Menguatkan Peran Serikat Pekerja Dalam Mewujudkan Transisi Berkeadilan

“Serikat Pekerja memiliki peran signifikan di dalam pengelolaan kebijakan transisi energi di Indonesia. Peran signifikan ini sudah dijalankan oleh serikat pekerja, memastikan bahwa transisi energi baru ini dimiliki dan dikelola oleh negara. Demikian disampaikan Indah Budiarti saat memberi pengantar dalam dalam Seminar tentang Transisi Energi Berkeadilan untuk Menguatkan Posisi dan Advokasi Serikat Pekerja yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (6/6).

Sikap serikat pekerja yang mengambil peran strategis itu lahir dari sebuah kesadaran, bahwa Pasal 33 UUD 1945 mengatur pengelolaan sumber daya energi haruslah dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan dikelola oleh negara. Karenanya, serikat pekerja bukan hanya selain memperjuangkan kepentingan pekerja, tetapi juga lebih luas dari itu, memastikan hak konstitusi warga negara terkait dengan listrik.

Dihadiri 46 pengurus dari serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan SP PLN, PP IP, SP PJB, SPEE-FSPMI, dan Serbuk; seminar ini bertujuan untuk memastikan bahwa serikat pekerja terlibat sebagai posisi kunci dalam proses transisi energi berkeadilan. “Tidak hanya itu, seminar juga bertujuan untuk menguatkan posisi transisi energi berkeadilan dari sudut pandang serikat pekerja dan masyarakat. Serta memastikan bahwa transisi energi berkeadilan tetap mencakup bahwa ketenagalistrikan dikuasai oleh negara,” ujar Indah.

Hadir juga dalam seminar ini adalah wakil dari Public Services International (PSI) yaitu Luis Monje (Project Officer) dan Ian Mariano (SEA Sub-regional Secretary), dari the Trade Union Solidarity Centre of Finland SASK, Farizan Fajari (Regional Representative for SEA), dari JHL – the Finish Trade Union for the Public and Welfare Sectors, Eveliina Petälä dan Kjartan Lund, Sekretaris Jenderal KNS.

Dalam seminar sehari yang diselenggarakan secara hybrid ini, narasumber berasal dari dalam dan luar negeri. Paparan pertama disampaikan David Elzinga dan Rangina Nazmieva dari Bank Pembangunan Asia (ADB), yang menjelaskan mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism atau ETM). 

Dalam paparannya, David dan Rangina lebih menekankan pendekatan pada mekanisme transisi energi dengan prioritas pada keuntungan dan investasi. Termasuk apa yang dilakukan di Indonesia untuk mempercepat terjadinya transisi, di mana salah satunya adalah mempercepat penutupan PLTU.  

Sesuatu yang dinilai oleh peserta, bahwa kebijakan semacam ini membuka peluang terjadinya privatisasi. Bagaimana pun, pihak swasta orientasinya adalah pada keuntungan. Sehingga ada kesan, kerjasama dengan ADB lebih menguntungkan pihak swasta.

Sesi ini mendapat banyak tanggapan dari peserta. Di mana pada intinya, peserta mendorong agar pembahasan mengenai transisi berkeadilan juga melibatkan dengan serikat pekerja. Tidak hanya keterlibatan secara formalitas, tetapi juga saling mendiskusikan satu sama lain. Termasuk memperhatikan apa yang menjadi kepentingan pekerja guna menghindari dampak buruk yang terjadi, seperti hilangnya pekerjaan dan potensi terjadinya PHK. Selain itu juga dampaknya kepada keberlanjutan penyelenggaraan ketenagalistrikan dan masyarakat selaku pengguna.

Narasumber berikutnya, Andy Wijaya dari PPIP menyampaikan kondisi Indonesia menuju transisi energi, khususnya terkait dengan kebijakan dan praktik di lapangan. Andy menekankan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU No 20 tahun 2004 dan UU No 30 Tahun 2009, listrik termasuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan karenanya harus dikuasai oleh negara. 

“Dalam hal ini, penguasaan oleh negara harus mencakup pada empat hal. Fungsi pengurusan, fungsi pengelolaan, fungsi pengaturan, dan fungsi pengawasan oleh negara. Dengan demikian sudah jelas, bahwa listrik tidak boleh diprivatisasi,” ujar Andy.

Karenanya, Serikat Pekerja mendukung energi transisi berkeadilan jika memenuhi tiga syarat berikut, tidak bertentangan dengan UUD khususnya Pasal 33 Ayat 2 (tanpa privatisasi), harga jual terjangkau, dan menjamin keselamatan bagi konsumen dan lingkungan.

Setelah Andy, selanjutnya giliran Tom Reddington dari PSI memaparkan tentang transisi energi berkeadilan di Asia dan Pasifik. Tom mengambil contoh bagaimana pelajaran di Australia. Dengan pentingnya posisi serikat pekerja menguatkan pengelolaan listrik kepemilikannya tetap berada di tangan publik. 

Tom bercerita, melalui peran serta serikat, di negara bagian Victoria serikat berhasil menyakinkan pemerintah lokal untuk mengeluarkan paket dana untuk memastikan agar dampak buruk transisi bisa dihindari. 

“Mereka juga bekerjasama dengan organisasi masyarakat sipil lain, kelompok pemuda, organisasi lingkungan, untuk mengkampanyekan energi terbarukan yang dimiliki publik. Kampanye ini mendapatkan momentum yang banyak sampai pada titik energi lingkungan ada dalam platform mereka di pemilihan umum. Sehingga pemerintah terpilih mengambil kembali kepemilikan publik atas energi listrik,” ujar Tom. Keberhasilan serupa juga terjadi di negara bagian yang lain, Queensland.

Mendapat kesempatan berbicara mengenai posisi serikat pekerja terhadap skema power wheeling untuk energi terbarukan di Indonesia, Muhammad Abrar Ali, Ketua Umum DPP SP PLN menegaskan bahwa power wheeling tidak ada dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait RUU Energi Terbarukan. Oleh karena itu, menurutnya, power wheeling bukanlah persoalan.

Namun demikian, yang menjadi catatan dalam sesi ini, kita harus waspada atas kemungkinan pasal terkait power wheeling disusupkan di dalam kembali ke RUU. Karena jika ini terjadi, maka power wheeling juga menjadi pintu masuk bagi terjadinya privatisasi. Semua sepakat, bahwa persoakan ini harus tetap diwaspadai, meskipun tidak ada di dalam DIM Pemerintah maupun DPR RI.

Berbicara melalui Zoom, Anna Korpikoski, Special Advisor JHL untuk Perubahan Cuaca dan Transisi Adil menyampaikan perihal transisi berkeadilan di Finlandia. Dalam hal ini, Anna mengingatkan bahwa persoalan transisi berkeadilan masih berlanjut dan berlangsung dalam jangka panjang. Untuk itu, perlu melihat juga apa yang akan terjadi di masa depan, dan serikat harus memainkan peran penting di sini.

“Ibukota Helsinki akan mencapai netralitas karbon pada 2030,” ujar Anna. Sebagai bagian dari kebijakan tersebut, maka mau tidak mau energi fosil harus dihapus diganti dengan energi baru yang lebih bersih. Persoalan inilah yang kemudian menyebabkan adanya potensi PHK, seperti yang terjadi di Helsingin Energia Ltd atau biasa disebut HELEN LTD.

Namun demikian, serikat pekerja melihat persoalan ini dari sisi transisi yang berkeadilan, di akhir tahun 2021, pekerja di Helen berjumlah lebih kurang 1000 orang pekerja. Tetapi di tahun 2022, jumlahnya hanya 700-an orang. Sebesar 250-an orang pekerja disalurkan ke perusahaan Enersense yang juga perusahaan energi yang netral karbon. Sejumlah besar pekerja tetap berada di Helen. Itu artinya, serikat pekerja juga punya peran untuk memastikan pekerja yang terdampak tidak kehilangan pekerjaan karena bisa disalurkan ke perusahaan lain.

Sementara itu, Rita Tambunan dari APHEDA/ITUC IKI-JET Project mengajak peserta untuk lebih memahami transisi berkeadilan berdasarkan keadilan sosial dan hak-hak buruh.

Menurutnya, istialah transisi berkeadilan justru muncul dari aktivis serikat buruh, Tonny Mazzocchi. Saat itu ada penutupan industri kimia di Amerika dan dampaknya, buruh kehilangan pekerjaan. Karena itu, Tonny berpendapat, bahwa lingkungan hidup perlu dipertimbangkan. Tetapi pada saat yang sama, buruh juga harus diperhatikan.

“Jangan cuma ngomongin soal lingkungan, pikiran juga soal pekerjanya,” ujar Rita.

Narasumber terakhir, David Boys menjelaskan strategi dan aksi serikat untuk transisi energi yang berkeadilan. David memaparkan level global terkait diskusi tentang transisi berkadilan, yang ternyata masih condong pada privatisasi. Dari David peserta melihat gambaran yang lebih besar inti transisi berkeadilan dan tentu saja keputusan yang lebih besar. 

“Pada dasarnya adalah untuk menaruh investasi swasta, yang di banyak tempat justru mengarah pada privatisasi,” ujar David. Untuk itulah, kita perlu mengkonsolidasikan poisisi kita dan menguatkan peran serikat dengan meningkatkan keanggotaan dan menegaskan posisi kita. 

Terakhir, Ian Mariano merangkum dan menegaskan dengan baik semua paparan narasumber. Dalam kesimpulannya, Ian menegaskan, bahwa perlu dilakukan riset yang berhubugan dengan transisi berkeadilan sehingga advokasi kita dipandu oleh riset. Hal itu akan membantu serikat dalam merumuskan posisi dan juga untuk melihat posisi yang diambil oleh pemerintah.

Di samping itu, serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan sangat menyadari ada putusan MK dan ini bisa dilakukan menjadi bagian dari dialog sosial. Di samping itu, serikat pekerja memiliki posisi yang kuat bersama dengan aliansi dan organisasi yang serupa dalam hal persoalan transisi berkadilan.

Ian juga mengapresiasi aliansi yang terbentuk di serikat pekerja sektor ketenagalistrikan dan keteguhannya dalam melawan privatisasi. Termasuk berbicara terkait dengan omnibus law UU Cipta Kerja yang menyusupkan pasal-pasal yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Di akhir, peserta sepakat bahwa tindak-lanjut kerja serikat akan bersama diteruskan melalui forum group discussion untuk mempersiapkan kertas posisi serikat.

Meningkatkan Kesejahteraan dan Perlindungan Pekerja Melalui Perjanjian Kerja Bersama

“Berserikat itu mengikat. Dengan berserikat, tidak ada lagi sekat. Melalui serikat pekerja, permasalahan yang dihadapi satu orang menjadi permasalahan bagi semua. Karena kita percaya, persatuan akan menguatkan. Sedangkan perpecahan hanya akan merugikan dan menggagalkan perjuangan.” Demikian disampaikan Indah Budiarti selaku perwakilan Public Services International dalam Musnik Nasional PUK SPEE FSPMI PT. Mitra Karya Prima yang diselenggarakan di Sidoarjo, Selasa (23/5).

Pernyataan ini relevan dengan spirit pelaksanaan Musnik Nasional PUK MKP yang mengambil tema “melangkah untuk transisi kesejahteraan”. Sebelumnya, PUK MK didirikan berdasarkan kabupaten/kota tempat para pekerja bekerja. Kemudian melalui Musnik Nasional ini, PUK-PUK yang ada disatukan kedalam satu unit kerja sehingga akan memudahkan dalam konsolidasi dan penguatan organisasi. 

“Melalui Musnik Nasional ini, teman-teman PUK MKP tidak lagi berjuang sendirian. Tetapi bertindak bersama, secara kolektif untuk meningkatkan daya pengaruh dan daya tawarnya, guna menegakkan kepentingan ekonomi pekerja ditempat kerjanya, di sektornya dan perlindungan atas pekerjaan dan masa depan kerja,” ujar Indah.

Lebih lanjut Indah mengingatkan, perusahaan yang mengakui kontribusi pekerja dalam memajukan perusahaan dan menghargai hak kebebasan berserikat menunjukkan komitmennya yang matang dalam membangun hubungan industrial yang modern, adil, dan berkelanjutan.  

“Komitmen tersebut, salah satunya dibuktikan dengan adanya Perjanjian Kerja Bersama (PKB) untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan berdaya saing. PUK MKP berharap hal itu bisa diwujudkan, untuk memastikan target-target perusahaan terpenuhi secara produktif dan pada saat yang sama kesejahteraan karyawan tercukupi dan meningkat,” tegasnya.

Hal senada juga disampaikan Sekretaris Umum SPEE FSPMI Slamet Riyadi. Dia menyampaikan, setidaknya ada dua hal yang menjadi target Musnik Nasional PUK MKP. 

“Pertama adalah terbentuk PKB. Kita tahu, capaian terpenting dari serikat adalah pembentukan PKB, untuk memastikan hak serta kepentingan pekerja bisa terlindungi,” ujarnya.

PKB merupakan instrumen penting dalam menjaga hubungan harmonis antara pengusaha dan serikat pekerja serta memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak, sehingga mengurangi ketidakpastian dan konflik di tempat kerja. Dalam PKB, disepakati berbagai hal seperti upah, jam kerja, cuti, kebijakan kesejahteraan, dan prosedur penyelesaian sengketa. Ini memberikan pedoman yang jelas bagi pengusaha dan serikat pekerja dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

“Selain itu, PKB juga memperkuat hak-hak pekerja dan memberikan perlindungan yang lebih baik. Pekerja dapat memperoleh upah yang adil, jaminan kesejahteraan, perlindungan keselamatan kerja, dan hak-hak lainnya. PKB juga dapat mengatur mengenai promosi, pemutusan hubungan kerja, dan penghargaan prestasi, memberikan kepastian bagi pekerja mengenai prosedur yang akan diikuti dalam kasus-kasus tersebut,” lanjutnya.

Sementara itu, target kedua adalah meningkatkan jumlah anggota serikat pekerja. Ini langkah penting dalam memperkuat perlindungan hak-hak pekerja dan memperjuangkan keadilan di tempat kerja. Semakin banyak anggota yang tergabung dalam serikat pekerja, semakin besar kekuatan yang dimiliki untuk membela kepentingan kolektif.

Dengan anggota yang lebih banyak, serikat pekerja memiliki suara yang lebih kuat dalam perundingan dengan pengusaha, memperjuangkan upah yang adil, kondisi kerja yang aman, dan jaminan sosial yang memadai. Meningkatnya keanggotaan juga berarti peningkatan solidaritas dan dukungan antar-pekerja, menciptakan lingkungan yang lebih kooperatif dan memperkuat perjuangan bersama.

“Dalam dunia kerja yang terus berubah dan penuh tantangan, meningkatkan jumlah anggota serikat pekerja adalah langkah strategis untuk melawan ketidakadilan dan memastikan kesejahteraan pekerja. Dengan lebih banyak pekerja bergabung dalam serikat pekerja, kita dapat menciptakan kekuatan kolektif yang tak terbantahkan dan mewujudkan perubahan positif di tempat kerja dan dalam masyarakat secara keseluruhan,” tegasnya.

Ketua DPW FSPMI Jawa Timur Jazuli dalam sambutannya juga menekankan pentingnya persatuan dan pembentukan PKB di PT MKP. Dengan adanya perjanjian kerja bersama, maka dispasritas upah bisa diselesaikan.

“Misal, saat ini buruh MKP yang bekerja di Jember atau Jombang mendapatkan upah sebesar nilai UMK di sana. Sedangkan yang bekerja di Sidoarjo atau Surabaya menggunakan upah sesuai standar UMK Surabaya. Perusahaannya sama, pekerjaannya sama, hanya karena lokasinya berbeda maka upahnya berbeda,” ujar Jazuli.

Dengan demikian, ketika ada PKB, maka di mana pun dipekerjakan buruh akan mendapatkan upah yang setara. Tentu saja, acuan upah yang digunakan adalah upah tertinggi. Karena PKB juga tidak boleh mengurangi hak pekerja yang saat ini sudah didapatan.

Melalui Musnik Nasional, penanganan kasus dan pengambilan kebijakan juga bisa cepat dilakukan. Karena di daerah, pasti akan terlebih dahulu menunggu pusat. Jika kemudian PUK dibentuk secara nasional, maka perundingan bisa langsung dilakukan dengan otoritas tertinggi yang bisa mengambil keputusan.

Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja

Penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja adalah sesuatu yangn tidak bisa ditawar. Agenda ini sangat penting untuk memastikan bahwa lingkungan kerja menjadi tempat yang aman dan produktif bagi semua. 

Untuk memberikan pemahaman yang lebih baik bentuk-bentuk kekerasan dan pelecehan yang mungkin terjadi di tempat kerja serta bagaimana cara menghindari atau menangani situasi yang tidak diinginkan tersebut, Public Services International (PSI) mengadakan Lokakarya Pelatihan bagi pengurus dan aktifis perempuan serikat pekerja. Titik tekan lokakarya pelatihan ini berkaitan dengan Konvensi ILO 190 tentang “Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja”. Diselenggarakan di 5G Resort Bogor dari tanggal 8 sampai 10 Mei 2023, dengan peserta berjumlah 23 orang pengurus serikat afiliasi PSI.

Indah Budiarti, PSI Project Coordinator dalam proyek ini mengatakan setidaknya ada 4 (empat) tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan ini. Pertama, menciptakan sekelompok pimpinan dan aktivis sebagai juru kampanye dan trainer untuk mengadvokasi dan mendorong implementasi Konvensi ILO 190 bagi serikat dan pekerja. Kemudian yang kedua, mengembangkan keterampilan dan pengetahuan para pemimpin dan aktivis untuk membuat mereka bisa menuntut hak atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan.

Hal lain yang menjadi tujuan dari Lokakarya Pelatihan membangun serikat yang lebih kuat melalui training bagi pemimpin dan aktivis yang mampu menggunakan instrumen ini untuk mengintegrasikan Konvensi ILO 190 ke dalam agenda negosiasi perjanjian kerja bersama. Selain itu, hal yang tak kalah penting adalah ikut serta dalam gerakan nasional untuk ratifikasi Konvensi ILO 190.

PSI bekerjasama dengan Indah Sapto dari IndustriAll dan Ira Laila dari FSPKEP-SPSI meminta mereka untuk menjadi trainers/fasilitarors dalam program pelatihan ini.

Pembelajaran diselenggarakan dengan metode pedagogik. Di mana peserta lebih diajak untuk berdiskusi terkait kondisi penerapan aturan di tempat kerja.

Di hari pertama, peserta diajak untuk lebih mengenal perbedaan gender dan jenis kelamin. Sehingga peserta memahami konsep kekerasan berbasis gender. 

Jenis kelamin mengacu pada karakteristik biologis yang dibawa sejak lahir, yaitu apakah seseorang lahir dengan organ reproduksi laki-laki atau perempuan. Jenis kelamin juga mencakup faktor-faktor biologis lainnya, seperti tingkat hormon dan struktur fisik tertentu. Sementara itu, gender merujuk pada peran sosial, perilaku, dan identitas yang dianggap cocok dengan jenis kelamin tertentu dalam suatu budaya. Gender tidak selalu berkorelasi dengan jenis kelamin biologis, dan seseorang dapat mengidentifikasi diri sebagai laki-laki, perempuan, atau gender non-biner (tidak sepenuhnya laki-laki atau perempuan) terlepas dari jenis kelamin biologis mereka.

Setelah memahami apa itu gender dan jenis kelamin, peserta kemudian melakukan “gender ceklist” dengan memeriksa hak-hak pekerja perempuan di dalam PKB (Perjanjian Kerja Bersama). Misalnya yang terkait dengan cuti haid, cuti hamil, melahirkan dan gugur kandung, hak menyusui dan penitipan anak, fasilitas kebersihan dan kantin, perlindungan pekerja perempuan atas kekerasan dan pelecehan seksual, tunjangan keluarga, kesehatan dan keselamatan kerja, peran perempuan dalam serikat pekerja.

Dalam sesi ini, peserta juga menyusun rekomendasi tentang redaksi yang dapat dituangkan dalam pasal-pasal PKB sebagai salah satu solusi penerapan yang belum baik terkait perlindungan pekerja perempuan di dunia kerja.

Sedangkan materi ketiga adalah memahami kekerasan dan pelecehan di duna kerja serta kekerasan berbasis gender. Dengan metode body mapping dan workplace mapping, peserta secara berkelompok mendidentifikasi serta memetakan kekerasan dan pelecehan seksual serta kekerasan berbasis gender baik yang ada di dalam badannya maupun di area tempat bekerja.

Di hari kedua, peserta mengenali instrumen/standard di tingkat nasional dan international terkait isu kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja. Standard yang dikeluarkan oleh Pemerintah, APINDO, Konvensi ILO 190, Rekomendasi ILO no 206 tentang kekerasan dan pelecehan.

Selanjutnya, peserta diajak berdiskusi terkait kebijakan perusahaan, isi PKB, atau PP tentang kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerjanya masing-masing. Pada sesi ini diperkenalkan konsep joint commitment antara serikat pekerja dan pengusaha terhadap isu kekerasan dan pelecehan seksual. 

Adapun isi joint commitment merujuk kepada KILO 190 dan Rekomendasi ILO no 206, yang memuat diantaranya: komitmen bersama antara pengusaha dan serikat pekerja, definisi kekerasan dan pelecehan seksual termasuk kekerasan maternitas dan kekerasan ekonomi berikut contohnya, komitmen bersama untuk melaksanakan promosi, sosialiosasi, pendidikan, dan pelatihan terkait kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja, pembentukan tim, pembuatan prosedur penanganan aduan dan tahapan pengaduan formal, kepastian setiap orang mendapatkan kemudahan dan perlindungan sebagai korban maupun saksi, serta kepastian setiap orang yang sudah ditetapkan sebagai pelaku mendapatkan sanksi tanpa terkecuali.

Materi ketiga di hari kedua adalah berdiskusi dan berbagi informasi tentang kebijakan perusahaan tempat kerja masing-masing, mekanisme penyelesaian yang ada di tempat kerja masing-masing, dan membedah isi PKB tempat kerja masing-masing. Di sesi ini juga diperkenalkan model PKB yang memuat klausul pasal –pasal perlindungan kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja, serta prinsip K3 perlindungan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja.

Lanjut di hari ketiga, peserta diperkenalkan hal-hal apa saja yang dapat dilakukan secara konkret untuk memulai perlindungan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja. Pada sesi ini dijelaskan Permen PPA No 01/2020 tentang Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan di dunia kerja.

Sedangkan di sesi terakhir, peserta berdiskusi kelompok sesuai dengan tempat kerja untuk menetapkan point-point apa saja yang dapat dilakukan yang dituangkan dalam rencana tindak lanjut. Beberapa agenda tindak lanjut meliputi, komitmen bersama antara pengusaha dan serikat pekerja zero tolerance kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja, sosialisasi, edukasi dan kampanye kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja, serta perbaikan pasal PKB perlindungan pekerja perempuan.

Melawan Privatisasi, Menghilangkan Ketergantungan Swasta, Memperkuat BUMN Ketenagalistrikan

Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS) yang di dalamnya terdapat serikat pekerja ketenagalistrikan seperti SP PLB, PP IP, dan SP PJB mendatangai Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (8/5). Kehadiran mereka ke MK untuk menghadiri persidangan uji konstitusional bagian ketenagalistrikan UU No 6 tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang dinilai melanggar konstitusi.

Ini sekaligus sebagai bentuk penegasan atas perlawanan terhadap privatisasi listrik melalui uji konstitusional UU Cipta Kerja dengan menghilangkan ketergantungan listrik dari swasta dan memperkuat BUMN Ketenagalistrikan sesuai cita konstitusi.

Ketua Umum SP PLN Muhammad Abrar Ali ketika membacakan siaran pers GEKANAS di depan Gedung MK mengatakan, data 2021, negara mengalami Kelebihan pasokan energy listrik dengan kasitas terpasang 72 GW dan daya rat-rat digunakan sebesar 40 GW. Dan perkirakan di tahun 2023, Indonesia Oversupply sebanyak 60% dari kebutuhan maksimal harian.

“Pasokan energi listrik saat ini disokong oleh Pembangkit swasta sebesar 28% atau sebesar 22 GW dan diperkirakan pada tahun 2023 ini mencapai 30 GW, dengan masuknya pembangkit yang tergabung dalam proyek 35 GW,” tegasnya. Abrar melanjutkan, di dalam skema perjanjian Kerjasama dengan Pembangkit Swasta /Independence Power Producer (IPP) listrik yang dihasilkan digunakan atau tidak digunakan tetap harus dibayar.

Dijelaskan, pada tahun 2003 MK telah memutuskan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum wajib dilakukan secara terintegrasi mulai dari bisnis pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan. 

“Listrik tak dapat disangkal, sudah menjadi kebutuhan dimana masyarakat sangat bergantung. Manusia mungkin masih bisa hidup tanpa listrik, tapi ketiadaan listrik membuat banyak hambatan bagi manusia,” ujarnya. Itu artinya, listrik sebagai hajat hidup masyarakat banyak senantiasa perlu dipastikan agar negara tetap menjalankan amanat konstitusi dan cita pancasila. 

Dalam kesempatan ini juga disampaikan, beberapa dalil terkait pelanggaran konstitusi UU Cipta Kerja. Di mana UU Cipta Kerja mengaburkan frase usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum yang serharusya dilakukan secara terintegrasi berdasarkan 2 putusan MK terdahulu. Selain itu, tidak adanya peran DPR RI dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional sehingga mengurangi pengawasan publik terhadap pelaksanaan usaha ketenagalistrikan oleh pemerintah, hingga perlu penegasan bahwa pembelian listrik berlebih tidak boleh dilakukan didaerah yang telah surplus listrik.

Bersama-sama dengan GEKANAS, setidaknya ada tiga hal yang hendak dipastikan oleh serikat pekerja ketenagalistrikan SP PLN, PPIP, dan SB PJB. Pertama, meminta agar Pemerintah dan DPR RI jangan malu melaksanakan putusan MK terkait ketenaglistrikan. Kedua, Negara harus menghilangkan ketergantungan pada pasokan listrik swasta (IPP) dan memberdayakan BUMN Ketenagalistrikan yang telah ada (PLN, PJB, dan Indonesia Power) sebagai pemasok energi listrik bagi bangsa ini.  Sedangakan yang terakhir, meminta negara membuka kontrak perjanjian kerjasama dengan IPP dengan skema take or pay yang merugikan bangsa jika dilakukan di wilayah surplus energi.

Serikat Pekerja Ketenagalistrikan Selenggarakan Project Committee Management Meeting (PCM)

Pimpinan serikat pekerja sektor ketenagalistrikan yang terdiri dari SP PLN, PPIP, SP PJB, SPEE FSPMI, dan SERBUK menghadiri Project Committee Management Meeting di Jakarta, Rabu (13/4). 

Membuka pertemuan, Indah Budiarti menyampaikan, ada tiga hal yang akan dilakukan dalam PCM kali ini. Pertama, membahas isu terkini serikat pekerja, termasuk aktivitas kegiatan, keanggotaan, dan kepengurusan. Kedua, persiapan kunjungan SASK dan JHL yang akan hadir ke Indonesia pada 6-9 Juni 2023 untuk bertemu serikat pekerja dan melakukan observasi terkait aktivitas serikat. Yang ketiga, buka puasa bersama.

Mengawali paparannya terkait dengan situasi terkini di serikat pekerja, Sekretaris Umum SPEE FSPMI Slamet Riyadi menyampaikan, “Untuk sektor elektronik elektrik, kondisi ketenagakerjaan yang paling terdampak adalah di sektor elektronik. Ekonomi global sedang turun akibat perang Ukraina. Banyak barang yang sudah di ekspor tidak laku dan numpuk di gudang. Hal ini diperparah dengan susahnya bahan baku dan dampak covid yang belum sepenuhnya pulih.” 

“Permasalahan lain adalah dampak dari UU Cipta Kerja, yakni perubahan aturan PKB yang kualitasnya mengalami penurunan. Khususnya terkait dengan uang pesangon. Pengusaha meminta berunding untuk menurunkan nilai pesangon sesuai dengan undang-undang. Ketika PUK menolak, justru pengurusnya di PHK dengan beragam alasan,” ujar Slamet.

Slamet juga menyampaikan, di perusahaan alih daya PLN yang terdapat di Cirebon, saat ini sedang terjadi PHK 123 orang. Awalnya, mereka tidak bersedia menandatangani perjanjian kerja baru yang mengalami keturunan upah akibat kebijakan volume based yang diterapkan PLN. “Karena mereka tidak mau, akhirnya dimutasi ke Sumatera Utara. Buruh menolak, kemudian dianggap mengundurkan diri,” ujarnya.

Senada dengan Slamat Riyadi, Happy Nur Widiatmoko dari SERBUK menyampaikan, bahwa kondisi yang dialami SERBUK tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di SPEE. Menurutnya, saat ini pekerjaan buruh OS PLN semakin berat. Tetapi upah ditekan, dan tidak ada jenjang karir.  Celakanya tidak ada perbedaan upah antara pekerja baru dan lama. Hanya ada TMK yang sangat kecil. 

Namun kabar baiknya, menurut Happy, karena tekanan kerja yang cukup tinggi, banyak yang mulai menyadari pentingnya untuk berserikat. Ada penambahan anggota, dan rencana pembentukan serikat pekerja baru,

Sekjend SP PJB Ide Bagus Aksara menyampaikan, untuk iternal, saat ini SP PJB sedang menyelesaikan penyusunan juknis PKB. Sedangkan permasalahan yang sedang hangat adalah terkait dengan ekses dari dua hal yang sekarang sedang diksanakan kementerian BUMN dan PLN yaitu: holdong subholindg dan perubahan peraturan kepegawaian. 

“Dari dua hal itu, ada potesi merugikan karyawan. Kita ingin ketika ada perubahan, tidak merugikan kepentingan anggota,” tegasnya.

Berikutnya, Andy Wijaya sebagai Sekjend PPIP menyampaikan, pada bulan Mei hingga Juli 2023, PPIP akan melaksanakan musyawarah unit kerja untuk 20 unit kerja. Sementara itu, pada bulan Agustus akan dilakukan Kongres.

Sedangkan untuk eksternal, tergabung dalam 10 serikat/pekerja dan 111 pemohon, PPIP sudah mendaftarkan judicial review UU 6/2023, baik formil maupun materiil. Di mana khusus untuk materiil, gugatan klaster ketenagakerjaan dan klaster ketenagalistrikan dipisah.

“Tujuannya agar isu klaster ketenagalistrikan bisa naik. Pengalaman kemarin, ketika digabung, yang naik hanya isu ketenagakerjaan,” tegasnya.

Menurut Andy, PPIP akan melakukan roadshow ke Thailand dengan membawa 25 orang delegasi. Tujuannya adalah untuk mendiskusikan tentang JTEP, mengingat ada tiga negara yang sedang menjadi percontohan. Indonesia, Filipina, dan Thailand. 

Mendapat kesempatan terahir, Muhammadd Abrar Ali sebagai Ketua Umum SP PLN menjelaskan, bahwa SP PLN ikut menjadi pemohonan dalam judicial review Perppu Cipta Kerja. Ia berharap, MK akan memutuskan judicial review ini dengan berpihak pada kepentingan rakyat. Sementara itu, terkait dengan dengan PKB yang sudah ditandatangani, banyak pekerja yang tadinya bergabung dengan serikat pekerja lain sudah kembali ke SP  PLN. 

Menyingung terkait rencana kunjungan SASK – JHL ke Indonesia pada tanggal 6 – 9 Juni 2023, Indah berharap semua pimpinan serikat pekerja bisa meluangkan waktu dan ikut hadir dalam pertemuan ini. Di mana selama kurun waktu 4 hari tersebut ada beberapa kegiatan yang sudah direncanakan.

Di antaranya adalah Seminar tentang Transisi Energi Berkeadilan untuk memperkuat posisi dan advokasi serikat pekerja, pertemuan dengan partner yang meliputi SP PLN, SP PJB, PPIP, SPEE FSPMI, dan Serbuk, kunjungan ke Kantor Serikat Pekerja dan bertemu managemen, serta kampanye dan advokasi bersama untuik memmpromosikan tempat kerja yang bebas dari kekerasan dan memajukan hak-hak serikat pekerja. 

Usai membahas mengenai perkembangan/kondisi terkini dari serikat pekerja dan rencana kunjungan SASK dan JHL ke Indonesia, pertemuan ditutup dengan buka bersama.

Strong Leadership in Unions is the Key to to Quality Collective Bargaining Agreement

It is important for union leaders to participate in trainings that will equip them with skills needed to run the organization in a professional and dynamic way. In doing the struggle for the rights and interest of the workers, they must posses the understanding and insight about the current socio-economic-political situation, labor laws and regulations, skill to handle industrial relation disputes, collective bargaining agreement and skill to do negotiation, and organizational communication skill. Given that union leaders are the representatives of workers’ interest. Those points were made by Indah Budiarti, PSI Project Coordinator, in her opening remarks on the Training for Trade Union Leaders and Collective Bargaining organized by PSI/SASK Advancing Trade Union Rights Project located in 5G Resort Cijeruk, Bogor, West Java.

This training was held from 27 February to March 1, 2023 and participated by 23 union leaders from SP PLN, PPIP, SP PJB dan SPEE-FSPMI.

Further, Indah Budiarti explained the purpose of the training was to increase the capacity and ability of union leaders in organizing and leading the unions. In addition to that, to build the capacity and administrative quality of union leaders in acting their roles and fucntion in their respective unions; as well as to improve the qualty and skill of leaders in running the organization which is fraught with obstacles and dynamics.

The first session of the training started with a presentation delivered by Indah Budiarti which basically explained the current labor situation in Indonesia. The presentation briefly offered information on Indonesia’s population and the demographic bonus, economic situation in relation to the VUCA (Volatile, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) as well as economic disruption, unemployment, union density, and union power, and also the future of union.

Next session was a discussion led by Bro Suherman from SPEE FSPMI. The theme of the discussion was “trade union leadership: who to do as union leaders”. Bro Suherman invited participants to think about how union leaders are the core team in any union, hence, they must formulate the steps and method of their work in order to build the capacity and quality of the union they run. Therefore, the union will be useful for the members and workers. He mentioned that union programs will be helpful for them to do their job in a structured way. Unions is also about collective leadership and leadership that represents their members. Building trust and capacity to work in a team is necessitate.

In the second day of the training, Bro Ismail Rifai and Bro Suherman, both from SPEE FSPMI, talked about Industrial Relation dispute settlement. The sessions was fundamental that introduced participants with terms such as bipartite, mediation/concilliation/arbitration, and industrial relation court.

Following that was the session about building an effective communication in a dynamic union. The session was led by Kahar S. Cahyono, the Information and Communication officer of KSPI.

In his session, Kahar explained that the dynamic movement of a trade union must involve interaction between the members of the union, union leaders, and external parties such as the management, government, and public. Therefore, understanding the effective communication is very important for trade union to be a dynamic movement.

Being able to communicate effectively improves the ability to convey messages clearly and appropriately. It is very important for unions to be able to communicate effectively in order to conve the message and the movement’s goals to their members, other union leaders, and external parties. The unclear and ineffective communication could create misunderstanding and disruption to the movement’s course to achieve its goals.

According to Kahar, effective communication will strengthen the coordination and collaboration of union members. It will also help to strengthen the coordination and collaboration between union members in achieving their collective goal. By communicating effectively, union members would be able to understand thier respective duties and responsibilities and work together to achieve their collective goals.

In doing its work, a union oftentime requires to influence externals parties such as the company management or the government. An effective communication will help unions to strengthen their capacity to influence the external parties and achieve their collective goal.

“An effective communication will increase union members’ participation in the movement. Members would feel that their voices is heard and then tend to get involve in the activities and retain their support for the union’s objective,” said Kahar.

“In negotiating a collective bargaining agreement, union leaders must fight for their members’ rights and interests in a fair way and in favor of the workers. They also must create an agreement that benefits both parties. Therefore, training and capacity building for union leaders is a necessitate in order to formulate and then come to a good and sustainable collective bargaining agreement,” he added.

Some other important points discussed in the training was Collective Bargaining Agreement and Trade Union, techniques and skills in CBA negotiation, and dynamic union leadership.

On these points, Herman explained that union must master the techniques and skills of negotiation. Both of them are the most effective tools to accomplish the organization’s goals dan fight for the workers’ rights. In the context of CBA negotiation between the union and management, negotiation skill is important for union leaders to attain the agreement that benefits members most.

Maintaining good relation between the union and the company is also another important point. A good negotiation could help to maintain a good relation between the union and the company. By speaking in a polite way and repsect the other parties, union leaders could create a positive atmosphere in a negotiation and promote a productive dialogue.

“By using a good negotiation skill, union leaders could then minimize the risk of potential conflict and promote constructive dialogue with mangement, hence, achieve the better result for both parties involved,” he said.

At the end of the session, participants were invited to discuss and analyze their respective union’s situation by using SWOT analysis, and how union leaders together with the members build a strong, united, and big unions. It is expected that coming back from the training, participants will be able to implement their newly acquired knowledge in their respective contexts and unions. Therefore, unions will be better in their works to defend, protect, and fight for their members.


Kepemimpinan yang Kuat di Dalam Serikat, Kunci Terwujudnya Perjanjian Kerja Bersama Berkualitas

Penting bagi bagi pengurus serikat pekerja untuk mengikuti pelatihan demi membekali diri dengan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan dalam menjalankan organisasi serikat pekerja secara professional dan dinamis. Dalam memperjuangkan hak dan kepentingan para pekerja, mereka harus memiliki pemahaman yang baik tentang situasi socio-ekonomi-politik, peraturan perburuhan, ketrampilan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, perjanjian kerja bersama dan ketrampilan negosiasi, dan keterampilan komunikasi organisasi. Hal ini mengingat, bahwa pengurus adalah perwakilan yang mewakili kepentingan para pekerja. Demikian disampaikan oleh Indah Budiarti, PSI Project Coordinator dalam kata pembuka pelatihan Pemimpin Serikat Pekerja dan Perjanjian Kerja Bersama yang diselenggarakan oleh PSI/SASK Advancing Trade Union Rights Project di 5G Resort Cijeruk, Bogor, Jawa Barat.

Pelatihan ini diselenggarakan dari tanggal 27 Februari sampai 1 Maret 2023 diikuti 23 orang peserta mewakili SP PLN, PPIP, SP PJB dan SPEE-FSPMI.

Lebih lanjut, Indah Budiarti menyampaikan, tujuan dari pelatihan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas pemimpin serikat pekerja dalam ketrampilan berorganisasi dan memimpin serikat pekerja. Di samping itu, untuk membangun kapasitas dan kualitas administrative pemimpin serikat pekerja dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam organisasi serikat pekerja; serta meningkatkan kualitas dan ketrampilan pemimpin dalam menjalankan organisasi serikat pekerja yang penuh dengan tantangan dan dinamika.

Sesi pertama pelatihan diawali dengan presentasi dari Indah Budiarti yang memaparkan situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Presentasi ini memberikan kilasan informasi akan situasi terkini terkait kondisi jumlah penduduk dan bonus demografi, kondisi ekonomi terkait dengan era VUCA (Volatile, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) dan disrupsi ekonomi, pengganguran, densitas serikat dan kekuatan serikat, dan masa depan serikat pekerja.

Sesi berikutnya diisi oleh Bro Suherman, SPEE-FSPMI, membawa peserta dalam diskusi “kepemimpinan dalam serikat pekerja: menjadi pengurus dan apa yang harus dilakukan”. Bro Suherman mengajak peserta untuk mendalami bahwa pengurus adalah tim inti dalam serikat pekerja, langkah dan kerja mereka menentukan kapasitas dan kualitas bagaimana serikat pekerja itu dijalankan dan manfaatnya bagi para anggota dan pekerja. Program kerja yang dibuat membantu mereka untuk melakukan pekerjaan secara lebih terstruktur. Serikat pekerja adalah juga kepemimpinan kolektif dan kepemimpinan yang mewakili anggotanya. Membangun kepercayaan dan kemampuan untuk melakukan kerja dalam tim sangatlah dibutuhkan.

Hari ke dua pelatihan, Bro Ismail Rifai dari SPEE-FSPMI  dan Bro Suherman mengisi materi tentang Penyelesaian Hubungan Industrial. Dalam sesi ini materi masih sangat mendasar, tetapi mengenalkan peserta mengenai bipartit, mediasi/konsiliasi/arbitrasi, dan pengadilan hubungan industrial.

Selanjutnya, materi mengenai membangun komunikasi efektif dalam pergerakan serikat pekerja yang dinamis adalah materi yang dibawakan oleh Kahar S. Cahyono, sebagai Ketua Bidang Infokom KSPI.

Disampaikan Kahar, pergerakan serikat pekerja yang dinamis melibatkan interaksi antara anggota serikat, pemimpin serikat, dan pihak eksternal seperti perusahaan, pemerintah, dan masyarakat. Oleh karena itu, memahami komunikasi efektif sangat penting dalam pergerakan serikat pekerja yang dinamis.

Hal itu, karena, akan meningkatkan kemampuan untuk menyampaikan pesan dengan jelas dan tepat. Dalam serikat pekerja, komunikasi yang jelas dan tepat sangat penting untuk menyampaikan pesan dan tujuan gerakan secara efektif kepada semua anggota serikat, pemimpin serikat, dan pihak eksternal. Komunikasi yang tidak jelas atau tidak tepat dapat menyebabkan ketidaksepahaman dan mengganggu tujuan gerakan.

Menurut Kahar, dengan kemampuan berkomunikasi yang efektif, akan memperkuat koordinasi dan kolaborasi antara anggota serikat. Komunikasi yang efektif dapat membantu memperkuat koordinasi dan kolaborasi antara anggota serikat dalam mencapai tujuan gerakan. Dengan komunikasi yang efektif, anggota serikat dapat memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

Dalam serikat pekerja, seringkali ada kebutuhan untuk mempengaruhi pihak eksternal seperti perusahaan atau pemerintah. Komunikasi yang efektif dapat membantu memperkuat kemampuan serikat pekerja dalam mempengaruhi pihak eksternal dan mencapai tujuan gerakan.

“Komunikasi yang efektif dapat membantu meningkatkan partisipasi anggota serikat dalam gerakan. Anggota serikat yang merasa didengar dan dipahami akan lebih cenderung terlibat dalam kegiatan dan mempertahankan dukungan terhadap tujuan gerakan,” ujar Kahar.

“Dalam perjanjian kerja bersama, pemimpin/pengurus serikat pekerja harus mampu memperjuangkan hak dan kepentingan para pekerja dengan cara yang adil dan menguntungkan, serta mampu mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, pelatihan dan pengembangan keterampilan bagi pemimpin/pengurus serikat pekerja merupakan hal yang penting untuk mencapai perjanjian kerja bersama yang baik dan berkelanjutan,” ujarnya.

Hal lain yang disampaikan dalam pelatihan ini adalah berkaitan dengan Perjanjian Kerja Bersama dan Serikat Pekerja, teknik dan keterampilan Negosiasi PKB, dan kepemimpinan serikat pekerja yang dinamis.

Dalam hal ini, Herman menjelaskan, pengurus serikat pekerja perlu menguasai teknik dan keterampilan negosiasi karena negosiasi merupakan salah satu alat yang paling efektif dalam mencapai tujuan organisasi dan memperjuangkan hak-hak pekerja. Dalam konteks perundingan antara serikat pekerja dan pengusaha, keterampilan negosiasi yang baik dapat membantu pengurus serikat pekerja untuk memperoleh kesepakatan yang lebih menguntungkan bagi anggota serikat pekerja.

Menjaga hubungan yang baik antara serikat pekerja dan pengusaha: Negosiasi yang baik juga dapat membantu menjaga hubungan yang baik antara serikat pekerja dan pengusaha. Dengan berbicara dengan sopan dan menghormati pendapat lawan bicara, pengurus serikat pekerja dapat menciptakan atmosfer yang positif dalam perundingan dan mempromosikan dialog yang produktif.

“Dengan menggunakan keterampilan negosiasi yang baik, pengurus serikat pekerja dapat meminimalkan risiko konflik dan mempromosikan dialog yang konstruktif dengan pengusaha. Ini dapat membantu menghindari tindakan yang tidak produktif dan memperoleh hasil yang lebih menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat,” ujarnya.

Mengakhiri sesi peserta diajak diskusi untuk menganalisa SWOT kondisi serikat pekerja mereka masing-masing dan bagaimana pengurus bersama anggota menjadi serikat pekerja besar, bersatu dan kuat.

Diharapkan, setelah pelatihan ini peserta bisa mengimplementasikan pengetahuan yang didapatkan selama pelatihan untuk sebesar-besarnya kepentingan anggota. Dengan demikian, serikat pekerja bisa lebih optimal dalam membela, melindungi, dan memperjuangkan anggotanya.

Memperkuat Solidaritas Pekerja Ketenagalistrikan melalui Forum Komunikasi Serikat Pekerja Ketenagalistrikan (FKSPK) Jawa Tengah—DIY

Forum Komunikasi Serikat Pekerja Ketenagalistrikan (FKSPK) Jawa Tengah—DIY menggelar pertemuan hari ini, Rabu, 8 Februari 2023 di Pondok Tingal, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Hadir dalam pertemuan ini adalah perwakilan dari DPD SP PLN UID JTY, SERBUK Indonesia, SPEE FSPMI, PPIP, SPLAS, SPLAM, SPL HPI, dan perwakilan-perwakilan TAD PLN yang belum berserikat.

Forum Komunikasi yang digagas oleh DPD SP PLN UID JTY dan Komwil SERBUK Jateng—DIY ini dimaksudkan untuk membangun kesepemahaman antar serikat-serikat pekerja ketenegalistrikan di Jawa Tengah DIY. Ketenagalistrikan sebagai sektor ekonomi strategis harus bisa memberi manfaat bagi para buruh di sektor ini dan masyarakat pada umum.

Forum yang dikemas dalam bentuk sarasehan ini menghasilkan beberapa rekomendasi penting untuk menghadapi dinamika di sektor ini, khususnya menghadapi isu privatisasi PLN dan problem ketenagakerjaan akibat PERPPU Cipta Kerja, contohnya adalah pemberlakuan sistem kerja berbasis volume yang berpeluang besar menghilangkan hak-hak kesejahteraan yang selama ini diterima oleh pekerja.

Hamdani AP, Koordinator FKSPK sekaligus Ketua DPD SP PLN UID JTY, dalam sambutannya menegaskan tentang pentingnya persatuan dan sinergi antar serikat pekerja untuk menjawab tantangan di sektor ketenagalistrikan. “Dampak buruk berlakunya PERPPU Cipta Kerja bagi kaum buruh tidak bisa lagi dihadapi sendiri-sendiri, sebab daya rusaknya bersifat massal. Oleh karena itu diperlukan persatuan antar serikat pekerja untuk menahan dampak buruk itu.” Tegas Bung Hamdani.

Hadir juga dalam acara ini bung Slamet Supriyadi, sekretaris umum SPEE – FSPMI. Beberapa buah pemikiran penting yang dia sumbangkan hari ini adalah bagaimana pentingnya memetakan persoalan-persoalan yang sedang dan akan dihadapi kaum buruh, khususnya di sektor ketenagalistrikan.

Bung Slamet memberi contoh mengapa SPEE memilih bernegosiasi dengan PLN terkait isu-isu di Tenaga Alih Daya (TAD) PLN, padahal TAD-TAD tersebut kontrak kerjanya dengan vendor-vendor PLN bukan dengan PLN. “Jika kami sebelumnya tidak melakukan pemetaan kemungkinan besar negosiasi dan aksi kami hanya ditujukan kepada vendor saja. Namun, dengan pemetaan masalah kita menjadi tahu pihak-pihak mana saja yang menjadi penyebab munculnya masalah tersebut.” Terang bung Slamet. Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan tentang mengapa SPEE aksi ke PT. PLN pusat beberapa waktu lalu.

Indah Budiarti, PSI Communications and Project Coordinator (Southeast Asia Office) hadir dalam forum ini. Indah menyampaikan bahwa forum ini hendaknya mampu membuat rencana dan aksi strategis. Mampu memiliki tuntutan yang jelas dan dapat dicapai; memiliki kekuatan yang besar, dan bersatu; memiliki daya tahan yang sama, konsisten dan semakin kuat.

Salah satu rekomendasi yang menjadi prioritas dalam forum hari ini adalah meningkatkan rekruitmen ke dalam serikat pekerja/buruh untuk TAD di Jawa Tengah. Hal ini untuk menjawab salah satu problem rendahnya densitas serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan, khususnya serikat pekerja di TAD di Jawa Tengah, yang mayoritas buruhnya belum berserikat.

Ke depan FKSPK akan rutin bertemu untuk merumuskan metode yang tepat agar rekomendasi-rekomendasi yang dicanangkan bisa tercapai.

Raturan Buruh TAD Geruduk Kantor Pusat PT. PLN (Persero) Tuntut Haknya

Ratusan orang buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Elektronik Elektrik – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPEE FSPMI) menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Pusat PT PLN (Persero) yang terletak di Jl Trunojoyo, Jakarta, Kamis (2/2).

Massa aksi berasal dari berbagai daerah seperti Lampung, Cirebon, Sumbar, Bogor, Indramayu, Purwakarta, Bandung, Makassar, Depok, Cianjur, Karawang, Tangerang, Sukabumi, hingga Bekasi. Mereka bekerja di perusahaan vendor PLN atau Tenaga Alih Daya (TAD) di Pembangkitan, Distribusi, Jaringan:  Pelayanan Handalseperti Penanganan Gangguan Alat Pengukur & Pembatas (APP), Penanganan Gangguan Sambungan Rumah (SR), Penanganan Gangguan Jaringan Tegangan Rendah (JTR), Penanganan Gangguan Gardu Distribusi, Penanganan Gangguan Jaringan Tegangan Menengah (JTM), Penanganan Gangguan Saluran Kabel Tegangan Menengah (SKTM). Serta Tenaga Alih Daya ( TAD ) di bagian retail atau bagian catat meter dan penagihan tunggakan pelanggan yang biasa disebut Biller.

Aksi ini dipicu oleh keluarnya Perdir PLN Nomor 0219 tahun 2019, maka telah mengakibatkan terjadinya penurunan upah TAD berupa penurunan upah pokok, Tunjangan Hari Raya, Tunjangan Hari Tua, Tunjangan Pensiun, Kompensasi pesangon, dan upah lembur.

Hal itu diperparah lagi dengan dikeluarkannya kebijakan yang baru dari PT. PLN (Persero ) melalui EDIR 019 tahun 2022 bahwa beberapa jenis pekerjaan di PLN memakai system Volume Based yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hubungan kerja, kepastian upah, dan kepastian jaminan sosial.

Untuk Tenaga Alih Daya bagian Biller, selain terdampak terhadap hal tersebut di atas, juga terdampak atas perubahan kebijakan dari PLN atas periode pelunasan tagihan pelanggan. Di mana sebelumnya periode 6 bulan menjadi periode 1 bulan.

Setiap bulan harus nihil tunggakan pelanggan. Akibatnya, Tenaga Alih Daya terpaksa harus melunasi (menalangi) tagihan pelanggan PLN agar kinerjanya tidak buruk dan terhindar dari sanksi surat peringatan sampai PHK.

Lebih dari itu, di dalam pasal 33 Undang Dasar 1945 sudah ditegaskan, bahwa cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan yang mengusai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Berkaitan dengan hal tersebut, sudah perlu diragukan lagi, bahwa listrik adalah cabang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga harus dikuasai oleh negara.

Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud di atas harus kita maknai dalam kerangka konstitusi. Dalam hal ini kita bisa merujuk pada ketentuan dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi  No 001-021-0211/PUU-I/2002 terkait dengan pengujian UU no. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Dsebutkan disana bahwa penguasaan negara dalam kacamata konstitusi haruslah berada dalam 5 dimensi: kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.

Ketika kita bicara bagaimana listrik bisa dinikmati rakyat Indonesia, ada beberapa tahapan yang harus dilewati, yaitu mulai dari pembangkitan, transmisi, distribusi, hingga retail atau penjualan. Oleh karena itu , penguasaan negara harus mencakup semua tahapan tersebut. Tetapi sayangnya saat ini telah terjadi privatisasi, karena semua tahapan tersebut sebagian diserahkan ke pihak swasta.

Seharusnya di semua tahapan tersebut dikuasai oleh negara melalui perusahaan BUMN, dalam hal ini PT. PLN (Persero) yang diberi mandat berdasarkan Undang undang untuk mengelola sektor ketenagalistrikan. Dengan kata lain tidak boleh diserahkan kepada perusahaan swasta yang akhirnya menyebabkan diskriminasi  dan pelanggaran terhadap hubungan kerja serta tingkat kesejahteraan terhadap Tenaga Alih Daya ( TAD ). Dalam jangka panjang privatisasi  akan berdampak kepada mahalnya tari listrik yang merugikan masyarakat luas.

Swastanisasi sektor ketenagalistrikan bukan saja pelanggaran terhadap konstitusi, tetapi juga menyebabkan ketidakpastian terhadap perlindungan K3, status hubungan kerja, dan menurunya kesejahteraan para buruh yang bekerja di sektor ketenagalistrikan.  Dan dalam jangka panjang, akan berakibat pada mahalnya tarif listrik.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam aksi ini SPEE-FSPMI mengusung 7 tuntutan, berikut :

1. Tolak Penurunan Upah Pekerja/Tenaga Alih Daya (TAD)

2. Tolak Perubahan Status Hubungan Kerja Tenaga Alih Daya ( TAD )

3. Tolak Jenis Pekerjaan berdasarkan Volume Based dan Pola Kemitraan.

4. Tolak Dana Talangan Pelanggan PLN.

5. Stop Kecelakaan Kerja di Lingkungan Kerja PLN

6. Angkat Tenaga Kerja Alih Daya ( TAD ) menjadi pekerja di anak perusahaan PT. PLN

7.  Pekerjakan kembali 19 Tenaga Alih Daya (TAD) yang telah di PHK sepihak oleh PT. DKB di Lampung.


Hundreds of Outsourced Workers Held a Protest in front of PT PLN (Persero) demanding their fightful Rights

Hundreds of workers under the Serikat Pekerja Elektronik Elektrik – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPEE FSPMI) held a protest action in front of PT PLN (Persero) head office on Jalan Trunojoyo, Jakarta, on Thursday (2/2).

The protest mass came from different areas of the country such as Lampung, Cirebon, Sumbar, Bogor, Indramayu, Purwakarta, Bandung, Makassar, Depok, Cianjur, Karawang, Tangerang, Sukabumi, and Bekasi. They are the workers of PLN vendors, in other words,  PLN’s outsourced workers. They mainly work in the distribution, generation, network-grid:   Reliable Service such as Troubleshooting on Gauges and Circuit Breaker (APP), Troubleshooting on House Installation (SR), Troubleshooting on Low Voltage Network (JTR), Troubleshooting on Distribution Substation, Troubleshooting on Medium Voltage Network (JTM), Troubleshooting on Medium Voltage Cable Line (  Pelayanan Handal seperti Penanganan Gangguan Alat Pengukur &SKTM). Also participating, the outsourced workers in retail or workers who record the meter of electricity and debt collectors called biller.

The protest action was triggered by the inssuance of PLN’s President Regulation No. 0219 of 2019 that resulted in the the decrease of outsourced workers’ wages, holiday benefit, JHT, pension, severance payment and compensation, and overtime pay.

This situation was aggravated by the issuance of new policy under the EDIR 019 of 2022 that resulted in several jobs in PLN to be using volume based system. This new policy resulted in the loss of job security, the employment certainty, wage certainty, and also social  security.

The outsourced workers in retail section or called the biller experienced all of the above-mentioned changes. PLN’s new policy also changed the period of customers’ payment from 6 months to only a month.

The new policy sets that there must be no outstanding payment from the consumer side. Consequently, the outsourced workers must pay the outstanding payment every month so that they will not get bad review due to bad performance, hence they would not get any sanction or warning letter, or even termination.

Furthermore, article 33 of Indonesian Constitution of 1945 asserts that sectors of production which are important for the country and affect the life of the people shall be under the powers of the State. It is no doubt that electricity is a sector of production that is important and affect the life of the people and therefore must be under the power of the state.

Under the power of the state as mentioned above must be understood under the fram of the constitution. We can refer to the provisions in the legal considerations of Constitutional Court Decision No 001-021-0211/PUU-I/2002 on judicial review against Law No. 20/2002 on Electricity. The provision said that under the constitution, the ownership of the state over electricity must be in five dimensions: policy, action, management, regulation, and supervision.

When we talk about how Indonesian can enjoy electricity, there are several steps from generation, to transmission, distribution, to retail or sale. Therefore, control of the state must also covers all the steps. However, unfortunately, today, some of the steps have been privatized, by handing them over to the privates.

The state must control all the sections through its State-owned companies (BUMN), in this matter is PT PLN (Persero). PT PLN is mandated under the Law to manage the electricity in this coutnry. In other words, electricity must not be handed over to private companies that could create discrimination and violate the employment relation the outsourced workers. Finally, the outsourced workers would lose their basic rights. In the long run, privatization will increase the price of electricity that will put more burden to the people.

Privatization of electricity is not just unconstitutional, but also worsen the OSH protection, violate the employment contract, and decline in the welfare of workers working in the electricity sector. Finally, it will also increase the price of electricity.

Against that background, SPEE-FSPMI demand the following:

1. Reject the decline of wage of workers and outsourced workers

2. Reject the alteration of Employment Agreement of Outsourced Workers

3. Reject the volume-based system and partnership system

4. Reject the bailout for PLN Customers

5. Stop Work accidents in PLN

6. Regularize the Outsourced Workers to be the workers of PT PLN’s subsidiaries

7.  Reinstate the 19 Outsourced workers who were laid off unilaterally by PT DKB in Lampung

SPLAM Merayakan Kemenangan

Selasa (10/1), Serikat Pekerja Listrik Area Magelang (SPLAM) Korwil Borobudur mengadakan tasyakuran di salah satu rumah anggota yang terletak di Dusun Malang Wirosuko, Sawangan, Magelang. Di lereng Gunung Merbabu, yang saat acara berlangsung puncaknya sedang diselimuti kabut tebal.

Tasyakuran ini digelar setelah di pertengahan Desember 2022 lalu, SPLAM berhasil memenangkan perjuangan melawan PT. DJU yang telah melakukan pemotongan upah secara ilegal, dalam satu setengah tahun terakhir. PLN UID Jateng-DIY melakukan pemutusan kontrak sepihak kepada PT. DJU setelah mereka tidak mau mengembalikan pemotongan upah yang telah dilakukan secara melanggar hukum.

Para pekerja Tenaga Alih Daya PLN ini kemudian dialihkan kepada vendor baru, yakni PT. Haleyora Powerindo. Memang, tidak ada yang ideal dengan sistem Outsorcing, namun setidaknya, anggota-anggota SPLAM yang bekerja sebagai tenaga pencatat meter ini sekarang telah menerima upah sesuai nominal yang diperjanjikan. Rerata ada kenaikan sebesar 300 ribu dari upah terakhir yang mereka terima di vendor lama.

Abdul Gopur yang hadir sebagai Koordinator Wilayah Jateng—DIY SERBUK Indonesia, dalam sambutannya memberikan catatan penting, agar SPLAM tidak lengah dengan kemenangan yang berhasil diraih, sebab tantangan di hari-hari depan tidak lah mudah. “Ok. Hari ini boleh kita bergembira. Senang-senang. Tapi, jangan berlarut, jangan lena. Masih banyak tuntutan lain yang menunggu untuk diperjuangkan. Tetap solid dan kompak.” Pesan Gopur.

PPIP Menduga Adanya Praktik Union Busting Gaya Baru

Union busting gaya baru. Barangkali ini adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi dengan perundingan addendum Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di PT Indonesia Power. Jika dulu union busting dilakukan dengan cara “menghilangkan” pengurus serikat pekerja. Tetapi yang sekarang terjadi adalah “menghilangkan” kewenangan serikat pekerja.

Normalnya, PKB di PT Indonesia Power akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2023. Tetapi baru pada tanggal 11 November 2022, perusahaan meminta untuk dilakukan perundingan addendum PKB. Atas permintaan tersebut, serikat pekerja memberikan balasan pada tanggal 15 November. Intinya, serikat pekerja setuju dilakukan perundingan. Baru kemudian tanggal 29 November dilakukan pertukaran SK juru runding, dan tanggal 30 November dilakukan pertukaran draft PKB.

Perundingan sendiri dijadwalkan akan diselenggarakan di Semarang pada tanggal 1-2 Desember 2022. Kemudian dilanjutkan di Bogor, tanggal 5-7 Desember 2022.

Mengapa harus ada addendum? Ini berawal dari kebijakan PT PLN (Persero) yang akan menugaskaryakan pegawainya ke Sub Holding. Di mana PT PLN (Persero) menegaskan, konpensasi (remunerasi dan benefit) pegawai yang ditugaskaryakan ke Sub Holding tidak akan lebih rendah dari kompensasi yang dibayarkan kepada pegawai PT PLN (Persero) yang ditugaskan ke Holding. Untuk memastikan hal itu, Sub Holding diminta untuk meratifikasi PKB PT PLN untuk menjamin kesetaraan hak-hak kepegawaian antara pegawai PT PLN (Persero) yang ditugaskaryakan ke Sub Holding dengan pegawai PT PLN (Persero) yang bertugas di Holding.

Bagi PPIP, kebijakan untuk meratifikasi PKB PT PLN (Persero) dinilai sebagai pemaksaan aturan dari PLN. Padahal, meskipun satu group, antara PT PLN dan PT Indonesia Power terdapat aturan yang berbeda. Sayangnya, ketika menetapkan aturan baru, PT PLN tidak mempertimbangkan sudah sejauh mana benefit yang didapatkan anak perusahaan. Jika kemudian PT Indonesia Power diminta mengikuti ketentuan PT PLN, maka bisa dipastikan beberapa kesejahteraan pegawai PT Indonesia Power akan turun.

Seharusnya Perusahaan Induk terlebih dahulu membuat pemetaan. Di bagian mana saja yang unggul, itulah yang dijadikan base line perubahan system. Jika harus mengikuti standard yang di tetapkan oleh Induk Perusahaan, maka banyak yang turun. Terutama di PT Indonesia Power dan PT PJB.

Dalam berunding, kedua belah pihak sifatnya setara. Tidak boleh dipaksakan. Dalam hal ini, PP IP memiliki hak untuk tidak setuju jika benefit yang selama ini diterima akan diturunkan. Masalahnya, Induk Perusahaan memiliki daya tekan. Mereka adalah pemegang persetujuan atas Rencana Kerja Anggaran (RKA) di anak perusahaan. Seperti biaya kepegawaian, biaya operasional, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, Induk Perusahaan mempunyai hak untuk mengurangi biaya kepegawaian. Dan jika itu terjadi, PT Indonesia Power sebagai anak perusahaan tidak bisa berbuat apa-apa. Artinya, ketentuan yang diatur di dalam PKB PT Indonesia Power tidak bisa dijalankan, karena anggarannya tidak disetujui oleh Induk Perusahaan.

Jika itu terjadi, apa namanya jika bukan pemaksaan? Dan pemaksaan sepihak untuk melakukan ratifikasi itulah yang patut diduga sebagai union busting gaya baru. Serikatnya masih ada, tetapi tidak bisa lagi memutuskan syarat kerja. Belum lagi adanya potensi pelanggaran dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu syarat sah perjanjian, khususnya dalam syarat Kesepakatan Para Pihak, Dimana kesepakatan para pihak tersebut harus lahir dari kehendak para pihak tanpa ada unsur kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Jika hal seperti ini terjadi di PLN Group, bukan tidak mungkin akan diterapkan di group-group yang lain.

Semangat dalam perundingan PKB mustinya adalah perbaikan, “More or Equal”. Tetapi kali ini dibayangi dengan penurunan. Perundingan kali ini dilakukan untuk mengakomodir Perdir 30. Padahal di dalam Perdir 30 tersebut terdapat sejumlah hal yang kualitasnya lebih rendah jika dibandingkan dengan apa yang telah di dapat oleh PT Indonesia Power.

Pegawai PT Indonesia Power mendukung penuh tim perunding serikat pekerja. Mereka tidak mau benefit yang selama ini didapatkan akan diturunkan. Dukungan itu dilakukan dengan membuat status serentak di media sosial dengan poster bertuliskan “We Support PPIP in Collective Bargaining Agreement! More or Equal.” Dengan tagar #WeStandWithPPIP.

Dukungan itu menjadi bukti, perundingan ini dikawal oleh ribuan anggota PPIP yang tersebar di berbagai daerah. Dan tidak hanya itu, Serikat Pekerja dan Pekerja yang lain pun juga mencermati apa yang terjadi di PLN Group. Mereka tidak ingin apa yang patut diduga sebagai “union busting gaya baru” ini sama juga terjadi tempat yang lain.

English version, below!

PPIP Suspects of New Style of Union Busting in the 2022-2023 CBA Addendum Negotiation

A new version of union busting. It only right to name the situation as a new version or new style of union busting. The situation in question is the addendum of Collective Bargaining Agreement (CBA) negotiation in PT Indonesia Power. If union busting was done by “removing” union leaders, now, by ‘removing’ the role and authority of union.

Normally, CBA in PT Indonesia Power will end on December 2023. However, on November11, 2022, the company requested an addendum to the CBA to be negotiated. The company sent a letter to the union for the request. Upon the request, the union replied on November 15, 2022 that the union agreed to prepare a revised CBA and appoint a negotiator. On November 30, the union and the company submitted their version of CBA revised draft.

The negotiation is scheduled to be held in Semarang on 1 to 2 December 2022. Then, it was continued in Bogor on 5 – 7 November .

Why addendum? It was started when PT PLN (Persero) issued a new policy of assigning their workers to work in their sub-holding companies. For this, PT PLN stated that the compensation (remuneration and benefits) for the workers who are assigned to the subholdings will not be lower than the compensation for workers who are assigned to the holding companies in order to ensure the implementation, sub holding companies must ratify PT PLN’s CBA. Hopefully, this will guarantee equality of workers’ rights between PT PLN (Persero) workers who are assigned to sub holding companies with the ones who are assigned to holding companies.

For PPIP, the requirement to ratify PT PLN’s CBA is seen as PT PLN enforces some rules to PPIP. Whereas, although under the same group, PT PLN and PT PPIP has its own distinct regulation. On the other hand, PT PLN does not consider the benefits that are already applicable in its subsidiaries, such as PT Indonesia Power. If PT Indonesia Power, then, follows the new policy imposed by PT PLN, there will be benefit loss or decrease in PT Indonesia Power.

What PT PLN should have done is to do an initial mapping. From the mapping, PT PLN would find out which benefit is higher then it would be the base line for systemic change. To follow the standards set by the mother company, there will be decrease in benefit, as the benefit in the subsidiaries are better than in the mother company, especially in PT Indonesia Power and PT PJB.

To hold a negotiation, both parties must be on an equal position. A negotiation must not be enforced. PPIP has the right to diasagree to the new benefit that would be lower than the benefit they received before the new policy. The poblem is mother company has a pressure power. They holds the veto over its subsidiaries Budget Workplan (Rencana Kerja Anggaran/RKA). The Budget Plan includes payrolls, operational cost, and many other item budgets. PT PLN, the mother company, holds the right to cut the payroll item in the Budget plan of its subsidiaries. If that should happen, PT Indonesia Power as a subsidiary of PT PLN will not be able to do anything. It means, whatever is agreed in the CBA of PT Indonesia Power will not be implemented.

If that happens, is it a coercion? A coercion to ratify PT PLN’s CBA is a union busting, a new version. The union still exists, but is no longer able to negotiate the requirement. There is also a potential violation of article 1320 of the Civil Code on the conditions that are required for the validity of agreements, specifically on the condition of the parties in agreement. There must be consent of the individuals who are bound thereby, meaning no coercion nor fraud; capacity to conclude an agreement, a specific subject, and an admissible cause. Should this happen in PLN Group, other companies will follow.

The spirit of a CBA negotiation is improvement, to be “More or Equal”. However, this time, it leads to a deterioration. The negotiation is done to accomodate the Director Regulation No. 30. Although in that regulation, there are lower qualities of benefits compared to what is applicable in PT Indonesia Power currently.

PT Indonesia Power workers support the union’s negotiation team. They do not want to lose the benefits that they have been having. The support is expressed in a social media simultaneous status with a poster of “We Support PPIP in Collective Bargaining Agreement! More or Equal,” and a hashtag #WeStandWithPPIP.

The support proves that this negotiation will be monitored by thousands of PPIP members all over Indonesia. In addition to that, union and other workers are scrutinizing what is happening in PT PLN Group. They do not want what is suspected as a new style of union busting to happen in other workplace, in or outside PLN Group.