Memperkuat Solidaritas Pekerja Ketenagalistrikan melalui Forum Komunikasi Serikat Pekerja Ketenagalistrikan (FKSPK) Jawa Tengah—DIY

Forum Komunikasi Serikat Pekerja Ketenagalistrikan (FKSPK) Jawa Tengah—DIY menggelar pertemuan hari ini, Rabu, 8 Februari 2023 di Pondok Tingal, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Hadir dalam pertemuan ini adalah perwakilan dari DPD SP PLN UID JTY, SERBUK Indonesia, SPEE FSPMI, PPIP, SPLAS, SPLAM, SPL HPI, dan perwakilan-perwakilan TAD PLN yang belum berserikat.

Forum Komunikasi yang digagas oleh DPD SP PLN UID JTY dan Komwil SERBUK Jateng—DIY ini dimaksudkan untuk membangun kesepemahaman antar serikat-serikat pekerja ketenegalistrikan di Jawa Tengah DIY. Ketenagalistrikan sebagai sektor ekonomi strategis harus bisa memberi manfaat bagi para buruh di sektor ini dan masyarakat pada umum.

Forum yang dikemas dalam bentuk sarasehan ini menghasilkan beberapa rekomendasi penting untuk menghadapi dinamika di sektor ini, khususnya menghadapi isu privatisasi PLN dan problem ketenagakerjaan akibat PERPPU Cipta Kerja, contohnya adalah pemberlakuan sistem kerja berbasis volume yang berpeluang besar menghilangkan hak-hak kesejahteraan yang selama ini diterima oleh pekerja.

Hamdani AP, Koordinator FKSPK sekaligus Ketua DPD SP PLN UID JTY, dalam sambutannya menegaskan tentang pentingnya persatuan dan sinergi antar serikat pekerja untuk menjawab tantangan di sektor ketenagalistrikan. “Dampak buruk berlakunya PERPPU Cipta Kerja bagi kaum buruh tidak bisa lagi dihadapi sendiri-sendiri, sebab daya rusaknya bersifat massal. Oleh karena itu diperlukan persatuan antar serikat pekerja untuk menahan dampak buruk itu.” Tegas Bung Hamdani.

Hadir juga dalam acara ini bung Slamet Supriyadi, sekretaris umum SPEE – FSPMI. Beberapa buah pemikiran penting yang dia sumbangkan hari ini adalah bagaimana pentingnya memetakan persoalan-persoalan yang sedang dan akan dihadapi kaum buruh, khususnya di sektor ketenagalistrikan.

Bung Slamet memberi contoh mengapa SPEE memilih bernegosiasi dengan PLN terkait isu-isu di Tenaga Alih Daya (TAD) PLN, padahal TAD-TAD tersebut kontrak kerjanya dengan vendor-vendor PLN bukan dengan PLN. “Jika kami sebelumnya tidak melakukan pemetaan kemungkinan besar negosiasi dan aksi kami hanya ditujukan kepada vendor saja. Namun, dengan pemetaan masalah kita menjadi tahu pihak-pihak mana saja yang menjadi penyebab munculnya masalah tersebut.” Terang bung Slamet. Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan tentang mengapa SPEE aksi ke PT. PLN pusat beberapa waktu lalu.

Indah Budiarti, PSI Communications and Project Coordinator (Southeast Asia Office) hadir dalam forum ini. Indah menyampaikan bahwa forum ini hendaknya mampu membuat rencana dan aksi strategis. Mampu memiliki tuntutan yang jelas dan dapat dicapai; memiliki kekuatan yang besar, dan bersatu; memiliki daya tahan yang sama, konsisten dan semakin kuat.

Salah satu rekomendasi yang menjadi prioritas dalam forum hari ini adalah meningkatkan rekruitmen ke dalam serikat pekerja/buruh untuk TAD di Jawa Tengah. Hal ini untuk menjawab salah satu problem rendahnya densitas serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan, khususnya serikat pekerja di TAD di Jawa Tengah, yang mayoritas buruhnya belum berserikat.

Ke depan FKSPK akan rutin bertemu untuk merumuskan metode yang tepat agar rekomendasi-rekomendasi yang dicanangkan bisa tercapai.

SPLAM Merayakan Kemenangan

Selasa (10/1), Serikat Pekerja Listrik Area Magelang (SPLAM) Korwil Borobudur mengadakan tasyakuran di salah satu rumah anggota yang terletak di Dusun Malang Wirosuko, Sawangan, Magelang. Di lereng Gunung Merbabu, yang saat acara berlangsung puncaknya sedang diselimuti kabut tebal.

Tasyakuran ini digelar setelah di pertengahan Desember 2022 lalu, SPLAM berhasil memenangkan perjuangan melawan PT. DJU yang telah melakukan pemotongan upah secara ilegal, dalam satu setengah tahun terakhir. PLN UID Jateng-DIY melakukan pemutusan kontrak sepihak kepada PT. DJU setelah mereka tidak mau mengembalikan pemotongan upah yang telah dilakukan secara melanggar hukum.

Para pekerja Tenaga Alih Daya PLN ini kemudian dialihkan kepada vendor baru, yakni PT. Haleyora Powerindo. Memang, tidak ada yang ideal dengan sistem Outsorcing, namun setidaknya, anggota-anggota SPLAM yang bekerja sebagai tenaga pencatat meter ini sekarang telah menerima upah sesuai nominal yang diperjanjikan. Rerata ada kenaikan sebesar 300 ribu dari upah terakhir yang mereka terima di vendor lama.

Abdul Gopur yang hadir sebagai Koordinator Wilayah Jateng—DIY SERBUK Indonesia, dalam sambutannya memberikan catatan penting, agar SPLAM tidak lengah dengan kemenangan yang berhasil diraih, sebab tantangan di hari-hari depan tidak lah mudah. “Ok. Hari ini boleh kita bergembira. Senang-senang. Tapi, jangan berlarut, jangan lena. Masih banyak tuntutan lain yang menunggu untuk diperjuangkan. Tetap solid dan kompak.” Pesan Gopur.

Konsolidasi TAD PLN SERBUK Indonesia:Berserikat! Kuat! Bermartabat!

SERBUK Indonesia menggelar Konsolidasi Nasional Tenaga Alih Daya (TAD) PLN, pada Hari Sabtu, 12 November yang lalu, di Aula Malioboro Inn, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah. Konsolidasi anggota ini dimaksudkan untuk mempererat solidaritas, memperkokoh perkokoh barisan, dan mengasah daya juang.

Hadir dalam kegiatan ini perwakilan dari Serikat Buruh Anggota (SBA) SERBUK Indonesia dari sektor ketenagalistrikan, seperti Serikat Pekerja Listrik Area Magelang (SPLAM), Serikat Pekerja Listrik Area Banyuwangi (SPLAB), SPL. HPI Klaten, SPLAS Solo, dan beberapa perwakilan lainnya.

Dinamika kebijakan di PT. PLN menjadi perhatian serius SERBUK Indonesia, khususnya yang berpengaruh kepada tenaga alih daya. Jangan sampai kebijakan yang merugikan TAD PLN gagal dimitigasi, yang ujung-ujungnya membuat TAD PLN menderita. Seperti akhir-akhir ini, diterbitkannya Edaran Direksi 019./DIR/2022 tentang Standar Prosedur Pengelolaan Tenaga Alih Daya, surat edaran ini jika tidak ditolak akan membuat TAD PLN kehilangan jaminan keberlangsungan kerja dan berpotensi mengurangi pendapatan TAD.

Dalam konsolidasi ini, SERBUK Indonesia melakukan kajian secara mendalam, utamanya tentang bagaimana latar belakangnya sampai edaran tersebut muncul. Dalam diskusi yang panjang selama konsolidasi, akhirnya forum konsolidasi mendapatkan kesimpulan bahwa, edaran tersebut memang dimaksudkan untuk memangkas biaya beban tenaga kerja untuk dialihkan kepada pembiayaan pembelian tenaga listrik yang terus membengkak. Skema Take or Pay (TOP) dalam Power Purchase Agreement (PPA) antara PLN dengan Pembangkit Listrik Swasta, membuat PLN harus membeli semua energi listrik yang dihasilkan oleh pembangkit yang dimiliki perusahaan swasta tersebut, meskipun tenaga listrik tersebut tidak dipakai.

Hal itu tentu saja membebani keuangan PLN, karena listrik yang sudah dibeli tidak berhasil dijual karena laju konsumsi listrik secara nasional belum sebanding dengan kecepatan penambahan produksi tenaga listrik. Ujung-ujungnya terjadi over kapasitas, bahkan di akhir tahun 2022 ini kelebihan pasokan listrik diperkiran mencapai 61%. Oleh karena itu PLN harus melakukan efisiensi.

Pengurangan biaya tenaga kerja lazim ditempuh oleh perusahaan-perusahan untuk menyehatkan keuangan perusahaan, meskipun problematikanya bukan pada tenaga kerjanya. Seperti di PLN kesalahan terbesarnya adalah pada tata kelola keuangaan utamanya kegagalan menentukan fokus investasi, tapi mengapa TAD yang harus menjadi korban? Begitu lah pertanyaan besar dari para peserta konsolidasi. Dan mereka sepakat TAD atau para pekerja yang berada di garis depan industri kelistrikan nasional jangan sampai menjadi korban. Jangan sampai TAD kembali diupah seperti jaman Koperlis, begitu kata salah satu peserta.

Di akhir sesi rencana tindak lanjut, para peserta konsolidasi berhasil merumuskan strategi dan taktik untuk menghadang tiap-tiap kebijakan yang akan merugikan TAD. Dua poin besar dari rumusan strategi dan taktik tersebut adalah densitas dan kapasitas serikat buruh. Tanpa jumlah keanggotan yang mayoritas di Tenaga Alih Daya PLN dan kapasitas personil serikat buruh yang prima, jangan berharap TAD PLN bisa memenangkan agenda-agendanya.

Preparing to Face Workplace Dispute Settlement, Five Unions Parcitipated in Advocacy Training

Advocacy literally means mentoring support, suggestion, and defense. In the world of employment, advocacy is an activity or a series of activities in the form of suggestion, mentoring, statement of defense by union for its members or organizaton in response to a situation or problem.

It is very important for unions to have an advocacy skill, especially because advocacy is very critical to unions. In an employment relation, there is always a possibility for a ‘dispute’.

That is the backgroung of five unions participating in an advocacy training. The training titled “Developing Organising Strategy “Organiser’s Skills on Labour Laws and Dispute Settlement” located in 5G Resort, Bogor, on 7 – 10 November 2022. The five unions are: SPEE FSPMI, SP PLN, SP PPIP, SP PJB and SP SERBUK.

Suherman, one of the resource persons, explained that the first session of the training would discuss labor law and regulations in Indonesia in relation to industrial dispute settlement. The session also discussed the Basics of Labor Laws and the implementing and supporting regulations. Case studies were also included in the discussion. Along with Suherman, Mahfud Siddik and Aep Rianandar from Advocacy Team of the SPEE-FSPMI supporting this training as resource person.

Disputes between workers and employers basically happen with or without a violation of law that precedes. If a law violation precedes a dispute, there are several factors involved. Those factors are, among others, different understanding on labor law implementation (conflict of rights), a discriminative treatment by employer to workers; or, employers who do not fully understand the role and function of trade unions as a bagaining institution and workers’ representative.

Workplace dispute is avoidable. However, sometimes it is unavoidable due to several factors. First, a unilateral decision on sanction imposed by the employer regardless of the agreed regulation applicable in the company. The company only considers workers as a factor or production and are oriented to profit only (prioritize productivity). Second, failed negotiation as an effort to solve a problem due to bad and ineffective communication; and third, no recognizition for union as the institution that represents the workers in that workplace.

The next session discussed bipartite and mediation as parts of workplace dispute settlement. A dispute must be settled/negotiated between the trade union and management. After the trade union and management agree on the disputed matter, both will create a Collective Agreement. If the negotiation failed, both will go to mediation.

The session invited participants to do a mediation simulation. Participants were divided into two groups. One group played the role of the employers, the other the trade union/workers. The case used in the simulation was demotion of a worker accompanied by decrease in wage.

The simulation went well and was very interesting. Each group had a role, different problems, responses and answers. The session used undated legal terms and legal arguments.

The seminar about Understanding Dispute Settlement in the Industrial Relation Court (PHI) was delivered by Aep Risnandar. The seminar was followed by a simulation of a court session in the Industrial Relation Court (PHI).

In this session, participants acted like they were in a court session. They also tried to formulate their lawsuit, answer from the defendant, second declaration (replik), final reply from the defendant (duplik), provide evidences (documents and witnesses), conclusion, and final statement.

It is hoped that the training will improve the labor organisers’ knowledge and skills on Indonesian labor law and on how to do advocacy on workers’ rights vioilation in their respective workplaces in addition, organizers would be able to use their skill and knowledge to develop their organization’s organizing strategies.

SERBUK PLTU Sumsel I Strike, A Struggle to Defend Workers’ Rights

Muara Enim – Tuesday (26/7), the strike at PLTU (Coal-Steam Power Plant) Sumatera Selatan (Sumsel) I today is officially started. Workers members of SERBUK PLTU Sumsel I stopped working after several negotiations between SERBUK Sumsel I with the Management of SGLPI, as the owner of PLTU Sumsel I, failed.

SERBUK PLTU Sumsel I demands the SGPLI management and its subcontractors to comply with applicable labour norms. The company pays its workers under the legal minimum wage, unilaterally terminate its workers, does not provide workers with annual leave, and no sufficient health facilitiies for the workers. The company also did not respond well for the demand of health facility.

SERBUK PLTU Sumsel I had held numerous negotiations, bipartite as well as tripartite negotiations. Even last negotiation, on Monday, involved many parties i.e. SERBUK PLTU Sumsel I, SGLPI management, local Labor office, the Police and also local government officials. And it was a deadlock! Therefore, there is no option left, to fight for the appropriated rights, the workers then decided to hold a strike, which is legal and guaranteed by law.

The strike is planned to last until August 1. As stated by the Chairperson of Regional Committee of SERBUK Sumsel, the workers decided to hold a strike as a result of management ignoring the workers’ demands. “If only the management complied with the law and regulation, we would not have to hold a strike,” said Tajudin expressing his disappointment due to the company’s unwillingness to fulfill workers’ demands.

The representative of SERBUK Executive Committee, Muhammad Husain Maulana, who was amongst the striking mass kept pumping up the spirit of the striking mass. “Comrades, we are on the right path. It is an obligation for us to fight for our rights. It is not just a tradition (sunnah). Once again, this is an obligation,” asserted Husain and the mass greeted it by shouting “long live the workers” repeatedly.

Representing the mass’ aspiration, SERBUK Sumsel I representative, Tajudin, said that there is still an open space for the management to do negotiation in order to avoid more loss on the company side. “We open the space for negotiation, so that this matter will not be dragged on. However, we are not going to negotiate our basic rights,” he asserted.

Mogok Kerja SERBUK PLTU Sumsel I, Sebuah Perjuangan Merebut Hak-Hak Pekerja.

Muara Enim – Selasa (26/7), Mogok kerja di PLTU Sumatera Selatan (Sumsel) I hari ini resmi dimulai. Para pekerja yang tergabung dalam SERBUK PLTU Sumsel I menghentikan aktivitas bekerja setelah beberapa kali perundingan antara SERBUK Sumsel I dengan Manajemen SGLPI, sebagai pemilik PLTU Sumsel 1, gagal mencapai titik temu.

Permintaan SERBUK PLTU Sumsel I agar pihak manajemen SGLPI dan Sub contractornya mematuhi norma-norma ketenagakerjaan terus saja diabaikan. Upah pekerja masih banyak yang di bawah UMK, PHK sepihak terus berlangsung, tak ada cuti tahunan yang diberikan kepada para pekerja, dan tuntutan untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang memadahi tidak direspon dengan baik.

Berulangkali perundingan secara baik-baik telah ditempuh SERBUK PLTU Sumsel I, dari bipartit sampai dengan tripartit. Bahkan, Senin kemarin, perundingan melibatkan banyak pihak, ada selain SERBUK PLTU Sumsel I, Manajemen SGLPI, dan Disnaker, hadir pula aparat keamanan dan aparat pemerintah setempat. Deadlock! Oleh karena itu, tidak ada pilihan, demi hak-hak yang telah lama dirampas para pekerja memutuskan melakukan mogok kerja, yang itu sah menurut aturan perundang-undangan.

Mogok kerja ini rencana akan dilakukan sampai dengan tanggal 1 Agustus mendatang, sebagaimana disampaikan oleh Ketua Komite Wilayah SERBUK Sumsel, mogok kerja terpaksa ditempuh karena Manajemen terus saja abai dengan tuntutan para pekerja. “Andai saja perusahaan patuh terhadap peraturan perundang-undangan, mestinya mogok kerja hari ini tidak perlu terjadi.” Kata Bung Tajudin, menyayangkan sikap perusahaan yang tidak memenuhi tuntutan para pekerja.

Perwakilan Komite Eksekutif SERBUK, Muhammad Husain Maulana, yang hadir di tengah-tengah massa SERBUK Sumsel I terus memompa semangat para pekerja yang sedang mogok. “Kawan-kawan, kita di jalur kebenaran. Memperjuangkan apa yang mestinya menjadi hak kita adalah sebuah kewajiban, bukan sunah lagi hukumnya. Sekali lagi, ini adalah kewajiban.” Tegas Husain dan disambut teriakan ‘hidup buruh’ berkali-kali dari massa aksi mogok kerja.

Mewakili aspirasi massa, SERBUK Sumsel I, Tajudin mengatakan, masih membuka ruang perundingan dengan manajemen SGLPI, tentu saja hal itu untuk menghindari kerugian yang lebih besar bagi perusahaan. “Kami masih membuka ruang negosiasi agar persoalan tidak berlarut-larut. Tentu saja bukan hak-hal normatif kami yang dinegosiasikan.” Terangnya.

Apakah Energy Transition Mechanism dan Green Climate Fund Pintu Masuk Privatisasi Sektor Kelistrikan?

Selasa, 26 April 2022, Public Services International (PSI) bersama dengan serikat pekerja di sektor kelistrikan mengadakan diskusi secara online dengan dua tema sekaligus, yaitu Energy Transition Mechanism (ETM) dan Green Climate Fund: Indonesian Geothermal. Dua narasumber utama dalam diskusi ini adalah Tom Reddington, Sekretaris Sub-regional PSI wilayah Oseania , dan Andy Wijaya, Sekretaris Jenderal Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP). Kegiatan melalu Zoom meeting ini dimoderatori oleh Budi Setianto, dari Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP. PLN Persero.)

Seperti yang kita ketahui bersama, 3 November 2021, bertepatan dengan diselenggarakannya Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) di Glasgow, Inggris, pemerintah Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, menandatangi kerja sama antara Indonesia dengan Bank Pembangunan Asia (ADB), terkait dengan studi kelayakan dan rancangan penerapan Energy Transition Mechanism (ETM). Indonesia dan Filipina adalah dua negara yang dijadikan pilot project untuk proyek ini.

PSI yang merupakan Federasi Serikat Pekerja Global di sektor publik, memiliki komitmen yang tinggi agar sektor-sektor publik tetap dikuasai oleh negara. Oleh karena itu, bersama dengan afiliasinya di Indonesia penting untuk mengetahui secara detail bagaimana sebenarnya konsep ETM dan Green Climate Fund: Indonesian Geotermal. Seperti yang dipaparkan Tom yang juga menjabat sebagai koordinator Asia Pasific PSI untuk Just Transition itu, seringkali proyek-proyek yang didanai oleh lembaga keuangan internasional, disertai oleh agenda Noeliberalisme. Dan transisi menuju energi baru terbarukan hanya menjadi kedok belaka. “Jangan sampai kita, Serikat Pekerja, kecolongan dengan agenda privatisasi di dalam ETM ini.” Tom mengingatkan.

Dalam pemaparan pemaparan Andy Wijaya, sepertinya kekhawatiran Tom menemukan konteksnya. Bahwa ETM adalah semacam tukar guling antara pembangkit-pembangkit PLN yang berbahan bakar fosil dengan investasi pembangunan pembangkit berbahan bakar EBT. Bung Andy juga menegaskan, Apakah kemudian pembangkit-pembangkit setelah diambil alih oleh ADB akan dimatikan? Sayangnya sekali tidak, pembangkit-pembangkit tersebut ternyata akan tetap beroperasi dengan dalih sebagai cadangan. “Di situ lah problematikanya. Pembangkit-pembangkit berbahan bakar fosil itu akan tetap memproduksi listrik, jika sebelumnya PLTU-PLTU tersebut dimiliki oleh negara, setelah ETM berjalan, pembangkit-pembangkit tersebut dikuasi oleh swasta. Dampaknya adalah kenaikan tarif dasar listrik, yang akan membebani masyarakat.” tegas Andy.

Terkait dengan Green Climate Fund: Indonesian Geotermal, Andy juga mengingatkan, berdasarkan kajian para ahli eksplorasi geotermal bukan tanpa dampak negatif. Setidaknya ada tiga dampak negatif dari eksplorasi panas bumi ini, yaitu fracking, gempabumi minor, dan pencemaran air. Artinya, masih perlu kajian yang komprehensif untuk memanfaatkan sumber energi ini.

Diskusi yang berlangsung kurang lebih dua jam ini juga menegaskan, bahwa PSI dan serikat pekerja sektor kelistrikan tidak anti EBT, justru sebaliknya, mereka mendorong transisi menuju green energy. Dan senantiasa mendukung komitmen pemerintah Indonesia demi mencapai target penurunan emisi maupun Net Zero Emission (netralitas karbon) yang ditargetkan akan tercapai di tahun 2060 atau lebih awal. PSI dan serikat pekerja di sektor kelistrikan hanya tidak menginginkan transisi menuju energi hijau ini hanya menjadi kedok belaka, yang tujuan sebenarnya adalah melakukan privatisasi energi listrik di Indonesia. Jika itu yang terjadi, PSI dan serikat pekerja di sektor kelistrikan akan berada di barisan terdepan untuk melakukan perlawanan demi melindungi kepentingan publik.

Membangun kekuatan pekerja dalam serikat

Di tengah rasa lelah yang mendera setelah seharian bekerja, para pengurus SERBUK PLTU Sumsel 8  mengadakan diskusi dan penguatan pada tanggal 22 Januari 2021 yang melibatkan perwakilan berbagai vendor. Mereka belajar mengenai hak-hak dasar pekerja terkait jam kerja, upah minimum, dan status hubungan kerja menurut UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Agenda tersebut dilangsungkan di Mess Pekerja di lokasi PLTU Sumsel 8, Muara Enim, Sumatera Selatan.

Sefriyansah, Wakil Ketua SERBUK PLTU Sumsel 8 menjelaskan bahwa beban kerja yang berat merupakan hambatan bagi pekerja untuk bergabung dengan serikat pekerja.”Mereka lebih memilih untuk istirahat daripada belajar mengani hak-hak mereka di tempat kerja,” ujar Sefri.

Sementara, Tajudin yang memfasilitasi diskusi tersebut menjelaskan bahwa serikat pekerja menjadi alat utama untuk memperjuangkan hak-hak di tempat kerja, apalagi berbagai PLTU yang ada di Sumsel sebenarnya merupakan satu mata rantai yang saling terhubung. “Ada irisan keterkaitan antara PLTU Sumsel 1 dan Sumsel 8, sehingga kami harus saling bekerja sama,” tegas Tajudin.

Berjuang untuk menang

Tadi pagi (7 Desember 2020) anggota Federasi Serbuk sebanyak 74 pekerja di PT GPEC sudah memulai bekerja kembali setelah 9 bulan mereka kehilangan hak-haknya. Kabar terakhir, selama mereka persiapan bekerja dan dikarantina, telah menaikkan anggota menjadi 100%, sekarang berjumlah 160 pekerja dan telah bergabung dengan serikat pekerja. Perjuangan keras teman-teman SBA SP GPEC dan Federasi Serbuk memberikan buah yang manis, selama kita sabar melaluinya.

#BerjuangPastiMenang

Trainer of Trainer: Perjanjian Kerja Bersama

Bertempat di Hotel POP Sangaji Yogyakarta, Federasi SERBUK mengadakan pelatihan Training of Trainers Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Pelatihan yang akan diselenggarakan selama 2 hari pada 7-8 November 2020, diikuti oleh 30 peserta dari serikat pekerja anggota (SBA) yang berasal dari Yogyakarta, Semarang, Demak, dan Karawang.

Pelatihan ini, setidaknya memiliki dua tujuan, yaitu: memberikan bekal kepada peserta untuk memahami permasalahan PKB dan mendorong mereka untuk mampu memberikan pelatihan serupa kepada anggota di perusahaan.

Pada sesi pengantar, Khamid Istakhori sebagai fasilitator mengajak peserta untuk mendiskusikan PKB sebagai kepentingan para pekerja. Hubungan antara pekerja dengan pengusaha merupakan pertukaran kepentingan. Apa yang disebut dengan kepentingan? Kepentingan adalah sesuatu yang ingin kita dapatkan dan melebih hak-hak normatif. Setiap orang memiliki kepentingan dan akan berusaha untuk mendapatkannya. Baik pekerja dan pengusaha, masing-masing memiliki kepentingan. Mari kita pelajari, apa kepentingan pekerja dan apa kepentingan pengusaha. Kepentingan-kepentingan tersebut dirumuskan menjadi tuntutan yang disampaikan kepada pihak perusahaan untuk dirundingkan. Untuk mendapatkan hasil perundingan yang sesuai dengan tuntutan pekerja, tentu saja dibutuhkan serikat pekerja yang kuat. Melalui pelatihan ini, SERBUK berharap akan tercapai penambahan PKB di berbagai perusahaan.