




Serikat Pekerja di Sektor Ketenenagalistrikan yang terdiri dari Serikat Pekerja PT PLN (Persero), Persatuan Pekerja Indonesia Power (PPIP), dan Serikat Pekerja Pembangkit Jawa – Bali (SP PJB) bersama gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS) secara resmi mengajukan Uji formil dan Uji Materi secara terbatas terhadap materi muatan Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Senin (7/12/2020).
Dalam pengajuan judicial review yang diajukan GEKANAS tersebut meliputi uji formil dan meteriil. Adapun untuk materiil, terpusat dalam persoalan ketenagalistrikan, ketenagakerjaan, dan jaminan sosial yang meliputi pasal 42 (UU Ketenagalistrikan), pasal 81 (Ketenagakerjaan), pasal 82 (UU SJSN) dan pasal 83 (UU BPJS).
Ketua SP PLN M Abrar Ali menjelaskan, terkait permasalahan ketenagakerjaan, berdasarkan Putusan MK tahun 2004 dan 2016 pada UU Ketenagalistrikan, Mahkamah Konstitusi secara konsisten, mengelompokkan bahwa Tenaga listrik adalah salah satu cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dan untuk itu harus dikuasai oleh negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Tetapi UU Cipta Kerja pada pasal 42 tentang perubahan UU 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan tidak menjadikan putusan MK tahun 2016 sebagai rujukan dalam rumusan Pasal 10 ayat (2) tentang unbundling dan Pasal 11 ayat (1) tentang swastanisasi atau liberalisasi sektor ketenagalistrikan untuk kepentingan umum,” kata Abrar, dikutip dari keterangan tertulisnya pada Nusantaratv.com.
Ia mengatakan, bahwa UU Cipta Kerja pada pasal 42 tentang perubahan atas UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan juga menghilangkan peran DPR dalam pembuatan Rencana Usaha Kelistrikan Negara (RUKN), memperluas peran swasta dalam penjualan kelebihan tenaga listrik (Excess Power) dan juga membolehkan pihak swasta melakukan sewa jaringan tenaga listrik yang mempunyai potensi terjadinya gangguan dalam menyediakan listrik untuk masyarakat.
“Dampak dari berlakunya UU Cipta Kerja pada pasal 42 tentang perubahan UU No. 30 Tahun 2009 mengenai Ketenagalistrikan, berpotensi membebani negara dalam melakukan subsidi tenaga listrik yang bila beban subsidi tersebut tidak bisa dilakukan, maka berpotensi menyebabkan kenaikan harga listrik bagi masyarakat. Oleh karena itu, sektor ketenagalistikan wajib dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” tegasnya.
Adapun pada saat masuk ke dalam sumber masalah utama yakni permsalahan ketenagakerjaan Serikat Pekerja di Sektor Ketenagalistrikan bersama Gekanas berpendapat jika penyederhanaan dan kemudahan berinvestasi yang diatur dalam Undang Undang Cipta Kerja, menyimpan banyak masalah yang berpotensi menimbulkan pertentangan terhadap Undang Undang Dasar (UUD) 1945.
Beberapa permasalahan tersebut antara lain seperti Aturan Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang tidak diwajibkan memiliki sertipikat kompetensi Internasional sesuai yang dibutuhkan oleh pengguna dan hal tersebut diatur didalam pasal 42 UU no 11 2020 tentang Cipta Kerja. Belum lagi terkait Penghapusan batasan waktu untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan menyerahkannya kepada“Daulat Pasar”sebagaimana diatur pada angka 15, Pasal 59 UU No 11 Tahun 2020. sehingga hal ini berpotensi menghilangkan atau mengurangi“Kedaulatan Negara”untuk melindungi hak konstitusional rakyat sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Permasalahan lainnya terkait Alih daya tenaga kerja yang nantinya akan disediakan oleh Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja (PPJTK) yang bertindak sebagai labor supplier (pemasok tenaga kerja) kepada perusahaan pengguna tenaga kerja tersebut, apabila antara tenaga kerja yang akan dipasok tidak mempunyai ikatan hubungan kerja dengan perusahaan pemasok, baik dalam bentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) mau pun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau Perjanjian Pemborongan Pekerjaan (PPP), maka hal ini berpotensi menjadi perdagangan orang (human trafficking) secara terselubung dan melanggar Undang Undang No 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Hal lainnya yang dianggap merugikan bagi para tenaga kerja yakni terkait dihilangkannya Survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang biasanya dilakukan secara rutin setiap tahunnya sebagai dasar untuk menetapkan besaran Upah Minimum pada tahun yang akan datang sebagaimana diatur sebelumnya dalam Pasal 89 UU Existing. Dengan dihilangkannya survey tersebut, maka persoalan yang akan muncul adalah hilangnya rasionalitas upah minimum terhadap KHL sekaligus menghilangkan upah minimum sebagai jaring pengaman atas kemampuan daya beli upah untuk memenuhi KHL pada tahun yang akan datang.
Maka dengan menurunnya kemampuan daya beli atas upah minimum, sehingga berpotensi meningkatkan angka kemiskin bagi masyarakat pekerja/buruh yang tengah bekerja. Hal ini berpotensi bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Jo. Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang menegaskan Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Oleh karena itu, dengan diajukannya gugatan formil dan materil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Serikat Pekerja di Sektor Ketenagalistrikan bersama Gekanas berharap masih ada keadilan yang didapatkan bagi para pekerja terlebih masyarakat Indonesia umumnya secara luas. serta membuka mata negara bahwa kepentingan rakyat berada diatas segalanya. Terlebih, nilai dari UU Cipta kerja sangat rendah derajatnya dibandingkan dengan UU No 13 tahun 2003 yang merupakan karya besar tentang ketenagakerjaan pasca reformasi.