Melawan Privatisasi, Menghilangkan Ketergantungan Swasta, Memperkuat BUMN Ketenagalistrikan

Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS) yang di dalamnya terdapat serikat pekerja ketenagalistrikan seperti SP PLB, PP IP, dan SP PJB mendatangai Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (8/5). Kehadiran mereka ke MK untuk menghadiri persidangan uji konstitusional bagian ketenagalistrikan UU No 6 tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang dinilai melanggar konstitusi.

Ini sekaligus sebagai bentuk penegasan atas perlawanan terhadap privatisasi listrik melalui uji konstitusional UU Cipta Kerja dengan menghilangkan ketergantungan listrik dari swasta dan memperkuat BUMN Ketenagalistrikan sesuai cita konstitusi.

Ketua Umum SP PLN Muhammad Abrar Ali ketika membacakan siaran pers GEKANAS di depan Gedung MK mengatakan, data 2021, negara mengalami Kelebihan pasokan energy listrik dengan kasitas terpasang 72 GW dan daya rat-rat digunakan sebesar 40 GW. Dan perkirakan di tahun 2023, Indonesia Oversupply sebanyak 60% dari kebutuhan maksimal harian.

“Pasokan energi listrik saat ini disokong oleh Pembangkit swasta sebesar 28% atau sebesar 22 GW dan diperkirakan pada tahun 2023 ini mencapai 30 GW, dengan masuknya pembangkit yang tergabung dalam proyek 35 GW,” tegasnya. Abrar melanjutkan, di dalam skema perjanjian Kerjasama dengan Pembangkit Swasta /Independence Power Producer (IPP) listrik yang dihasilkan digunakan atau tidak digunakan tetap harus dibayar.

Dijelaskan, pada tahun 2003 MK telah memutuskan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum wajib dilakukan secara terintegrasi mulai dari bisnis pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan. 

“Listrik tak dapat disangkal, sudah menjadi kebutuhan dimana masyarakat sangat bergantung. Manusia mungkin masih bisa hidup tanpa listrik, tapi ketiadaan listrik membuat banyak hambatan bagi manusia,” ujarnya. Itu artinya, listrik sebagai hajat hidup masyarakat banyak senantiasa perlu dipastikan agar negara tetap menjalankan amanat konstitusi dan cita pancasila. 

Dalam kesempatan ini juga disampaikan, beberapa dalil terkait pelanggaran konstitusi UU Cipta Kerja. Di mana UU Cipta Kerja mengaburkan frase usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum yang serharusya dilakukan secara terintegrasi berdasarkan 2 putusan MK terdahulu. Selain itu, tidak adanya peran DPR RI dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional sehingga mengurangi pengawasan publik terhadap pelaksanaan usaha ketenagalistrikan oleh pemerintah, hingga perlu penegasan bahwa pembelian listrik berlebih tidak boleh dilakukan didaerah yang telah surplus listrik.

Bersama-sama dengan GEKANAS, setidaknya ada tiga hal yang hendak dipastikan oleh serikat pekerja ketenagalistrikan SP PLN, PPIP, dan SB PJB. Pertama, meminta agar Pemerintah dan DPR RI jangan malu melaksanakan putusan MK terkait ketenaglistrikan. Kedua, Negara harus menghilangkan ketergantungan pada pasokan listrik swasta (IPP) dan memberdayakan BUMN Ketenagalistrikan yang telah ada (PLN, PJB, dan Indonesia Power) sebagai pemasok energi listrik bagi bangsa ini.  Sedangakan yang terakhir, meminta negara membuka kontrak perjanjian kerjasama dengan IPP dengan skema take or pay yang merugikan bangsa jika dilakukan di wilayah surplus energi.

Serikat Pekerja Ketenagalistrikan Selenggarakan Project Committee Management Meeting (PCM)

Pimpinan serikat pekerja sektor ketenagalistrikan yang terdiri dari SP PLN, PPIP, SP PJB, SPEE FSPMI, dan SERBUK menghadiri Project Committee Management Meeting di Jakarta, Rabu (13/4). 

Membuka pertemuan, Indah Budiarti menyampaikan, ada tiga hal yang akan dilakukan dalam PCM kali ini. Pertama, membahas isu terkini serikat pekerja, termasuk aktivitas kegiatan, keanggotaan, dan kepengurusan. Kedua, persiapan kunjungan SASK dan JHL yang akan hadir ke Indonesia pada 6-9 Juni 2023 untuk bertemu serikat pekerja dan melakukan observasi terkait aktivitas serikat. Yang ketiga, buka puasa bersama.

Mengawali paparannya terkait dengan situasi terkini di serikat pekerja, Sekretaris Umum SPEE FSPMI Slamet Riyadi menyampaikan, “Untuk sektor elektronik elektrik, kondisi ketenagakerjaan yang paling terdampak adalah di sektor elektronik. Ekonomi global sedang turun akibat perang Ukraina. Banyak barang yang sudah di ekspor tidak laku dan numpuk di gudang. Hal ini diperparah dengan susahnya bahan baku dan dampak covid yang belum sepenuhnya pulih.” 

“Permasalahan lain adalah dampak dari UU Cipta Kerja, yakni perubahan aturan PKB yang kualitasnya mengalami penurunan. Khususnya terkait dengan uang pesangon. Pengusaha meminta berunding untuk menurunkan nilai pesangon sesuai dengan undang-undang. Ketika PUK menolak, justru pengurusnya di PHK dengan beragam alasan,” ujar Slamet.

Slamet juga menyampaikan, di perusahaan alih daya PLN yang terdapat di Cirebon, saat ini sedang terjadi PHK 123 orang. Awalnya, mereka tidak bersedia menandatangani perjanjian kerja baru yang mengalami keturunan upah akibat kebijakan volume based yang diterapkan PLN. “Karena mereka tidak mau, akhirnya dimutasi ke Sumatera Utara. Buruh menolak, kemudian dianggap mengundurkan diri,” ujarnya.

Senada dengan Slamat Riyadi, Happy Nur Widiatmoko dari SERBUK menyampaikan, bahwa kondisi yang dialami SERBUK tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di SPEE. Menurutnya, saat ini pekerjaan buruh OS PLN semakin berat. Tetapi upah ditekan, dan tidak ada jenjang karir.  Celakanya tidak ada perbedaan upah antara pekerja baru dan lama. Hanya ada TMK yang sangat kecil. 

Namun kabar baiknya, menurut Happy, karena tekanan kerja yang cukup tinggi, banyak yang mulai menyadari pentingnya untuk berserikat. Ada penambahan anggota, dan rencana pembentukan serikat pekerja baru,

Sekjend SP PJB Ide Bagus Aksara menyampaikan, untuk iternal, saat ini SP PJB sedang menyelesaikan penyusunan juknis PKB. Sedangkan permasalahan yang sedang hangat adalah terkait dengan ekses dari dua hal yang sekarang sedang diksanakan kementerian BUMN dan PLN yaitu: holdong subholindg dan perubahan peraturan kepegawaian. 

“Dari dua hal itu, ada potesi merugikan karyawan. Kita ingin ketika ada perubahan, tidak merugikan kepentingan anggota,” tegasnya.

Berikutnya, Andy Wijaya sebagai Sekjend PPIP menyampaikan, pada bulan Mei hingga Juli 2023, PPIP akan melaksanakan musyawarah unit kerja untuk 20 unit kerja. Sementara itu, pada bulan Agustus akan dilakukan Kongres.

Sedangkan untuk eksternal, tergabung dalam 10 serikat/pekerja dan 111 pemohon, PPIP sudah mendaftarkan judicial review UU 6/2023, baik formil maupun materiil. Di mana khusus untuk materiil, gugatan klaster ketenagakerjaan dan klaster ketenagalistrikan dipisah.

“Tujuannya agar isu klaster ketenagalistrikan bisa naik. Pengalaman kemarin, ketika digabung, yang naik hanya isu ketenagakerjaan,” tegasnya.

Menurut Andy, PPIP akan melakukan roadshow ke Thailand dengan membawa 25 orang delegasi. Tujuannya adalah untuk mendiskusikan tentang JTEP, mengingat ada tiga negara yang sedang menjadi percontohan. Indonesia, Filipina, dan Thailand. 

Mendapat kesempatan terahir, Muhammadd Abrar Ali sebagai Ketua Umum SP PLN menjelaskan, bahwa SP PLN ikut menjadi pemohonan dalam judicial review Perppu Cipta Kerja. Ia berharap, MK akan memutuskan judicial review ini dengan berpihak pada kepentingan rakyat. Sementara itu, terkait dengan dengan PKB yang sudah ditandatangani, banyak pekerja yang tadinya bergabung dengan serikat pekerja lain sudah kembali ke SP  PLN. 

Menyingung terkait rencana kunjungan SASK – JHL ke Indonesia pada tanggal 6 – 9 Juni 2023, Indah berharap semua pimpinan serikat pekerja bisa meluangkan waktu dan ikut hadir dalam pertemuan ini. Di mana selama kurun waktu 4 hari tersebut ada beberapa kegiatan yang sudah direncanakan.

Di antaranya adalah Seminar tentang Transisi Energi Berkeadilan untuk memperkuat posisi dan advokasi serikat pekerja, pertemuan dengan partner yang meliputi SP PLN, SP PJB, PPIP, SPEE FSPMI, dan Serbuk, kunjungan ke Kantor Serikat Pekerja dan bertemu managemen, serta kampanye dan advokasi bersama untuik memmpromosikan tempat kerja yang bebas dari kekerasan dan memajukan hak-hak serikat pekerja. 

Usai membahas mengenai perkembangan/kondisi terkini dari serikat pekerja dan rencana kunjungan SASK dan JHL ke Indonesia, pertemuan ditutup dengan buka bersama.

Strong Leadership in Unions is the Key to to Quality Collective Bargaining Agreement

It is important for union leaders to participate in trainings that will equip them with skills needed to run the organization in a professional and dynamic way. In doing the struggle for the rights and interest of the workers, they must posses the understanding and insight about the current socio-economic-political situation, labor laws and regulations, skill to handle industrial relation disputes, collective bargaining agreement and skill to do negotiation, and organizational communication skill. Given that union leaders are the representatives of workers’ interest. Those points were made by Indah Budiarti, PSI Project Coordinator, in her opening remarks on the Training for Trade Union Leaders and Collective Bargaining organized by PSI/SASK Advancing Trade Union Rights Project located in 5G Resort Cijeruk, Bogor, West Java.

This training was held from 27 February to March 1, 2023 and participated by 23 union leaders from SP PLN, PPIP, SP PJB dan SPEE-FSPMI.

Further, Indah Budiarti explained the purpose of the training was to increase the capacity and ability of union leaders in organizing and leading the unions. In addition to that, to build the capacity and administrative quality of union leaders in acting their roles and fucntion in their respective unions; as well as to improve the qualty and skill of leaders in running the organization which is fraught with obstacles and dynamics.

The first session of the training started with a presentation delivered by Indah Budiarti which basically explained the current labor situation in Indonesia. The presentation briefly offered information on Indonesia’s population and the demographic bonus, economic situation in relation to the VUCA (Volatile, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) as well as economic disruption, unemployment, union density, and union power, and also the future of union.

Next session was a discussion led by Bro Suherman from SPEE FSPMI. The theme of the discussion was “trade union leadership: who to do as union leaders”. Bro Suherman invited participants to think about how union leaders are the core team in any union, hence, they must formulate the steps and method of their work in order to build the capacity and quality of the union they run. Therefore, the union will be useful for the members and workers. He mentioned that union programs will be helpful for them to do their job in a structured way. Unions is also about collective leadership and leadership that represents their members. Building trust and capacity to work in a team is necessitate.

In the second day of the training, Bro Ismail Rifai and Bro Suherman, both from SPEE FSPMI, talked about Industrial Relation dispute settlement. The sessions was fundamental that introduced participants with terms such as bipartite, mediation/concilliation/arbitration, and industrial relation court.

Following that was the session about building an effective communication in a dynamic union. The session was led by Kahar S. Cahyono, the Information and Communication officer of KSPI.

In his session, Kahar explained that the dynamic movement of a trade union must involve interaction between the members of the union, union leaders, and external parties such as the management, government, and public. Therefore, understanding the effective communication is very important for trade union to be a dynamic movement.

Being able to communicate effectively improves the ability to convey messages clearly and appropriately. It is very important for unions to be able to communicate effectively in order to conve the message and the movement’s goals to their members, other union leaders, and external parties. The unclear and ineffective communication could create misunderstanding and disruption to the movement’s course to achieve its goals.

According to Kahar, effective communication will strengthen the coordination and collaboration of union members. It will also help to strengthen the coordination and collaboration between union members in achieving their collective goal. By communicating effectively, union members would be able to understand thier respective duties and responsibilities and work together to achieve their collective goals.

In doing its work, a union oftentime requires to influence externals parties such as the company management or the government. An effective communication will help unions to strengthen their capacity to influence the external parties and achieve their collective goal.

“An effective communication will increase union members’ participation in the movement. Members would feel that their voices is heard and then tend to get involve in the activities and retain their support for the union’s objective,” said Kahar.

“In negotiating a collective bargaining agreement, union leaders must fight for their members’ rights and interests in a fair way and in favor of the workers. They also must create an agreement that benefits both parties. Therefore, training and capacity building for union leaders is a necessitate in order to formulate and then come to a good and sustainable collective bargaining agreement,” he added.

Some other important points discussed in the training was Collective Bargaining Agreement and Trade Union, techniques and skills in CBA negotiation, and dynamic union leadership.

On these points, Herman explained that union must master the techniques and skills of negotiation. Both of them are the most effective tools to accomplish the organization’s goals dan fight for the workers’ rights. In the context of CBA negotiation between the union and management, negotiation skill is important for union leaders to attain the agreement that benefits members most.

Maintaining good relation between the union and the company is also another important point. A good negotiation could help to maintain a good relation between the union and the company. By speaking in a polite way and repsect the other parties, union leaders could create a positive atmosphere in a negotiation and promote a productive dialogue.

“By using a good negotiation skill, union leaders could then minimize the risk of potential conflict and promote constructive dialogue with mangement, hence, achieve the better result for both parties involved,” he said.

At the end of the session, participants were invited to discuss and analyze their respective union’s situation by using SWOT analysis, and how union leaders together with the members build a strong, united, and big unions. It is expected that coming back from the training, participants will be able to implement their newly acquired knowledge in their respective contexts and unions. Therefore, unions will be better in their works to defend, protect, and fight for their members.


Kepemimpinan yang Kuat di Dalam Serikat, Kunci Terwujudnya Perjanjian Kerja Bersama Berkualitas

Penting bagi bagi pengurus serikat pekerja untuk mengikuti pelatihan demi membekali diri dengan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan dalam menjalankan organisasi serikat pekerja secara professional dan dinamis. Dalam memperjuangkan hak dan kepentingan para pekerja, mereka harus memiliki pemahaman yang baik tentang situasi socio-ekonomi-politik, peraturan perburuhan, ketrampilan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, perjanjian kerja bersama dan ketrampilan negosiasi, dan keterampilan komunikasi organisasi. Hal ini mengingat, bahwa pengurus adalah perwakilan yang mewakili kepentingan para pekerja. Demikian disampaikan oleh Indah Budiarti, PSI Project Coordinator dalam kata pembuka pelatihan Pemimpin Serikat Pekerja dan Perjanjian Kerja Bersama yang diselenggarakan oleh PSI/SASK Advancing Trade Union Rights Project di 5G Resort Cijeruk, Bogor, Jawa Barat.

Pelatihan ini diselenggarakan dari tanggal 27 Februari sampai 1 Maret 2023 diikuti 23 orang peserta mewakili SP PLN, PPIP, SP PJB dan SPEE-FSPMI.

Lebih lanjut, Indah Budiarti menyampaikan, tujuan dari pelatihan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas pemimpin serikat pekerja dalam ketrampilan berorganisasi dan memimpin serikat pekerja. Di samping itu, untuk membangun kapasitas dan kualitas administrative pemimpin serikat pekerja dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam organisasi serikat pekerja; serta meningkatkan kualitas dan ketrampilan pemimpin dalam menjalankan organisasi serikat pekerja yang penuh dengan tantangan dan dinamika.

Sesi pertama pelatihan diawali dengan presentasi dari Indah Budiarti yang memaparkan situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Presentasi ini memberikan kilasan informasi akan situasi terkini terkait kondisi jumlah penduduk dan bonus demografi, kondisi ekonomi terkait dengan era VUCA (Volatile, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) dan disrupsi ekonomi, pengganguran, densitas serikat dan kekuatan serikat, dan masa depan serikat pekerja.

Sesi berikutnya diisi oleh Bro Suherman, SPEE-FSPMI, membawa peserta dalam diskusi “kepemimpinan dalam serikat pekerja: menjadi pengurus dan apa yang harus dilakukan”. Bro Suherman mengajak peserta untuk mendalami bahwa pengurus adalah tim inti dalam serikat pekerja, langkah dan kerja mereka menentukan kapasitas dan kualitas bagaimana serikat pekerja itu dijalankan dan manfaatnya bagi para anggota dan pekerja. Program kerja yang dibuat membantu mereka untuk melakukan pekerjaan secara lebih terstruktur. Serikat pekerja adalah juga kepemimpinan kolektif dan kepemimpinan yang mewakili anggotanya. Membangun kepercayaan dan kemampuan untuk melakukan kerja dalam tim sangatlah dibutuhkan.

Hari ke dua pelatihan, Bro Ismail Rifai dari SPEE-FSPMI  dan Bro Suherman mengisi materi tentang Penyelesaian Hubungan Industrial. Dalam sesi ini materi masih sangat mendasar, tetapi mengenalkan peserta mengenai bipartit, mediasi/konsiliasi/arbitrasi, dan pengadilan hubungan industrial.

Selanjutnya, materi mengenai membangun komunikasi efektif dalam pergerakan serikat pekerja yang dinamis adalah materi yang dibawakan oleh Kahar S. Cahyono, sebagai Ketua Bidang Infokom KSPI.

Disampaikan Kahar, pergerakan serikat pekerja yang dinamis melibatkan interaksi antara anggota serikat, pemimpin serikat, dan pihak eksternal seperti perusahaan, pemerintah, dan masyarakat. Oleh karena itu, memahami komunikasi efektif sangat penting dalam pergerakan serikat pekerja yang dinamis.

Hal itu, karena, akan meningkatkan kemampuan untuk menyampaikan pesan dengan jelas dan tepat. Dalam serikat pekerja, komunikasi yang jelas dan tepat sangat penting untuk menyampaikan pesan dan tujuan gerakan secara efektif kepada semua anggota serikat, pemimpin serikat, dan pihak eksternal. Komunikasi yang tidak jelas atau tidak tepat dapat menyebabkan ketidaksepahaman dan mengganggu tujuan gerakan.

Menurut Kahar, dengan kemampuan berkomunikasi yang efektif, akan memperkuat koordinasi dan kolaborasi antara anggota serikat. Komunikasi yang efektif dapat membantu memperkuat koordinasi dan kolaborasi antara anggota serikat dalam mencapai tujuan gerakan. Dengan komunikasi yang efektif, anggota serikat dapat memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

Dalam serikat pekerja, seringkali ada kebutuhan untuk mempengaruhi pihak eksternal seperti perusahaan atau pemerintah. Komunikasi yang efektif dapat membantu memperkuat kemampuan serikat pekerja dalam mempengaruhi pihak eksternal dan mencapai tujuan gerakan.

“Komunikasi yang efektif dapat membantu meningkatkan partisipasi anggota serikat dalam gerakan. Anggota serikat yang merasa didengar dan dipahami akan lebih cenderung terlibat dalam kegiatan dan mempertahankan dukungan terhadap tujuan gerakan,” ujar Kahar.

“Dalam perjanjian kerja bersama, pemimpin/pengurus serikat pekerja harus mampu memperjuangkan hak dan kepentingan para pekerja dengan cara yang adil dan menguntungkan, serta mampu mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, pelatihan dan pengembangan keterampilan bagi pemimpin/pengurus serikat pekerja merupakan hal yang penting untuk mencapai perjanjian kerja bersama yang baik dan berkelanjutan,” ujarnya.

Hal lain yang disampaikan dalam pelatihan ini adalah berkaitan dengan Perjanjian Kerja Bersama dan Serikat Pekerja, teknik dan keterampilan Negosiasi PKB, dan kepemimpinan serikat pekerja yang dinamis.

Dalam hal ini, Herman menjelaskan, pengurus serikat pekerja perlu menguasai teknik dan keterampilan negosiasi karena negosiasi merupakan salah satu alat yang paling efektif dalam mencapai tujuan organisasi dan memperjuangkan hak-hak pekerja. Dalam konteks perundingan antara serikat pekerja dan pengusaha, keterampilan negosiasi yang baik dapat membantu pengurus serikat pekerja untuk memperoleh kesepakatan yang lebih menguntungkan bagi anggota serikat pekerja.

Menjaga hubungan yang baik antara serikat pekerja dan pengusaha: Negosiasi yang baik juga dapat membantu menjaga hubungan yang baik antara serikat pekerja dan pengusaha. Dengan berbicara dengan sopan dan menghormati pendapat lawan bicara, pengurus serikat pekerja dapat menciptakan atmosfer yang positif dalam perundingan dan mempromosikan dialog yang produktif.

“Dengan menggunakan keterampilan negosiasi yang baik, pengurus serikat pekerja dapat meminimalkan risiko konflik dan mempromosikan dialog yang konstruktif dengan pengusaha. Ini dapat membantu menghindari tindakan yang tidak produktif dan memperoleh hasil yang lebih menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat,” ujarnya.

Mengakhiri sesi peserta diajak diskusi untuk menganalisa SWOT kondisi serikat pekerja mereka masing-masing dan bagaimana pengurus bersama anggota menjadi serikat pekerja besar, bersatu dan kuat.

Diharapkan, setelah pelatihan ini peserta bisa mengimplementasikan pengetahuan yang didapatkan selama pelatihan untuk sebesar-besarnya kepentingan anggota. Dengan demikian, serikat pekerja bisa lebih optimal dalam membela, melindungi, dan memperjuangkan anggotanya.

Public Services International (PSI) Ingatkan Dua Hal yang Mengakibatkan Harga Listrik Mahal

Andy Wijaya selaku perwakilan Public Services Internasional (PSI) mempertanyakan, mengapa harga energi yang terjangkau tidak menjadi isu strategis dalam pembahasan Strategic Environmental and Social Assessment (SESA) Preliminary Scoping Report Workshop yang diselenggarakan di Hotel Novotel Bogor pada tanggal 26-27 Januari 2023.

Pernyataan Andy merujuk pada paparan Masyita Crystallin dari Kementerian Keuangan yang menekankan Energy Transition Mechanism pada 2 hal yaitu just transition dan affordable, “Kenapa harga listrik yang terjangkau tidak menjadi isu pada sesi ini?” Tanya Andy Wijaya.

Lebih lanjut, Andy yang juga Sekretaris Jenderal Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP) ini menyampaikan, harga energi baru terbarukan sekarang ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga energi dari fosil, terutama batubara.

Mengingat eneri baru terbarukan juga akan dijual kepada masyarakat, tentu kita juga harus mengkaji dampak buruknya kepada masyarakat. Karena harga listrik yang mahal, akan membebani masyarakat.

Selain itu, lanjut Andy, Public Services Internasional (PSI) pernah melakukan beberapa study di Inggris, Afrika Selatan, dan Asia Tenggara.

“Study tersebut menyimpulkan, bahwa kepemilikan pembangkitan yang bukan oleh negara atau dimiliki oleh pihak swasta itu biasanya akan berdampak pada harga listrik yang semakin mahal,” ujar Andy.

Untuk itu, di tengah kondisi ketenagalistrikan Indonesia hari ini yang sedang over suplay, maka kedua hal tersebut harus menjadi perhatian serius oleh pemerintah. Karena bagaimana pun, persoalan energi terbarukan dan privatisiasi di sektor ketenagalistrikan akan berdampak pada mahalnya harga listrik.

PPIP Menduga Adanya Praktik Union Busting Gaya Baru

Union busting gaya baru. Barangkali ini adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi dengan perundingan addendum Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di PT Indonesia Power. Jika dulu union busting dilakukan dengan cara “menghilangkan” pengurus serikat pekerja. Tetapi yang sekarang terjadi adalah “menghilangkan” kewenangan serikat pekerja.

Normalnya, PKB di PT Indonesia Power akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2023. Tetapi baru pada tanggal 11 November 2022, perusahaan meminta untuk dilakukan perundingan addendum PKB. Atas permintaan tersebut, serikat pekerja memberikan balasan pada tanggal 15 November. Intinya, serikat pekerja setuju dilakukan perundingan. Baru kemudian tanggal 29 November dilakukan pertukaran SK juru runding, dan tanggal 30 November dilakukan pertukaran draft PKB.

Perundingan sendiri dijadwalkan akan diselenggarakan di Semarang pada tanggal 1-2 Desember 2022. Kemudian dilanjutkan di Bogor, tanggal 5-7 Desember 2022.

Mengapa harus ada addendum? Ini berawal dari kebijakan PT PLN (Persero) yang akan menugaskaryakan pegawainya ke Sub Holding. Di mana PT PLN (Persero) menegaskan, konpensasi (remunerasi dan benefit) pegawai yang ditugaskaryakan ke Sub Holding tidak akan lebih rendah dari kompensasi yang dibayarkan kepada pegawai PT PLN (Persero) yang ditugaskan ke Holding. Untuk memastikan hal itu, Sub Holding diminta untuk meratifikasi PKB PT PLN untuk menjamin kesetaraan hak-hak kepegawaian antara pegawai PT PLN (Persero) yang ditugaskaryakan ke Sub Holding dengan pegawai PT PLN (Persero) yang bertugas di Holding.

Bagi PPIP, kebijakan untuk meratifikasi PKB PT PLN (Persero) dinilai sebagai pemaksaan aturan dari PLN. Padahal, meskipun satu group, antara PT PLN dan PT Indonesia Power terdapat aturan yang berbeda. Sayangnya, ketika menetapkan aturan baru, PT PLN tidak mempertimbangkan sudah sejauh mana benefit yang didapatkan anak perusahaan. Jika kemudian PT Indonesia Power diminta mengikuti ketentuan PT PLN, maka bisa dipastikan beberapa kesejahteraan pegawai PT Indonesia Power akan turun.

Seharusnya Perusahaan Induk terlebih dahulu membuat pemetaan. Di bagian mana saja yang unggul, itulah yang dijadikan base line perubahan system. Jika harus mengikuti standard yang di tetapkan oleh Induk Perusahaan, maka banyak yang turun. Terutama di PT Indonesia Power dan PT PJB.

Dalam berunding, kedua belah pihak sifatnya setara. Tidak boleh dipaksakan. Dalam hal ini, PP IP memiliki hak untuk tidak setuju jika benefit yang selama ini diterima akan diturunkan. Masalahnya, Induk Perusahaan memiliki daya tekan. Mereka adalah pemegang persetujuan atas Rencana Kerja Anggaran (RKA) di anak perusahaan. Seperti biaya kepegawaian, biaya operasional, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, Induk Perusahaan mempunyai hak untuk mengurangi biaya kepegawaian. Dan jika itu terjadi, PT Indonesia Power sebagai anak perusahaan tidak bisa berbuat apa-apa. Artinya, ketentuan yang diatur di dalam PKB PT Indonesia Power tidak bisa dijalankan, karena anggarannya tidak disetujui oleh Induk Perusahaan.

Jika itu terjadi, apa namanya jika bukan pemaksaan? Dan pemaksaan sepihak untuk melakukan ratifikasi itulah yang patut diduga sebagai union busting gaya baru. Serikatnya masih ada, tetapi tidak bisa lagi memutuskan syarat kerja. Belum lagi adanya potensi pelanggaran dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu syarat sah perjanjian, khususnya dalam syarat Kesepakatan Para Pihak, Dimana kesepakatan para pihak tersebut harus lahir dari kehendak para pihak tanpa ada unsur kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Jika hal seperti ini terjadi di PLN Group, bukan tidak mungkin akan diterapkan di group-group yang lain.

Semangat dalam perundingan PKB mustinya adalah perbaikan, “More or Equal”. Tetapi kali ini dibayangi dengan penurunan. Perundingan kali ini dilakukan untuk mengakomodir Perdir 30. Padahal di dalam Perdir 30 tersebut terdapat sejumlah hal yang kualitasnya lebih rendah jika dibandingkan dengan apa yang telah di dapat oleh PT Indonesia Power.

Pegawai PT Indonesia Power mendukung penuh tim perunding serikat pekerja. Mereka tidak mau benefit yang selama ini didapatkan akan diturunkan. Dukungan itu dilakukan dengan membuat status serentak di media sosial dengan poster bertuliskan “We Support PPIP in Collective Bargaining Agreement! More or Equal.” Dengan tagar #WeStandWithPPIP.

Dukungan itu menjadi bukti, perundingan ini dikawal oleh ribuan anggota PPIP yang tersebar di berbagai daerah. Dan tidak hanya itu, Serikat Pekerja dan Pekerja yang lain pun juga mencermati apa yang terjadi di PLN Group. Mereka tidak ingin apa yang patut diduga sebagai “union busting gaya baru” ini sama juga terjadi tempat yang lain.

English version, below!

PPIP Suspects of New Style of Union Busting in the 2022-2023 CBA Addendum Negotiation

A new version of union busting. It only right to name the situation as a new version or new style of union busting. The situation in question is the addendum of Collective Bargaining Agreement (CBA) negotiation in PT Indonesia Power. If union busting was done by “removing” union leaders, now, by ‘removing’ the role and authority of union.

Normally, CBA in PT Indonesia Power will end on December 2023. However, on November11, 2022, the company requested an addendum to the CBA to be negotiated. The company sent a letter to the union for the request. Upon the request, the union replied on November 15, 2022 that the union agreed to prepare a revised CBA and appoint a negotiator. On November 30, the union and the company submitted their version of CBA revised draft.

The negotiation is scheduled to be held in Semarang on 1 to 2 December 2022. Then, it was continued in Bogor on 5 – 7 November .

Why addendum? It was started when PT PLN (Persero) issued a new policy of assigning their workers to work in their sub-holding companies. For this, PT PLN stated that the compensation (remuneration and benefits) for the workers who are assigned to the subholdings will not be lower than the compensation for workers who are assigned to the holding companies in order to ensure the implementation, sub holding companies must ratify PT PLN’s CBA. Hopefully, this will guarantee equality of workers’ rights between PT PLN (Persero) workers who are assigned to sub holding companies with the ones who are assigned to holding companies.

For PPIP, the requirement to ratify PT PLN’s CBA is seen as PT PLN enforces some rules to PPIP. Whereas, although under the same group, PT PLN and PT PPIP has its own distinct regulation. On the other hand, PT PLN does not consider the benefits that are already applicable in its subsidiaries, such as PT Indonesia Power. If PT Indonesia Power, then, follows the new policy imposed by PT PLN, there will be benefit loss or decrease in PT Indonesia Power.

What PT PLN should have done is to do an initial mapping. From the mapping, PT PLN would find out which benefit is higher then it would be the base line for systemic change. To follow the standards set by the mother company, there will be decrease in benefit, as the benefit in the subsidiaries are better than in the mother company, especially in PT Indonesia Power and PT PJB.

To hold a negotiation, both parties must be on an equal position. A negotiation must not be enforced. PPIP has the right to diasagree to the new benefit that would be lower than the benefit they received before the new policy. The poblem is mother company has a pressure power. They holds the veto over its subsidiaries Budget Workplan (Rencana Kerja Anggaran/RKA). The Budget Plan includes payrolls, operational cost, and many other item budgets. PT PLN, the mother company, holds the right to cut the payroll item in the Budget plan of its subsidiaries. If that should happen, PT Indonesia Power as a subsidiary of PT PLN will not be able to do anything. It means, whatever is agreed in the CBA of PT Indonesia Power will not be implemented.

If that happens, is it a coercion? A coercion to ratify PT PLN’s CBA is a union busting, a new version. The union still exists, but is no longer able to negotiate the requirement. There is also a potential violation of article 1320 of the Civil Code on the conditions that are required for the validity of agreements, specifically on the condition of the parties in agreement. There must be consent of the individuals who are bound thereby, meaning no coercion nor fraud; capacity to conclude an agreement, a specific subject, and an admissible cause. Should this happen in PLN Group, other companies will follow.

The spirit of a CBA negotiation is improvement, to be “More or Equal”. However, this time, it leads to a deterioration. The negotiation is done to accomodate the Director Regulation No. 30. Although in that regulation, there are lower qualities of benefits compared to what is applicable in PT Indonesia Power currently.

PT Indonesia Power workers support the union’s negotiation team. They do not want to lose the benefits that they have been having. The support is expressed in a social media simultaneous status with a poster of “We Support PPIP in Collective Bargaining Agreement! More or Equal,” and a hashtag #WeStandWithPPIP.

The support proves that this negotiation will be monitored by thousands of PPIP members all over Indonesia. In addition to that, union and other workers are scrutinizing what is happening in PT PLN Group. They do not want what is suspected as a new style of union busting to happen in other workplace, in or outside PLN Group.

Preparing to Face Workplace Dispute Settlement, Five Unions Parcitipated in Advocacy Training

Advocacy literally means mentoring support, suggestion, and defense. In the world of employment, advocacy is an activity or a series of activities in the form of suggestion, mentoring, statement of defense by union for its members or organizaton in response to a situation or problem.

It is very important for unions to have an advocacy skill, especially because advocacy is very critical to unions. In an employment relation, there is always a possibility for a ‘dispute’.

That is the backgroung of five unions participating in an advocacy training. The training titled “Developing Organising Strategy “Organiser’s Skills on Labour Laws and Dispute Settlement” located in 5G Resort, Bogor, on 7 – 10 November 2022. The five unions are: SPEE FSPMI, SP PLN, SP PPIP, SP PJB and SP SERBUK.

Suherman, one of the resource persons, explained that the first session of the training would discuss labor law and regulations in Indonesia in relation to industrial dispute settlement. The session also discussed the Basics of Labor Laws and the implementing and supporting regulations. Case studies were also included in the discussion. Along with Suherman, Mahfud Siddik and Aep Rianandar from Advocacy Team of the SPEE-FSPMI supporting this training as resource person.

Disputes between workers and employers basically happen with or without a violation of law that precedes. If a law violation precedes a dispute, there are several factors involved. Those factors are, among others, different understanding on labor law implementation (conflict of rights), a discriminative treatment by employer to workers; or, employers who do not fully understand the role and function of trade unions as a bagaining institution and workers’ representative.

Workplace dispute is avoidable. However, sometimes it is unavoidable due to several factors. First, a unilateral decision on sanction imposed by the employer regardless of the agreed regulation applicable in the company. The company only considers workers as a factor or production and are oriented to profit only (prioritize productivity). Second, failed negotiation as an effort to solve a problem due to bad and ineffective communication; and third, no recognizition for union as the institution that represents the workers in that workplace.

The next session discussed bipartite and mediation as parts of workplace dispute settlement. A dispute must be settled/negotiated between the trade union and management. After the trade union and management agree on the disputed matter, both will create a Collective Agreement. If the negotiation failed, both will go to mediation.

The session invited participants to do a mediation simulation. Participants were divided into two groups. One group played the role of the employers, the other the trade union/workers. The case used in the simulation was demotion of a worker accompanied by decrease in wage.

The simulation went well and was very interesting. Each group had a role, different problems, responses and answers. The session used undated legal terms and legal arguments.

The seminar about Understanding Dispute Settlement in the Industrial Relation Court (PHI) was delivered by Aep Risnandar. The seminar was followed by a simulation of a court session in the Industrial Relation Court (PHI).

In this session, participants acted like they were in a court session. They also tried to formulate their lawsuit, answer from the defendant, second declaration (replik), final reply from the defendant (duplik), provide evidences (documents and witnesses), conclusion, and final statement.

It is hoped that the training will improve the labor organisers’ knowledge and skills on Indonesian labor law and on how to do advocacy on workers’ rights vioilation in their respective workplaces in addition, organizers would be able to use their skill and knowledge to develop their organization’s organizing strategies.

Yang Fenomenal Dari Hari Listrik Nasional

Hari Listrik Nasional (HLN) yang jatuh pada tanggal 27 Oktober tahun ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Adalah Perhimpunan Pegawai PT Indonesia Power  (SP PJB) dan Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa-Bali (SP PJB) yang membuatnya berbeda, bahkan terasa istimewa.

Bagaimana tidak? Pagi itu, kurang lebih 400 orang anggota PP IP dan SP PJB datang ke Kantor Pusat PT PLN (Persero). Tujuan mereka hadir ke sini adalah untuk mengikuti upacara peringatan HLN, yang rutin diselenggarakan setiap tahun. Secara bertahap, mereka masuk ke lapangan upacara yang berada di dalam area perusahaan.

Mengingat jumlahnya terlalu banyak, sebagian anggota PP IP dan SP PJB sempat dilarang masuk ke dalam lapangan. Namun demikian, mereka bergerak ke depan pintu gerbang. Jika tidak diperbolehkan mengikuti dari dalam, mereka akan mengikuti upacara dari luar. Tepat di pinggir jalan raya. Akhirnya mereka diperbolehkan masuk.

Di lapangan, mereka berada dalam satu barisan, yang memang diperuntukkan bagi pekerja dari anak perusahaan. Karena jumlah yang hadir mencapai ratusan, sebagian peserta meluber hingga ke luar lapangan upacara. Tepatnya di bagian belakang,

Ketika upacara dimulai, ratusan anggota serikat pekerja ini mengikuti dengan tertib. Namun demikian, ketika upacara selesai, mereka tidak segera meninggalkan lapangan. Mereka tetap bertahan di lapangan, sambil mengenakan ikat kepala berwarna merah dengan tulisan “Tolak Pembentukan N-2 HSN PT PLN (Geothermal Co dan New Energy Co). Sedangkan di lengan kanannya, terpasang kain hitam bertuliskan “Tolak Perdir No 30 (HXMS).

Aksi ini menarik perhatian. Apalagi dilakukan di momentum yang terbilang sakral. Hari Listrik Nasional.

Bagaimana pun, PP IP dan SP PJB tidak bermaksud mengacaukan peringatan HLN. Beberapa hari sebelumnya, mereka sudah berkirim surat untuk beraudiensi dengan Direktur Utama PT PLN. Adapun tempatnya di lapangan, usai pelaksanaan upacara peringatan HTN, dengan peserta kurang lebih 200 orang.

Ada tiga hal yang akan disampaikan dalam audiensi ini. Pertama penolakan pembentukan N2 (Geothermal co dan New Energy Co). Kedua, penolakan privatisasi dengan penjualan asset ketenagalistrikan nasional secara ketengan berkedok green energy. Dan ketiga, penolakan terhadap union busting berkedok Perdir No 30/2022.

Tetapi hingga hari H pelaksanaan upacara peringatan HTN, tidak ada kabar apakah audiensi tersebut diterima atau tidak. Namun demikian, hal itu tidak menurutkan ratusan anggota PP IP dan SP PJB ini untuk tetap hadir mengikuti upacara.

Mengingat lapangan akan digunakan untuk kegiatan lain, ratusan orang dengan ikat kepala merah ini bergerak depan lobi pintu masuk. Di sini, lokasi aksi semakin stragis. Mereka yang hilir mudik ke PLN akhirnya bisa melihat aksi protes para buruh.

Hal itu berhasil memaksa management untuk datang menemui massa aksi.

Kepada perwakilan management dijelaskan, bahwa mereka tidak bermaksud menodai peringatan HTN. Sebelumnya mereka sudah berkirim surat untuk beraudiensi, sejak bulan Juli. Lalu disusul surat berikutnya pada bulan Agustus. Bahkan pada bulan September, mereka mengirimkan pernyataan sikap bersama. Karena tidak ada jawaban, mereka kembali melayangkan surat perihal permohonan audiensi pada tanggal 27 Oktober, dengan waktu jam 09.00 usai melakukan upacara HTN.

Awalnya para buruh diminta tidak berkerumun di depan lobi. Tetapi mereka mengancam, kalau tidak diperbolehkan di lobi, akan bergeser ke jalan. Depan pintu gerbang. Tetapi jangan salahkan buruh jika hal itu justru memantik perhatian masyarakat dan menjadi pemberitaan yang luas di media.

Setelah perwakilan Direksi hadir, akhirnya disepakati bahwa audiensi akan dijadwalkan antara tanggal 20 – 25 Oktober, usai pelaksanaan G20 di Bali. Tidak lupa, dalam kesempatan ini PP IP dan SP PJB juga menyerahkan hasil kajian dari serikat pekerja terkait dengan isu yang sedang disuarakan.

Bagaimana pun, apa yang dilakukan PP IP dan SP PJB adalah torehan sejarah yang fenomenal. Selan aksi seperti ini baru pertama kali dilakukan, tetapi juga mengambil momentum yang tepat.

Semoga apa yang diperjuangkan serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan, untuk memastikan ketenalistrikan tetap dalam penguasahaan negara bisa terwujud. Liberalisasi selain menyalahi konstitusi, juga akan merugikan rakyat Indonesia sendiri.

Pembentukan Holding Subholding PLN Karpet Merah Liberalisasi di Sektor Ketenagalistrikan

“Kalau baru sanggup makan tempe, jangan dipaksa makan daging. Jangan sok-sokan ikut Barat.” Istilah ini disampaikan Ekonom INDEF Abra Talattov dalam diskusi bertajuk Seri Pembelajaran Serikat Pekerja: ‘Pembentukan Sub-Holding PLN Dari Kacamata Konstitusi dan Ekonomi’ yang diselenggarakan secara daring, Selasa (18/10).

Menurut Abra, negara-negara di dunia memang memiliki komitmen kuat dalam mewujudkan transisi energi menuju green energy. Tetapi masing-masing negara juga melihat kepentingan nasional. Khususnya bagaimana transisi energi harus bisa memenuhi tiga aspek: security, affordability, dan low emission.

Di mana transisi energy dilakukan dengan melihat kesiapan dan kemampuan masing-masing negara. Termasuk dari sisi keuangan negara, keuangan masyarakat, dan BUMN. “Tidak dipaksakan kita latah mengikuti agenda global. Padahal negara maju yang saat ini mengembar-gemborkan energi hijau juga menjilat ludah sendiri, dengan memanfaatkan energi berbasis fosil dalam jumlah besar,” tegasnya.

Transformasi holding dan sub-holding di PLN sudah menjadi keputusan pemerintah. Tugas kita sekarang adalah memastikan agar Geothermal Co dan New Energi Co tidak menyebabkan liberalisasi ketenagalistrikan. Karena, memang, ada dorongan untuk meningkat peran swasta yang lebih besar.

Abra menguraikan, bagaimana swasta diberi karpet merah untuk masuk di sektor ketenagalistrikan dengan dalih transisi energi. Salah satu strateginya adalah dengan pembentukan subholding. Menurutnya, memberikan insentif agar swasta membangun EBT tidak cukup. Karena listrik dari swasta, khususnya EBT, harus bisa terserap dan bersaing dengan listrik yang disuplay PLN. Dibutuhkan desain kebijakan agar swasta tertarik untuk masuk. Di sini terlihat jelas, ada kesadaran untuk mengundang swasta.

“Tetapi swasta pun tidak mau mengeluarkan investasi besar, tetapi tidak ada kepastian siapa yang akan membeli listrik mereka. Tidak ada kepastian penjualan kepada masyarakat. Kita tahu, PLN adalah BUMN ketenagalistrikan yang bisa mensuplay listrik sampai ke konsumen. Di sini ketemu jawabannya. Transformasi kelembagaan PLN tidak lepas dari konstelasi bagaimana bisa mendorong peran swasta lebih maksimal,” ujarnya.

Di sisi lain, potensi geotehermal Indonesia memang sangat besar, nomor 2 di dunia. Saat ini baru 2.132 MW yang sudah teroptimalkan, dari potensi 23,9 GW. Baru 8,9%. Inilah juga yang menjadi daya tarik swasta untuk bisa mengembangkan energi terbarukan sekaligus memanfaatkan potensi yang besar ini. Awalnya ada skenario dibentuk perusahaan baru, tetapi berhenti di tengah jalan. Dan sekarang menggunakan mekanisme holding dan sub-holding, termasuk geotermal co.

Di samping itu, potensi EBT yang lain juga sangat menjanjikan. Tenaga air, surya, angin, dan sebagainya. Di tengah potensi besar untuk dikembangkan, dari kapasitas pembangkit yang dimiliki PLN maupun kerjasama IPP yang setiap tahun bertambah, capacity faktornya relatif stagnan. Meskipun masih ada ruang untuk menambah pasokan lsitrik dengan meningkatkan capacity factor. Apalagi kalau ditambah pembangkit baru, termasuk EBT, maka over kapasitas akan semakin besar.

Ironisnya, meski EBT didorong akan tumbuh ambisius, tetapi kebutuhan untuk tetap menggunakan baturabara masih tinggi. Sampai dengan 2030, kebutuhan batubara diperkirakan mencapai 153 juta ton. Masih dominan. Tentu ini menunjukkan kita tidak serta merta menjalankan transisi energi tanpa melihat bukan hanya dari aspek lingkungan, tetapi juga dari sisi keekonomian yang masih sanggup kita jalani, Jangan juga memaksakan diri, yang diistilahkan Abra baru sanggup beli tempe sudah dipaksa makan daging.

Di sisi lain, subdisi dan konpensasi listrik masih besar. Tahun ini konpensasi listrik 41,0 T dan subdisi 59,6T. Tahun depan, subdisi listrik diperkirakan 72,3T. Ini belum termasuk konpensasi. Kesimpulannya, pembiayaan listrik tidak lepas dari supposrt atau dukungan dari rakyat melalui APBN. Jangan sampai pemerintah mengatakan ini uang nagara. APBN adalah pajak rakyat, uang rakyat,” ujar Abra.

Dengan kata lain, meski saat ini tarif listrik kita termasuk yang murah di ASEAN, hanya 1.445, tetapi itu berkat dukungan rakyat. Di Filipina yang menerapkan liberalisasi listrik sudah mencapai 2.616. Hal ini menunjukkan liberalisasi listrik membuat harga listrik semakin mahal dan memberatkan rakyat.

Bahwa liberalisasi listrik harus dihindari, hal ini juga ditegaskan oleh Praktisi Hukum M. Fardian Hadistianto. Liberalisasi listrik bertentangan dengan konstitusi.

Fardian menyampaikan, listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam hal ini, kita harus memaknai penguasaan oleh negara dalam kaca mata konstitusi. Merujuk pada ketentuan dalam pertimbangan hukum ptusan MK No 001-021-0211/PUU-I/2002, di sana disebutkan. penguasaan negara berada dalam 5 dimensi: kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan. dan pengawasan. Kelimanya bersifat kumulatif, satu kesatuan. Tidak boleh diterapkan hanya salah satunya.

“Kalau kita bicara bagaimana listrik bisa dinikmati rakyat Indonesia, ada beberapa tahapan yang harus dilewati. Dimulai dari tahapan pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan ke konsumen. Maka penguasaan negara harus dalam semua tahapan tersebut. Tidak bisa dimaknai hanya di tahapan retail saja, atau transmisi saja. Semuanya dalah satu paket,” ujarnya.

Kemudian dia menegaskan, “Karena pengejawantahan penguasaan negara mengamanatkan penyediaan ketenagalistrikan tidak boleh bersifat unbandling atau terpisah-pisah.”

Dengan demikian, pembentukan holding sub-holding PLN berpotensi kuat bertentangan dengan UUD 1945. Karena akan menyebabkan praktek unbundling dan hilangnya pengusahaan negara dalam usaha penyediaan ketenagalistrikan karena kepemilikan Geothermal Co dan New Energy Co tidak dimiliki secara langsung oleh PT PLN sebagai BUMN yang ditugaskan untuk menyelenggarakan usaha ketenagalistrikan.

Selain itu, ketergantungan dengan pembangkit listrik tenaga uap dan energi baru terbarukan dalam usaha penyediaan ketenagalistrikan yang jika diterapkan konsep holding sub-holding menyebabkan Geothermal Co dan New Energy Co merupakan perusahaan murni swasta dan lepas dari penguasaan PT PLN sebagai pengejawantanhan negara di sektor ketenagalistrikan.

Statement of PPIP and SPPJB on PT PLN (Persero)’s Subholding Formation

Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PPIP) represented by its chairperson, Dwi Hantoro Sutomo, and the secretary, Andy Wijaya, and the Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa-Bali (SPPJB) represented by Agus Wibawa, the chairperson, and Ide Bagus Hapsara, the general secretary, gave a statement related to the launching of PLN (Persero)’s subholding formation on September 21, 2022

The news said that the Ministry of State-Owned Companies (BUMN) has officially established the Holding dor PLN (Persero)’s subholding. This corporate action resulted in the consolidation of PLN’s generation assets to be into two Subholding Generation Companies (Genco) i.e. PLN Indonesia Power (Genco 1) and PLN Nusantara Power (Genco 2).

This corporate act has caused the consolidation of PLN’s generation assets. PT PLN Indonesia Power which was known as Indonesia Power will manage 20.6 GW generation facilities. This subhodling will be the biggest electricity generation company in SouthEast Asia.

Previously, the President Director of PLN, Darmawan Prasodjo, said that the restructurization is a strategic step to adapt to future changes. Moreover, he added, the company’s target is 22.9 GW of generation facilities up to 2025.

To accelerate the transition to clean energy, PLN Indonesia Power as a generation subholding company will have subsidiaries. A subsidiary will focus on Geothermal (Geothermal Co) with capacity of 0.6 GW and a renewable energy generator, such as solar generator, wind, or hydro – generator (New Energy Co) with capacity of 3.8 GW).

In the video, the Union (Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali and Persatuan Pegawai PT Indonesia Power) responding the formation of PT PLN (Persero) Subholding stated the following:

First, the formation of Geothermal Co. and New Energy Co. each of which the subsidiary of PT PLN Indonesia Power and PT PLN Nusantara Power shows that the Sate no longer control the sectors of production which are important for the country. It is also inconstitutional by violating the Constitutional Court decision No. 111/PUU-XIII/2015 and No. 61/PUU-XVIII/2020.

Sectors of production which are important for the country and affect the life of the people shall be under the powers of the State.

Second, the formation of Geothermal Co. and Energy Co. is the a form of government’s authority abuse to PT PLN (Persero) under the pretext of energy transition.

Third, Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PPIP) and Serikat Pekerja PT. Pembangkitan Jawa Bali SP PJB have sent two letters to the majority shareholders i.e. PT PLN (Persero) President Director, to question the formation of Goethermal Co. and New Energy Co.. However, up to this date, there has not any good will at all and allegedly it is the violation of article 126 of Perseroan Law.

Fourth, asset transfer from PT PLN (Persero), a State-Owned Enterprise, to new entities whose share are now owned by the State (Geothermal Co. and New Energy Co.) can be considered as hidden privatization.

Based on the above points, the following is our statement:

  1. We reject the establishement of PT PLN (persero) Subholding, especially the joint-subsidiaries, i.e. Geothermal Co and New Energy Co.. This is a form removal of State’s control over national electricty/energy sector.
  2. We request PT PLN (Persero) to take over the role and resposibility directly in the transition process to new and renewable without having to transfer the assets to other business entities by creating subholding (the Geothermal Co. and Energy Co).
  3. We request to the majority shareholder of PT Indonesia Power and PT Pembangkitan Jawa Bali to comply with and obey the article 26 of Law on Limited Company (Perseroan Terbatas) during the process of subholding formation of PT PLN (Persero)

Video Statement: https://videopress.com/v/DDhhEPo2

Thank you,

PPIP Chairperson, Dwi Hantoro Sutomo: 0812-8643-9018
SPPJB Chairperson, Agus Wibawa: 0896-8750-0696
PPIP General Secretary Andy Wijaya: 0813-1115-1305
SPPJB General Secretary, Ide Bagus Hapsara: 0857-3102-0947

Pernyataan Sikap PPIP dan SPPJB Menolak Pembentukan Subholding PT PLN (Persero)

Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PPIP) dengan Ketua Dwi Hantoro Sutomo dan Sekretaris Andy Wijaya serta Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa-Bali (SPPJB) dengan Ketua Agus Wibawa dan Sekjen Ide Bagus Hapsara memberikan pernyataan sehubungan dengan launching pembentukan subholding PT. PLN (persero) pada tanggal 21 september 2022.

Diberitakan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meresmikan pembentukan Holding Subholding PT PLN (Persero). Aksi korporasi ini  membuat seluruh aset pembangkitan PLN terkonsolidasi dalam dua Subholding Generation Company (Genco) yaitu PLN Indonesia Power (Genco 1) dan PLN Nusantara Power (Genco 2).

Aksi korporasi ini membuat seluruh aset pembangkitan PLN terkonsolidasi. PT PLN Indonesia Power yang sebelumnya dikenal lewat brand Indonesia Power akan mengelola pembangkit dengan kapasitas 20,6 GW. Subholding ini akan menjadi perusahaan pembangkit listrik berkapasitas terbesar di Asia Tenggara. 

Sebelumnya, Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menyampaikan, restrukturisasi ini merupakan langkah strategis guna bisa beradaptasi dengan perubahan ke depan. Terlebih, imbuhnya, perusahaan memiliki target pengoperasian pembangkit hingga 22,9 GW pada 2025.

Untuk mempercepat transisi energi bersih, PLN Indonesia Power sebagai subholding pembangkitan bersama PLN Nusantara Power juga akan memiliki anak usaha bersama yang fokus pada pembangkit panas bumi (Geothermal Co) berkapasitas 0,6 GW dan pembangkit energi baru terbarukan, seperti tenaga surya, tenaga angin dan tenaga hidro (New Energy Co) berkapasitas 3,8 GW.

Berdasarkan video pernyataan sikap Serikat Pekerja PT. Pembangkitan Jawa Bali dan Persatuan Pegawai PT. Indonesia Power ketika menanggapi pembentukan subholding PT PLN (Persero), disampaikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, pembentukan geothermal.co dan new energy.co yang merupakan anak perusahaan bersama PT. PLN Indonesia Power dan PT. PLN Nusantara Power adalah contoh nyata hilangnya penguasaan negara dan bentuk pelanggaran konstitusi yaitu melanggar putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 dan putusan MK No. 61/PUU-XVIII/2020.

Kedua, pembentukan geothermal.co dan new energy.co adalah bentuk penyelewengan tugas pemerintah kepada PT. PLN (persero) dalam pemenuhan transisi energi.

Ketiga, Persatuan Pegawai PT. Indonesia Power dan Serikat Pekerja PT. Pembangkitan Jawa Bali telah membuat surat sebanyak 2 kali kepada pemegang saham mayoritas dalam hal ini adalah dirut pt. Pln (persero) mempertanyakan pembentukan geothermal.co dan new energy.co dan sampai saat ini belum ada itikad baik sama sekali dan hal itu diduga pelanggaran terhadap pasal 126 uu perseroan terbatas.

Keempat, hibah aset-aset BUMN dalam hal ini PT. PLN (persero) kepada entitas baru yang sahamnya tidak dimiliki oleh negara (geothermal.co dan new energy.co) dan selanjutnya bila dijual, patut diduga sebagai bentuk baru privatisasi terselubung.

Berdasarkan poin-poin tersebut di atas, dengan ini kami menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Menolak pembentukan subholding PT. PLN (Persero) bila di dalamnya masih terdapat struktur anak perusahaan bersama, yaitu geothermal.co dan new energy.co karena menyebabkan hilangnya penguasaan negara pada sektor ketenagalistrikan nasional.
  • Meminta PT. PLN (Persero) untuk mengambil peran dan tanggung jawab secara langsung pada transisi energi baru dan terbarukan tanpa mengalihkan kepada entitas di bawah subholding (geothermal.co dan new energy.co).
  • Meminta pemegang saham mayoritas PT. Indonesia Power dan PT. Pembangkitan Jawa Bali untuk tunduk dan patuh pada pasal 126 UU Perseroan Terbatas pada proses pembentukan subholding PT. PLN (Persero).

Terima Kasih

Ketua Umum PPIP, Dwi Hantoro Sutomo: 0812-8643-9018
Ketua Umum SPPJB, Agus Wibawa: 0896-8750-0696
Sekretaris PPIP Andy Wijaya: 0813-1115-1305
Sekjen SPPJB, Ide Bagus Hapsara: 0857-3102-0947