitung konten dari karbonnya. Berdasarkan itulah, Uni Eropa akan mengenakan pajak.

Dengan demikian, kalau produk yang kita ekspor ke luar negeri memiliki kandungan karbon yang tinggi, maka tidak lagi kompetitif karena harganya akan lebih mahal. Menjadi sangat penting, karena sumber emisi yang dihitung untuk setiap barang dan jasa yang di ekspor, itu adalah berasal dari pembangkitan tenaga listrik. Jadi listrik punya peran dalam konteks untuk mengatasi perubahan iklim.

Peta jalan yang dijalan oleh international energi agency, kalau kita ingin mencapai zero emission di 2050 itu seperti apa. Rekomendasinya, setelah 2021 tidak boleh ada satu pun tambahan listrik tenaga uap baru. Kemudian jangan ada lagi pembukaan tambang batubara dan minyak dan gas. Lalu pada tahun 2025 tidak boleh ada penjualan fosil full boilers. Ini adalah contoh yang direkomendasikan oleh IEA, dalam rangka mencapai net zero emission di 2050.

Konsekwensi dari rekomendasi ini, produksi dari tambang batubara tidak boleh lagi diperluas. Demikian juga produksi dari minyak dan gas. Jadi di era transisi ini, diperkirakan dari energi fosil itu akan semakin turun. Dan ini adalah konsekwensi dari kita ingin menyelamatkan bumi dari ancaman krisis iklim.

Bagaimana dengan Indonesia? Dengan kondisi hari ini, 92% dari 300 GW PLTU Batubara yang sedang dan akan dibangun di China, India, Jepang, Vietnam dan Indonesia akan menjadi tidak ekonomis, dan $150 miliar investasi akan sia-sia.  Bisa kita lihat, 27% kapasitas PLTU yang beroperasi saat ini di 5 negara tersebut tidak menguntungkan dan 30% dalam kondisi breakeven, dengan margin $5/MWh. Pada 2026 seluruh kapasitas PLTU Global akan lebih mahal dioperasikan ketimbang membangun pembangkit energi terbarukan yang baru. Sedangkan 52% kapasitas PLTU di seluruh dunia tidak menguntungkandi 2030 , dan akan naik jadi 77% di 2040. Di sisi lain, potensi stranded asset dari 22,8 GW PLTU milik PLN diperkirakan mencapai $15,4 miliar. Kalau kita menjalankan PLTU lebih lama, itu akan lebih mahal.

Sementara itu, PLN sudah punya rencana mulai melakukan retirement PLTU batubara menuju carbon neutral 2060. Ada dua scenario. Yang pertama, replacement untuk PLT dimulai pada 2025 rencananya adalah mengganti PLTU dengan PLTMG dengan PLT EBT Baseload 1,1 GW dan ini masuk dalam RUPTL, kemudian 2030 retirement subcritical tahan pertama (1GW) menyusul 9 GW di 2035 dan terus sampai terakhir di 2055.

Tetapi ada juga sckenario kedua, bahwa pembangkit yang subcritical dan critical itu akan dilengkapi denan CCUS. Jadi PLN tidak harus mempensiunkan PLTU nya tetapi ditambah dengan CCUS. Konsekwensi apa kalau ditambah dengan CCUS, menurut saya, CCUS ini belum bisa menurunkan 100% emisi gas rumah kaca. Kemudian akan ada tambahan biaya investasi. Ini menjadi penting, siapa yang akan berinvestasi.

Kesimpulannya, kata Fabby, sejak 2015 dengan disepakatinya Persetujuan Paris (Paris Agreement), seluruh dunia sedang berupaya mengatasi ancaman krisis iklim dengan melakukan penurunan intensitas emisi GRK dan transisi energi.

Opsi transisi energi yang low hanging fruit ada di sektor kelistrikan, dengan phase out/phase down PLTU. Kondisi ini didukung dengan perkembangan yang cepat teknologi energi terbarukan, energy storage system, tekanan dari investor global dan lembaga finansial, shareholder, serta preferensi konsumen energi, serta aturan -aturan ESG yang semakin ketat.

Keterdesakan untuk melakukan transisi energi di sektor kelistrikan akan berdampak pada permintaan batubara global (yang menjadi tujuan ekspor BB Indonesia) dan batubara untuk pembangkit listrik, yang menghadapi pilihan opportunity lost dan potensi stranded asset jika tidak mengoptimalkan bauran pembangkit energi terbarukan yang harganya semakin kompetitif.

PLN memerlukan rencana transisi menuju “modern public utility” dan menghindari effect utility death spiral, dengan fokus: 1) mengganti asset pembangkit thermal dengan aset renewable & storage; 2) investasi pada teknologi maju: smartgrid, V2G, VPP, DERs; Power Wheeling; 3) perubahan business model; 4) mengoptimalkan revenue dari asset non listrik, dsb.

Catatan dan Kesimpulan

Di akhir acara, Sekretaris Jenderal PP Indonesia Power Andy Wijaya ketika menyampaikan catatan dan kesimpulan menyampaikan, dalam roadmap transisi energi Indonesia menuju net zero emission pada 2060 dari Kementerian ESDM, negara sudah menbuat blue print untuk penurunan emisi, salah satunya pengurangan energi fosil

“Roadmap menuju net zero emission sudah diperlihatkan oleh bung Fabby, tapi ini versi dari kementerian ESDM,” kata Andy. Di dalam RUPTL 2021-2030 Indonesia itu menyaratkan EBT, porsinya sekitar 51% dari ketenagalistrikan di Indonesia. 51% itu berapa MW? Data yang sekarang, per April 2021 memiliki 72.889 MW di mana 13,55% adalah EBT dan sisanya dari fosil. Porsinya masig 86,45%.

Di RUPTL dari 2021-2030, yang sekarang 13,55 dengan 86,45 akan dibalik menjadi 51% dan bawahnya akan menjadi 49%. Memang kalau kita lihat bauran energi yang sekarang, kalau kita bilang kerja keras sudah lebih baik. Kalau saya mengatakan, itu mustahil. Kenapa? Karena ini belum termasuk program 35.000 MW yang total dari fosil.

“72.889 ini sudah mencakup 10.000 MW dari 35.000. Artinya dari data 2021, masih ada sebesar 25.751 MW fosil yang belum masuk. Dan itu akan masuk dalam 2-3 tahun ke depan. Kalau kita anggap tanpa penambahan apa-apa selain dari 35.000 MW, yang tadi Mas Fabby sudah mengatakan stop pembangunan, tapi ini kan sudah ada kontrak, artinya akan jalan terus.”

PLTU yang ditandatangani dan diizinkan terakhir di Indonesia, adalah PLTU 9-10. Itu terakhir, dalam rangkaian 35 GW. Dengan masuknya 25.751, dari data yang saya buat, itu nanti kalau 3 tahun 2024 itu EBT hanya tersebua 10,5%. Fosil 89,3%. Tadi saja yang cuma 86,35% itu saya bilang mustahil. Apalagi ini, yang 89 sama 10. Apakah bisa, bisa? Caranya seluruh PLTU dan pembangkit fosil punya PLN dimatikan. Tanpa itu, tidak akan berhasilan bauran energi hingga 2030.

Kami mendukung energi hijau, yang berkeadilan. Bukan hanya dari sisi lingkungan, tetapi juga harga. Sekarang kalau kami dipaksa menghasilkan harga listrik yang mahal, bagaimana kami harus bersikap?

Bahkan ada sebuah data yang menyebutkan, emisi di Indonesia paling kecil, karena kita punya paru-paru dunia. Hutan kita masih lebat. Tetapi sayangnya, kita digambarkan sebagai masyarakat luar, kita pro energi kotor.

Menjawab apakah energi yang baru sebanding dengan pekerjaan yang hilang. Sebagai perbandingan, PLTS di Cirata yang 145 MW diperkirakan pegawainya hanya 10 orang. Sedangkan untuk PLTU, dibutuh 500 orang.

“Bayangkan, berapa ratus orang yang akan kehilangan pekerjaan jika ini diterapkan?” Tegas  Andy. Karenanya, hal ini harus menjadi perhatian bersama bagi serikat pekerja.

Privatization in the Electricity Sector Impacted in the Increase of Tariff, Global Union Federation Sent a Letter to President Jokowi

The support toward the fight of SP PLN to reject the privatization is not only coming from domestic country, but also from the global union, Public Service International (PSI). For the information, PSI is a prominent trade union in the public sector. With the membership of 30 million workers represented by 700 trade union affiliates in 154 countries.

Speaking in the press conference conducted by SP PLN Group on September 15, 2021, Ian Marino as the Southeast Sub-regional Secretary PSI conveyed that PSI General Secretary Rosa Pavanelli has sent a letter to Indonesian President, Joko Widodo.

In the letter, PSI mentioned the importance to reject and challenge privatization in the steam power plant (PLTU) and geothermal power plant (PLTG) in Indonesia. He stated that privatization around the world mostly has failed. Not able to achieve its objectives in fulfilling public service. Even the people should pay more expensive electricity price. 

That is why, the establishment of holding company and IPO to PLN subsidiaries is not appropriate. According to him, privatization will diminish the possibility to have a clean energy transition from carbon. Whereas Indonesia has committed to decrease carbon emission for 29% in 2030 by using renewal energy up to 23%.  

“Private company won’t be able providing low carbon energy, since their energy flow depend on fossil energy,” Ian stated. This is because the priority of private companies is to generate profit as much as possible for the shortest period.

Ian then gave example Philipinnes, where he lives.

“I am in Philippines witnessing the failure of privatization. I experience what’s happening when electricity being privatized for the last 20 years,” he said.

There’s similarity on how privatization being conducted in Nigeria and Philippines. Basically, this is a result of a financial pressure from the world to the government, then the privatization of electricity energy happened. Usually this happens through the change of the law on energy. The exact same thing was also happened in Philippines. So, in the end, all electricity energy, started from power plant and the network/line being privatized.

The result of privatization, Ian said, the electricity price becoming the most expensive in Asia, second after Japan. This is one of bad impact of the privatization.

“There’s term of fix payment or another term is abonemen or subscription. Where we must pay some amount of money each month, whether it’s being used or not. So, whether willing or not, the consumer should bear the burden. In the end, the private company is the one will control the energy, shown from how they increase the profit,” he said.

Other impact, continue Ian, taken the example of Philippines, till 2020, 10,000 workers in the electricity sector lost their job. So, instead of absorbing new workforce, what happened is some employment termination.

“Both in Nigeria and Philippines where electricity being privatized, the private companies have failed in fulfilling their promise in conducting the privatization,” he firmly stated.

Moreover, the electricity blackout still happened. Even currently, there’s a take-turn black out during the summer. The result is the availability service for the people can be fulfilled. The private company doesn’t really try to provide electricity for the people.

“We hope that Indonesian Government will see the lesson learned from many countries and use the study conducted by PSI as the considerations,” he said. PSI has worked in some countries where electricity has been privatized. And a failed privatization has impacted need to be bear not only by the government. The people will also bear the consequences, since after the private company gains the profit, the problem should be solved by the state.

Indonesia, as being mandated by the 1945 Constitution must defend the ownership of the energy in the public hand. In relation to that, PLN already has experience and ability to manage. Moreover, so far PLN has proofed that it able to provide a reliable and affordable electricity.

“So, the General Sectretary of PSI demands the government to stop the privatization in PLN. This is because PLN already has reliable workers for tenth of years,” Ian said.

The union in the energy sector in Indonesia and globally support government commitment toward the Paris Agreement and encourage the government to learn from what happened in Philippines and other countries where the privatization proofed to be failed. We don’t the same thing happened to the Indonesian Government,” Ian said.

Continuing what conveyed by Ian Marino, the General Chairperson of SP PLN M Abrar Ali said that privatization will impact in the increase of basic tariff of the electricity. Especially when the constitution mandated that electricity energy which serving basic life needs for many people should be controlled by the state and are not allowed to be privatized.

“That is why the state must guard the price is affordable and meet the just principles,” he stated firmly.

PLN Group that consists of three trade unions, continue Abrar, are very focus to enact the constitution mandate so then the electricity sector won’t be privatized. In this matter, SP PLN Group fight gained a support from the global union federation, PSI. Where PSI sent a letter to Jokowi demanded the electricity sector for not being privatized.

“Since this is the mandate of the constitution. The intention to privatize comes from the government, by creating the regulation so then the private sector can enter. Whenever a law passed to open a chance for privatization the trade union file a judicial review. The result is the Constitutional Court asserted that for the sector serving public interest are not allow to be privatized,” Abrar said.

Supposing, PLN being expanded as a holding company in the electricity sector. So then it can be in line with the constitution, where the electricity sector still under state management. Should there any crack of a possibility for privatization, it’s just right that the trade union reminding the government on this issue.

In relation to the management of PLN position, Abrar confess that the union has sit with the the Directors of PLN. The trade union has explained union role and function to also keeping the company sustainability. In the other side, the PLN Directors that perceive themselves as a part of SOE, so they only follow whatever the government policy is.

“In the momentum of the joint anniversary attended by the Directors and the Commissioner of PLN, we hope that this will be followed up by a meeting. So, then we can collectively maintain the sustainability of our beloved company,” said Abrar.

When being asked whether PLTS Atap (Rooftop Solar Power Plant) has inflicted a financial loss for PLN, Abrar gave an analogy. “Should you willing to become a hunter, be a reliable hunter. Don’t hunt in the zoo.”

Should it willing to do some business, don’t burden PLN. Because there’s requirement in the law that PLN should buy produced by private power plant, including PLTS Atap.

This is confirmed by the General Secretary of SP PJB, Dewanto Wicaksono. “As stipulated in the new law, the tariff scheme should be paid by PLN is 1:1. The tariff is 100% where PLN should purchase according to the selling price. In another word, must be sold in accordance with the purchasing price. While there’s other cost bear by PLN.”

“By the scheme of 0,65: 1 that so far being implemented, PLN face the difficulties, moreover with 1:1,” said Dewanto.

“It will be better if there’s no regulation obligated PLN to purchase. And don’t even implement that in the area where there’s electricity surplus. But if this implement in the area where electricity still inadequate, or in the area where the fuel still being used, this is more reasonable,” he added.

Does privatization will hinder the sustainability of PT PLN? Responding to this question, Abrar answered that this surely will disturb company sustainability. Currently, PLN already has a lot of burden. Don’t add them with the entrance of private sector, merely oriented in getting profit.

In this regard, Dewanto added, the privatization in PLN or the one in the holding surely will disturb. When privatization happened, it means there will be private role enters within the SOE.

Of course, in the beginning it will be limited. For example, 10%. But there’s no guarantee that the 10% will have less authority than the 90%. In many cases, the one with more power is the 10% and the 90% will be gnawed. So, then the company sustainability will be hindered

“Based on PSI survey from various countries, it’s proven that the privatization is started small but overtime it’ll getting bigger and the big one in the end will have no control. PSI has provided a real-life example, and this should become our lesson learned. Do not let the bad impact of privatization happened in Philippines also happened in Indonesia,” he asserted. (*)

Privatisasi di Sektor Ketenagalistrikan Berdampak Pada Kenaikan Tarif, Serikat Pekerja Global Surati Presiden Jokowi

Dukungan terhadap perjuangan SP PLN dalam menolak privatisasi bukan hanya datang dari dalam negeri. Tetapi juga diberikan oleh serikat pekerja global, Public Services International (PSI). Perlu diketahui, PSI adalah serikat pekerja terkemuka di sektor layanan publik. Beranggotakan 30 juta pekerja yang diwakili oleh 700 afiliasi serikat pekerja di 154 negara.

Berbicara di dalam konferensi pers yang diselenggarakan SP PLN Group pada tanggal 15 Sepember 2021, Ian Marino selaku Southeast Sub-regional Secretary PSI menyampaikan, bahwa Sekretaris Jenderal PSI Rosa Pavanelli sudah mengirimkan surat kepada Presiden Indonesia, Joko Widodo.

Dalam suratnya, PSI menyebut pentingnya menolak dan menentang privatisasi di PLTU dan PLTG di Indonesia. Dia menyebut, privatisasi di seluruh dunia sebagain besar gagal. Tidak mampu memenuhi tujuannya dalam memenuhi layanan publik. Bahkan rakyat harus membayar harga listrik yang lebih besar.

Itulah sebabnya, pembentukan perusahaan holding dan IPO terhadap anak perusahaan PLN tidak tepat. Menurutnya, privatisasi akan mengecilkan kemungkinan untuk bisa melakukan transisi energi yang bersih dari karbon. Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon 29% pada tahun 2030 dengan menggunakan energi terbarukan sampai dengan 23%.

“Perusahaan privat tidak akan mampu menyediakan energi yang rendah karbon, karena aliran energi mereka bergantung pada energi fosil,” ujar Ian. Hal ini disebabkan, prioritas perusahaan privat adalah menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Ian kemudian mencontohkan Filipina, tempat tinggalnya.

“Saya di Filipina menyaksikan sendiri kegagalan privaitisasi. Saya merasakan apa yang terjadi ketika listrik yang terprivatisasi selama 20 tahun terakhir,” ujarnya.

Ada beberapa kesamaan tentang bagaimana privatisasi yang dilakukan di Nigeria dan Filipina. Pada dasarnya, ini adalah hasil dari tekanan finansial dunia terhadap pemerintah, kemudian privatisasi energi listrik terjadi. Biasanya hal ini terjadi melalui perubahan undang-undang energi. Hal yang sama persis juga terjadi di Filipina. Hingga akhirnya, seluruh energi listrik mulai dari pembangkitan dan jaringannya mengalami privatisasi.

Akibat privatisasi itu, kata Ian, harga listrik menjadi yang termahal di Asia, kedua setelah Jepang. Inilah salah satu dampak buruk dari privatisasi.

“Ada yang disebut fix payment atau istilah lain abonemen. Di mana kita harus membayar sejumlah uang setiap bulan, baik dipakai atau tidak. Mau tidak mau, konsumen menanggung beban itu. Akhirnya, perusahaan swasta yang mengontrontrol energi, terlihat dari bagaimana mereka meningkatkan keuntungan,” ujarnya.

Dampak yang lain, lanjut Ian, mengambil contoh kasus di Filipina, hingga tahun 2020 sudah ada 10.000 pekerja di sektor kelistrikan yang kehilanagan pekerjaan. Jadi alih-alih menyerah tenaga kerja baru, yang terjadi justru PHK.

“Baik di Nigeria dan Filipina yang memprivatisasi listrik, perusahaan swasta gagal dalam memenuhi janji mereka dalam melakukan privatisasi,” tegasnya.

Sudah begitu, pemadaman listrik masih saja terjadi. Bahkan saat ini masih ada pemadaman bergilir selama musim panas. Akibatnya, layanan ketersediaan anergi listrik untuk rakyat tidak terpenuhi. Perusahaan swasta ini tidak benar-benaru berusaha untuk menyediakan energi listrik untuk rakyat.

“Kita ingin pemerintah Indonesia melihat pelajaran dari berbagai negara dan mengunakan study yang dilakukan PSI sebagai pertimbangan,” ujarnya. PSI sudah bekerja di beberapa negara di mana listrik sudah diprivatisasi. Dan privatisasi yang gagal itu, dampaknya tidak hanya ditanggung oleh pemerintah. Rakyat juga akan menanggung, karena setelah perusahaan swasta ini mendapat keuntungan, persoalannya akan harus diselesaikan oleh negara.

Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 harus mempertahankan kepemilikan energi di tangan publik. Dalam kaitan dengan itu, PLN mempunyai pengalaman dan kemampuan untuk mengelola. Terlebih lagi, selama ini PLN membuktikan mampu menyediakan listrik yang handal dan terjangkau.

“Maka Sekjend PSI meminta pemerintah untuk menghentikan privatisasi di PLN. Sebab PLN mempunya pekerja yang sangat bisa diandalkan selama berpuluh tahun,” kata Ian.

Serikat di sektor energi di Indonesia dan global mendukung komitmen pemerintah terhadap Paris Agreement dan mendorong pemerintah untuk belajar dari apa yang terjadi di Filipina dan berbagai negara lain yang privatisasi-nya terbukti gagal. Kita tidak ingin pemerintah di Indonesia mengalami hal yang serupa,” kata Ian.

Menyambung apa yang disampaikan Ia Marino, Ketua Umum SP PLN M Abrar Ali mengatakan, bahwa privatisasi berdampak pada naiknya tarif dasar listrik. Apalagi konstitusi mengamanahkan, energi listrik yang notabene melayani hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan tidak boleh diprivatisasi. 

“Karena itu, negara harus menjaga agar harga listrik bisa terjangkau dan memenuhi prinsip keadilan,” tegasnya.

PLN Group yang terdiri dari tiga serikat pekerja, lanjut Abrar, sangat konsen menjalankan amanah konstitusi agar sektor ketenagalistrikan tidak diprivatisasi. Dalam hal ini, perjuangan SP PLN Group mendapat dukungan dari serikat pekerja global, PSI. Di mana PSI sudah mengirimkan surat ke Jokowi agar sektor ketenagalistrikan tidak diprivatisasi.

“Karena ini adalah amanah konstitusi. Keinginan memprivatisasi datangnya dari pemerintah, dalam hal ini diciptakan regulasinya sehingga pihak swasta bisa masuk. Setiap ada undang-undang yang mebuka celah privatisasi, serikat pekerja mengajukan judicial review. Hasilnya, MK menegaskan bahwa sektor yang melayani kepentingan publik tidak bisa diprivatiasi,” kata Abrar.

Seharusnya PLN dibesarkan sebagai holding company sektor ketenagalistrikan. Sehingga bisa sejalan dengan konstitusi, di mana sektor ketenagalistrikan tetap dalam pengelolaan negara. Jika ada celah terjadinya privatisasi, maka sudah sewajarnya jika serikat pekerja mengingatkan hal itu.

Terkait dengan sikap manajemen PLN, Abrar mengaku serikat pekerja sudah duduk bersama dengan Direksi PLN. Serikat pekerja menjelaskan peran dan fungsi serikat pekerja, dalam menjaga keberlangsungan perusahaan. Di sisin lain, Direksi PLN yang notabene perusahaan BUMN lebih pada menjalakan apa yang menjadi kebijakan pemerintah.

“Dalam momentun perayaan ulang tahun bersama yang juga dihadiri Direksi dan Komisaris PLN, kami berharap bisa ditindaklanjuti dengan pertemuan lanjutan. Sehingga kita bisa bersama-sama mengawal kesinambungan perusahaan yang kita cintai,” ujar Abrar.

Ketika ditanyakan, apakah PLTS Atap merugikan PLN, Abrar memberikan perumpamaan. “Kalau mau menjadi pemburu jadilah pemburu yang handal. Jangan berburu di kebun binatang.”

Kalau mau berbisnis, jangan membenani PLN. Karena ada ketentuan di dalam undang-undang, PLN berkewajiban membeli listrik yang dihasilkan pembangkit swasta, termasuk PLTS Atap.

Hal itu dibenarkan oleh Sekretaris Jenderal SP PJB, Dewanto Wicaksono. “Dengan adanya undang-undang yang baru, skema tarif yang harus dibayar PLN adalah 1 : 1. Tarifnya 100%, di mana PLN membeli sesuai dengan harga jual. Dengan kata lain, harus menjual sesuai dengan harga beli. Padahal ada biaya lain yang harus ditanggung PLN.”

“Dengan skema  0,65: 1 yang selama ini berjalan saja sulit, apalagi dengan 1 : 1,” ujar Dewanto.

“Sebaiknya tidak ada aturan bahwa PLN berkewajiban untuk membeli. Dan jangan sampai itu dijalankan di daerah yang surplus listrik. Tetapi jika dijalankan yang masih kekurangan listrik, atau di daerah yang menggunakan BBM, hal itu akan lebih masuk akal,” tambahnya.

Apakah privatisasi akan mengganggu sustaiblitas dari PT PLN? Menjawab pertanyaan ini, Abrar menjawab pasti akan menganggu keberlangsungan perusahaan. Saat ini PLN sudah banyak beban. Jangan lagi dibebani dengan masuknya pihak swasta, yang orientasinya adalah mencari keuntungan semata.

Dalam hal ini, Dewanto menambahkan, privatisasi yang dilakukan di PLN atau yang ada di holding pasti akan mengganggu. Ketika privatisasi terjadi, itu artinya akan ada peran swasta yang kemudian masuk ke dalam BUMN.

Memang, pada awalnya dibatasi. Misalnya 10%. Tetapi apakah ada jaminan yang 10% tidak lebih berwenang dari yang 19. Dalam banyak kasus, yang lebih berkuasa justru yang 10, dan yang 90 akan tergerogoti. Maka keberlangsungan perusahaan akan terganggu.

“Berdasarkan survey PSI dari berbagai negara, terbukti semakin lama privatisasi yang awalnya kecil itu akan membesar dan yang besar akhirnya tidak lagi memiliki kendali. PSI sudah memberikan contoh nyata, ini harus menjadi pelajaran bagi kita. Jangan sampai dampak buruk privatisasi yang terjadi di Filipina juga terjadi di Indonesia,” tegasnya. (*)

Sebaran Berita:

https://www.gatra.com/detail/news/522842/ekonomi/privatisasi-pltppltu-bisa-bikin-target-paris-agreement-jadi-keok

https://voi.id/en/economy/85445/psi-sends-letter-to-president-jokowi-supports-pln-group-workers-union-rejects-bumn-privatization

https://ragamindonesia.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-1612605442/psi-surati-jokowi-privatisasi-pln-lumpuhkan-akses-universal

https://m.kumparan.com/kumparanbisnis/serikat-pekerja-surati-jokowi-ingatkan-bahaya-ipo-and-privatisasi-pln-1wXBKDiF7Y1

https://banten.antaranews.com/amp/berita/185345/penolakan-holding-pltp-mendapat-dukungan-psi

https://amp.wartaekonomi.co.id/berita361038/sp-pln-didukung-serikat-global-presiden-jokowi-langsung-dikirimi-surat-tolak-ipo

https://ekbis.sindonews.com/newsread/541548/34/tegas-serikat-pekerja-pln-tolak-holdingisasi-dan-privatisasi-usaha-pln-1631704145

https://katadata.co.id/happyfajrian/berita/6141d6e86b808/serikat-pekerja-global-dukung-penolakan-holdingisasi-bumn-listrik

https://koran-jakarta.com/federasi-serikat-global-dukung-sp-pln-group-tolak-holdingnisasi-dan-privatisasi

https://m.medcom.id/ekonomi/bisnis/3NO9J2zk-serikat-pekerja-pln-group-dapat-dukungan-federasi-global

https://www.msn.com/id-id/berita/other/serikat-pekerja-pln-group-dapat-dukungan-federasi-global/ar-AAOuP2v?li=AAuZNMP

https://m.mediaindonesia.com/ekonomi/432963/tolak-holding-panas-bumi-sp-pln-group-dapat-dukungan-serikat-pekerja-global

https://voi.id/ekonomi/85445/psi-kirim-surat-ke-presiden-jokowi-dukung-serikat-pekerja-pln-group-tolak-privatisasi-bumn

https://elshinta.com/news/245681/2021/09/15/federasi-serikat-global-dukung-sp-pln-group-tolak-holdingnisasi-dan-privatisasi

https://m.tribunnews.com/bisnis/2021/09/15/surati-jokowi-serikat-pekerja-global-tolak-pembentukan-holding-dan-privatisasi-bumn-kelistrikan

https://www.beritasatu.com/ekonomi/828439/upaya-sp-pln-tolak-privatisasi-dapat-dukungan-federasi-serikat-global

https://indoposco.id/psi-ikut-tolak-penggabungan-bumn-jadi-satu-perusahaan-holding/

PSI – SP PLN Tolak Privatisasi PLN untuk Holding Company PLTP

https://www.okezone.com/tren/read/2021/09/15/620/2471911/serikat-pekerja-tolak-holdingisasi-dan-privatisasi-usaha-pln-ini-alasannya

https://www.sonora.id/read/422892095/federasi-serikat-global-mendukung-serikat-pekerja-pln-group-tolak-holdingnisasi-dan-privatisasi

https://www.petroenergy.id/article/federasi-serikat-pekerja-global-dukung-sp-pln-batalkan-rencana-privatisasi

https://banten.hallo.id/nasional/pr-561171175/serikat-pekerja-pln-group-kirim-surat-ke-jokowi-menolak-privatisasi

https://www.neraca.co.id/article/152033/serikat-pekerja-pln-group-tolak-privatisasi-pln-dan-anak-usahanya

Solidaritas dan Soliditas Tanpa Batas: SP PLN Group Satukan Kekuatan untuk Memastikan Ketenagalistrikan Tidak Diprivatisasi

Dua puluh dua tahun bukan waktu yang lama di dalam peradaban kemanusiaan. Namun demikian, rentang waktu dua puluh dua tahun adalah jalan yang panjang dalam perjuangan Serikat Pekerja PLN Group: SP PLN, PP IP, dan SP PJB.

Untuk pertamakalinya, setelah 22 tahun bediri, Serikat Pekerja PLN Group merayakan HUT bersama yang diselenggarakan pada tanggal 15 September 2021. Sebagaimana diketahui, SP PLN berdiri pada tanggal 18 Agustus 1999, PP IP berdiri tanggal 27 Agustus 1999, dan SP PIB berdiri tanggal 20 September 1999.

Ketua Panitia HUT Bersama SP PLN Group Parsahatan Siregar menyampaikan, ide awal tercetusnya kegiatan ini bermula ketika Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal SPN PLN diundang Wakil Dirut PLN tanggal 4 Agustus 2021, pasca SP PLN menyerahkan surat pernyataan bersama dari SP PLN, PP IP, dan SP PJB.

“Setelah adanya pertemuan itu, saya sebagai Wasekjend II SP PLN, Bendahara Umum SP PLN, dan Sekjend PP IP Andy Wijaya bertemu,” ujar Parsahatan. Dalam pertemuan itu, dia menanyakan rencana pelaksanaan HUT SP PLN.

Dari obrolan itulah kemudian muncul wacana untuk mengadakan peringatan HUT bersama SP PLN Group. “Karena bung Andy selaku Sekjend PP IP, ia diminta untuk menjembatani komunikasi dengan para Ketua Umum dan Sekjend, yang akhirnya direspon dan mendapatkan sambutan baik sehingga acara ini bisa terselenggara,” katanya.

Peringatan HUT bersama ini dimaksudkan sebagai upaya untuk membangun persepsi, pandangan, dan komunikasi yang lebih erat. Di samping, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk memperkuat rasa solidaritas dan soliditas di antara serikat pekerja yang ada di PLN Group.

“Ke depan, harapannya ada wadah forum komunikasi. Sehingga dalam hal perundingan perjanjian kerja bersama dan hal-hal lain, bisa dilakukan secara bersama-sama,” tegasnya.

Solidaritas dan soliditas tanpa batas diperlukan sebuah komunikasi yang intensif antar serikat pekerja dan manajemen. Dengan komunikasi yang baik, program yang ditetapkan bisa dijalankan dengan baik. Dalam kaitan dengan itu, diperlukan hubungan yang equal dalam mewujudkan hubungan industrial yang harmonis. 

Dalam kesempatan ini, Komisaris PLN Persero Eko Sulistyo menyampaikan, bahwa tulang punggung institusi PLN adalah pekerja.

“Meskipun perayaan HUT bersama ini baru pertama diselenggarakan, tetapi serikat pekerja sangat terkait dengan pendirian PLN dan pendirian bangsa Indonesia. Di awal, sebelum nasionalisasi, serikat pekerja sudah berupaya untuk mengambil alihan ketenagalistrikan untuk diserahkan ke pangkuan ibu pertiwi,” ujar Eko.

Menurutunya, saat ini PLN ada tekanan dalam hal finansial dan upaya untuk melakukan transformasi. Namun demikian, kita wajib percaya diri dengan adanya pertumbuhan yang makin baik pasca pandemi. Di mana sektor ketenagalistrikan menjadi pilar utama untuk menjaga pertumbuhan itu.

“Kita tidak hanya bekerja di sektor ketenagalistrikan. Tetapi ada mandat sosial untuk kebangkitan pasca pandemi,” tegasnya.

Ditambahkan, terkait dengan tantangan transformasi, semua bisnis sektor kelistrikan di tingkat global juga mengalami pergeseran. Ini mengharuskan kita berbenah, salah satunya adalah ke energi terbarukan. Untuk itu, kita akan selalu menjaga proses itu agar sesuai dengan apa yang sudah menjadi komitmen pemerintah dalam Paris Agreement.

Direktur Manajemen SDM PLN Syofvi Felienty Roekman berharap, dengan bertambahnya usia SP PLN Group akan menjadi organisasi yang semakin matang. Bagaimana pun, lanjutnya, serikat pekerja adalah mitra perusahaan dalam membangun hubungan industrial yang harmonis dan kondusif demi kemajuan PLN untuk mewujudkan agenda transformasi PLN.

“PLN sudah menjalankan program transformasi, menjadi perusahaan listrik yang terkemuka se Asia Tenggara dan pilihan nomor satu bagi pelanggan,” ujar Syafvi.

Syafvi menyampaikan bahwa PLN memiliki empat aspirasi yang menjadi arah perubahan PLN, yaitu Green, Lean, Innovative, dan Customer Focused.

“Melalui Aspirasi Green, PLN terus meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan untuk menghasilkan listrik. Dengan Aspirasi Lean, PLN memastikan pengadaan listrik yang handal dan efisien. Sedangkan, dengan Innovative, PLN akan memperluas sumber pendapatan baru. Terakhir, Customer Focused akan menjadikan PLN sebagai pilihan nomor satu pelanggan dalam solusi energi dan mencapai 100 persen elektrifikasi,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua Umum SP PLN M Abrar Ali menegaskan bahwa serikat pekerja bukan hanya membela, melindungi, dan memperjuangkan anggota. Lebih dari itu, serikat pekerja membela kepentingan negara.

“Kita diamanatkan untuk mengelola asset strategis bangsa. Kita adalah abdi negara,” ujarnya.

“Kita merupakan kepanjangan tangan dari presiden dalam mengelola ketenagalistrikan yang ada di ibukota negara sampai di daerah terluar Indonesia, sehingga listrik bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia.”

Disampaikan Abrar, ada satu filosofi, bahwa manusia itu hidup adaptif dengan perubahan. Pertanyaannya kemudian, ketika berubah, apakah perubahan itu aman? Aman bagi orangnya, aman bagi hartanya, dan aman bagi kampungnya. Jangan sampai perubahan yang ada justru membahayakan.

“Karena kita mempunyai kepentingan nasional untuk menjaga asset strategis bangsa, sudah sewajarnya dibuka ruang untuk membangun komunikasi terhadap perubahan yang ada,” lanjutnya.

Terhadap pengelolaan SDM, karena ini merupakan perintah UU yang berlaku seluruh BUMN, harus diatur di dalam PKB. Karenanya, Abrar berharap, dalam hal pengangkatan, pemberhentian, hingga hak dan kedudukan karyawan dibicarakan terlebih dahulu dengan serikat pekerja.

Menyambung sambutan yang disampaikan Ketua Umum SP PLN, Sekretaris Jenderal SP PJB Dewanto Wicaksono mengatakan, bahwa 22 tahun bukan usia yang muda bagi sebuah serikat. Ini usia yang cukup matang. Karenanya, perayaan HUT bersama ini adalah momen yang sangat baik bagi karyawan dan serikat untuk merapatkan barisan, karena tantangan ke depan cukup berat.

“Serikat memiliki fungsi untuk mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Tetapi ada isu yang lebih penting, yaitu menjaga keberlangsungan perusahaan,” kata Dewanto.

Dalam kaitan dengan itu, serikat pekerja sebagai partner manajemen mendapat amanah, tidak hanya dilindungi undang-undang, tetapi juga diatur di dalam PKB dan AD/ART. “Kami memiliki kewajiban untuk meningkatkan kinerja perusahaan,” lanjutnya.

Mereka yang ada di dalam serikat adalah orang-orang pilihan. Orang super. Karena selain bekerja untuk kepentingan perusahaan, tetapi juga masih menyempatkan diri untuk memikirkan serikat.

Dewanto menyampaikan, selain menjaga kesejahteraan anggota, serikat juga berfikir tentang peran dan fungsi pekerja di dalam BUMN. Bagaimana pun, serikat pekerja di lingkungan PLN diberi amanah oleh para pendahulu dan rakyat. Bahwa PLN sebagai perusahaan tidak hanya mengejar keuntungan. Tetapi di jugamemiliki kewajiban sebagai Public Service Obligation (PSO).

“PSO kita adalah rasio elektrifikasi, yang saat ini sudah hampir mendekati 100. Sebagai perusahaan negara, kita harus bisa menyeimbangkan antara mengejar keuntungan dan perusahaan good sevices,” pungkasnya.

Dalam sambutannya, Ketua Umum PP IP Dwi Hantoro meminta agar kebersamaan ini menjadi momentum untuk kembali ke fitrah pembentukan serikat pekerja. Di mana serikat pekerja PLN Group dibentuk dari gerakan reformasi dan pembaharuan di Indonesia.

Karena itu, serikat pekerja harus mengawal agar perusahaan tetap tumbuh dan berkembang. Dengan kondisi saat ini yang penuh dengan dimanika menerpa perusahaan, maka pejerja harus lebih solid.

“Kita samakan frekwensi dan semangat. Bahwa ketika perusahaan maju, maka pekerjanya sejahtera,” kata Dwi. Sebagaimana yang disampaikan undang-undang, lanjut Dwi, kita mempunyai tugas untuk menjaga konsistensi dan kedaulatan energi, terutama di bidang ketenagalistrikan.

“Serikat pekerja terdiri dari orang-orang hebat, yang bisa menyeimbangkan tugas di perusahaan dan amana dari sisi serikat,” tegasnya.

Sambutan tidak hanya disampaikan dari dalam negeri, tetapi juga disampaikan oleh pimpinan serikat pekerja global. Sekretaris Jenderal Public Services International (PSI) Rosa Pavanelli juga memberikan sambutan dalam perayaan HUT SP PLN Group ini.

Rosa menyampaikan, PSI sebagai Federasi Serikat Pekerja Global beranggotakan 30 juta pekerja yang diwakili oleh 700 afiliasi serikat pekerja di 154 negara.

“Pekerjaan Anda sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat, yang sepenuhnya tergantung pada akses terhadap pelayanan listrik yang terus-menerus dan bisa diandalkan,” kata Rosa. Disampaikan, bahwa pandemi  Covid-19 mendorong pembangunan teknologi yang berkesinambungan telah menyoroti kebutuhan untuk memastikan pelayanan energi bagi semua. Ini menjadi semakin jelas, bahwa serikat menjadi bagian penting dari perjuangan untuk mengurangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan di seluruh dunia.

Namun, ujar Rosa, lebih dari 30 tahun ini lebih banyak pembangkit listrik telah diprivatisasi. Berubah dari pelayanan pada rakyat dan masyarakat menjadi sumber laba/keuntungan  bagi perusahaan dan lembaga keuangan.  Menurutnya, ini adalah bagian dari serangan global terhadap pelayanan publik di air, kesehatan,  pendidikan, transportasi, dan lain-lain.

Dalam hal ini, Rosa mengapresiasi perjuangan yang dilakukan serikat pekerja di PLN Group. Karena telah berhasil berjuang melawan tren privatisasi di Indonesia dengan kepemimpinan yang solid dan mobilisasi anggota yang kuat.

“Saya bangga bahwa pengalaman PSI dalam privatisasi energi di lintas negara selama bertahun-tahun telah membantu serikat Anda utuk membangun argumentasi dan membawa bukti-bukti mengenai bahaya privatisasi di sektor energi,” ujarnya.

Di Indonesia SP PLN Group memenangkan dua kasus penting di pengadilan yang akan melindungi system energi public. Namun demikian, ada saja pihak yang menggunakan trik kotor untuk melemahkan serikat pekerja Anda. “Namun Anda mampu untuk melawan dan saya sangat senang melihat Anda membangun kembali setelah serangan-serangan ini; bahwa Anda mengorganisir dan memperkuat solidaritas pekerja dan persatuan,” tegasnya.

Rosa juga menyampaikan, bahwa ia baru saja menandatangani surat untuk Presiden Indonesia Joko Widodo dan mendesak pemerintah Indonesia untuk melawan tekanan baru untuk mem-privatisasi pembangkit energi panas bumi dan uap berbahan bakar batubara. Dalam surat tersebut, Rosa menawarkan layanan PSI untuk pemerintah guna memberikan pemahaman tentang bahaya dari privatisasi energi dari negara-negara lain.

“Anda tahu bahwa Anda dapat mengandalkan PSI; bahwa kami tetap  berada di sisi Anda selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun yang akan datang untuk membangun kekuatan serikat pekerja Anda. Dan untuk membela kualitas layanan energi public untuk semua akan menjadi penting bagi PSI secara global. Untuk membagikan pengalaman anda, tekad anda, dan perlawanan ajeg anda untuk membela pekerja sektor public  hak-hak di sektor energi dan untuk membela sistem energi publik,” tegas Rosa.

Tidak hanya Rosa Pavanelli. Sekretaris Regional Public Services International (PSI) Asia Pasifik Kate Lappin juga memberikan ucapan selamat. Kate menyampaikan terima kasih karena sudah mengundang PSI untuk merayakan ulang tahun bersama SP PLN Group.

“Pandemi sudah memisahkan kita. Tetapi hal itu tidak meruntuhkan solidaritas kita,” kata Kate Lappin.

Kate mengingatkan, di tahun sebelumnya kita terus melanjutkan upaya untuk menemukan cara untuk membangun kekuatan, dari gerakan buruh tingkat global dan dari perjuangan tingkat lokal, seperti yang telah dilakukan SP PLN Group.

“PSI bangga telah menjadi bagian dari perjuangan Anda selama bertahun-tahun untuk membela pekerja dan hak rakyat untuk mendapatkan energi di Indonesia. Kami juga bangga atas semua kerja yang dilakukan untuk membawa seriakat pekerja di sektor energi untuk bersama-sama melawan tantangan baru yang terjadi di tahun lalu, ketika pemerintah Indonesia sekali lagi mengancam pekerja dan listrik milik rakyat,” ujarnya.

Kate juga memberikan pengakuan terhadap apa yang telah dilakukan oleh Indah, yang telah dan akan terus “menjadi juara” bagi Anda semua dan untuk seluruh afiliasi PSI di Indonesia. “Saya tahu dia juga merasa bangga telah bekerja bersama Anda dan mendukung perjuangan Anda selama tahun-tahun lalu,” tegasnya.

“Kawan-kawan semua,” lanjut Kate Lappin, “anda memiliki sejarah yang membanggakan. Sebuah sejarah yang legendaris di kalangan keluarga PSI. Anda adalah pembela pekerja di sektor energi, untuk memastikan para pekerja mendapatkan upah dan kondisi kerja yang layak mereka terima.”

“Anda adalah pembela hak atas energi untuk seluruh rakyat Indonesia. Sebuah hak asasi manusia yang membolehkan negara dan masyarakat untuk sejahtera dan tidak ada satupun yang dikecualikan. Anda adalah pembela konstitusi Indonesia dan semua hak yang ada di dalamnya untuk memastikan pelayanan public, terutama pelayanan public di bidang energi tetap merupakan sebuah hak bagi rakyat dan bukan untuk perusahaan .”

Ditegaskan Kate, tidak ada sejarah yang lebih membanggakan dibandingkan dengan sejarah atas dedikasi pekerja bagi rakyat, bagi demokrasi dan bagi aturan hukum.”

Dia juga menyinggung persoalam omnibus law. Menurutnya, pada tahun lalu, pemerintah Indonesia telah menggunakan pandemi sebagai sebuah kesempatan untuk mendorong Omnibus Law yang berbahaya sebagai hadiah bagi yang kaya dan memiliki kuasa. Undang-undang ini merampok pekerja dari hak-hak mereka dan mempromosikan privatisasi.

Dan sekarang, lanjutnya, para politisi dan perusahaan kroni-kroni mereka sedang menggunakan taktik dengan menciptakan perusahaan holding dan melakukan IPO untuk menjual Sebagian dari energi public Anda. Itu memiliki tujuan yang sama dengan privatisasi energi, dimana si kaya akan mendapatkan keuntungan dan para pekerja dan rakyat yang membayar harganya.

Pengalaman PSI di seluruh dunia membuktikan, hanya ada satu alasan untuk melakukan privatisasi energi dan hal tersebut untuk membuat si kaya makin kaya. Semua klaim lain yang dibuat oleh pemerintah dan Bank Pembangunan adalah kebohongan.

“Tidak akan ada lebih banyak energi karena kita tahu bahwa perusahaan-perusahaan tidak berinvestasi pada energi baru, mereka hanya membeli apa yang telah dibangun oleh public,” ujarnya. Kemudian ditegaskan, bahwa tidak akan ada pengurangan harga. Alih-alih rakyat akan membayar lebih mahal dan pemerintah akan kehilangan kendali untuk menentukan harga, terutama untuk mereka yang membutuhkan, rakyat paling miskin dalam masyarakat.

Selain itu tidak akan ada penambahan kesempatan kerja, yang akan terjadi adalah sebaliknya. Perusahaan akan mencoba untuk memecat pekerja dan menurunkan upah, membuat tempat kerja menjadi makin berbahaya

“Sekarang mereka menggunakan perubahan iklim sebagai alasan lain untuk memprivatisasi energi. Tapi kita tahu bahwa satu-satunya cara untuk menangani krisis iklim dan membangun energi terbarukan dan bersih.”

Menurut Kate, untuk membuat transisi dari bahan bakar fossil adalah dengan adanya energi rakyat, seperti PLN untuk membangun energi yang kita butuhkan untuk masa depan. “Namun, Anda sudah tahu semua mengenai hal ini dengan sangat baik. Anda semua telah berjuang dalam perjuangan ini bertahun-tahun, dan Anda telah menang.”

“Jadi, dalam acara ulang tahun ini, ulang tahun Anda, mari kita rayakan kemenangan Anda, sejarah membanggakan Anda. Mari membangun komitmen komitmen kita untuk memperjuangkan kerja layak bagi energi public untuk semua dan untuk gerakan pekerja yang lebih kuat dan penuh kekuatan di Indonesia, di wilayah Asia Pasifik dan di dunia,” pungkasnya.