Yang Fenomenal Dari Hari Listrik Nasional

Hari Listrik Nasional (HLN) yang jatuh pada tanggal 27 Oktober tahun ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Adalah Perhimpunan Pegawai PT Indonesia Power  (SP PJB) dan Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa-Bali (SP PJB) yang membuatnya berbeda, bahkan terasa istimewa.

Bagaimana tidak? Pagi itu, kurang lebih 400 orang anggota PP IP dan SP PJB datang ke Kantor Pusat PT PLN (Persero). Tujuan mereka hadir ke sini adalah untuk mengikuti upacara peringatan HLN, yang rutin diselenggarakan setiap tahun. Secara bertahap, mereka masuk ke lapangan upacara yang berada di dalam area perusahaan.

Mengingat jumlahnya terlalu banyak, sebagian anggota PP IP dan SP PJB sempat dilarang masuk ke dalam lapangan. Namun demikian, mereka bergerak ke depan pintu gerbang. Jika tidak diperbolehkan mengikuti dari dalam, mereka akan mengikuti upacara dari luar. Tepat di pinggir jalan raya. Akhirnya mereka diperbolehkan masuk.

Di lapangan, mereka berada dalam satu barisan, yang memang diperuntukkan bagi pekerja dari anak perusahaan. Karena jumlah yang hadir mencapai ratusan, sebagian peserta meluber hingga ke luar lapangan upacara. Tepatnya di bagian belakang,

Ketika upacara dimulai, ratusan anggota serikat pekerja ini mengikuti dengan tertib. Namun demikian, ketika upacara selesai, mereka tidak segera meninggalkan lapangan. Mereka tetap bertahan di lapangan, sambil mengenakan ikat kepala berwarna merah dengan tulisan “Tolak Pembentukan N-2 HSN PT PLN (Geothermal Co dan New Energy Co). Sedangkan di lengan kanannya, terpasang kain hitam bertuliskan “Tolak Perdir No 30 (HXMS).

Aksi ini menarik perhatian. Apalagi dilakukan di momentum yang terbilang sakral. Hari Listrik Nasional.

Bagaimana pun, PP IP dan SP PJB tidak bermaksud mengacaukan peringatan HLN. Beberapa hari sebelumnya, mereka sudah berkirim surat untuk beraudiensi dengan Direktur Utama PT PLN. Adapun tempatnya di lapangan, usai pelaksanaan upacara peringatan HTN, dengan peserta kurang lebih 200 orang.

Ada tiga hal yang akan disampaikan dalam audiensi ini. Pertama penolakan pembentukan N2 (Geothermal co dan New Energy Co). Kedua, penolakan privatisasi dengan penjualan asset ketenagalistrikan nasional secara ketengan berkedok green energy. Dan ketiga, penolakan terhadap union busting berkedok Perdir No 30/2022.

Tetapi hingga hari H pelaksanaan upacara peringatan HTN, tidak ada kabar apakah audiensi tersebut diterima atau tidak. Namun demikian, hal itu tidak menurutkan ratusan anggota PP IP dan SP PJB ini untuk tetap hadir mengikuti upacara.

Mengingat lapangan akan digunakan untuk kegiatan lain, ratusan orang dengan ikat kepala merah ini bergerak depan lobi pintu masuk. Di sini, lokasi aksi semakin stragis. Mereka yang hilir mudik ke PLN akhirnya bisa melihat aksi protes para buruh.

Hal itu berhasil memaksa management untuk datang menemui massa aksi.

Kepada perwakilan management dijelaskan, bahwa mereka tidak bermaksud menodai peringatan HTN. Sebelumnya mereka sudah berkirim surat untuk beraudiensi, sejak bulan Juli. Lalu disusul surat berikutnya pada bulan Agustus. Bahkan pada bulan September, mereka mengirimkan pernyataan sikap bersama. Karena tidak ada jawaban, mereka kembali melayangkan surat perihal permohonan audiensi pada tanggal 27 Oktober, dengan waktu jam 09.00 usai melakukan upacara HTN.

Awalnya para buruh diminta tidak berkerumun di depan lobi. Tetapi mereka mengancam, kalau tidak diperbolehkan di lobi, akan bergeser ke jalan. Depan pintu gerbang. Tetapi jangan salahkan buruh jika hal itu justru memantik perhatian masyarakat dan menjadi pemberitaan yang luas di media.

Setelah perwakilan Direksi hadir, akhirnya disepakati bahwa audiensi akan dijadwalkan antara tanggal 20 – 25 Oktober, usai pelaksanaan G20 di Bali. Tidak lupa, dalam kesempatan ini PP IP dan SP PJB juga menyerahkan hasil kajian dari serikat pekerja terkait dengan isu yang sedang disuarakan.

Bagaimana pun, apa yang dilakukan PP IP dan SP PJB adalah torehan sejarah yang fenomenal. Selan aksi seperti ini baru pertama kali dilakukan, tetapi juga mengambil momentum yang tepat.

Semoga apa yang diperjuangkan serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan, untuk memastikan ketenalistrikan tetap dalam penguasahaan negara bisa terwujud. Liberalisasi selain menyalahi konstitusi, juga akan merugikan rakyat Indonesia sendiri.

Pembentukan Holding Subholding PLN Karpet Merah Liberalisasi di Sektor Ketenagalistrikan

“Kalau baru sanggup makan tempe, jangan dipaksa makan daging. Jangan sok-sokan ikut Barat.” Istilah ini disampaikan Ekonom INDEF Abra Talattov dalam diskusi bertajuk Seri Pembelajaran Serikat Pekerja: ‘Pembentukan Sub-Holding PLN Dari Kacamata Konstitusi dan Ekonomi’ yang diselenggarakan secara daring, Selasa (18/10).

Menurut Abra, negara-negara di dunia memang memiliki komitmen kuat dalam mewujudkan transisi energi menuju green energy. Tetapi masing-masing negara juga melihat kepentingan nasional. Khususnya bagaimana transisi energi harus bisa memenuhi tiga aspek: security, affordability, dan low emission.

Di mana transisi energy dilakukan dengan melihat kesiapan dan kemampuan masing-masing negara. Termasuk dari sisi keuangan negara, keuangan masyarakat, dan BUMN. “Tidak dipaksakan kita latah mengikuti agenda global. Padahal negara maju yang saat ini mengembar-gemborkan energi hijau juga menjilat ludah sendiri, dengan memanfaatkan energi berbasis fosil dalam jumlah besar,” tegasnya.

Transformasi holding dan sub-holding di PLN sudah menjadi keputusan pemerintah. Tugas kita sekarang adalah memastikan agar Geothermal Co dan New Energi Co tidak menyebabkan liberalisasi ketenagalistrikan. Karena, memang, ada dorongan untuk meningkat peran swasta yang lebih besar.

Abra menguraikan, bagaimana swasta diberi karpet merah untuk masuk di sektor ketenagalistrikan dengan dalih transisi energi. Salah satu strateginya adalah dengan pembentukan subholding. Menurutnya, memberikan insentif agar swasta membangun EBT tidak cukup. Karena listrik dari swasta, khususnya EBT, harus bisa terserap dan bersaing dengan listrik yang disuplay PLN. Dibutuhkan desain kebijakan agar swasta tertarik untuk masuk. Di sini terlihat jelas, ada kesadaran untuk mengundang swasta.

“Tetapi swasta pun tidak mau mengeluarkan investasi besar, tetapi tidak ada kepastian siapa yang akan membeli listrik mereka. Tidak ada kepastian penjualan kepada masyarakat. Kita tahu, PLN adalah BUMN ketenagalistrikan yang bisa mensuplay listrik sampai ke konsumen. Di sini ketemu jawabannya. Transformasi kelembagaan PLN tidak lepas dari konstelasi bagaimana bisa mendorong peran swasta lebih maksimal,” ujarnya.

Di sisi lain, potensi geotehermal Indonesia memang sangat besar, nomor 2 di dunia. Saat ini baru 2.132 MW yang sudah teroptimalkan, dari potensi 23,9 GW. Baru 8,9%. Inilah juga yang menjadi daya tarik swasta untuk bisa mengembangkan energi terbarukan sekaligus memanfaatkan potensi yang besar ini. Awalnya ada skenario dibentuk perusahaan baru, tetapi berhenti di tengah jalan. Dan sekarang menggunakan mekanisme holding dan sub-holding, termasuk geotermal co.

Di samping itu, potensi EBT yang lain juga sangat menjanjikan. Tenaga air, surya, angin, dan sebagainya. Di tengah potensi besar untuk dikembangkan, dari kapasitas pembangkit yang dimiliki PLN maupun kerjasama IPP yang setiap tahun bertambah, capacity faktornya relatif stagnan. Meskipun masih ada ruang untuk menambah pasokan lsitrik dengan meningkatkan capacity factor. Apalagi kalau ditambah pembangkit baru, termasuk EBT, maka over kapasitas akan semakin besar.

Ironisnya, meski EBT didorong akan tumbuh ambisius, tetapi kebutuhan untuk tetap menggunakan baturabara masih tinggi. Sampai dengan 2030, kebutuhan batubara diperkirakan mencapai 153 juta ton. Masih dominan. Tentu ini menunjukkan kita tidak serta merta menjalankan transisi energi tanpa melihat bukan hanya dari aspek lingkungan, tetapi juga dari sisi keekonomian yang masih sanggup kita jalani, Jangan juga memaksakan diri, yang diistilahkan Abra baru sanggup beli tempe sudah dipaksa makan daging.

Di sisi lain, subdisi dan konpensasi listrik masih besar. Tahun ini konpensasi listrik 41,0 T dan subdisi 59,6T. Tahun depan, subdisi listrik diperkirakan 72,3T. Ini belum termasuk konpensasi. Kesimpulannya, pembiayaan listrik tidak lepas dari supposrt atau dukungan dari rakyat melalui APBN. Jangan sampai pemerintah mengatakan ini uang nagara. APBN adalah pajak rakyat, uang rakyat,” ujar Abra.

Dengan kata lain, meski saat ini tarif listrik kita termasuk yang murah di ASEAN, hanya 1.445, tetapi itu berkat dukungan rakyat. Di Filipina yang menerapkan liberalisasi listrik sudah mencapai 2.616. Hal ini menunjukkan liberalisasi listrik membuat harga listrik semakin mahal dan memberatkan rakyat.

Bahwa liberalisasi listrik harus dihindari, hal ini juga ditegaskan oleh Praktisi Hukum M. Fardian Hadistianto. Liberalisasi listrik bertentangan dengan konstitusi.

Fardian menyampaikan, listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam hal ini, kita harus memaknai penguasaan oleh negara dalam kaca mata konstitusi. Merujuk pada ketentuan dalam pertimbangan hukum ptusan MK No 001-021-0211/PUU-I/2002, di sana disebutkan. penguasaan negara berada dalam 5 dimensi: kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan. dan pengawasan. Kelimanya bersifat kumulatif, satu kesatuan. Tidak boleh diterapkan hanya salah satunya.

“Kalau kita bicara bagaimana listrik bisa dinikmati rakyat Indonesia, ada beberapa tahapan yang harus dilewati. Dimulai dari tahapan pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan ke konsumen. Maka penguasaan negara harus dalam semua tahapan tersebut. Tidak bisa dimaknai hanya di tahapan retail saja, atau transmisi saja. Semuanya dalah satu paket,” ujarnya.

Kemudian dia menegaskan, “Karena pengejawantahan penguasaan negara mengamanatkan penyediaan ketenagalistrikan tidak boleh bersifat unbandling atau terpisah-pisah.”

Dengan demikian, pembentukan holding sub-holding PLN berpotensi kuat bertentangan dengan UUD 1945. Karena akan menyebabkan praktek unbundling dan hilangnya pengusahaan negara dalam usaha penyediaan ketenagalistrikan karena kepemilikan Geothermal Co dan New Energy Co tidak dimiliki secara langsung oleh PT PLN sebagai BUMN yang ditugaskan untuk menyelenggarakan usaha ketenagalistrikan.

Selain itu, ketergantungan dengan pembangkit listrik tenaga uap dan energi baru terbarukan dalam usaha penyediaan ketenagalistrikan yang jika diterapkan konsep holding sub-holding menyebabkan Geothermal Co dan New Energy Co merupakan perusahaan murni swasta dan lepas dari penguasaan PT PLN sebagai pengejawantanhan negara di sektor ketenagalistrikan.

Sekretaris PSI Asia Tenggara Memberikan Selamat Atas Penandatanganan PKB di PT PLN Persero

Bro Ian Mariano, Sekretaris PSI Asia Tenggara mengirimkan ucapan selamat melalui pesan video kepada teman-teman SP PLN atas selesainya perundingan dan penandatangan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) mereka.

Dibawah ini terjemahan pesan video beliau dalam bahasa Indonesia.

Atas nama PSI-Kantor Asia Tenggara, Saya dengan tulus dan sepenuh hati mengucapkan SELAMAT!

Akhirnya, setelah sepuluh tahun SP PLN berhasil menegosiasikan dan menandatangani Perjanjian Kerja Bersama (PKB).


Saya ingin mengucapkan selamat kepada Bro Abrar Ali, Ketua Umum SP PLN dan tentu saja Bro Bintoro, Sekretari Jenderal SP PLN dan seluruh pimpinan unit kerja yang telah bekerja keras demi tercapainya tonggak penting dalam sejarah SP PLN.

Saya yakin semua di SP PLN memiliki peran penting dalam proses tercapainya kesepakatan ini.

Saya menyadari bahwa perjanjian ini sudah melalui perjalanan panjang, terjal, dan melelahkan. Saya juga yakin teman-teman di SP PLN telah berjuang dan menunggu dengan sabar, berusaha terus saling membantu mengkonsolidasikan seluruh serikat di dalam PLN. Dan saya yakin konsolidasi itulah yang membuka jalan bagi SP PLN untuk menjadi lebih kuat dan di saat yang sama membesarkan keanggotaan, untuk menguatkan posisi dan melalui PKB, memberikan anggota kondisi hidup dan kondisi kerja yang lebih baik dan mendorong serta melindungi hak-hak mereka.

Selama ini kita sudah berhasil dan saya tahu bahwa banyak di antara kita yang menunggu penuh harap kesepakatan dalam PKB ini.

PKB adalah alat fundamental bagi kita SERIKAT untuk mewujudkan tempat kerja dan kehidupan yang lebih baik.

Dengan demikian, saya ingin sekali lagi mengucapkan selamat kepada teman-teman semua atas keberhasilan usaha ini dan saya harap ini hanyalah permulaan dari perjuangan kita untuk mewujudkan layanan publik berkualitasn dan tetap berada di tangan publik.


Salam solidaritas!

Holding Sub-Holding di PLN Tidak Diperlukan

Holding sub-holding di PLN tidak diperlukan. Karena hal itu justru akan menempatkan manajemen, termasuk para direski, dalam posisi yang sulit. Demikian disampaikan Prof Mukhtasor dalam Seminar Gebyar HUT SP PJB ke-23 bertajuk Holding Sub-Holding di PLN Group, Apakah Diperlukan yang diselenggarakan pada hari Kamis, 29 September 2022.

Dalam kaitan dengan hal ini, PT PLN dan PT PJB bukan sumber masalah, sebab mereka hanya menjalankan perintah. Oleh karena itu, Mukhtasor mengingatkan agar jangan sampai salah alamat ketika menyuarakan kritik terhadap kebijakan holding sub-holing, Sebab kebijakan itu datangnya dari pemerintah. Bukan dari PLN.

“Terkait dengan energi, kalau ada kementerian yang basis undang-undangnya melawan UUD, itu di ESDM,” ujar Mukhtasor.  UU Migas, dibuat tahun 2001 dan dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi melawan UUD hingga kemudian dibatalkan pada tahun 2012. Sekarang sudah 10 tahun berlalu, namun tidak ada penggantinya. Lalu ada UU Kelistrikan. Beberapa kali undang-undang ini dibawa ke MK, khususnya terkait bundling unbundling. Sehingga Mahkamah Konstitusi memutuskan bertentangan dengan UUD. Jika mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi, maka sistem IPP bertentangan dengan UUD.  Selain itu, UU Minerba juga pernah dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Di sana ada pasal yang dibatalkan juga.

Ketika berbicara mengenai penataan BUMN, yang perlu diperhatikan adalah apa dan untuk apa di balik itu. Jika kita perhatikan, sebelum membuat holding sub-holding, saat itu Menteri menyampaikan bahwa tujuannya adalah untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas,

“Kalau alasan transparansi dan akuntabilitas, solusinya bukan IPO. Contohnya, Garuda sudah IPO. Tetapi apakah kemudian menjadi lebih baik? Justru kasus-kasus semakin banyak terjadi setelah Garuda melakukan IPO,” tegasnya.

IPO membuka ruang bagi masuknya swasta. Kalau kemudian porsi IPP dominan, itu artinya bukan lagi dikuasasi negara. Akhirnya akan berbahaya bagi kedaulatan energi. Mukhtasor kemudian mengingatkan dengan kejadian di Sumatera, di mana IPP mendikte PLN, kalau tidak sesuai dengan skema bisnisnya, mereka tidak mau menyalakan pembangkitnya.

“Sekarang ini PLN pasarnya digerus, kemudian hulunya dipaksa membeli dari swasta, sudah begitu jaringan mau dibagi-bagi juga. Lama-lama PLN akan menjadi Garuda kedua. Saya khawatir nasib PLN seperti Garuda. Dimana dulu bandara-bandara isinya Garuda, sekarang kalau nyari Garuda susah,” tegasnya.

Mukhtasor berpesan, agar kita semua berjuang untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia dengan memilih system sesuai Pasal 33 UUD. Menurut Bung Hatta, usaha-usaha yang besar yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Pelakunya adalah BUMN. Sementara bidang usaha yang kecil melalui partisipasi masyarakat, lalu di bagian tengahnya banyak sekali usaha yang bisa dibangun oleh swasta.

Hal senada juga ditegaskan oleh Ahli Hukum Tata Negara Feri Amsari. Menurutnya, konsep pasal 33 yang paling banyak digunakan adalah perekonomian disusun sebagai usaha bersama dengan azas kekeluargaan. Dalam penjelasan pasal ini, mengutip pendapat bung Hatta, yang dimaksud adalah koperasi. Inti dari koperasi adalah, mengembangkan ekonomi secara bersama-sama.

Kalau kita lihat dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi seperti putusan Nomor 01-021-022-PPU-2003, Putusan 58-PUU-2008, hingga putusan 111 yang dibanggakan serikat pekerja dan putusan 61. Dari semua putusan itu, yang paling penting adalah hak menguasai negara. Maksudnya, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasasi hajat hidup orang banyak harus dikuasasi oleh negara.

Namun demikian, Feri menganggap Mahkamah Konstitusi sedikit plin-plan. Di dalam putusan itu dikatakan, pasal-pasal intinya adalah mempertegas, tidak boleh ada upaya untuk melakukan privatisasi. Oleh karena sifat menguasai negara tidak boleh masuk kepentingan lain termasuk swasta, maka pasal-pasalnya dibatalkan. Karena pasal jantung dibatalkan, dengan sendirinya undang-undangnya ikut batal. Sayangnya, pemerintah dan DPR kembali membuat undang-undang baru yang isinya menentang putusan Mahkamah Konstitusi.

Lalu undang-undang itu diuji lagi. Mahkamah Konstitusi kemudian bertahan dan menjelaskan, apa yang dimaksud cabang-cabang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Ada tiga model. Pertama, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup orang. Kedua, tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiga, tidak penting bagi orang banyak tetapi penting bagi Negara.

“Kalau mengacu pada tiga kriteria di atas, maka Pertamina dan PLN tidak boleh diganggu gugat. Harus dikuasai oleh negara,” tegas Feri. Dalam putusan berikutnya, ada dua hal penting terkait dengan binsis yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Jika dikuasai oleh negara tetapi berpotensi dikuasai oleh sekelompok orang yang bukan negara, maka harus dianggap batal. Kedua, begitu dikuasi swasta tetapi berpotensi menjadi saingan negara, karena dia menguasai hajat hidup orang banyak, maka tidak diperbolehkan.

“Tetapi bisnis adalah bisnis. Walaupun sudah dibatalkan berkali-kali, tetapi hidup lagi. Di sini kita melihat, ada kepentinghan lain. Padahal kalau dilihat pasal 33, konstitusi menghendaki yang harus dipikirkan bukan orang per orangan, tetapi perekonomian secara kekeluargaan,” lanjutnya.

Masalahnya adalah, di dalam putusan MK ada celah untuk itu. Di sana ada bahasa, kalau nanti PLN tidak sanggup, bolehlah dikasih sedikit. Ini bisa ditafsirkan macam-macam. Padahal undang-undangnya sudah jelas dibatalkan.

“Ini problematika. Karena pada dasarnya tidak ada keinginan dalam UUD yang membuka ruang masuknya privatisasi,” ujar Feri. Dengan demikian, holding sub-holding tidak diperlukan.

Pendapat Prof Mukhtasor dan Feri Amsari dipertegas oleh Ekonom Salamuddin Daeng. Menurutnya, Pemerintah sebaiknya menunda untuk mengevaluasi kembali rencana melakukan holding sub-holding, mengingat tugas dan tanggung jawab yang diemban PLN dalam menyelenggarakan ketenagalistrikan merupakan amanat Konstitusi UUD 1945 Pasal 33, melaksanakan UU nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 111/PUU-XIII/2015 yang intinya mengharuskan pelaksanaan ketenagalistrikan secara terintegrasi.

Rencana kementerian BUMN melakukan holding sub-holding PLN sebagaimana disebutkan dalam  Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2023 adalah sebagai kebijakan perbaikan portofolio dan penguatan struktur keuangan BUMN melalui pembentukan holding strategis, restrukturisasi BUMN, maupun pengurangan proporsi utang terhadap struktur pendanaan (deleveraging).

Namun, perlu dicermati bahwa urusan PLN bukan hanya sehat atau tidaknya keuangan perusahaan tersebut, namun berkaitan dengan hajat hidup orang banyak yang merupakan tanggung jawab negara yang dilaksanakan oleh PLN. Sehingga kebijakan holding sub-holding PLN haruslah dibicarakan secara lintas sektoral dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dan publik secara luas. Hal ini dikarenakan masih banyaknya problem ketenagalistrikan yang dihadapi masyarakat Indonesia yang harus diselesaikan oleh pemerintah dan oleh PLN selaku operator listrik.

“Kebijakan sub holding yang terburu buru, kejar tayang, dipaksakan dan bahkan tanpa landasan regulasi akan membahayakan masa depan ketenagalistrikan di Indonesia,” tegasnya.

Statement of PPIP and SPPJB on PT PLN (Persero)’s Subholding Formation

Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PPIP) represented by its chairperson, Dwi Hantoro Sutomo, and the secretary, Andy Wijaya, and the Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa-Bali (SPPJB) represented by Agus Wibawa, the chairperson, and Ide Bagus Hapsara, the general secretary, gave a statement related to the launching of PLN (Persero)’s subholding formation on September 21, 2022

The news said that the Ministry of State-Owned Companies (BUMN) has officially established the Holding dor PLN (Persero)’s subholding. This corporate action resulted in the consolidation of PLN’s generation assets to be into two Subholding Generation Companies (Genco) i.e. PLN Indonesia Power (Genco 1) and PLN Nusantara Power (Genco 2).

This corporate act has caused the consolidation of PLN’s generation assets. PT PLN Indonesia Power which was known as Indonesia Power will manage 20.6 GW generation facilities. This subhodling will be the biggest electricity generation company in SouthEast Asia.

Previously, the President Director of PLN, Darmawan Prasodjo, said that the restructurization is a strategic step to adapt to future changes. Moreover, he added, the company’s target is 22.9 GW of generation facilities up to 2025.

To accelerate the transition to clean energy, PLN Indonesia Power as a generation subholding company will have subsidiaries. A subsidiary will focus on Geothermal (Geothermal Co) with capacity of 0.6 GW and a renewable energy generator, such as solar generator, wind, or hydro – generator (New Energy Co) with capacity of 3.8 GW).

In the video, the Union (Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali and Persatuan Pegawai PT Indonesia Power) responding the formation of PT PLN (Persero) Subholding stated the following:

First, the formation of Geothermal Co. and New Energy Co. each of which the subsidiary of PT PLN Indonesia Power and PT PLN Nusantara Power shows that the Sate no longer control the sectors of production which are important for the country. It is also inconstitutional by violating the Constitutional Court decision No. 111/PUU-XIII/2015 and No. 61/PUU-XVIII/2020.

Sectors of production which are important for the country and affect the life of the people shall be under the powers of the State.

Second, the formation of Geothermal Co. and Energy Co. is the a form of government’s authority abuse to PT PLN (Persero) under the pretext of energy transition.

Third, Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PPIP) and Serikat Pekerja PT. Pembangkitan Jawa Bali SP PJB have sent two letters to the majority shareholders i.e. PT PLN (Persero) President Director, to question the formation of Goethermal Co. and New Energy Co.. However, up to this date, there has not any good will at all and allegedly it is the violation of article 126 of Perseroan Law.

Fourth, asset transfer from PT PLN (Persero), a State-Owned Enterprise, to new entities whose share are now owned by the State (Geothermal Co. and New Energy Co.) can be considered as hidden privatization.

Based on the above points, the following is our statement:

  1. We reject the establishement of PT PLN (persero) Subholding, especially the joint-subsidiaries, i.e. Geothermal Co and New Energy Co.. This is a form removal of State’s control over national electricty/energy sector.
  2. We request PT PLN (Persero) to take over the role and resposibility directly in the transition process to new and renewable without having to transfer the assets to other business entities by creating subholding (the Geothermal Co. and Energy Co).
  3. We request to the majority shareholder of PT Indonesia Power and PT Pembangkitan Jawa Bali to comply with and obey the article 26 of Law on Limited Company (Perseroan Terbatas) during the process of subholding formation of PT PLN (Persero)

Video Statement: https://videopress.com/v/DDhhEPo2

Thank you,

PPIP Chairperson, Dwi Hantoro Sutomo: 0812-8643-9018
SPPJB Chairperson, Agus Wibawa: 0896-8750-0696
PPIP General Secretary Andy Wijaya: 0813-1115-1305
SPPJB General Secretary, Ide Bagus Hapsara: 0857-3102-0947

Pernyataan Sikap PPIP dan SPPJB Menolak Pembentukan Subholding PT PLN (Persero)

Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PPIP) dengan Ketua Dwi Hantoro Sutomo dan Sekretaris Andy Wijaya serta Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa-Bali (SPPJB) dengan Ketua Agus Wibawa dan Sekjen Ide Bagus Hapsara memberikan pernyataan sehubungan dengan launching pembentukan subholding PT. PLN (persero) pada tanggal 21 september 2022.

Diberitakan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meresmikan pembentukan Holding Subholding PT PLN (Persero). Aksi korporasi ini  membuat seluruh aset pembangkitan PLN terkonsolidasi dalam dua Subholding Generation Company (Genco) yaitu PLN Indonesia Power (Genco 1) dan PLN Nusantara Power (Genco 2).

Aksi korporasi ini membuat seluruh aset pembangkitan PLN terkonsolidasi. PT PLN Indonesia Power yang sebelumnya dikenal lewat brand Indonesia Power akan mengelola pembangkit dengan kapasitas 20,6 GW. Subholding ini akan menjadi perusahaan pembangkit listrik berkapasitas terbesar di Asia Tenggara. 

Sebelumnya, Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menyampaikan, restrukturisasi ini merupakan langkah strategis guna bisa beradaptasi dengan perubahan ke depan. Terlebih, imbuhnya, perusahaan memiliki target pengoperasian pembangkit hingga 22,9 GW pada 2025.

Untuk mempercepat transisi energi bersih, PLN Indonesia Power sebagai subholding pembangkitan bersama PLN Nusantara Power juga akan memiliki anak usaha bersama yang fokus pada pembangkit panas bumi (Geothermal Co) berkapasitas 0,6 GW dan pembangkit energi baru terbarukan, seperti tenaga surya, tenaga angin dan tenaga hidro (New Energy Co) berkapasitas 3,8 GW.

Berdasarkan video pernyataan sikap Serikat Pekerja PT. Pembangkitan Jawa Bali dan Persatuan Pegawai PT. Indonesia Power ketika menanggapi pembentukan subholding PT PLN (Persero), disampaikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, pembentukan geothermal.co dan new energy.co yang merupakan anak perusahaan bersama PT. PLN Indonesia Power dan PT. PLN Nusantara Power adalah contoh nyata hilangnya penguasaan negara dan bentuk pelanggaran konstitusi yaitu melanggar putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 dan putusan MK No. 61/PUU-XVIII/2020.

Kedua, pembentukan geothermal.co dan new energy.co adalah bentuk penyelewengan tugas pemerintah kepada PT. PLN (persero) dalam pemenuhan transisi energi.

Ketiga, Persatuan Pegawai PT. Indonesia Power dan Serikat Pekerja PT. Pembangkitan Jawa Bali telah membuat surat sebanyak 2 kali kepada pemegang saham mayoritas dalam hal ini adalah dirut pt. Pln (persero) mempertanyakan pembentukan geothermal.co dan new energy.co dan sampai saat ini belum ada itikad baik sama sekali dan hal itu diduga pelanggaran terhadap pasal 126 uu perseroan terbatas.

Keempat, hibah aset-aset BUMN dalam hal ini PT. PLN (persero) kepada entitas baru yang sahamnya tidak dimiliki oleh negara (geothermal.co dan new energy.co) dan selanjutnya bila dijual, patut diduga sebagai bentuk baru privatisasi terselubung.

Berdasarkan poin-poin tersebut di atas, dengan ini kami menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Menolak pembentukan subholding PT. PLN (Persero) bila di dalamnya masih terdapat struktur anak perusahaan bersama, yaitu geothermal.co dan new energy.co karena menyebabkan hilangnya penguasaan negara pada sektor ketenagalistrikan nasional.
  • Meminta PT. PLN (Persero) untuk mengambil peran dan tanggung jawab secara langsung pada transisi energi baru dan terbarukan tanpa mengalihkan kepada entitas di bawah subholding (geothermal.co dan new energy.co).
  • Meminta pemegang saham mayoritas PT. Indonesia Power dan PT. Pembangkitan Jawa Bali untuk tunduk dan patuh pada pasal 126 UU Perseroan Terbatas pada proses pembentukan subholding PT. PLN (Persero).

Terima Kasih

Ketua Umum PPIP, Dwi Hantoro Sutomo: 0812-8643-9018
Ketua Umum SPPJB, Agus Wibawa: 0896-8750-0696
Sekretaris PPIP Andy Wijaya: 0813-1115-1305
Sekjen SPPJB, Ide Bagus Hapsara: 0857-3102-0947

SP PDAM Jakarta: Termination of Cooperation with a Private Operators must not Harm the Workers and Customers

“We do this with a hope, we don’t want to complain but we want to fight.” The sentence was written on a banner in the room where SP PDAM held its consolidation on Friday (9/9). The sentence was to remind all participants that a change can not be made without doing anything. A change must be fought.

The consolidation was special. It was held to consolidate the power and discourse to face the end of cooperation between PDAM and a private company on January 31, 2023. Fifty participants attended the consolidation meeting. The partipants were members of the union, representations from regional coordinators and leaders of SP PDAM Jakarta.

“When the cooperation started, about 4000 workers were assigned by PAM to ‘help’ the partner company. Now, out of 4000 workers, there are only 260 workers left. Therefore, at the end of this cooperation, we demand the company to see us and not overlook us,” said the chairperson of SP PDAM Jakarta, Abdul Somad, in his opening remark.

The cooperation between PAM Jakarta and the private company started in 1997. A year later, in 1998, the massive demonstration that led to reformation occurred. Workers, at that time, rejected the cooperation between both companies. The Consitution of 1945 was the foundation. The Constitution prohibits private companies to manage water which is a public good.

The struggle was finally succeeded. In 2017, the Constitutional Court stopped water privatization and return the management of water to the government of DKI Jakarta Province. However, in 2018, unfortunately, the Review of Court Decision (PK= Peninjauan Kembali) had different decision. Nevetheless, the whole process shows that trade unions are not just fighting for the interest of workers only, but also fight for our constitutional rights by rejecting water privatization.

Abdul Somad said that SP PDAM Jakarta has been fighting to ensure that workers receive their rightful rights. When the union saw unfair rangking and position, union would request re-assessment. And it worked. The non-promoted workers then got promoted.

In 2018, there were three workers who got terminated from their work. SP PDAM also advocated for their rights. Finally, the three workers got their rights to their retired day.

“We also highlighted discriminations. PAM Jaya workers received welfare benefits, while us who work in the partner coampany did not. We should have received the same benefit as them,” asserted Abdul Somad.

Member representatives and leaders participants of the consolidation meeting agreed on one thing: that at the end of this cooperation between PAM Jaya and the private company, the discrimination must also end. It is like the ones who used to work at the private company are finally coming home on early 2023. Therefore, there should be no more discrimination. The company also must give a reward as we have succeeded in doing our jobs as envoys who were assigned to work in the private company.

As said before, the cooperation started in 1998 and 4000 workers were assigned to work in the partner company. Now, there are only 260 workers left. They are the dedicated and loyal wokers. They did receive some reward, but incomparable to the reward received by the workers who stayed at PAM Jaya.

The consolidation also agreed to improve the solidarity and unity of the members. They have to show their morale militancy. That is the fuel of unions to fight.

“In the future, our struggle will be harder. The director board have changed 13 times, but workers stay workers,” Abdul Somad asserted. Therefore, in the process of termination of cooperation must not harm the workers. Workers must be involved in the process.

In the same occasion, the Chairman of the Legal Advisory Board, Anton Sihotang, SH., said that unions will be stronger when it gets the support from the members. However, if members only wait for the result, the union will not grow stronger.

“It’s us who can change our fate. Nobody else can,” he added.

Anton hoped that when the cooperation ends the condition will be better. It is our job to fight together ensuring the company to prioritize and respect its workers and also ensure that water service will be better and stay in the public hands.

Rundingkan PKB Periode 2022-2024, SP PJB: Pekerja dan Perusahaan Berkomitmen Menjadi Lebih Baik

Pengurus Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa-Bali (SP PJB) Dewanto Wicaksono menyampaikan, keberadaan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di PT Pembangkitan Jawa-Bali (PT PJB) sangat strategis dan penting. Dengan adanya PKB, posisi pihak pekerja dan pihak perusahaan menjadi semakin jelas. Itulah yang kemudian menjadi tumpuan bagi masing-masing pihak untuk saling bersinergi, demi kemajuan perusahaan dan kesejahteraan pekerja.  

“Di periode kemarin, misalnya. Perusahaan selalu mengajak kita berdiskusi ketika ada kebijakan baru yang hendak dikeluarkan. Semua surat keputusan atau aturan yang merupakan pelaksanaan dari PKB atau yang menyangkut karyawan selalu melibatkan serikat pekerja,” ujarnya. Dengan duduk bersama, berdiskusi untuk mengambil keputusan yang terbaik, boleh dibilang hubungan industrial menjadi lebih harmonis.

Itulah sebabnya, ketika di tahun ini periode PKB sudah habis, serikat dan perusahaan kembali duduk bersama untuk membahas perpanjangan PKB periode 2022 – 2024. Ketika PKB berhasil diperpanjang, dengan sendirinya hubungan yang selama ini terjalin dengan baik akan tetap terjaga.

Saat ini perundingan PKB periode 2022-2024 sudah memasuki tahap kedua. Sementara total keseluruhan, perundingan direncanakan melalui lima tahap. Dengan masing-masing tahap jeda selama dua pekan. “Kemarin tahap kedua diselenggarakan di Solo. Sebelumnya, tahap pertama diselanggarakan di Semarang. Tahap ketiga akan diselenggarakan di Jogja tanggal 21-23 September 2022,” katanya.

Disampaikan, saat ini isu yang menguat dalam PKB adalah memberikan perlindungan kepada pekerja atas dampak dari holding sub holding. Diharapkan, PKB bisa memberikan perlindungan kepada pekerja jika terjadi perubahan kebijakan bisnis di PLN. Terlebih lagi, saat ini PLN sedang menyusun Human Experience Management System (HXMS). Setidaknya PKB di PT PJB harus bisa mengantisipasi itu.

Hingga saat ini, masih ada beberapa pasal yang pending. Namun demikian, serikat pekerja optimis ini perundingan bisa diselesaikan. Apalagi antara pekerja dan perusahaan sebenarnya memiliki tujuan yang sama.  

“Kami paham, perusahaan ada keterbatasan. Terikat dengan kebijakan PLN. Tetapi selama tidak bertentangan dengan kebijakan di PLN, bisa diputuskan dengan cepat di PJB,” katanya.  

“Perundingan akan berjalan tiga tahap lagi. Awal Oktober direncanakan sudah selesai. Tetapi jika ternyata lebih cepat, itu lebih baik,” lanjutnya. Apalagi pasal-pasal yang sulit sudah terlewati, meski beberapa masih pending.

Menurut Dewanto, meskipun Pemerintah dan DPR sudah mengesahkan omnibus law UU Cipta Kerja yang banyak mereduksi kesejahteraan para pekerja, tetapi pihaknya sepakat tidak ada penurunan kualitas di dalam PKB. Prinsipnya tidak akan ada pengurangan kesejahteraan di dalam PKB yang akan dirundingkan. Bahkan PKB haruslah mengatur sesuatu yang lebih baik dari undang-undang dan/atau mengatur ketentuan yang tidak ada di dalam undang-undang.




SP PDAM Jakarta: Berakhirnya Kerjasama Mitra Swasta Jangan Merugikan Karyawan dan Pelanggan

“Berbuat untuk sebuah harapan, yang tidak lagi dikeluhkan, tetapi diperjuangkan.” Tulisan ini bisa dibaca dalam salah satu spanduk di dalam ruangan yang digunakan SP PDAM Jakarta untuk melakukan konsolidasi, Jum`at (9/9). Sebuah tulisan yang mengingatkan kepada semua yang hadir, bahwa perubahan tidak akan pernah bisa diwujudkan dengan hanya berpangku tangan. Perubahan harus diperjuangkan.

Konsolidasi itu sendiri terbilang istimewa. Diselenggarakan untuk merapatkan barisan guna menghadapi berakhirnya kerjasama mitra swasta pada tanggal 31 Januari 2023 nanti. Dihadiri hampir 50 orang perwakilan anggota, koordinator wilayah dan pengurus SP DPAM Jakarta.

“Saat kerjasama dengan mitra swasta dimulai, saat itu sekitar 4.000 orang karyawan masing-masing diberi surat tugas oleh PAM Jaya untuk diperbantukan di perusahaan mitra. Sekarang yang tersisa sekitar 260 orang. Oleh karena itu, di akhir kerjasama ini, kita meminta perusahaan tidak melihat keberadaan kita dengan sebelah mata,” ujar Ketua Umum SP PDAM Jakarta Abdul Somad memulai sambutannya.

Ketika kerjasama dengan mitra swasta dimulai pada tahun 1998, belum satu tahun, demo besar-besaran terjadi. para buruh menolak dan menentang kerjasama yang dilakukan pemerintah dengan pihak swasta. Dasarnya adalah konstitusi. UUD 1945. Tidak boleh pengelolaan air, yang notabene adalah kebutuhan publik, diserahkan kepada swasta.

Perjuangan itu berhasil, ketika pada tahun 2017 Mahkamah Agung menyetop swastanisasi air dan mengembalikan pengelolaan air minum ke Provinsi DKI Jakarta. Tetapi sayang, di tahun 2018, putusan PK menyatakan berbeda. Namun demikian, hak ini setidaknya membuktikan, bahwa serikat pekerja perjuang bukan semata untuk kepentingan pekerja. Tetapi juga mengawal konstitusi dengan menolak privatisasi.

Abdul Somad menyampaikan, selama ini SP PDAM Jakarta terus berjuang untuk memastikan para pekerja bisa mendapatkan hak-haknya. Ketika serikat pekerja melihat penilaian pangkat dan golongan yang tidak adil, serikat meminta penilaian ditinjau ulang. Berhasil. Karyawan yang tidak naik pangkat menjadi akhirnya bisa naik pangkat.

Ketika di tahun 2018 ada karyawan yang dipecat tidak hormat, SP PDAM Jakarta pun melakukan pembelaan. Akhirnya ketiga karyawan tersebut diberhentikan dengan hormat dan dipenuhi haknya, sampai dengan pensiun.

“Kami juga menyoroti perlakuan diskriminasi. Ketika karyawan PAM Jaya mendapatkan tunjangan kesejahteraan, sementara kami yang diperbantukan di mitra tidak mendapatkannya. Harusnya hak kita sama,” tegas Abdul Somad.

Perwakilan anggota dan pengurus yang hadir dalam konsolidasi ini menyepakati satu hal: bahwa di akhir kerjasama dengan mitra swasta ini perusahaan  tidak lagi melakukan diskriminasi. Ibaratnya, para karyawan yang dulu diperbantukan pada awal tahun 2023 nanti akan kembali pulang ke rumah sendiri. Oleh karena itu, tidak boleh ada lagi perlakuan yang berbeda. Bahkan harus diberikan semacam penghargaan, karena berhasil menjalankan tugas yang baik selama diperbantukan ke mitra swasta.

Sebagaimana yang disampaikan di awal, pada tahun 1998 ketika perjanjian kerjasama dimulai, jumlah yang diserahkan kepada mitra kurang lebih sebanyak 4.000 orang. Sementara itu, sekarang di akhir kerjasama tinggal 260 orang. Mereka adalah karyawan yang sudah menunjukkan dedikasi dan loyalitas tinggai kepada perusahaan. Kalau pun ada penghargaan yang diberikan, jumlahnya tidak banyak.

Konsolidasi juga menyepakati untuk terus meningkatkan kekompakan dan kebersamaan di antara sesama anggota. Semangat juang yang militan harus diperlihatkan. Sebab itulah modal serikat pekerja dalam berjuang.

“Perjuangan kita ke depan semakin berat. Dirut bisa berganti 13 kali, tetapi kita tetaplah karyawan,” tegasnya. Untuk itu, dalam proses pengakhiran kerjasama ini, karyawan tidak boleh ditinggal. Dalam prosesnya, harus dilibatkan.

Di tempat yang sama, Ketua Dewan Penasehat Hukum Anton Sihotang, SH menegaskan, bahwa serikat pekerja akan kuat kalau anggotanya mendukung. Tetapi kalau anggota hanya menunggu di tikungan, serikat tidak akan kuat.

“Hanya kita yang bisa mengubah nasib kita. Tidak mungkin orang luar,” tegasnya.

Anton berharap, ketika kerjasama dengan mitra swasta berakhir, kondisinya akan lebih baik. Dan untuk itu, adalah tugas kita bersama untuk berjuang guna memastikan agar perusahaan memuliakan karyawannya, juga memastikan bahwa layanan air untuk masyarakat semakin membaik dengan dikelola publik lagi.

Organized: the best way to fight against the violence and harassment at the workplace

“One of our strength to fight against violence and harassment at the workplace is by organizing ourselves in the union. By joining the union, we can sit equally with and have more strength to push the company to agree on the regulation related to women protection in the CBA,” Izzah Inzamliyah in her opening remark. She was the trainer of Training for Trainers for women leaders and activists under the theme of “ILO Convention 190 on Elimination of Violence and Harassment at the Workplace” organized by The Public Services  International (PSI) held in 5G Resort Cijeruk, Bogor, 29-31 August 2022.

Izzah continued by saying that when the CBA contains women’s protection, it will minimize gender-based violence. In turn, it will change the mindset of workers and employers, that every person has the right of a world free of violence and harassment.

Talking about violence and harassment, women are the most vulnerable object of violence in under employement relation. Women are considered to be weak creature, abide to, and dependent upon superiors or men.

“Women’s fear and weakness are the cause of violence in the employment relation. Therefore it is just right for women workers to be active in the unions. By joining the union, workers have the strength to fight against the violence and harassment at the workplace,” Izzah asserted the importance of organized workers in front of 20 women workers , the participants of the ToT. The participants came from SP PLN, SP PPIP, SP PJB, SP EE, dan SPICON+.

Indah Budiarti, the PSI Communications and Project Coordinator, added that this training is also about introduction to use the ILO Convention 190 toolkit. The toolkit is translated into Bahasa Indonesia by IndustriAll Indonesi project office so that it would be easier for participants and unions to design their own activities.

“PSI together with trade unions globally promote the ratification of this convention,” asserted Indah.

She hoped that with this training will be beneficial and encourage the campaign on local and national level. She also hped that the action plan produced in the training wold stimulate the participants and their unions to take a step to push the campaign for Convention 190 ratification in Indonesia.

There are many people who do not understand the real definition of gender-based violence. Therefore, many tolerate the gender-basd violence. Gender-based violence is violence that is aimed at specific gender. It is happen due the social/cultural/religious belief that is embedded to certain gender that result in violence or disproportionate treatment.

There are at least four important features to understand gender-based violence. They are (a) threat; (b) physical, verbal, social, and economic acts that are harmful and detrimental or there is a possibility of harm; (c) beyond one’s will; and (d) based on the social construction on “women” and “men”.

“Silence is not consent. We have to see whether there is a power relation invloved between the perpetrator and the victim. If the perpetrator holds a power over the victim, the victim tends to be silent,” she added.

The problem of power relation is also the root of gender-based violence. The socio-cultural  patriarchal belief that presume that women are in the position of non-importance, where the power rests on men (power relation), women are not decision makers, only complementing. Women’s role are in the domestic realm and reproduction only. Whe women enter the public sphere/employment, their income is secondary, as a compliment for their husbands’.

The adoption of the ILO Convention No. 190 and Recommendation No. 206 on Violence and Harassment in the world of work brings a new hope for us. We can say that the adoption of both instruments is a victory for the trade union and labour movement. The adoption of these instruments is the culmination of years of campaigning and lobbying by trade unions, and in particular women trade unionists, built on the narratives and experiences of discrimination and violence from women workers global. The convention is an instrument to recognizes the right of everyone to have the a working life free from  violence and harassment. For the first time ever internationally agreed the definition of violence and harassment in the world of wok, including the gender-based violence that is understood as “unwanted behavior and practices that is directed to, or result in, or possible to result in physical, psychological, sexual, or economic harm.” The definition covers everyone in this world, including person in training (interns and apprentices), and individuals exercising the authority, duties, or responsibilities of an employer, and includes public and private sector, informal and formal economies, and urban and rural areas.

As trade unions, we have an important role to play in ensuring this Convention and Recommendation do not just remain on paper but are transformed into action on local. Trade unions are leading local and global campaigns, calling for the ratification and effective implementation of C190 and R206, so that these standards are integrated into national legislation.