Raturan Buruh TAD Geruduk Kantor Pusat PT. PLN (Persero) Tuntut Haknya

Ratusan orang buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Elektronik Elektrik – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPEE FSPMI) menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Pusat PT PLN (Persero) yang terletak di Jl Trunojoyo, Jakarta, Kamis (2/2).

Massa aksi berasal dari berbagai daerah seperti Lampung, Cirebon, Sumbar, Bogor, Indramayu, Purwakarta, Bandung, Makassar, Depok, Cianjur, Karawang, Tangerang, Sukabumi, hingga Bekasi. Mereka bekerja di perusahaan vendor PLN atau Tenaga Alih Daya (TAD) di Pembangkitan, Distribusi, Jaringan:  Pelayanan Handalseperti Penanganan Gangguan Alat Pengukur & Pembatas (APP), Penanganan Gangguan Sambungan Rumah (SR), Penanganan Gangguan Jaringan Tegangan Rendah (JTR), Penanganan Gangguan Gardu Distribusi, Penanganan Gangguan Jaringan Tegangan Menengah (JTM), Penanganan Gangguan Saluran Kabel Tegangan Menengah (SKTM). Serta Tenaga Alih Daya ( TAD ) di bagian retail atau bagian catat meter dan penagihan tunggakan pelanggan yang biasa disebut Biller.

Aksi ini dipicu oleh keluarnya Perdir PLN Nomor 0219 tahun 2019, maka telah mengakibatkan terjadinya penurunan upah TAD berupa penurunan upah pokok, Tunjangan Hari Raya, Tunjangan Hari Tua, Tunjangan Pensiun, Kompensasi pesangon, dan upah lembur.

Hal itu diperparah lagi dengan dikeluarkannya kebijakan yang baru dari PT. PLN (Persero ) melalui EDIR 019 tahun 2022 bahwa beberapa jenis pekerjaan di PLN memakai system Volume Based yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hubungan kerja, kepastian upah, dan kepastian jaminan sosial.

Untuk Tenaga Alih Daya bagian Biller, selain terdampak terhadap hal tersebut di atas, juga terdampak atas perubahan kebijakan dari PLN atas periode pelunasan tagihan pelanggan. Di mana sebelumnya periode 6 bulan menjadi periode 1 bulan.

Setiap bulan harus nihil tunggakan pelanggan. Akibatnya, Tenaga Alih Daya terpaksa harus melunasi (menalangi) tagihan pelanggan PLN agar kinerjanya tidak buruk dan terhindar dari sanksi surat peringatan sampai PHK.

Lebih dari itu, di dalam pasal 33 Undang Dasar 1945 sudah ditegaskan, bahwa cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan yang mengusai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Berkaitan dengan hal tersebut, sudah perlu diragukan lagi, bahwa listrik adalah cabang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga harus dikuasai oleh negara.

Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud di atas harus kita maknai dalam kerangka konstitusi. Dalam hal ini kita bisa merujuk pada ketentuan dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi  No 001-021-0211/PUU-I/2002 terkait dengan pengujian UU no. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Dsebutkan disana bahwa penguasaan negara dalam kacamata konstitusi haruslah berada dalam 5 dimensi: kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.

Ketika kita bicara bagaimana listrik bisa dinikmati rakyat Indonesia, ada beberapa tahapan yang harus dilewati, yaitu mulai dari pembangkitan, transmisi, distribusi, hingga retail atau penjualan. Oleh karena itu , penguasaan negara harus mencakup semua tahapan tersebut. Tetapi sayangnya saat ini telah terjadi privatisasi, karena semua tahapan tersebut sebagian diserahkan ke pihak swasta.

Seharusnya di semua tahapan tersebut dikuasai oleh negara melalui perusahaan BUMN, dalam hal ini PT. PLN (Persero) yang diberi mandat berdasarkan Undang undang untuk mengelola sektor ketenagalistrikan. Dengan kata lain tidak boleh diserahkan kepada perusahaan swasta yang akhirnya menyebabkan diskriminasi  dan pelanggaran terhadap hubungan kerja serta tingkat kesejahteraan terhadap Tenaga Alih Daya ( TAD ). Dalam jangka panjang privatisasi  akan berdampak kepada mahalnya tari listrik yang merugikan masyarakat luas.

Swastanisasi sektor ketenagalistrikan bukan saja pelanggaran terhadap konstitusi, tetapi juga menyebabkan ketidakpastian terhadap perlindungan K3, status hubungan kerja, dan menurunya kesejahteraan para buruh yang bekerja di sektor ketenagalistrikan.  Dan dalam jangka panjang, akan berakibat pada mahalnya tarif listrik.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam aksi ini SPEE-FSPMI mengusung 7 tuntutan, berikut :

1. Tolak Penurunan Upah Pekerja/Tenaga Alih Daya (TAD)

2. Tolak Perubahan Status Hubungan Kerja Tenaga Alih Daya ( TAD )

3. Tolak Jenis Pekerjaan berdasarkan Volume Based dan Pola Kemitraan.

4. Tolak Dana Talangan Pelanggan PLN.

5. Stop Kecelakaan Kerja di Lingkungan Kerja PLN

6. Angkat Tenaga Kerja Alih Daya ( TAD ) menjadi pekerja di anak perusahaan PT. PLN

7.  Pekerjakan kembali 19 Tenaga Alih Daya (TAD) yang telah di PHK sepihak oleh PT. DKB di Lampung.


Hundreds of Outsourced Workers Held a Protest in front of PT PLN (Persero) demanding their fightful Rights

Hundreds of workers under the Serikat Pekerja Elektronik Elektrik – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPEE FSPMI) held a protest action in front of PT PLN (Persero) head office on Jalan Trunojoyo, Jakarta, on Thursday (2/2).

The protest mass came from different areas of the country such as Lampung, Cirebon, Sumbar, Bogor, Indramayu, Purwakarta, Bandung, Makassar, Depok, Cianjur, Karawang, Tangerang, Sukabumi, and Bekasi. They are the workers of PLN vendors, in other words,  PLN’s outsourced workers. They mainly work in the distribution, generation, network-grid:   Reliable Service such as Troubleshooting on Gauges and Circuit Breaker (APP), Troubleshooting on House Installation (SR), Troubleshooting on Low Voltage Network (JTR), Troubleshooting on Distribution Substation, Troubleshooting on Medium Voltage Network (JTM), Troubleshooting on Medium Voltage Cable Line (  Pelayanan Handal seperti Penanganan Gangguan Alat Pengukur &SKTM). Also participating, the outsourced workers in retail or workers who record the meter of electricity and debt collectors called biller.

The protest action was triggered by the inssuance of PLN’s President Regulation No. 0219 of 2019 that resulted in the the decrease of outsourced workers’ wages, holiday benefit, JHT, pension, severance payment and compensation, and overtime pay.

This situation was aggravated by the issuance of new policy under the EDIR 019 of 2022 that resulted in several jobs in PLN to be using volume based system. This new policy resulted in the loss of job security, the employment certainty, wage certainty, and also social  security.

The outsourced workers in retail section or called the biller experienced all of the above-mentioned changes. PLN’s new policy also changed the period of customers’ payment from 6 months to only a month.

The new policy sets that there must be no outstanding payment from the consumer side. Consequently, the outsourced workers must pay the outstanding payment every month so that they will not get bad review due to bad performance, hence they would not get any sanction or warning letter, or even termination.

Furthermore, article 33 of Indonesian Constitution of 1945 asserts that sectors of production which are important for the country and affect the life of the people shall be under the powers of the State. It is no doubt that electricity is a sector of production that is important and affect the life of the people and therefore must be under the power of the state.

Under the power of the state as mentioned above must be understood under the fram of the constitution. We can refer to the provisions in the legal considerations of Constitutional Court Decision No 001-021-0211/PUU-I/2002 on judicial review against Law No. 20/2002 on Electricity. The provision said that under the constitution, the ownership of the state over electricity must be in five dimensions: policy, action, management, regulation, and supervision.

When we talk about how Indonesian can enjoy electricity, there are several steps from generation, to transmission, distribution, to retail or sale. Therefore, control of the state must also covers all the steps. However, unfortunately, today, some of the steps have been privatized, by handing them over to the privates.

The state must control all the sections through its State-owned companies (BUMN), in this matter is PT PLN (Persero). PT PLN is mandated under the Law to manage the electricity in this coutnry. In other words, electricity must not be handed over to private companies that could create discrimination and violate the employment relation the outsourced workers. Finally, the outsourced workers would lose their basic rights. In the long run, privatization will increase the price of electricity that will put more burden to the people.

Privatization of electricity is not just unconstitutional, but also worsen the OSH protection, violate the employment contract, and decline in the welfare of workers working in the electricity sector. Finally, it will also increase the price of electricity.

Against that background, SPEE-FSPMI demand the following:

1. Reject the decline of wage of workers and outsourced workers

2. Reject the alteration of Employment Agreement of Outsourced Workers

3. Reject the volume-based system and partnership system

4. Reject the bailout for PLN Customers

5. Stop Work accidents in PLN

6. Regularize the Outsourced Workers to be the workers of PT PLN’s subsidiaries

7.  Reinstate the 19 Outsourced workers who were laid off unilaterally by PT DKB in Lampung

Hasil Musnik Konsolidasi dan Musnik Nasional PUK SPEE FSPMI PT Haleyora Powerindo

Kegiatan Konsolidasi dan Musnik Nasional PUK SPEE FSPMI PT Haleyora Powerindo yang diselenggarakan pada tanggal 5-6 November 2022 di Depok, Jawa Barat, sudah berakhir. Selain menghasilkan susunan kepengurusan, kegiatan yang berlangsung dua hari ini berhasil menyusun program kerja.

“Secara garis besar, ada empat program utama dalam periode kepengurusan ini. Pertama, PKB start di tahun 2023. Kedua, penambahan jumlah anggota sebanyak 20.000 anggota. Ketiga, advokasi yang kuat, di mana PUK Nasional memastikan tidak ada lagi permasalahan hak normatif,” kata Mochammad Mauchbub yang terpilih sebagai Ketua PUK di dalam Musnik kali ini.

“Sedangkan keputusan yang keempat adalah penguatan iuran COS. Penertiban iuran pun akan dimulai pada awal tahun 2023,” lanjutnya. Semua ini dilakukan demi mendukung terciptanya tiga program di atas, maka perlu didukung pula kekuatan iuran anggota.

Sebelumnya, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Elektronik Elektrik Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (PP SPEE FSPMI) Slamet Riyadi dalam pembukaan Musnik menjelaskan, bahwa sebelumnya PUK PT. Haleyora Powerindo tersebar di berbagai wilayah. Sehingga hal ini menimbulkan kendala dalam hal komunikasi dan koordinasi.

“Dengan terbentuknya PUK secara Nasional hari ini, penyelesaian kasus kedepannya agar lebih mudah terselesaikan,” tegasnya.

Hadir dalam Musnik Nasional PUK SPEE FSPMI PT Heleyora Powerindo, Presiden FSPMI Riden Hatam Aziz dalam sambutannya menyampaikan pentingnya komunikasi dalam hal menyelesaikan masalah dengan pihak Manajemen. “Bagaimana pun juga, tanpa komunikasi yang baik, apapun masalahnya tidak akan terselesaikan,” ujarnya.

Riden juga menegaskan, adalah tugas FSPMI untuk terus melakukan perbaikan – perbaikan kesejahteraan untuk seluruh anggotanya di seluruh Indonesia. Untuk itu, dalam berjuang, dalam Kongres FSPMI ke VI telah diputuskan strategi perjuangan organisasi yang baru yaitu politik. Ini melengkapi strategi perjuangan yang lain, yaitu Konsep, Lobby dan Aksi atau yang biasa disebut KLA.

Lebih lanjut Riden memaparkan, FSPMI yang dilahirkan pada tahun 1999 dalam berjuang tidak sebatas tingkat pabrik dan daerah. Tetapi juga di tingkat nasional dengan melakukan tekanan melalui aksi dengan jumlah massa yang sangat besar dan massif untuk mengubah kebijakan.

Maka dari itu, Riden meminta agar serikat pekerja memanfaatkan dan memaksimalkan setiap pertemuan, konsolidasi, ataupun rapat-rapat untuk mensosialisasikan setiap program dan cita-cita perjuangan. Tujuannya adalah agar semua anggota menjadi paham dan kemudian ikut berpartisipasi di dalam perjuangan.

Adapaun susunan kepengurusan yang dihasilkan dalam Musnik Nasional PUK SPEE FSPMI PT Haleyora Powerindo adalah sebagai berikut:

Ketua: Moch Machbub (Cirebon)

Wakil Ketua I: Alain Alfian Tourik (Karawang)

Wakil Ketua II: Erick Meidiartha  (Bandar Lampung)

Wakil Ketua III: Bayu Prastyanto Ibrahim (DKI Jakarta)

Wakil Ketua IV: Hidrawan Sukmanto (Karawang)

Sekretaris: Ramdani (DKI Jakarta)

Wakil Sekretaris I: Yanto Sulistianto (Purwakarta)

Wakil Sekretaris II: Tri Yuliawan (Karawang)

Wakil Sekretaris III: Rana Rustiana (Sukabumi)

Wakil Sekretaris IV: Ria Beti Novianti (Bandung)

Bendahara: Ali Sadikin (Purwakarta)

Selenggarakan Konsolidasi dan Musnik, PUK Haleyora Powerindo Tegaskan Hubungan Industrial, Manajemen Pengakuan Serikat, dan Membuka Dialog untuk Negosiasi

“Kita sebagai pekerja dengan manajemen ibarat satu keluarga. Oleh karena itu, mari kita jadikan suasana di tempat kerja kita menjadi nyaman. Harus ada komunikasi, harus ada dialog, harus ada rasa saling percaya,” demikian disampaikan Sekretaris Umum SPEE Slamet Riyadi saat memberikan sambutan dalam pembukaan Musnik PUK SPEE FSPMI PT Haleyora Powerindo yang diselenggarakan di Depok, Sabtu – Minggu, 5 hingga 6 November 2022

Sebelumnya, Slamet memberikan apresiasi dan ucapan terima kasih atas kehadiran Direktur SDM PT Haleyora Powerindo, Haidar Syaifulloh. Baginya, ini adalah sebuah kehormatan. Terlebih di dalam momentun penting, di mana PUK HPI bersatu dalam agenda Musnik.

“Kehadiran managemen membuka ruang untuk berkomunikasi dengan serikat pekerja,” kata Slamet. Dengan adanya komunikasi antara managemen dan pekerja, maka kita optimis hubungan industrial akan menjadi lebih baik lagi.

Slamet menegaskan, ke depannya mari sama-sama kita jaga hubungan baik ini. Kita satu keluarga. Kita jaga rumah kita. Kita buat semua menjadi nyaman. Perusahaan bisa mengembangkan usahanya, kita sebagai pekerja bisa menjadi lebih sejahtera.”

Slamet juga menyampaikan, FSPMI dan SPEE sudah bertemu dengan pihak PT PLN. Karena ini bukan masalah yang bisa cepat diselesaikan, maka akan dilakukan pertemuan secara rutin. Tidak cukup hanya sekali dua kali pertemuan. Oleh karena itu, terdekat, sudah direncanakan untuk menyelenggarakan pertemuan pada tanggal 11 November 2022.

“Dengan adanya respon positif dari pihak PLN, itu kita sambut baik. Semoga akan ada perbaikan positif yang bisa kita ambil. Oleh karena itu, kegiatan aksi yang rencananya akan kita selenggarakan tanggal 7 November kita batalkan,” ujarnya.

Senada dengan apa yang disampaikan Slamet, Koodinator Project PSI-SASK Indonesia Indah Budiarti menyampaikan, bahwa hubungan industrial modern memerlukan serikat pekerja yang kuat. Termasuk di dalamnya pengakuan serikat pekerja dari management. Dengan adanya hubungan industrial yang harmonis, niscaya akan tercipta rasa nyaman dalam bekerja yang ujungnya meningkatkan produktivitas.

PSI sendiri, di dunia memiliki hampir 30 juta anggota, di 152 negara dan teritori, dengan 692 serikat pekerja anggotanya. Di Indonesia kita memiliki 7 serikat anggotanya, dimana 3 serikat mewakili sektor ketenagalistrikan, yaitu: SP PLN, SP PJB, dan PP INDONESIA POWER.

Prinsip kesatuan, atau unity, dan persatuan untuk tumbuh besar bersama dan kuat, mendorong PSI untuk membangun solidaritas di luar afiliasinya. Kegiatan tersebut bukan yang pertama melibatkan non-afiliasi dalam proyek PSI. Melihat pentingnya menguatkan serikat anggotanya, adalah juga menguatkan serikat pekerja yang lain. Maka akhir 2019, PSI mengajak SPEE-FSPMI dan Serikat Buruh Kerakyatan atau Serbuk, khususnya sektor elektrikal untuk mengembangkan dan memperbanyak jumlah keanggotaan mereka disektor ini.

“PSI menyambut baik kegiatan konsolidasi dan MUSNIK Nasional PUK HPI ini. Kegiatan ini merupakan bentuk revitalisasi organisasi, agar lebih mapan dan lebih dinamis dalam menghadapi persoalan-persoalan ketenagakerjaan, akibat lemahnya pemahaman pekerja terhadap hak mereka dan kecurangan atau pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha,” kata Indah.

Indah menambahkan, sektor ketenagalistrikan menguasai hajat hidup orang banyak. Bekerja pada sektor ini tidak hanya memikirkan tentang upah dan kesejahteraan, tetapi memastikan bahwa sektor ini tetap ditangan publik dan melawan segala bentuk privatisasi. Privatisasi tidak hanya berdampak buruk pada para pekerja. Tetapi juga berdampak buruk masyarakat luas, karena tarif listrik menjadi mahal. Lebih dari itu, privatisasi di sektor ketenagalistrikan melanggar konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945.

“PSI akan terus mendukung dan menguatkan solidaritas bersama SPEE-FSPMI, proyek akan berlangsung setidaknya sampai tahun 2025. Kita berharap bahwa keanggotaan bertambah massive, setidaknya akan mencapai 25 ribu orang atau lebih, dan memiliki PKB setidak di HPI,” tegasnya.
Sementara itu, dari sisi management, Haidar Saifulloh menyambut baik kegiatan ini. Dia juga merasa bangga bisa hadir di tempat ini. Apalagi sebelumnya, sudah ada pertemuan dengan pimpinan FSPMI dan SPEE untuk membicarakan permasalahan yang ada, dan sudah ada kesepahaman Bersama untuk mencari jalan keluar atas permasalahan tersebut.

“Kita jangan terpecah belah karena perbedaan golongan dan status,” kata Haidar. Itu artinya, harus ada sinergi antara pekerja dan manajemen.

”Acara ini penting dan untuk membangun kebaikan,” tegasnya. Dia juga berjanji untuk lebih memperhatikan hak-hak buruh, terutama yang terkait dengan hak normative.

Perlu diketahui, kegiatan ini diselenggarakan secara hybrid. Di mana peserta dari PUK SPEE FSPMI PT PHI se-Jawa dan Sumatera mengiktui secara luring, sedangkan dari berbagai daerah yang lain mengikuti kegiatan ini secara daring. Musnik sendiri dibuka oleh Sekretaris Umum SPEE FSPMI Slamet Riyadi, mewakili Ketua Umum yang berhalangan hadir.

Musnik juga dihadiri perwakilan SP PLN, Jaya Kirana yang hadir mewakili Ketua Umum DPP SP PLN Muhammad Abrar Ali. Dalam sambutannya, Jaya menegaskan dukungan dan solidaritas serikat terhadap perjuangan teman-teman di SPEE-FSPMI demi kesejahteraan pekerja dan kejayaan perusahaan.

Berserikat. Cara Jitu Melawan Kekerasan dan Pelecehan di Tempat Kerja

“Salah satu kekuatan kita dalam melawan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja adalah dengan bergabung dalam serikat pekerja. Dengan berserikat, kita bisa duduk dalam status yang sama dan memiliki kekuatan untuk mendorong Perusahaan agar menuangkan aturan terkait perlindungan perempuan di dalam PKB,” demikian disampaikan Izzah Inzamliyah dalam Pelatihan untuk Pelatih bagi Pemimpin dan Aktivis Perempuan dengan tema “Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang diselenggarakan Public Service International (PSI) di 5G Resort Cijeruk, Bogor, 29-31 Agustus 2022.

Ketika perlindungan terhadap perempuan diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama, lanjut Izzah, diharapkan akan meminimalisir kekerasan berbasis gender. Pada gilirannya, hal ini akan mengubah cara berfikir para pekerja dan pengusaha, bahwa semua orang memiliki hak atas dunia yang bebas dari kekerasan dan pelecehan.

Bicara tentang kekerasan dan pelecehan, perempuan adalah objek yang paling rentan terhadap kekerasan dalam hubungan kerja. Perempuan dianggap makhluk yang lemah, tidak bisa melawan, dan merasa tergantung terhadap atasan atau laki laki.

“Ketakutan dan kelemahan perempuan itulah yang menjadi penyebab seringnya terjadi kekerasan dalam hubungan kerja. Karenanya, tepat sekali jika buruh perempuan harus terlibat aktif di dalam serikat pekerja. Dengan berserikat, pekerja memiliki kekuatan untuk melawan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja,” tegas Izzah di hadapan 21 orang pekerja perempuan yang merupakan peserta pelatihan yang berasal dari SP PLN, SP PPIP, SP PJB, SP EE, dan SP ICON.

Indah Budiarti selaku PSI Communications and Project Coordinator menambahkan, pelatihan ini juga mengenalkan bagaimana mengunakan ILO Toolkit Konvensi ILO 190. Toolkit ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh kantor IndustriAll proyek Indonesia sehingga memudahkan peserta dan nantinya serikat pekerja dalam merancang aktifitasnya sendiri.

“PSI secara global bersama serikat pekerja global unions lainnya mendorong pada ratifikasi konvensi ini,” tegas Indah.

Pihaknya berharap, melalui training yang diselenggarakan akan mendorong pada kampanye lokal dan nasional, melalui rencana aksi yang diskusikan bersama diharapkan para peserta bersama serikat pekerjanya mengambil langkah untuk mendukung kampanye ratifikasi Konvensi 190 di Indonesia.

Masih banyak yang belum memahami arti sesungguhnya dari kekerasan berbasis gender. Sehingga peristiwa ini seringkali ditolerir. Disampaikan, kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang ditujukan terhadap jenis kelamin tertentu. Terjadi karena adanya keyakinan sosial/budaya/agama yang dilekatkan terhadap jenis kelamin tertentu yang mengakibatkan kekerasan atau berakibat pada perlakuan yang tidak proporsional.

Setidaknya ada empat hal kunci terkait kekerasan berbasis gender. Meliputi: (a) adanya ancaman; (b) tindakan dalam bentuk fisik verbal, sosial, serta ekonomi membahayakan dan merugikan atau ada kemungkinan merugikan; (c) di luar kehendak seseorang; dan (d) berdasarkan konstruksi sosial tentang “perempuan” dan “laki- laki”.

“Diam tidak sama dengan setuju. Harus dilihat apakah ada relasi kuasa antara pelaku dan korban. Ketika yang melakukan memiliki kuasa, korban cenderung takut untuk bersuara,” ujarnya.

Persoalan relasi inilah yang juga menjadi akar masalah kekerasan berbasis gender. Keyakinan sosial/budaya patriartki yang menganggap perempuan berada di posisi tidak dianggap penting, kuasa ada pada laki-laki (relasi kuasa), bukan pengambil keputusan, pelengkap, khusus pada peran domestik dan seputar reproduksi saja, ketika masuk ke ruang publik/dunia kerja dianggap pencari nafkah tambahan, dsb.

Adopsi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) No. 190 dan Rekomendasi No. 206 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja membawa harapan baru bagi kita. Bisa dikatakan, lahirnya konvensi dan rekomendasi ini merupakan kemenangan bagi serikat pekerja dan gerakan buruh. Adopsi dari kedua instrumen ini merupakan titik kulminasi dari kampanye dan lobi selama bertahun-tahun yang dilakukan oleh serikat pekerja, dan khususnya para pemimpin serikat pekerja perempuan, yang dibangun di atas narasi dan pengalaman tentang diskriminasi dari perempuan di seluruh dunia.

Konvensi ini merupakan instrumen untuk mengafirmasi bahwa semua orang memiliki hak atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan. Konvensi ini juga memberikan definisi yang pertama kali disetujui secara internasional tentang kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, termasuk kekerasan berbasis gender, yang dipahami sebagai “berbagai perilaku dan prakti yang tidak bisa diterima” yang “bertujuan untuk, berakibat pada, atau kemungkinan besar akan berakibat pada luka atau kerugian fisik, psikologis, seksual atau ekonomi”. Definisi ini melindungi semua orang di dunia kerja, termasuk pekerja magang, dan orang-orang yang menjalankan tugas atau wewenang sebagai pemberi kerja, dan mencakup sektor publik maupun swasta, ekonomi informal maupun formal, dan wilayah perkotaan maupun pedesaan.

Sebagai serikat pekerja, kita memiliki peran penting dalam memastikan bahwa Konvensi dan Rekomendasi ini tidak hanya berada di atas kertas tetapi mengubahnya menjadi tindakan. Di tingkat lokal maupun global, serikat pekerja mendorong ratifikasi dan implementasi efektif Konvensi dan Rekomendasi tersebut sehingga standar yang berada di dalamnya terintegrasi ke dalam perundang-undangan nasional.

#RatifikasiKonvensiILO190

Serikat Pekerja Sektor Ketenagalistrikan dan Air Memulai Proyek untuk Memajukan Hak-Hak Pekerja

PSI/SASK menyelenggarakan pertemuan perencanaan dan workshop start-up dengan Serikat peserta proyek di Indonesia, pada tanggal 3 – 4 Agustus 2022 yang dihadiri serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan dan air Jakarta. Serikat pekerja sektor ketenagalistrikan yang hadir adalah Serikat Pekerja PLN (SP PLN), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), Serikat Pekerja Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB), Serikat Pekerja Elektronik Elektrik (SP EE), Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) dan Serikat Pekerja PDAM Jakarta (SP PDAM Jakarta).

Dalam pertemuan tersebut, SASK Regional Coordinator, Farizan Fajari menjelaskan proyek kerjasama antara PSI dan SASK ini bertujuan untuk memajukan hak-hak serikat pekerja. SASK merupakan singkatan dari Trade Union Solidarity Centre of Finland (SASK). Ini adalah serikat pekerja pekerja solidaritas yang ada di Finlandia.

“SASK berdiri tahun 1986. Salah satu isu yang kemudian melahirkan SASK adalah perjuangan apartheid di Afrika. Adapun partners SASK adalah serikat pekerja di negara berkembang: Afrika, Amerika Latin, Asia Tengah, dan Asia Tenggara,” kata Farizan.

Lebih lanjut dia menjelaskan, strategi SASK adalah meningkatkan decent work dan living wage. SASK juga menambahkan fokus perjuangan, seperti gender equality, just transition, dan digitalisasi. Dalam hal ini, PSI dan serikat pekerja sektor publik di Indonesia merupakan salah satu contoh, bagaimana serikat pekerja ikut berperan dalam memajukan isu just transition.

Farizan juga mengungkapkan keinginannya untuk menyambungkan kawan-kawan di Indonesia dengan serikat pekerja di Finlandia. Di sana serikat pekerja sudah maju. Dengan adanya pertemuan antara serikat pekerja di Finlandia dan Indonesia, diharapkan pekerja di Indonesia bisa belajar dari gerakan serikat pekerja di Finlandia.

Pohon Masalah

Dalam pertemuan ini, Indah Budiarti, PSI SEA Communications & Project Coordinator menjelaskan beberapa persoalan perburuhan yang terjadi, baik di Indonesia maupun di Filipina.

“Ada 4 pohon masalah yang ditemukan. Pertama, kapasitas internal serikat pekerja yang lemah. Kedua, lingkungan kerja yang buruk. Ketiga, keanggotaan serikat pekerja yang rendah. Dan keempat, kesadaran tentang kesetaraan dan perbedaan gender,” kata Indah.

Menurutnya, ada beberapa sebab mengapa kapasitas internal serikat pekerja lemah. Di antaranya adalah kapasitias pengurus serikat pekerja yang tidak kuat. Pemimpinnya kurang pengalaman atau kurang mendapatkan pelatihan. Sehingga serikat pekerja terfokus di pimpinan pusat. Sementara itu, di tingkat cabang dan tempat kerja tidak kuat. Akibatnya, proses kaderisasi tidak berjalan dengan baik.

“Berikutnya adalah tentang keterampilan membuat PKB yang masih rendah. Di beberapa perusahaan, PKB memang sudah ada. Tetapi kualitasnya tidak baik. Hal ini terjadi karena kemampuan untuk menegosiasikan PKB masih kurang memadai,” kata Indah Budiarti.

Terkait dengan lingkungan kerja yang buruk, ini bisa kita lihat dengan lahirnya omnibus law UU Cipta Kerja. Dengan lahirnya regulasi yang baru ini, penggunaan buruh outsourcing dan kontrak semakin merajalela.

Di Filipina, ada kebijakan anti terror. Di mana kebijakan ini menggangu aktivitas individu serikat pekerja. Karena aktivis buruh yang dianggap menganggu keamanan, bisa ditahan tanpa ada surat penahanan.

Berikutnya adalah muncul precarious work. Seperti buruh kontrak, outsourcing, harian. Ada banyak buruh yang tidak memiliki jaminan sosial. Mudah di PHK, kontrak kerja yang bebas. Hal ini membuat keamanan pekerjaan terganggu.

Permasalahan ketiga adalah keanggotaan serikat pekerja yang rendah. Banyak serikat pekerja tidak mampu meningkatkan jumlah anggota. Faktor internal, bisa jadi karena kurangnya organizer serikat. Sedangkan faktor eksternal, adanya union busting yang mempersulit serikat pekerja dalam mengorganizing. Pemberangusan serikat pekerja mempersulit langkah dan gerakan serikat. Kondisi ini juga disumbang dari rendahnya kesadaran berserikat di kalangan pekerja.

Ian Mariano, Sub-regional Secretary PSI Asia Tenggara juga hadir dalam pertemuan hari ke dua, dia menjelaskan persoalan kritis yang terjadi di Filipina, dengan maraknya tindakan pemerintah melakukan red tagging.

“Di masyarakat, khususnya di Filipina, masih ada yang menganggap mereka yang aktif di serikat ditandai (red tagging). Baik sebagai komunis atau teroris. Itu yang membuat banyak pekerja tidak tertarik dengan serikat,” katanya.

Masih banyak serikat belum mencapai keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan. Persoalan ini muncul karena ada banyak hambatan. Mulai dari persoalan kesempatan yang diberikan kepada perempuan. Termasuk peran ganda pekerja perempuan juga mempersulit mereka dalam berinteraksi atau aktif di dalam kegiatan serikat.

Setelah mencermati pohon masalah yang dijabarkan di atas, berikutnya Indah Budiarti selaku PSI Communications and Project Coordinator menjelaskan, bahwa projek ini akan berlangsung dari tahun 2022 sampai 2025.

Adapun hasil yang diharapkan, sampai dengan tahun 2025, serikat layanan publik menjadi serikat yang kuat dan mampu berhasil melindungi dan memajukan hak-hak serikat pekerja di Indonesia dan Filipina.

“Kemudian, dampak yang diharapkan, pada tahun 2030, serikat pekerja layanan publik di Indonesia dan Filipina bisa menjalankan hak politik, ekonomi, dan sosial sepenuhnya,” ujarnya.

Setidaknya ada 4 hal yang diharapkan:

Pertama, pengetahuan dan sumber daya yang digunakan untuk meningkatkan kapasitas serikat pekerja untuk bertindak, terlibat, dan mengambil tindakan atas persoalan hak-hak serikat pekerja.

Kedua, sampai dengan 2025, legislatif, eksekutif, dan influencer kunci mendukung dan menyetujui tindakan yang diajukan yang mendorong dan memajukan hak-hak serikat pekerja.

Ketiga, pada tahun 2025, keanggotaan serikat sektor layanan publik akan meningkat dan terkonsolidasi secara signifikan.

Sedangkan hasil keempat, pada tahun 2025, pemimpin perempuan yang berdaya mampu mengampil peran utama dalam memajukan hak-hak serikat pekerja dan mendorong tempat kerja yang bebas dari kekerasan.

Samsol, bersama kita kuat!

Keberadaan Perusahaan Listrik Swasta Sebabkan Harga Listrik Mahal

Keberadaan IPP (perusahaan listrik swasta) justru membuat harga listrik semakin mahal. Sebagai perbandingan, biaya produksi PLN untuk PLTU adalah sebesar Rp 653 per kWh. Sedangkan biaya produksi IPP sebesar Rp 1.015 kWh. Data ini mengkonfirmasi, bahwa keberadaan pihak swasta justru merusak harga listrik. Membuat tarif semakin mahal, karena oritenstasi IPP adalah mencari keuntungan.

Kesimpulannya, kalau masyarakat ingin mendapatkan harga listrik yang murah, solusinya hanya satu. Ketenagalistrikan harus dikuasai oleh negara. Tidak ada lagi IPP yang justru menggerogoti keuangan PLN, akibat PLN berkewajiban membeli setidaknya 70% dari listrik yang mereka hasilkan. Demikian diungkap dalam PCM Meeting 2022: Review dan Planning Serikat Pekerja Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia yang diselenggarakan di Bogor, 18-19 April 2022.

Dalam kegiatan yang diikuti 5 serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan, SP PLN Persero, Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP), SP PJB, SPEE-FSPMI, dan SERBUK Indonesia; bertujuan untuk melakukan review dan update situasi terkini di sektor ketenagalistrikan dan ketenagakerjaan di Indonesia. Termasuk langkah dan strategi aksi serikat pekerja dalam menghadapi isu-isu terkini sektor ketenagalistrikan dan ketenagakerjaan, serta memperkuat posisi dan jaringan serikat pekerja.

Ketika mengupdate situasi umum dan diskusi ketenagalistrikan di Indonesia, Ketua Umum SP PLN M. Muhammad Abrar Ali, Ketua Umum SP PLN Persero mengatakan, privatisasi PLN memang tidak terjadi. Tetapi yang terjadi adalah privatisasi di sektor ketenagalistrikan.

“Apa yang diinginkan di UU 20/2002, akhirnya bisa terealisasi dalam format lain dalam UU 30/2009. Dan meskipun hal itu sudah diuji dalam Mahkamah Konstitusi, tetapi dihidupkan kembali di dalam UU Cipta Kerja,” tegasnya. Di sini terlihat, ada keinginan yang kuat untuk menghilangkan penguasaan negara agar listrik bisa diambil alih oleh pihak swasta. Hal ini sekaligus membuktikan, jika ketenagalistrikan sangat strategis dan sangat menjanjikan.

Dalam hal ini, MK sudah menyatakan bahwa penguasaan oleh negara meliputi kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Termasuk di dalamnya adalah digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran warga negara. Jika hanya dinikmati oleh segelintir orang, maka itu sama artinya listrik tidak dikuasai oleh negara.

Ketua Umum SP PJB Agus Wibawa menyampaikan, bergerak di sektor pembangkitan, seharusnya PJB memiliki bisnis yang gemuk. Tetapi tidak mendapatkan yang selayaknya. Bahkan yang terjadi, PJB disuruh menjalankan bisnis di luar pembangkitan, sedangkan mereka yang bukan dari pembangkitan, justru ramai-ramai masuk ke pembangkitan.

Akhirnya ada anggapan di beberapa pekerja, sebaiknya pindah ke IPP saja. Karena di sana kita akan digaji minimal 2 kali lipat. Itu juga yang kemudian menjadikan salah satu penyebab sulitnya mencari kader di dalam serikat pekerja. Mereka sudah berada di zona nyaman dan ada tawaran yang lebih nyaman,” kata Agus.

Dia berharap, serikat pekerja di PLN Group bisa menjadikan ini untuk mendorong terwujudnya ketahanan energi yang dikendalikan penuh oleh PLN. Karena saat ini lebih banyak IPP, sehingga kontrolnya menjadi tidak mudah.

Sekretaris Jenderal PP IP Andi Wijaya menegaskan, bicara tentang listrik, sejatinya berbicara tentang ketahanan energi dan kedaulatan. Kasus Nias, misalnya, mengkonfirmasi bagaimana negara tidak ada harganya di hadapan IPP ketika negara tidak menguasai listrik. Hal ini juga bisa kita lihat seperti yang terjadi dalam HET dalam minyak goreng. Sia-sia saja pengaturan HET, kalau barangnya tidak ada.

“Kemudian, bagaimana pentingnya listrik dalam strategi pertahanan negara? Melihat perang Rusia Vs Ukraina, yang disasar pertama adalah pembangkit listrik. Ketika tidak ada listrik, maka perekonomian akan lumpuh,” kanda Andy.

Sementara itu, Slamet Riyadi dari Sekretaris Umum SPEE-FSPMI dan Hepy Nur Widiamoko dari SERBUK Indonesia menyoroti Tenaga Ahli Daya (TAD) yang bekerja di sektor ketenagalistrikan.

Disampaikan, saat ini kesejahteraan mereka semakin berkurang. Upah mereka bukan hanya tidak naik. Dengan adanya Perdir 09, struktur upah mereka pun berubah. Belum lagi akibat berlakukan PP 36, yang menyebabkan secara riil tidak ada kenaikan upah.

Sementara itu, kebijakan PLN, sampai sekarang zero recruitment, termasuk untuk TAD. Banyak pekerja yang pensiun tidak bisa diganti baru. Dampaknya, pekerjaan bertambah banyak, karena pekerja harus mengerjakan pekerjaan buruh yang sudah pensiun. Belum lagi, jika ada pekerja yang kritis, senjata paling ampuh dari vendor agar TAD mengundurkan diri adalah mutasi ke daerah yang jauh.

“Dalam kondisi seperti ini, jangankan memikirkan soal privatisasi, memikirkan masalahnya sendiri saja sudah berat. Karena itu dibutuhkan kerja keras dari kita semua untuk memberikan pemahaman kepada TAD, bahwa permasalahan privatisasi adalah permasalahan mereka juga,” tegasnya.

Training Perjanjian Kerja Bersama bagi pemimpin serikat pekerja

Bertempat di Hotel Santika Bogor dari tanggal 29-31 Maret 2021, 29 orang peserta mewakili SP PLN Persero, SP PJB, PP Indonesia Power, Federasi Serbuk dan SPEE-FSPMI mengikuti kegiatan ini.

Trainining ini diselenggarakan untuk mempersiapkan serikat pekerja dan membantu mereka dalam mempromosikan pemahaman komprehensif tentang PKB. Dua narasumber dari Asosiasi Jurudidik Pekerja (AJP), bung Chandra Mahlan dan bung Sulistiyono membantu kantor proyek memfasilitasi kegiatan training ini.

Ada 5 tujuan yang ingin kita capai dalam training ini yaitu:

  • Meningkatkan pemahaman peserta tentang proses perundingan bersama dan dinamika meja perundingan dan mengidentifikasi strategi dan keterampilan untuk meningkatkan peluang mereka tidak hanya untuk sukses di meja perundingan, tetapi juga untuk hubungan manajemen tenaga kerja yang produktif jangka panjang.
  • Memahami hukum dan peraturan yang terkait dengan peningkatan kondisi kerja dan bagaimana mempertahankan kepentingan pekerja
  • Memahami sistematika PKB dan cara menulis serta menyiapkan isinya
  • Mendapatkan pengalaman negosiasi dan dinamika meja perundingan melalui permainan peran
  • Memahami sengketa PKB yang mungkin akan muncul

Bagi serikat pekerja, perjanjian kerja bersama (PKB) adalah bentuk kekuatan kolektif pekerja untuk melindungi kepentingan mereka dengan menyimbangkan kekuatan pekerja dengan pengusahanya. PKB menyediakan peluang dan cara bagi pekerja untuk membela, melindungi dan meningkatkan standar kehidupan mereka di tempat kerjanya. Dalam proses perundingan, secara implisit PKB membutuhkan pengakuan dari kedua belah pihak, tetapi seringkali, pengusaha mencegah serikat pekerja untuk menggunakan hak kolektif ini atau undang-undang dan peraturan memiliki kriteria untuk serikat pekerja dalam mewakili pekerja dalam melaksanakan hak berunding ini, terutama ketika terdapat banyak serikat pekerja dalam satu perusahaan.

PKB bisa menjadi indikator utama kesuksesan serikat pekerja di tempat kerjanya. Oleh karena, melalui pelatihan ini dan nantinya akan dilanjutkan di masing-masing serikat pekerja peserta, akan tumbuh PKB-PKB baru atau perbaikan nilai kualitas isi PKB mereka saat ini.

———————————–

Presentasi (Bisa digunakan dengan bebas untuk kepentingan pendidikan, tetapi kalau mau memperbanyak/menggunakan bahan presentasi ini, mohon ijin disampaikan kepada pembuat presentasi ini)

Pendidikan serikat pekerja membekali kekuatan pengetahuan dan ketrampilan

Hari ini, 2 Februari 2021 bertempat di Lampung Selatan, teman-teman pengurus dan anggota baru PUK SPEE-FSPMI PT CDP, outsourcing Biller PT PLN Persero, mengadakan pertemuan dan pelatihan dasar tentang serikat pekerja.

Tanggal 5 Januari 2021 lalu PUK ini dibentuk dan dilantik kepengurusan baru. Maka program kegiatan hari ini adalah kegiatan tindak lanjut untuk menguatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka dalam berserikat.

Pengetahuan dan ketrampilan yang baik bagi pengurus akan menguatkan kemampuan mereka dalam menjalankan peran dan fungsi serikat pekerja di tempat kerjanya sehingga serikat pekerja dapat dijalankan secara efektif dan kuat untuk melindungi dan meningkatkan hak para pekerja.

Kegiatan dasar ini menjadi pondasi edukasi penting bagi SPEE-FSPMI khususnya untuk menguatkan PUK baru mereka

Pendidikan advokasi, menguatkan perlindungan pekerja

SPEE-FSPMI DPC Lampung tanggal 17 Januari 2021 di Liwa mengadakan pelatihan advokasi dan bipartit bagi teman-teman pengurus PUK Multi Jaya Adhiaraya. Kegiatan ini bertujuan untuk peningkatan kemampuan pengurus dalam melakukan advokasi kasus di tempat kerja dan penyelesaiannya permasalahan hubungan industrial secara bipartit.

Pelatihan ini menjadi kunci dasar bagi pengurus tingkat unit kerja agar organisasi bisa bertindak cepat dalam memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap anggota. Pengurus di tingkat unit memilki kemampuan merata dan mandiri dalam penyelesaian kasusnya sehingga dapat ditanggapi dengan cepat dan benar. 

Pelatihan ini berisi bagaimana pengurus harus menguasai pelaksanaan peraturan ketenagakerjaan dan implementasinya dalam setiap kebijakan Perusahaan, pelaksana tugas harian organisasi dalam menerima keluhan dan pengaduan anggota dan menindaklanjutinya, memberikan saran-saran dan pendapat hukum/legal opinion. Selain itu yang terpenting dalam advokasi serikat pekerja adalah bagaimana pengurus mampu melakukan edukasi kembali ke para anggota/pekerja tentang hak-hak pekerja dan bagaimana melindungi hak tersebut dan pembelaan bilamana hak tersebut dilanggar.

 

Menguatkan serikat di tempat kerja: Penambahan anggota

Hari ini bertempat di Bogor DPP SPEE-FSPMI melakukan pembentukan PUK PT Haleyora Powerindo (HPI) Bogor. Sebanyak 23 orang tercatat menjadi anggota di PUK ini. Merekruit pekerja yang belum berserikat adalah strategi peningkatan kekuatan serikat (menaikan densitas keanggotaan). Semakin banyak anggota, semakin kuat serikat pekerja, semakin kuat dan terlindungi pekerja/buruh di tempat kerjanya.

Kegiatan ini tidak hanya sekedar merekruit tetapi bagaimana juga mendorong dan mengajak mereka untuk menjadi anggota yang terlibat secara aktif dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh serikat buruh/serikat pekerjanya.

Tentunya tindakan ini akan membangun dan menjadikan serikat buruh/serikat pekerja yang kuat dan kokoh, yang berarti bahwa memungkinkan mereka untuk memiliki posisi tawar yang tinggi dalam memihak kepentingan buruh/pekerja atas pengusaha dan pemerintah di tempat kerjanya.


#Samsol #BanggaBerserikat #BerserikatKuat