Melawan Privatisasi, Menghilangkan Ketergantungan Swasta, Memperkuat BUMN Ketenagalistrikan

Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS) yang di dalamnya terdapat serikat pekerja ketenagalistrikan seperti SP PLB, PP IP, dan SP PJB mendatangai Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (8/5). Kehadiran mereka ke MK untuk menghadiri persidangan uji konstitusional bagian ketenagalistrikan UU No 6 tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang dinilai melanggar konstitusi.

Ini sekaligus sebagai bentuk penegasan atas perlawanan terhadap privatisasi listrik melalui uji konstitusional UU Cipta Kerja dengan menghilangkan ketergantungan listrik dari swasta dan memperkuat BUMN Ketenagalistrikan sesuai cita konstitusi.

Ketua Umum SP PLN Muhammad Abrar Ali ketika membacakan siaran pers GEKANAS di depan Gedung MK mengatakan, data 2021, negara mengalami Kelebihan pasokan energy listrik dengan kasitas terpasang 72 GW dan daya rat-rat digunakan sebesar 40 GW. Dan perkirakan di tahun 2023, Indonesia Oversupply sebanyak 60% dari kebutuhan maksimal harian.

“Pasokan energi listrik saat ini disokong oleh Pembangkit swasta sebesar 28% atau sebesar 22 GW dan diperkirakan pada tahun 2023 ini mencapai 30 GW, dengan masuknya pembangkit yang tergabung dalam proyek 35 GW,” tegasnya. Abrar melanjutkan, di dalam skema perjanjian Kerjasama dengan Pembangkit Swasta /Independence Power Producer (IPP) listrik yang dihasilkan digunakan atau tidak digunakan tetap harus dibayar.

Dijelaskan, pada tahun 2003 MK telah memutuskan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum wajib dilakukan secara terintegrasi mulai dari bisnis pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan. 

“Listrik tak dapat disangkal, sudah menjadi kebutuhan dimana masyarakat sangat bergantung. Manusia mungkin masih bisa hidup tanpa listrik, tapi ketiadaan listrik membuat banyak hambatan bagi manusia,” ujarnya. Itu artinya, listrik sebagai hajat hidup masyarakat banyak senantiasa perlu dipastikan agar negara tetap menjalankan amanat konstitusi dan cita pancasila. 

Dalam kesempatan ini juga disampaikan, beberapa dalil terkait pelanggaran konstitusi UU Cipta Kerja. Di mana UU Cipta Kerja mengaburkan frase usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum yang serharusya dilakukan secara terintegrasi berdasarkan 2 putusan MK terdahulu. Selain itu, tidak adanya peran DPR RI dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional sehingga mengurangi pengawasan publik terhadap pelaksanaan usaha ketenagalistrikan oleh pemerintah, hingga perlu penegasan bahwa pembelian listrik berlebih tidak boleh dilakukan didaerah yang telah surplus listrik.

Bersama-sama dengan GEKANAS, setidaknya ada tiga hal yang hendak dipastikan oleh serikat pekerja ketenagalistrikan SP PLN, PPIP, dan SB PJB. Pertama, meminta agar Pemerintah dan DPR RI jangan malu melaksanakan putusan MK terkait ketenaglistrikan. Kedua, Negara harus menghilangkan ketergantungan pada pasokan listrik swasta (IPP) dan memberdayakan BUMN Ketenagalistrikan yang telah ada (PLN, PJB, dan Indonesia Power) sebagai pemasok energi listrik bagi bangsa ini.  Sedangakan yang terakhir, meminta negara membuka kontrak perjanjian kerjasama dengan IPP dengan skema take or pay yang merugikan bangsa jika dilakukan di wilayah surplus energi.

Serikat Pekerja Ketenagalistrikan Selenggarakan Project Committee Management Meeting (PCM)

Pimpinan serikat pekerja sektor ketenagalistrikan yang terdiri dari SP PLN, PPIP, SP PJB, SPEE FSPMI, dan SERBUK menghadiri Project Committee Management Meeting di Jakarta, Rabu (13/4). 

Membuka pertemuan, Indah Budiarti menyampaikan, ada tiga hal yang akan dilakukan dalam PCM kali ini. Pertama, membahas isu terkini serikat pekerja, termasuk aktivitas kegiatan, keanggotaan, dan kepengurusan. Kedua, persiapan kunjungan SASK dan JHL yang akan hadir ke Indonesia pada 6-9 Juni 2023 untuk bertemu serikat pekerja dan melakukan observasi terkait aktivitas serikat. Yang ketiga, buka puasa bersama.

Mengawali paparannya terkait dengan situasi terkini di serikat pekerja, Sekretaris Umum SPEE FSPMI Slamet Riyadi menyampaikan, “Untuk sektor elektronik elektrik, kondisi ketenagakerjaan yang paling terdampak adalah di sektor elektronik. Ekonomi global sedang turun akibat perang Ukraina. Banyak barang yang sudah di ekspor tidak laku dan numpuk di gudang. Hal ini diperparah dengan susahnya bahan baku dan dampak covid yang belum sepenuhnya pulih.” 

“Permasalahan lain adalah dampak dari UU Cipta Kerja, yakni perubahan aturan PKB yang kualitasnya mengalami penurunan. Khususnya terkait dengan uang pesangon. Pengusaha meminta berunding untuk menurunkan nilai pesangon sesuai dengan undang-undang. Ketika PUK menolak, justru pengurusnya di PHK dengan beragam alasan,” ujar Slamet.

Slamet juga menyampaikan, di perusahaan alih daya PLN yang terdapat di Cirebon, saat ini sedang terjadi PHK 123 orang. Awalnya, mereka tidak bersedia menandatangani perjanjian kerja baru yang mengalami keturunan upah akibat kebijakan volume based yang diterapkan PLN. “Karena mereka tidak mau, akhirnya dimutasi ke Sumatera Utara. Buruh menolak, kemudian dianggap mengundurkan diri,” ujarnya.

Senada dengan Slamat Riyadi, Happy Nur Widiatmoko dari SERBUK menyampaikan, bahwa kondisi yang dialami SERBUK tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di SPEE. Menurutnya, saat ini pekerjaan buruh OS PLN semakin berat. Tetapi upah ditekan, dan tidak ada jenjang karir.  Celakanya tidak ada perbedaan upah antara pekerja baru dan lama. Hanya ada TMK yang sangat kecil. 

Namun kabar baiknya, menurut Happy, karena tekanan kerja yang cukup tinggi, banyak yang mulai menyadari pentingnya untuk berserikat. Ada penambahan anggota, dan rencana pembentukan serikat pekerja baru,

Sekjend SP PJB Ide Bagus Aksara menyampaikan, untuk iternal, saat ini SP PJB sedang menyelesaikan penyusunan juknis PKB. Sedangkan permasalahan yang sedang hangat adalah terkait dengan ekses dari dua hal yang sekarang sedang diksanakan kementerian BUMN dan PLN yaitu: holdong subholindg dan perubahan peraturan kepegawaian. 

“Dari dua hal itu, ada potesi merugikan karyawan. Kita ingin ketika ada perubahan, tidak merugikan kepentingan anggota,” tegasnya.

Berikutnya, Andy Wijaya sebagai Sekjend PPIP menyampaikan, pada bulan Mei hingga Juli 2023, PPIP akan melaksanakan musyawarah unit kerja untuk 20 unit kerja. Sementara itu, pada bulan Agustus akan dilakukan Kongres.

Sedangkan untuk eksternal, tergabung dalam 10 serikat/pekerja dan 111 pemohon, PPIP sudah mendaftarkan judicial review UU 6/2023, baik formil maupun materiil. Di mana khusus untuk materiil, gugatan klaster ketenagakerjaan dan klaster ketenagalistrikan dipisah.

“Tujuannya agar isu klaster ketenagalistrikan bisa naik. Pengalaman kemarin, ketika digabung, yang naik hanya isu ketenagakerjaan,” tegasnya.

Menurut Andy, PPIP akan melakukan roadshow ke Thailand dengan membawa 25 orang delegasi. Tujuannya adalah untuk mendiskusikan tentang JTEP, mengingat ada tiga negara yang sedang menjadi percontohan. Indonesia, Filipina, dan Thailand. 

Mendapat kesempatan terahir, Muhammadd Abrar Ali sebagai Ketua Umum SP PLN menjelaskan, bahwa SP PLN ikut menjadi pemohonan dalam judicial review Perppu Cipta Kerja. Ia berharap, MK akan memutuskan judicial review ini dengan berpihak pada kepentingan rakyat. Sementara itu, terkait dengan dengan PKB yang sudah ditandatangani, banyak pekerja yang tadinya bergabung dengan serikat pekerja lain sudah kembali ke SP  PLN. 

Menyingung terkait rencana kunjungan SASK – JHL ke Indonesia pada tanggal 6 – 9 Juni 2023, Indah berharap semua pimpinan serikat pekerja bisa meluangkan waktu dan ikut hadir dalam pertemuan ini. Di mana selama kurun waktu 4 hari tersebut ada beberapa kegiatan yang sudah direncanakan.

Di antaranya adalah Seminar tentang Transisi Energi Berkeadilan untuk memperkuat posisi dan advokasi serikat pekerja, pertemuan dengan partner yang meliputi SP PLN, SP PJB, PPIP, SPEE FSPMI, dan Serbuk, kunjungan ke Kantor Serikat Pekerja dan bertemu managemen, serta kampanye dan advokasi bersama untuik memmpromosikan tempat kerja yang bebas dari kekerasan dan memajukan hak-hak serikat pekerja. 

Usai membahas mengenai perkembangan/kondisi terkini dari serikat pekerja dan rencana kunjungan SASK dan JHL ke Indonesia, pertemuan ditutup dengan buka bersama.

PLN’s Union Achieve in CBA Negotiation

“Unity will strengthen us. On the contrary, disunity will only weaken us.” The truth contained in this sentence is believed by Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP PLN). They experienced failure in building the unity. Consequently, they had to pay the price. For more than ten years, since the last CBA ended in 2012, SP PLN failed to negotiate the new one.

The last Collective Bargaining Agreement (CBA) was agreed and signed in 2010. That was the CBA that applicable from 2010 to 2012. Finally, SP PLN succeeded in negotiating and then agreeing the CBA in 2010. It was the PKB that was valid from 2010 to 2012.  While it was still valid, the agreed CBA extended until 2013.

The CBA should had been renewed and renegotiated in 2013. However, due to the split, hence the leadership dualism, the negotiation failed to take place. The SP PLN was split into two unions: SP PLN third floor and SP PLN ninth floor. Beside, there are another fraction of workers that established another 3 more unions.

This split then weakened the union, so that they were unable to reach an agreement in the PKB negotiations. In turn, this has an impact on the interests of workers.

During the period where there was no CBA, the board of director issued regulations without any consultation with the union. Ironically, the issued directors’ regulations mostly harmed the workers. To name some, the provision about workers mutation, career system, and also a provision about prohibition for workers to marry co- workers. If a worker marries her/ his co- worker that works in PT PLN, one of them must resign.

This provision was actually a product of the old CBA that stated that the board of directors is allowed to create a system of Human Resources (HR) with a communication with the union. The clause ” with a communication” was interpreted as notification to the union after the provision was issued, not as consultation and then agreed by the union. The Communication can be done in written or oral manner. When it was done in oral manner, there was no proof/ evidence of it. On the ground that the the communication was done, the board of directors issued different provisions, specifically on the new HR provision during the time when CBA was non-existent.

In 2016, there was an attempt to renegotiate the CBA by the union. However, the negotiation did not complete, hence did not result in the new CBA. The main problem for this failure was the dualism of leadership on the union side.

Luckily, the leaders of SP PLN immediately realize that. Finally, the leaders of third floor and ninth floor SP PLN took a step to unite themselves just like before.

In 2019, the unification of the third and ninth floor happened after the dualism for ten years. As mentioned earlier, the unification was initiated by the members who wanted to unite. They were tired of the endless leadership dualism of trade union in PT PLN. On the other hand, the company kept issuing regulations that harmed the workers.

The Negotiation

The newly unified union’s priority was to formulate and negotiate the new CBA.

However, it was not that easy. Each union (beside SP PLN, it is existing 3 more unions) claimed that it was the rightful and held the mandate to represent the workers in the negotiation. Under this situation, the union held a membership verification in order to determine which union had the right to represent the members in the negotiation.

The membership verification resulted in SP PLN had the majority membership with 29,452 members. Together with SP PLN, there was another union that was decided to participate in the negotiation.

However, the problem did not end there. There were misconceptions between unions that slowed the negotiation process down. While the negotiation was still going, the management of PT PLN filed a lawsuit to Jakarta Selatan District Court to determine which union was to represent in the negotiation. The District Court rejected the suit as it was an industrial relation case, not a criminal one.

The next mezasure taken was to get a recommendation from the Ministry of Manpower on who or which union has the right to be in the negotiation. The Ministry of Manpower’s recommendation was for the unions to do membership verification. The result of the verification was SP PLN to represent the workers in the negotiation as other unions only had less than 10% membership each.

In essence, now SP PLN was the rightful representative in the CBA negotiation. And it was proven that with the support of all members and the negotiation team, the negotiation that was started on August 19 was concluded and signed on October 12, 2022.

The result was a CBA consisted of 15 chapters and 90 articles. The articles were formulated by the elaboration of several agreements discussed during the negotiations of 2016’s CBA, board of directors’ decisions issued during the absence of CBA, and the newest draft. It was acknowledged that the end product, the new CBA, wasso much better than the initial draft proposed by SP PLN.

Old and New CBA, What’s theDifference?

The Chairperson of SP PLN, Muhammad Abrar Ali, said that the result of the negotiation was fantastic. “The newly agreed CBA is beyond our expectation. It is so much better than the draft that we proposed. It all thanks to the solid members of SP PLN and also all the functionaries,” he said.

“I am optimistic that the CBA that was signed on 12 October 2022 would be able to improve the company’s performance, and it is a collective effort to accelerate the company’s transformation process. The agreed CBA became the momentum for PLN’s breakthrough. The union had been waiting for this momentum for more than ten years. Through this agreement, the management and union could then harmonized their mission and vision in order to achieve PLN’s objectives,” he added.

He also asserted that the CBA had helped to unite the union’s and the management’s vision and mission. Each had its own that many times are contradicting. However, after both discussed the company’s vision and mission, both parties then found that actually they had similar vision and mission.

“We could find it. We agreed that PLN is the heart of Indonesia, especially in managing the electricity. We work together to contribute to the nation and the state,” he added.

In the same occasion, the head of the Negotiation Team who was also the General Secretary of SP PLN, Bintoro Suryo Sudibyo, asserted that “Thanks to SP PLN’s negotiation strategy that the union could conviced the board of directors to agree to what we had proposed.”

“This is very encouraging. The most important is that this CBA’s orientation is to improve workers’ welfare that essentially is the right of the workers and their families. Even all the things that are related to nominal, it will be the minimum amount. It means, when PLN is in financial trouble, that will be the minimum amount that will be paid to the workers. But if the situation is better, the workers will receive a bigger amount just like what was agreed in the CBA,” he said.

Bintoro then mentioned in detail what are the differenced between the old and the new CBA.

In the old CBA, the remainder of annual leave (the days that is not taken by workers) can not be taken the next year. In the new CBA, half of the remainder of annual leave can be used in the upcoming year. For example, if a worker has a remainder twelve days of annual leave this year. He/she will have six days (half of the remainder) of extra annual leave next year. So the total of his/her annual leave next year will be eighteen days instead of twelve.

In the old CBA, the annual leave deducts workers’ workhours. But in the new one, it does not. The consequence of workhour deduction is the decrease of thier benefits. With the new applicable CBA that ensure workers do not loss their workhour due to leave, workers tend to take their annual leave now.

In the new CBA, a long period of rest is awarded every six years and the duration is three months. While in the old CBA, the validity period of long period of rest was two years, now, it is six years. It means that although it has been two years since the last long period of rest, a worker still could take the leave before the period ends.

In addition, the long period of rest would annihilate the annual leave in the old CBA. While in the new CBA, this type of rest does not deduct the number of annual leave nor wage. Meanwhile, the number of days of rest used to be a fifteen days cycle, now it is ten days of cycle. In other words, the long period of rest is ninety days in total can be taken nine times. Under old CBA, although the leave is only taken once and the number of days is less than fifteen days, then it is taken.

In the new CBA, there is also a recomposition. In the old one, the fix cost and variable cost are almost equal in number. Monthly payroll and bonus are also almost equal. Finally, it was agreed to be 70% fix cost and 30% variable cost. With the changes in the composition, at least there are three benefits. First, the uncertain cost become certain. For example, bonus. The old CBA said that if one received a disciplinary sanction, one would lose one’s bonus. The new one says that one will still get the bonus although one receive a disciplinary sanction because the bonus is a fixed cost. Second, the money that we get now is different from the the money that we will get tomorrow. Third, reduce the company’s actuarial burden. This is because the long term liability that used to be very big, now it si withdrawn forward.

Another difference is about maternity leave. The old CBA said that maternity leave is only three months, now, it is four months. The old CBA also said that maternity leave reduced the number of annual leave and workhour. The new one is the opposite.

For joint-holiday-leave, the new CBA does not reduce the number of annual leave and long period of rest. Even for workers who work during joint-holiday-leave will be awarded with compensation. For example, workers who work in Idul Fitri days or Chrismast. The old CBA said that no compensation for them as it is an obligation.

The old CBA said that workers only receive one holiday allowance ever year. Now, workers will receive two holiday allowance per year. Because the amount is minimum, there is a possibility to get more than once.

For dispensation or leaving work but does not deduct the wage, the new CBA makes a significant improvement. The old CBA said that for their wedding, a worker only got three days, but now they will get five days. It also applies for a worker who marries their childre off. They will get five days instead of three days off the work.

For husbands whose wives are giving birth, they only got two days leave. But now, they could ge a month without any wage deduction. For parents, parent-in-laws, wives, children whose family member(s) dies, they would get five days. It used to be only three days.

In addition to that, workers whose family member dies but in different city, they would get extra leave up to twelve days to account for the travel needed.

To take care of their sick parents/parent-in-laws/husbands/wives/children, workers get two days leave. For graduation (theirs or their children’s) they will get a day leave. These provisions did not exist in the old CBA.

When there is a force majeur such as natural disaster, workers are also entitled of a leave, maximum of a month.

The old CBA said that workers would receive 1.5 million rupiah per workers for glasses. The new one increases the amount to be 5 million rupiah per workers. While it used to be once in three years, now it is once in two years. It used to be only the workers who got the benefit, now it is also the family: husband/wife and children. But only for once.

There are also improvement in assistance and facilities for trade union. There are three assistance provided by the company. First, the check of system. Second, direct assistance that is calculated based on the number of the member, and third, trade union secretariat. There are three conditions to get those assistance from the company. The conditions are as follow: the number of member must be a least 10% of the total workers; second, the organizational structure on DPD level must be at least 50% plu sone from the parent unit; and third, a secretariat will be provided in the area where the union is registered.

Under this new CBA, SP PLN is the only union in PT PLN that is eligible for the assistance and facilities. Therefore, it is SP PLN who will receive facilities from the company in the form of direct assistance, check of system for membership dues, and secretariat. However, other unions who are not eligible for this are allowed to do their function in the industrial relation. They just will not receive any facilities from the company.

The agreed CBA regulates the age of retirement is 56. But now it is being discussed to change it to be 58 years or more. Therefore, the CBA says that should the ministry allow, the age of retirement is 58 years or more or will follow the decision. While the amount of pension also increase.

Working after retirement used to be based on the company’s need and willingness of the retiree. But now it is different. Other than based on the company’s need and willingness of the retiree, it is also based on the request of the retiree. So it does not have to wait for the company. It used to be bound and must wait until the end, but now, they can propose the new ones.

There are new benefits and allowance for performance incentive under the new CBA. Worekrs will get several types of allowance in addition to P1, which is the fixed income. There were only P2 and P3 for allowance, but now there is P2 1A, P2 1B. And there is also P2 1A, P2 1B, and also P3 1A dan P3 1B.

PLN did not cover the workers’ wives’ health insurance if the wives work in different company. Now, the wives who work in other company/office whose health insurance is BPJS  are included in the health insurance provided by PLN. Principally, anyone with health insurance that is lower than the one provided by PLN will be covered.

There was not any official travel, now there is. Workers who choose to work outside their areas, they will get official trave allowance. If his/her family member(s) dies, he/she will get official travel allowance to attend their funeral. The worker’s family who must travel to bury  her/him will also receive official travel allowance.

Another thing that the new CBA regulates is related to mutation. A worker who will retire in three months can propose a mutation/move to other area/city. He/she will receive the movement allowance. The company must not reject the request.

Workers who work under high risk condition, use a lot of physical force, when they turn 45 years old, they must be transferred to other position that does not require physical labor. Including workers who work in frontiers, outermost, and remoted areas, after two years, they have to be transferred to other areas which does not belong to the category of three. Prior to the CBA’s signed the union able to negotiate for the cancellation of pension age discrimination, therefore it will be no more pension age 46 for the HCMS employees. The decision benefited for more that 2000 employees

A worker can propose for a mutation based on their personal curcumstance such as to move with their husband/wife or children, or other specific reasons. Previously, workers who proposed a mutation/tranfer would be demoted. Now, they won’t be. Workers are allowed to propose mutation/transfer twice. Previously, it was only once. There were not any rules on when a worker would get an answer/decision on his/her mutation/transer request. Now, the company must answer or respond in 30 days at the latest. If there is not answers, the concerned official will receive a disciplinary sanction.

As for the categories of work accidents that result in death, total or partial permanent disability, burns, and work-related illnesses, insurance are provided. So they will not only get treatment, but also get benefits.

In the case of  a worker who experience a work accident either disabled or dies, assistance is given to the child’s education until they graduate from S1. Their children will also be given a priority to work in the company during an open recruitment.

Another thing that is new is that the company does not only guarantee physical health. But also mentally, in the form of psychological rehabilitation as needed.

Previously, umroh was included in training before retirement, now it is not included in training. Umrah is a separate facility. 1 time umrah allowance with husband/wife. Meanwhile, training ahead of retirement is a separate facility.

Working after Retirement

Will the new CBA at PT PLN (Persero) have an impact on the subsidiary companies? There will be an indirect effect.

This is due to the commitment in the CBA the subsidiary companies must provide the same welfare and career opportunities for workers who are assigned to work there. Those workers must not receive any lower benefits. Therefore,whether they like it or not, the subsidiaries must ratify PT PLN’s CBA and adjust to as well comply with the provisions in the new CBA.

There has been a communication that HR wants the union members who are assigned to subsidiaries to be members of SP PLN.

Closing

Currently, the technical guidelines for CBA implementation (juknis) are being discussed. It has been agreed in the CBA that the technical guidelines must be discussed and agreed upon with the unions, and will become effective as of October 2022 even though the discussions will end in 2023.

Some of the technical guidelines that are being discussed are the workers talent management system, career system, reward management system, performance management system, discipline regulations, and also the health care system.

So far, SP PLN has conducted socialization on the contents of the CBA to several main units. Majority of workers appreciate and welcome the new CBA. Even workers said they were satisfied with the contents of the CLA.

As a result, the membership of the SP PLN workers union has increased. Many workers then register as members of SP PLN. Workers believe that SP PLN is able to defend, protect and fight for the interests of workers.

Again, as written at the beginning of the article, this proves that unity will strengthen. As the slogan of the movement is often repeated, “Workers united cannot be defeated.”

Raturan Buruh TAD Geruduk Kantor Pusat PT. PLN (Persero) Tuntut Haknya

Ratusan orang buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Elektronik Elektrik – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPEE FSPMI) menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Pusat PT PLN (Persero) yang terletak di Jl Trunojoyo, Jakarta, Kamis (2/2).

Massa aksi berasal dari berbagai daerah seperti Lampung, Cirebon, Sumbar, Bogor, Indramayu, Purwakarta, Bandung, Makassar, Depok, Cianjur, Karawang, Tangerang, Sukabumi, hingga Bekasi. Mereka bekerja di perusahaan vendor PLN atau Tenaga Alih Daya (TAD) di Pembangkitan, Distribusi, Jaringan:  Pelayanan Handalseperti Penanganan Gangguan Alat Pengukur & Pembatas (APP), Penanganan Gangguan Sambungan Rumah (SR), Penanganan Gangguan Jaringan Tegangan Rendah (JTR), Penanganan Gangguan Gardu Distribusi, Penanganan Gangguan Jaringan Tegangan Menengah (JTM), Penanganan Gangguan Saluran Kabel Tegangan Menengah (SKTM). Serta Tenaga Alih Daya ( TAD ) di bagian retail atau bagian catat meter dan penagihan tunggakan pelanggan yang biasa disebut Biller.

Aksi ini dipicu oleh keluarnya Perdir PLN Nomor 0219 tahun 2019, maka telah mengakibatkan terjadinya penurunan upah TAD berupa penurunan upah pokok, Tunjangan Hari Raya, Tunjangan Hari Tua, Tunjangan Pensiun, Kompensasi pesangon, dan upah lembur.

Hal itu diperparah lagi dengan dikeluarkannya kebijakan yang baru dari PT. PLN (Persero ) melalui EDIR 019 tahun 2022 bahwa beberapa jenis pekerjaan di PLN memakai system Volume Based yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hubungan kerja, kepastian upah, dan kepastian jaminan sosial.

Untuk Tenaga Alih Daya bagian Biller, selain terdampak terhadap hal tersebut di atas, juga terdampak atas perubahan kebijakan dari PLN atas periode pelunasan tagihan pelanggan. Di mana sebelumnya periode 6 bulan menjadi periode 1 bulan.

Setiap bulan harus nihil tunggakan pelanggan. Akibatnya, Tenaga Alih Daya terpaksa harus melunasi (menalangi) tagihan pelanggan PLN agar kinerjanya tidak buruk dan terhindar dari sanksi surat peringatan sampai PHK.

Lebih dari itu, di dalam pasal 33 Undang Dasar 1945 sudah ditegaskan, bahwa cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan yang mengusai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Berkaitan dengan hal tersebut, sudah perlu diragukan lagi, bahwa listrik adalah cabang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga harus dikuasai oleh negara.

Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud di atas harus kita maknai dalam kerangka konstitusi. Dalam hal ini kita bisa merujuk pada ketentuan dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi  No 001-021-0211/PUU-I/2002 terkait dengan pengujian UU no. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Dsebutkan disana bahwa penguasaan negara dalam kacamata konstitusi haruslah berada dalam 5 dimensi: kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.

Ketika kita bicara bagaimana listrik bisa dinikmati rakyat Indonesia, ada beberapa tahapan yang harus dilewati, yaitu mulai dari pembangkitan, transmisi, distribusi, hingga retail atau penjualan. Oleh karena itu , penguasaan negara harus mencakup semua tahapan tersebut. Tetapi sayangnya saat ini telah terjadi privatisasi, karena semua tahapan tersebut sebagian diserahkan ke pihak swasta.

Seharusnya di semua tahapan tersebut dikuasai oleh negara melalui perusahaan BUMN, dalam hal ini PT. PLN (Persero) yang diberi mandat berdasarkan Undang undang untuk mengelola sektor ketenagalistrikan. Dengan kata lain tidak boleh diserahkan kepada perusahaan swasta yang akhirnya menyebabkan diskriminasi  dan pelanggaran terhadap hubungan kerja serta tingkat kesejahteraan terhadap Tenaga Alih Daya ( TAD ). Dalam jangka panjang privatisasi  akan berdampak kepada mahalnya tari listrik yang merugikan masyarakat luas.

Swastanisasi sektor ketenagalistrikan bukan saja pelanggaran terhadap konstitusi, tetapi juga menyebabkan ketidakpastian terhadap perlindungan K3, status hubungan kerja, dan menurunya kesejahteraan para buruh yang bekerja di sektor ketenagalistrikan.  Dan dalam jangka panjang, akan berakibat pada mahalnya tarif listrik.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam aksi ini SPEE-FSPMI mengusung 7 tuntutan, berikut :

1. Tolak Penurunan Upah Pekerja/Tenaga Alih Daya (TAD)

2. Tolak Perubahan Status Hubungan Kerja Tenaga Alih Daya ( TAD )

3. Tolak Jenis Pekerjaan berdasarkan Volume Based dan Pola Kemitraan.

4. Tolak Dana Talangan Pelanggan PLN.

5. Stop Kecelakaan Kerja di Lingkungan Kerja PLN

6. Angkat Tenaga Kerja Alih Daya ( TAD ) menjadi pekerja di anak perusahaan PT. PLN

7.  Pekerjakan kembali 19 Tenaga Alih Daya (TAD) yang telah di PHK sepihak oleh PT. DKB di Lampung.


Hundreds of Outsourced Workers Held a Protest in front of PT PLN (Persero) demanding their fightful Rights

Hundreds of workers under the Serikat Pekerja Elektronik Elektrik – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPEE FSPMI) held a protest action in front of PT PLN (Persero) head office on Jalan Trunojoyo, Jakarta, on Thursday (2/2).

The protest mass came from different areas of the country such as Lampung, Cirebon, Sumbar, Bogor, Indramayu, Purwakarta, Bandung, Makassar, Depok, Cianjur, Karawang, Tangerang, Sukabumi, and Bekasi. They are the workers of PLN vendors, in other words,  PLN’s outsourced workers. They mainly work in the distribution, generation, network-grid:   Reliable Service such as Troubleshooting on Gauges and Circuit Breaker (APP), Troubleshooting on House Installation (SR), Troubleshooting on Low Voltage Network (JTR), Troubleshooting on Distribution Substation, Troubleshooting on Medium Voltage Network (JTM), Troubleshooting on Medium Voltage Cable Line (  Pelayanan Handal seperti Penanganan Gangguan Alat Pengukur &SKTM). Also participating, the outsourced workers in retail or workers who record the meter of electricity and debt collectors called biller.

The protest action was triggered by the inssuance of PLN’s President Regulation No. 0219 of 2019 that resulted in the the decrease of outsourced workers’ wages, holiday benefit, JHT, pension, severance payment and compensation, and overtime pay.

This situation was aggravated by the issuance of new policy under the EDIR 019 of 2022 that resulted in several jobs in PLN to be using volume based system. This new policy resulted in the loss of job security, the employment certainty, wage certainty, and also social  security.

The outsourced workers in retail section or called the biller experienced all of the above-mentioned changes. PLN’s new policy also changed the period of customers’ payment from 6 months to only a month.

The new policy sets that there must be no outstanding payment from the consumer side. Consequently, the outsourced workers must pay the outstanding payment every month so that they will not get bad review due to bad performance, hence they would not get any sanction or warning letter, or even termination.

Furthermore, article 33 of Indonesian Constitution of 1945 asserts that sectors of production which are important for the country and affect the life of the people shall be under the powers of the State. It is no doubt that electricity is a sector of production that is important and affect the life of the people and therefore must be under the power of the state.

Under the power of the state as mentioned above must be understood under the fram of the constitution. We can refer to the provisions in the legal considerations of Constitutional Court Decision No 001-021-0211/PUU-I/2002 on judicial review against Law No. 20/2002 on Electricity. The provision said that under the constitution, the ownership of the state over electricity must be in five dimensions: policy, action, management, regulation, and supervision.

When we talk about how Indonesian can enjoy electricity, there are several steps from generation, to transmission, distribution, to retail or sale. Therefore, control of the state must also covers all the steps. However, unfortunately, today, some of the steps have been privatized, by handing them over to the privates.

The state must control all the sections through its State-owned companies (BUMN), in this matter is PT PLN (Persero). PT PLN is mandated under the Law to manage the electricity in this coutnry. In other words, electricity must not be handed over to private companies that could create discrimination and violate the employment relation the outsourced workers. Finally, the outsourced workers would lose their basic rights. In the long run, privatization will increase the price of electricity that will put more burden to the people.

Privatization of electricity is not just unconstitutional, but also worsen the OSH protection, violate the employment contract, and decline in the welfare of workers working in the electricity sector. Finally, it will also increase the price of electricity.

Against that background, SPEE-FSPMI demand the following:

1. Reject the decline of wage of workers and outsourced workers

2. Reject the alteration of Employment Agreement of Outsourced Workers

3. Reject the volume-based system and partnership system

4. Reject the bailout for PLN Customers

5. Stop Work accidents in PLN

6. Regularize the Outsourced Workers to be the workers of PT PLN’s subsidiaries

7.  Reinstate the 19 Outsourced workers who were laid off unilaterally by PT DKB in Lampung

Public Services International (PSI) Ingatkan Dua Hal yang Mengakibatkan Harga Listrik Mahal

Andy Wijaya selaku perwakilan Public Services Internasional (PSI) mempertanyakan, mengapa harga energi yang terjangkau tidak menjadi isu strategis dalam pembahasan Strategic Environmental and Social Assessment (SESA) Preliminary Scoping Report Workshop yang diselenggarakan di Hotel Novotel Bogor pada tanggal 26-27 Januari 2023.

Pernyataan Andy merujuk pada paparan Masyita Crystallin dari Kementerian Keuangan yang menekankan Energy Transition Mechanism pada 2 hal yaitu just transition dan affordable, “Kenapa harga listrik yang terjangkau tidak menjadi isu pada sesi ini?” Tanya Andy Wijaya.

Lebih lanjut, Andy yang juga Sekretaris Jenderal Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP) ini menyampaikan, harga energi baru terbarukan sekarang ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga energi dari fosil, terutama batubara.

Mengingat eneri baru terbarukan juga akan dijual kepada masyarakat, tentu kita juga harus mengkaji dampak buruknya kepada masyarakat. Karena harga listrik yang mahal, akan membebani masyarakat.

Selain itu, lanjut Andy, Public Services Internasional (PSI) pernah melakukan beberapa study di Inggris, Afrika Selatan, dan Asia Tenggara.

“Study tersebut menyimpulkan, bahwa kepemilikan pembangkitan yang bukan oleh negara atau dimiliki oleh pihak swasta itu biasanya akan berdampak pada harga listrik yang semakin mahal,” ujar Andy.

Untuk itu, di tengah kondisi ketenagalistrikan Indonesia hari ini yang sedang over suplay, maka kedua hal tersebut harus menjadi perhatian serius oleh pemerintah. Karena bagaimana pun, persoalan energi terbarukan dan privatisiasi di sektor ketenagalistrikan akan berdampak pada mahalnya harga listrik.

Sekretaris PSI Asia Tenggara Memberikan Selamat Atas Penandatanganan PKB di PT PLN Persero

Bro Ian Mariano, Sekretaris PSI Asia Tenggara mengirimkan ucapan selamat melalui pesan video kepada teman-teman SP PLN atas selesainya perundingan dan penandatangan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) mereka.

Dibawah ini terjemahan pesan video beliau dalam bahasa Indonesia.

Atas nama PSI-Kantor Asia Tenggara, Saya dengan tulus dan sepenuh hati mengucapkan SELAMAT!

Akhirnya, setelah sepuluh tahun SP PLN berhasil menegosiasikan dan menandatangani Perjanjian Kerja Bersama (PKB).


Saya ingin mengucapkan selamat kepada Bro Abrar Ali, Ketua Umum SP PLN dan tentu saja Bro Bintoro, Sekretari Jenderal SP PLN dan seluruh pimpinan unit kerja yang telah bekerja keras demi tercapainya tonggak penting dalam sejarah SP PLN.

Saya yakin semua di SP PLN memiliki peran penting dalam proses tercapainya kesepakatan ini.

Saya menyadari bahwa perjanjian ini sudah melalui perjalanan panjang, terjal, dan melelahkan. Saya juga yakin teman-teman di SP PLN telah berjuang dan menunggu dengan sabar, berusaha terus saling membantu mengkonsolidasikan seluruh serikat di dalam PLN. Dan saya yakin konsolidasi itulah yang membuka jalan bagi SP PLN untuk menjadi lebih kuat dan di saat yang sama membesarkan keanggotaan, untuk menguatkan posisi dan melalui PKB, memberikan anggota kondisi hidup dan kondisi kerja yang lebih baik dan mendorong serta melindungi hak-hak mereka.

Selama ini kita sudah berhasil dan saya tahu bahwa banyak di antara kita yang menunggu penuh harap kesepakatan dalam PKB ini.

PKB adalah alat fundamental bagi kita SERIKAT untuk mewujudkan tempat kerja dan kehidupan yang lebih baik.

Dengan demikian, saya ingin sekali lagi mengucapkan selamat kepada teman-teman semua atas keberhasilan usaha ini dan saya harap ini hanyalah permulaan dari perjuangan kita untuk mewujudkan layanan publik berkualitasn dan tetap berada di tangan publik.


Salam solidaritas!

PLN Sub-holding Holding is Unnecessary

PLN sub-holding Holding is unnecessary. The holding formation would only place management , including board of directors, in a difficult situation. Professor Mukhtasor’s statement in Seminar to celebrat the 23rd SP-PJB anniversary under the theme of “PLN Group Subholding – Holding, is it necessary?” held on Thursday, September 29, 2022.

In relation to that, PT PLN and PT PJB are not the prolem as they only execute the order. Therefore, Mukhtasor reminded all not to miss-address the criticism regarding the sub-holding – holding. It is the government who created the policy, not PLN.

“Regarding energy, the ministry that is acting inconstitutionally is the minstry of SOE (BUMN). The Law of Oil and Gas was enacted in 2001 and then the Constitutional Court decided that that law was inconstitutional that the law was annulled in 2012. Now, ten years later, the Law is produced to replace the annulled law on gas an oil. Then there was the electricity Law. Many parties filed for judicial review against this law many times, especially on the clause of unbundling and bundling. The Constitutional Curt had decided that that law is inconstitutional. If we follow the Constitutional Court decision, the IPP system is inconstitutional. Besides, Law of Minerba (Mineral, energy, and coal) was also reviewed by the Constitutional Court. Some articles in the law were annulled.

When we are talking about SOE (BUMN) management, there needs to note that what and what is behind that? If we looked closely, before the creation of sub-holding holding of PLN, the minister said that the holding formation would encourage transparency and accountability.

If it is really for transparency and accountability, the solution is not doing IPO. For example, Garuda has done an IPO. Then was Garuda getting better. There were even more cases happen after Garuda did its IPO,” he further explain.

IPO opens a space of private to enter the scene. When IPP becomes dominant, then electricity is no longer in the government’s control and hands. In turn, this will be danger for the development of energy sovereignty. Mukhtasor then remided the participants about an event in Sumatera where IPP dictated PLN. If PLN does not operate in accordance to its business scheme, they would refuse to operate the generator.

“PLN’s market is shrinking. On the upstream, PLN must buy electricity from the private. Distribution is also divided. PLN will turn into Garuda, sooner or later. I am concern that PLN would be like Garuda. Back in the days, airports were filled with Garuda’s airplane. Now, it is difficult to find Garuda, he asserted.

Mukhtasor said that we must fight to realize the true freedom of Indonesia by choosing the system that constitutionally correct. According to Bung Hatta, the Sectors of production which are important for the country and affect the life of the people shall be under the powers of the State. The culprit is BUMN. While small businesses through community participation, then in the middle there are many businesses that can be built by the private sector.

Similar thing was delivered by the a constitutional expert, Feri Amsari. According to him, the concept in article 33 that is most used is that the economy shall be organized as a common endeavour based upon the principles of the family system. The explanation of this article, citing Bung Hatta, said that it was cooperative. The core of cooperative is the develop the economy collectively.

If we look into the decision of Constitutional Court No.01-021-022-PPU-2003, Decision No. 58-PUU-2008, to decision No. 111 and also Decision No. 61, the most important is the principle of controlled by the state. It means, that the sectors of production which are important for the country and affect the life of the people shall be under the powers of the State.

However, Feri thought that the Constitutional Court was not so assertive. The decisions, the articles were to assert, said that there must not be any privatization. Therefore, the principle of under the power of the state does not allow any private interest, hence, the articles are cancelled. Due to the cancellation of main articles, the law is annulled as self. Unfortunately, the government and parliament created a new law that the content mostly against the Constitutional Court.

The Law was reviewed again by the Constitutional Court. The Constitutional Court tried to defend itself and explain that what was meant by sectors that are important for the country and affect the life of the people. There are three models. First, sectors of producition important for the sate and affects the lives of many people. Second, it is not important for the state but affect the life of different people. Third, not important for people but imporant for the state.

“If we refer to the three criteria above mentioned, then Pertamina and PLN must not be distrubed. They have to be under the power of the state,” explained Feri. In its next decision, ther are few important things related to the sector of production that are important for the stae but bear the potential to be take in by a group of people, not the state. Therefore it must be cancelled. Second, once an asset is under the private power but bear the potential to be the state’s competitors then will affect the lives of the people, then it must not.

“But business is business. Even though it is cancelled multiple times, it will ressurrect itself. We can see that there are other interest. We see on Indonesian Constitution article 33, the constitution includes everyone by forming a common the endeavours based upon the principles of the family system, not individual,” he added.

The problem is that there are gaps in the Constitutional Court decision. There is a sentence that said if PLN is no longer able, it is ok to only manage a small part. This is multi-interpreation. Although the law is not even enacted.

“This is problematic. Basically, there is not any wish in the Constutional to open a space for privatization,” said Feri. Therefore, holding sub-holding is unnecessary.

Prof. Mukhtasor and Feri Amsari’s thoughts was supported by the Economist Salamuddin Daeng. He thought that the government must postpone and reevaluate their plan to form holding and subholding. Given that PLN’s duty and responsibility is providing electricity. That is mandated by the Constitution of 1945 article 33, implementing the Law NO. 30 of 2009 on Electricity and implementing the Constitutional Court decision (MK) 111/PUU-XIII/2015 that is to provid electricity in an integrated way.

The plan of Ministry of SOE to form PLN subhold holding as stated in teh State Budget Plan (APBN) of the upcominng year is a policy for portfolio improvement and strengthening the financial structure of SOEs through the formation of strategic holdings, restructuring of SOEs, as well as reducing the proportion of debt to the funding structure (deleveraging).

However, PLN’s concern is not only whether or not the company’s financial situation is sound, but also related to the life of many people which is the responsibility of the State that is carried out by PLN. Therefore, the policy of forming PLN sub holding holding must be discussed cross-sectorally by involving all stakeholders and public. There are so many problems related to electricity faced by Indonesian people that must be handled by the government and PLN as the electricity operator.

“This sub holding formation is a hasty policy, running on somekind or deadline, forced, and even without any regulation basis will endanger the future of electricity in Indonesia,” he asserted.

Peringati HUT ke-23, SP PLN Tegaskan Sebagai Penjaga Aset Strategis Bangsa

“Kolaborasi membangun ekosistem satu PLN sebagai aset strategis bangsa, jantung Indonesia, penjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI.” Demikian tema peringatan HUT ke-23 SP PLN Persero yang diselenggarakan di Bumi Resort Surabaya, Kamis (18/8).

Dalam momentum peringatan HUT SP PLN yang ke-13 ini, Ketua Umum SP PLN Persero Muhammad Abrar Ali menyampaikan, perayaan HUT SP PLN yang bertepatan dengan peringatan Hari Konstitusi ini tidak lepas dari peran penting SP PLN Persero dalam menjaga amanah konstitusi Indonesia, khususnya terkait dengan ketenagalistrikan,

“SP PLN Persero berkomitment sebagai penjaga kedaulatan energi. Bahwa listrik menguasai hajat hidup orang banyak, dan oleh karena itu harus dikuasai negara sehingga tidak boleh di privatisasi,” tegasnya.

Menegaskan pernyataan tersebut, Abrar menyampaikan tiga core value yang disetujui oleh serikat yaitu pertama, satu SP PLN untuk semua pegawai PLN. Kedua, dengan memiliki satu serikat pekerja, maka pegawai PLN akan semakin solid untuk mencapai dua tujuan, keberlangsungan usaha perusahaan dan kesejahteraan insan PLN. Ketiga, mempertahankan tiga core business PLN yang terintegrasi yaitu pembangkit, transmisi, dan distribusi.

Hal lain yang tak kalah penting, lanjut Abrar, adalah hak serikat untuk mewujudkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Direksi PLN berjanji bahwa bulan depan, PKB akan dirundingkan dan diselesaikan sehingga bisa segera ditanda tangani.

Keberadaan PKB merupakan capaian penting bagi serikat pekerja. Karena dengan adanya PKB, posisi dan kedudukan masing-masing pihak bisa menjadi lebih jelas. Dan yang terpenting, di dalam PKB, kedua belah pihak bisa mengatur ketentuan yang lebih baik dari peraturan perundang-undangan.

HUT SP PLN tahun ini juga terasa lebih istimewa, dengan kemenangan perjuangan SP PLN yang berhasil membatalkan pensiun HCMS di usia 46 di bulan Juli tahun ini.

“Terkait pensiun pegawai 46 tahun, serikat dan perusahaan telah bersepakat bahwa pensiun umur tersebut dihapus, sehingga tidak ada diskriminasi usia pensiun. Sehingga teman-teman HCMS ini usia pensiun menjadi 56 tahun sama seperti pegawai lainnya,” tegasnya. SP PLN Persero juga mengajukan penambahan usia pensiun dari 56 ke 58. Tuntutan ini sudah disampaikan ke manajemen.

Hadir dalam perayaan tersebut Direktur Human Capital Bapak Yusuf Didi Setiarto yang menyambut baik sinergi bersama SP PLN untuk membangun satu PLN, untuk PLN yang kokoh dan maju.

PLN akan memberikan banyak peluang kepada pegawai melalui sinergi mereka dengan SP PLN Persero dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas keterampilan, agar sejalan dengan kebutuhan perusahaan. Kemajuan PLN adalah kesejahteraan.

Menanggapi tawaran sinergi hubungan industrial yang baik ini, Ketum kembali menegaskan langkah-langkah kerja strategis yang dibangun serikat telah membuahkan hasil positif bagi anggota dan pegawai. Oleh karena itu komunikasi intens dengan manajemen akan terus ditingkatkan untuk kemajuan bersama.

Apakah Energy Transition Mechanism dan Green Climate Fund Pintu Masuk Privatisasi Sektor Kelistrikan?

Selasa, 26 April 2022, Public Services International (PSI) bersama dengan serikat pekerja di sektor kelistrikan mengadakan diskusi secara online dengan dua tema sekaligus, yaitu Energy Transition Mechanism (ETM) dan Green Climate Fund: Indonesian Geothermal. Dua narasumber utama dalam diskusi ini adalah Tom Reddington, Sekretaris Sub-regional PSI wilayah Oseania , dan Andy Wijaya, Sekretaris Jenderal Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP). Kegiatan melalu Zoom meeting ini dimoderatori oleh Budi Setianto, dari Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP. PLN Persero.)

Seperti yang kita ketahui bersama, 3 November 2021, bertepatan dengan diselenggarakannya Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) di Glasgow, Inggris, pemerintah Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, menandatangi kerja sama antara Indonesia dengan Bank Pembangunan Asia (ADB), terkait dengan studi kelayakan dan rancangan penerapan Energy Transition Mechanism (ETM). Indonesia dan Filipina adalah dua negara yang dijadikan pilot project untuk proyek ini.

PSI yang merupakan Federasi Serikat Pekerja Global di sektor publik, memiliki komitmen yang tinggi agar sektor-sektor publik tetap dikuasai oleh negara. Oleh karena itu, bersama dengan afiliasinya di Indonesia penting untuk mengetahui secara detail bagaimana sebenarnya konsep ETM dan Green Climate Fund: Indonesian Geotermal. Seperti yang dipaparkan Tom yang juga menjabat sebagai koordinator Asia Pasific PSI untuk Just Transition itu, seringkali proyek-proyek yang didanai oleh lembaga keuangan internasional, disertai oleh agenda Noeliberalisme. Dan transisi menuju energi baru terbarukan hanya menjadi kedok belaka. “Jangan sampai kita, Serikat Pekerja, kecolongan dengan agenda privatisasi di dalam ETM ini.” Tom mengingatkan.

Dalam pemaparan pemaparan Andy Wijaya, sepertinya kekhawatiran Tom menemukan konteksnya. Bahwa ETM adalah semacam tukar guling antara pembangkit-pembangkit PLN yang berbahan bakar fosil dengan investasi pembangunan pembangkit berbahan bakar EBT. Bung Andy juga menegaskan, Apakah kemudian pembangkit-pembangkit setelah diambil alih oleh ADB akan dimatikan? Sayangnya sekali tidak, pembangkit-pembangkit tersebut ternyata akan tetap beroperasi dengan dalih sebagai cadangan. “Di situ lah problematikanya. Pembangkit-pembangkit berbahan bakar fosil itu akan tetap memproduksi listrik, jika sebelumnya PLTU-PLTU tersebut dimiliki oleh negara, setelah ETM berjalan, pembangkit-pembangkit tersebut dikuasi oleh swasta. Dampaknya adalah kenaikan tarif dasar listrik, yang akan membebani masyarakat.” tegas Andy.

Terkait dengan Green Climate Fund: Indonesian Geotermal, Andy juga mengingatkan, berdasarkan kajian para ahli eksplorasi geotermal bukan tanpa dampak negatif. Setidaknya ada tiga dampak negatif dari eksplorasi panas bumi ini, yaitu fracking, gempabumi minor, dan pencemaran air. Artinya, masih perlu kajian yang komprehensif untuk memanfaatkan sumber energi ini.

Diskusi yang berlangsung kurang lebih dua jam ini juga menegaskan, bahwa PSI dan serikat pekerja sektor kelistrikan tidak anti EBT, justru sebaliknya, mereka mendorong transisi menuju green energy. Dan senantiasa mendukung komitmen pemerintah Indonesia demi mencapai target penurunan emisi maupun Net Zero Emission (netralitas karbon) yang ditargetkan akan tercapai di tahun 2060 atau lebih awal. PSI dan serikat pekerja di sektor kelistrikan hanya tidak menginginkan transisi menuju energi hijau ini hanya menjadi kedok belaka, yang tujuan sebenarnya adalah melakukan privatisasi energi listrik di Indonesia. Jika itu yang terjadi, PSI dan serikat pekerja di sektor kelistrikan akan berada di barisan terdepan untuk melakukan perlawanan demi melindungi kepentingan publik.

Energi Hijau dan Terbarukan: Antara Kepentingan Pekerja, Keberlangsungan Perusahaan, dan Harga Listrik yang Terjangkau untuk Rakyat

Ketika berbicara mengenai energi hijau pasti akan persinggungan dengan privatisasi. Ketika privatisasi terjadi, kepemilikan perusahaan akan bergeser. Harga energi pun menjadi semakin mahal. Itulah sebabnya, banyak kebijakan yang harus dikritisi dan dilihat lagi oleh serikat pekerja, di mana isu perburuhan harus menjadi prioritas. Demikian disampaikan Sub-Regional Secretary Asia Tenggara Ian Mariano dalam pengantar forum energi hijau dan terbarukan yang diselenggarakan di Bali, 13 Oktober 2021.

Lebih lanjut Ian menegaskan, forum ini akan mempertimbangkan perkembangan baru ini di Indonesia dan negara berkembang, serta berusaha mempengaruhi arah energi terbarukan di masing-masing negara.

“Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat penting dalam transisi berkeadilan dalam hal energi terbarukan,” ujarnya.

“Masa depan energi di Indonesia harus dilihat dan diletakkan dalam perubahan konstitusi di Indonesia. Intinya, layanan publik harus dikendalikan dan dimiliki oleh publik,” dia menegaskan.

Hal senada juga disampaikan SASK Coordinator Representative untuk wilayah Asia Tenggara, Farizan Fajar. “Dari persepsi SASK, kami menganggap isu ini sangat sentral yang perlu diangkat. Sejalan dengan strategi SASK, transisi berkeadilan merupakan satu dari tiga isu prioritas selain gender equality dan feature of work,” ujar Farizan melalui Zoom.

Lebih lanjut Farizan menyampaikan, input dan hasil diskusi tidak hanya bermanfaat sebagai pemetaan awal yang terkait dengan negara tempat SASK melakukan kerjasama, namun juga bagian dari serikat pekerja untuk mengangkat isu penting ini ke permukaan.

Perjuangan SP PLN Group: Historis, Yuridis, dan Solidaritas

Saat memberikan pesan utama terkait  kebijakan dan posisi serikat pekerja terhadap masa depan energi untuk publik, Ketua Umum SP PLN M Abrar Ali menyampaikan tiga pendekatan, yakni hostoris, yuridis, dan solidaritas.

Menurut Abrar, SP PLN mewarisi sebuah sektor yang sangat strategis bagi bangsa dan negara, yaitu sektor ketenagalistrikan.

“Dulu kita merebut perusahaan listrik dari Belanda untuk kemudian diserahkan ke Indonesia, agar bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Mengapa hal ini kita lakukan? Sebab, dulu listrik hanya dinimati orang-orang kaya,” ujarnya.

Secara yuridis atau hukum, serikat pekerja diamanahi oleh konstitusi, yakni Pasal 33 UUD 1945. Disebutkan di sana, bahwa cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Disampaikan Abrar, di sini, peran dari serikat pekerja tidak hanya bagaimana meningkatkan kesejahteraan anggota dengan memperjuangkan, membela, dan melindungi hak dan kepenitngan anggota; tetapi juga menjaga kepentingan bangsa dan negara.

“Bagi SP PLN Group, menjaga kepentingan bangsa dan negara bukan sekedar slogan. Ini pernah kita lakukan, dengan memenangkan upaya privatiasi melalui judicial review UU UU 20/2002 yang kemudian dibatalkan pada tahun 2004. Kemudian lahir UU 30/2009, yang juga kita uji di Mahkamah Konstitusi. Memang tidak dibatalkan, tetapi kemudian ditetapkan bersyarat,” tegasnya.

Sedangkan dari sisi solidaritas, lanjutnya, saat ini kita mulai membangun solidaritas dan komunikasi yang intens, baik sesama perusahaan di PLN Group maupun dengan elemen yang lain.

Ke depan, di samping menkonsolidasikan internal, kita juga menyusun arah perjuangan kita. Saat ini adalah generasi yang beda dengan mereka yang dulu melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, kita harus memberikan pemahaman yang lebih ekstra terhadap generasi yang sekarang tentang pentingnya melawan privatisasi. Salah satu yang diwacanakan tetapi belum terjadi adalah membuat buku putih perjuangan SP PLN.

Temuan Kunci Hasil Riset

Masih dalam forum energi hijau dan terbarukan, Diana Gultom dan Suriadi Darmoko dari DebtWatch Indonesia memaparkan hasil riset tentang Negara dan Masa Depan Energi bagi Publik, Energi Terbarukan, dan Transisi yang Adil.

Dalam riset yang dilakukan pada bulan Oktober dan berakhir November 2020 ini berfokus dalam tiga hal. Energi energi baru terbarukan, dekarbonisasi, dan potensi kerjasama antara serikat pekerja dengan LSM lingkungan.

Ada beberapa temuan kunci yang dihasilkan dalam riset ini. Untuk energi terbarukan, ternyata kita menemukan ada ketergantungan terhadap energi fosil. Selain itu, mengenai peran negara terkait eneri terbarukan, lalu bagaimana ada distribusi yang adil, dan peran swasta dalam energi baru terbarukan.

Terkait dengan dekarbonisasi, temuan kuncinya adalah adanya dekarbonisasi yang semu (misleading decarbonization), lalu bagaimana implementasi agenda energi terbarukan, dan bagaimana skenario agenda dekarbonisasi.

Sementara temuan kunci terkait dengan serikat pekerja sektor ketenagalistrikan dan jejaringnya adalah terkait dengan bagaimana kekuatan pengalaman serikat pekerja dan peran LSM yang bergerak di sektor ketenagalistrikan.

Disampaikan, potensi energi terbarukan di Indonesia, yang terbesar adalah energi surya, yakni 207.898 MW atau 46,9%. Kemudian ada air sebesar 75.091 MW atau 16.9%, angin sebesar 60.647 MW atau 13.7%, bioenergi sebesar 32.654 MW atau 7,4%, panas bumi sebesar 29,544 MW  atau 6,7%, laut sebesar 17.989 MW atau 4,1%, Mini dan Mikro Hidro sebesar 4,4%

“Kalau kita melihat realisasi dari energi terbarukan di Indonesia, potensinya adalah 443.208 MW. Sampai pertengahan tahun 2020 kemarin, realisasi penggunaannya adalah 10.426 MW. Target di tahun 2025 adalah 45.153,2 MW dan tahun 2050 adalah 167.646 MW,” kata Suriadi yang memparkan hasil penelitiannya bergantian dengan Diana.

Penelitian ini juga menguak tentang dekarbonisasi yang semu. “Kalau kita lihat, target tahun 2025 ketersediaan listrik adalah 115 GW. Di tahun 2050 menjadi 430 GW. Ini kebijakan energi nasional yang tidak berubah sampai sekarang. Tetapi kalau kita melihat agenda dekarbonisasi, kalau tidak beralih sumber energinya, maka harusnya baurannya dinaikkan. Tetapi ketika kita lihat data pemerintah, trend penggunaan batubaranya justru terus meningkat. Bahkan energi bari terbarukan prosentasenya terus menurun, sebaliknya trend penggunaan baturabara jauh melampui penggunaan energi terbarukan,” jelas Diana.

Untuk mendorong semua itu, Diana menyampaikan, ada beberapa LSM lingkungan yang bisa kita ajak berkolaborasi. Mereka cukup aktif, baik dalam level kampannye atau membuat analisanya. Beberapa di antaranya adalah Institute for Essential Services Reform (IESR), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Greenpeace, Koaksi Indonesia, Koalisi Bersihkan Indonesia.

Dalam hal Energi Baru Terbarukan, rekomendasinya adalah; roadmap PLN untuk Energi Terbarukan dibangun bersama antara Pemerintah dan SP (termasuk skema perburuhan yang terkait langsung dengan keahlian dan teknologinya). Hal ini juga seharusnya mendorong fungsi PLN sebagai tangan Negara dalam memenuhi kebutuhan listrik warga negaranya. Political will pemerintah untuk mengembalikan fungsi PKUK PLN sebagaimana mandat Pasal 33 UUD 1945.

Sedangkan rekomendasi untuk dekarbonisasi, perlu ada political will yang kuat dari pemerintah untuk menurunkan penggunaan batu bara baik untuk keperluan ekspor maupun konsumsi dalam negeri. Mendorong PLN untuk memprioritaskan sumber listrik berbasis non fosil, mendorong swasta- terutama skala kecil dan berbasis lokal- untuk berpartisipasi membangun energi terbarukan, serta tidak mengeluarkan izin baru untuk pertambangan batu bara. Menghitung tren kelebihan pasokan (trend over supply) dan tren konsumsi yang menurun karena efisiensi alat listrik, sehingga perencanaan bisa lebih fokus kepada pemenuhan energi pada Energi Terbarukan dan tidak lagi membangun PLTU baru.

Sedangkan rekomendasi untuk Serikat Pekerja Ketenagalistrikan, perlu membuat RUEN tandingan yang sungguh-sungguh memperhatikan roadmap meningkatnya penggunaan energi terbarukan.

Namun demikian, yang terpenting dari itu semua adalah, bagaimana kita mendorong agar negara memberikan perlindungan kita sendiri terhadap keamanan kerja kita. Termasuk keamanan usaha, karena dari awal kita menyatakan sebagai pengawal konstitusi. Jangan sampai mengubah kepemilikan usaha. Apakah kepemilikan itu masih menjadi usaha publik, milik PLN atau kemudian berubah menjadi milik swasta. Termasuk di dalamnya adalah berbicara soal tarif yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Srategi dan Aksi

Dalam kesempatan ini, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyampaikan, ada empat fraktor yang mendorong transisi energi. Pertama, urgensi mengatasi krisis akibat pemanasan global dan perubahan iklim. Di mana krisis iklim ini akan berdampak pada ekomomi, sosial, dll. Kedua, kebijakan negara-negara untuk memangkas emisi gas rumah kaca dan mencapai dekarbonisasi. Ini menjadi penting, karena 70% emisi gas rumah kaca dihasilkan dari pembakaran energi fosil. Ketiga, perkembangan teknologi energi non-fossil dan energy storage yang semakin kompetitif. Keempat, saat ini juga terjadi preferensi konsumen dan investor/pelaku usaha terhadap energi bersih (ESG). Saat ini, Cina mengatakan tidak akan lagi mendani priyek batubara di luar China. Kita tahu, dalam 20 tahun terakhir, China adalah sumber pembiayaan PLTU di Indonesia.

“Itu juga yang merubah pengguna listrik untuk memilih energi baru terbarukan dan tidak lagi menggunakan energi fosil. Beberapa faktor ini membuat transisi energi menjadi sangat penting. Untuk menghindari krisis akibat perubahan iklim, harus menurunkan emisi gas rumah kaca,” katanya.

Dalam rangka untuk mengatasi perubahan iklim tersebut. Negara-negara membuat kebijakan. Salah satunya yang saya ambil contoh adalah Uni Eropa, yang bulan Juni lalu mengumumkan seiring dari upaya mereka untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca 55% di tahun 2030 dari tahun 2025. Uni Eropa akan menerapan yang namanya carbon boder tax. Artinya, barang-barang yang masuk ke Uni Eropa yang diimpor dari negara lain, itu akan dihitung konten dari karbonnya. Berdasarkan itulah, Uni Eropa akan mengenakan pajak.

Dengan demikian, kalau produk yang kita ekspor ke luar negeri memiliki kandungan karbon yang tinggi, maka tidak lagi kompetitif karena harganya akan lebih mahal. Menjadi sangat penting, karena sumber emisi yang dihitung untuk setiap barang dan jasa yang di ekspor, itu adalah berasal dari pembangkitan tenaga listrik. Jadi listrik punya peran dalam konteks untuk mengatasi perubahan iklim.

Peta jalan yang dijalan oleh international energi agency, kalau kita ingin mencapai zero emission di 2050 itu seperti apa. Rekomendasinya, setelah 2021 tidak boleh ada satu pun tambahan listrik tenaga uap baru. Kemudian jangan ada lagi pembukaan tambang batubara dan minyak dan gas. Lalu pada tahun 2025 tidak boleh ada penjualan fosil full boilers. Ini adalah contoh yang direkomendasikan oleh IEA, dalam rangka mencapai net zero emission di 2050.

Konsekwensi dari rekomendasi ini, produksi dari tambang batubara tidak boleh lagi diperluas. Demikian juga produksi dari minyak dan gas. Jadi di era transisi ini, diperkirakan dari energi fosil itu akan semakin turun. Dan ini adalah konsekwensi dari kita ingin menyelamatkan bumi dari ancaman krisis iklim.

Bagaimana dengan Indonesia? Dengan kondisi hari ini, 92% dari 300 GW PLTU Batubara yang sedang dan akan dibangun di China, India, Jepang, Vietnam dan Indonesia akan menjadi tidak ekonomis, dan $150 miliar investasi akan sia-sia.  Bisa kita lihat, 27% kapasitas PLTU yang beroperasi saat ini di 5 negara tersebut tidak menguntungkan dan 30% dalam kondisi breakeven, dengan margin $5/MWh. Pada 2026 seluruh kapasitas PLTU Global akan lebih mahal dioperasikan ketimbang membangun pembangkit energi terbarukan yang baru. Sedangkan 52% kapasitas PLTU di seluruh dunia tidak menguntungkandi 2030 , dan akan naik jadi 77% di 2040. Di sisi lain, potensi stranded asset dari 22,8 GW PLTU milik PLN diperkirakan mencapai $15,4 miliar. Kalau kita menjalankan PLTU lebih lama, itu akan lebih mahal.

Sementara itu, PLN sudah punya rencana mulai melakukan retirement PLTU batubara menuju carbon neutral 2060. Ada dua scenario. Yang pertama, replacement untuk PLT dimulai pada 2025 rencananya adalah mengganti PLTU dengan PLTMG dengan PLT EBT Baseload 1,1 GW dan ini masuk dalam RUPTL, kemudian 2030 retirement subcritical tahan pertama (1GW) menyusul 9 GW di 2035 dan terus sampai terakhir di 2055.

Tetapi ada juga sckenario kedua, bahwa pembangkit yang subcritical dan critical itu akan dilengkapi denan CCUS. Jadi PLN tidak harus mempensiunkan PLTU nya tetapi ditambah dengan CCUS. Konsekwensi apa kalau ditambah dengan CCUS, menurut saya, CCUS ini belum bisa menurunkan 100% emisi gas rumah kaca. Kemudian akan ada tambahan biaya investasi. Ini menjadi penting, siapa yang akan berinvestasi.

Kesimpulannya, kata Fabby, sejak 2015 dengan disepakatinya Persetujuan Paris (Paris Agreement), seluruh dunia sedang berupaya mengatasi ancaman krisis iklim dengan melakukan penurunan intensitas emisi GRK dan transisi energi.

Opsi transisi energi yang low hanging fruit ada di sektor kelistrikan, dengan phase out/phase down PLTU. Kondisi ini didukung dengan perkembangan yang cepat teknologi energi terbarukan, energy storage system, tekanan dari investor global dan lembaga finansial, shareholder, serta preferensi konsumen energi, serta aturan -aturan ESG yang semakin ketat.

Keterdesakan untuk melakukan transisi energi di sektor kelistrikan akan berdampak pada permintaan batubara global (yang menjadi tujuan ekspor BB Indonesia) dan batubara untuk pembangkit listrik, yang menghadapi pilihan opportunity lost dan potensi stranded asset jika tidak mengoptimalkan bauran pembangkit energi terbarukan yang harganya semakin kompetitif.

PLN memerlukan rencana transisi menuju “modern public utility” dan menghindari effect utility death spiral, dengan fokus: 1) mengganti asset pembangkit thermal dengan aset renewable & storage; 2) investasi pada teknologi maju: smartgrid, V2G, VPP, DERs; Power Wheeling; 3) perubahan business model; 4) mengoptimalkan revenue dari asset non listrik, dsb.

Catatan dan Kesimpulan

Di akhir acara, Sekretaris Jenderal PP Indonesia Power Andy Wijaya ketika menyampaikan catatan dan kesimpulan menyampaikan, dalam roadmap transisi energi Indonesia menuju net zero emission pada 2060 dari Kementerian ESDM, negara sudah menbuat blue print untuk penurunan emisi, salah satunya pengurangan energi fosil

“Roadmap menuju net zero emission sudah diperlihatkan oleh bung Fabby, tapi ini versi dari kementerian ESDM,” kata Andy. Di dalam RUPTL 2021-2030 Indonesia itu menyaratkan EBT, porsinya sekitar 51% dari ketenagalistrikan di Indonesia. 51% itu berapa MW? Data yang sekarang, per April 2021 memiliki 72.889 MW di mana 13,55% adalah EBT dan sisanya dari fosil. Porsinya masig 86,45%.

Di RUPTL dari 2021-2030, yang sekarang 13,55 dengan 86,45 akan dibalik menjadi 51% dan bawahnya akan menjadi 49%. Memang kalau kita lihat bauran energi yang sekarang, kalau kita bilang kerja keras sudah lebih baik. Kalau saya mengatakan, itu mustahil. Kenapa? Karena ini belum termasuk program 35.000 MW yang total dari fosil.

“72.889 ini sudah mencakup 10.000 MW dari 35.000. Artinya dari data 2021, masih ada sebesar 25.751 MW fosil yang belum masuk. Dan itu akan masuk dalam 2-3 tahun ke depan. Kalau kita anggap tanpa penambahan apa-apa selain dari 35.000 MW, yang tadi Mas Fabby sudah mengatakan stop pembangunan, tapi ini kan sudah ada kontrak, artinya akan jalan terus.”

PLTU yang ditandatangani dan diizinkan terakhir di Indonesia, adalah PLTU 9-10. Itu terakhir, dalam rangkaian 35 GW. Dengan masuknya 25.751, dari data yang saya buat, itu nanti kalau 3 tahun 2024 itu EBT hanya tersebua 10,5%. Fosil 89,3%. Tadi saja yang cuma 86,35% itu saya bilang mustahil. Apalagi ini, yang 89 sama 10. Apakah bisa, bisa? Caranya seluruh PLTU dan pembangkit fosil punya PLN dimatikan. Tanpa itu, tidak akan berhasilan bauran energi hingga 2030.

Kami mendukung energi hijau, yang berkeadilan. Bukan hanya dari sisi lingkungan, tetapi juga harga. Sekarang kalau kami dipaksa menghasilkan harga listrik yang mahal, bagaimana kami harus bersikap?

Bahkan ada sebuah data yang menyebutkan, emisi di Indonesia paling kecil, karena kita punya paru-paru dunia. Hutan kita masih lebat. Tetapi sayangnya, kita digambarkan sebagai masyarakat luar, kita pro energi kotor.

Menjawab apakah energi yang baru sebanding dengan pekerjaan yang hilang. Sebagai perbandingan, PLTS di Cirata yang 145 MW diperkirakan pegawainya hanya 10 orang. Sedangkan untuk PLTU, dibutuh 500 orang.

“Bayangkan, berapa ratus orang yang akan kehilangan pekerjaan jika ini diterapkan?” Tegas  Andy. Karenanya, hal ini harus menjadi perhatian bersama bagi serikat pekerja.