Andy Wijaya selaku perwakilan Public Services Internasional (PSI) mempertanyakan, mengapa harga energi yang terjangkau tidak menjadi isu strategis dalam pembahasan Strategic Environmental and Social Assessment (SESA) Preliminary Scoping Report Workshop yang diselenggarakan di Hotel Novotel Bogor pada tanggal 26-27 Januari 2023.
Pernyataan Andy merujuk pada paparan Masyita Crystallin dari Kementerian Keuangan yang menekankan Energy Transition Mechanism pada 2 hal yaitu just transition dan affordable, “Kenapa harga listrik yang terjangkau tidak menjadi isu pada sesi ini?” Tanya Andy Wijaya.
Lebih lanjut, Andy yang juga Sekretaris Jenderal Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP) ini menyampaikan, harga energi baru terbarukan sekarang ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga energi dari fosil, terutama batubara.
Mengingat eneri baru terbarukan juga akan dijual kepada masyarakat, tentu kita juga harus mengkaji dampak buruknya kepada masyarakat. Karena harga listrik yang mahal, akan membebani masyarakat.
Selain itu, lanjut Andy, Public Services Internasional (PSI) pernah melakukan beberapa study di Inggris, Afrika Selatan, dan Asia Tenggara.
“Study tersebut menyimpulkan, bahwa kepemilikan pembangkitan yang bukan oleh negara atau dimiliki oleh pihak swasta itu biasanya akan berdampak pada harga listrik yang semakin mahal,” ujar Andy.
Untuk itu, di tengah kondisi ketenagalistrikan Indonesia hari ini yang sedang over suplay, maka kedua hal tersebut harus menjadi perhatian serius oleh pemerintah. Karena bagaimana pun, persoalan energi terbarukan dan privatisiasi di sektor ketenagalistrikan akan berdampak pada mahalnya harga listrik.
Union busting gaya baru. Barangkali ini adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi dengan perundingan addendum Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di PT Indonesia Power. Jika dulu union busting dilakukan dengan cara “menghilangkan” pengurus serikat pekerja. Tetapi yang sekarang terjadi adalah “menghilangkan” kewenangan serikat pekerja.
Normalnya, PKB di PT Indonesia Power akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2023. Tetapi baru pada tanggal 11 November 2022, perusahaan meminta untuk dilakukan perundingan addendum PKB. Atas permintaan tersebut, serikat pekerja memberikan balasan pada tanggal 15 November. Intinya, serikat pekerja setuju dilakukan perundingan. Baru kemudian tanggal 29 November dilakukan pertukaran SK juru runding, dan tanggal 30 November dilakukan pertukaran draft PKB.
Perundingan sendiri dijadwalkan akan diselenggarakan di Semarang pada tanggal 1-2 Desember 2022. Kemudian dilanjutkan di Bogor, tanggal 5-7 Desember 2022.
Mengapa harus ada addendum? Ini berawal dari kebijakan PT PLN (Persero) yang akan menugaskaryakan pegawainya ke Sub Holding. Di mana PT PLN (Persero) menegaskan, konpensasi (remunerasi dan benefit) pegawai yang ditugaskaryakan ke Sub Holding tidak akan lebih rendah dari kompensasi yang dibayarkan kepada pegawai PT PLN (Persero) yang ditugaskan ke Holding. Untuk memastikan hal itu, Sub Holding diminta untuk meratifikasi PKB PT PLN untuk menjamin kesetaraan hak-hak kepegawaian antara pegawai PT PLN (Persero) yang ditugaskaryakan ke Sub Holding dengan pegawai PT PLN (Persero) yang bertugas di Holding.
Bagi PPIP, kebijakan untuk meratifikasi PKB PT PLN (Persero) dinilai sebagai pemaksaan aturan dari PLN. Padahal, meskipun satu group, antara PT PLN dan PT Indonesia Power terdapat aturan yang berbeda. Sayangnya, ketika menetapkan aturan baru, PT PLN tidak mempertimbangkan sudah sejauh mana benefit yang didapatkan anak perusahaan. Jika kemudian PT Indonesia Power diminta mengikuti ketentuan PT PLN, maka bisa dipastikan beberapa kesejahteraan pegawai PT Indonesia Power akan turun.
Seharusnya Perusahaan Induk terlebih dahulu membuat pemetaan. Di bagian mana saja yang unggul, itulah yang dijadikan base line perubahan system. Jika harus mengikuti standard yang di tetapkan oleh Induk Perusahaan, maka banyak yang turun. Terutama di PT Indonesia Power dan PT PJB.
Dalam berunding, kedua belah pihak sifatnya setara. Tidak boleh dipaksakan. Dalam hal ini, PP IP memiliki hak untuk tidak setuju jika benefit yang selama ini diterima akan diturunkan. Masalahnya, Induk Perusahaan memiliki daya tekan. Mereka adalah pemegang persetujuan atas Rencana Kerja Anggaran (RKA) di anak perusahaan. Seperti biaya kepegawaian, biaya operasional, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, Induk Perusahaan mempunyai hak untuk mengurangi biaya kepegawaian. Dan jika itu terjadi, PT Indonesia Power sebagai anak perusahaan tidak bisa berbuat apa-apa. Artinya, ketentuan yang diatur di dalam PKB PT Indonesia Power tidak bisa dijalankan, karena anggarannya tidak disetujui oleh Induk Perusahaan.
Jika itu terjadi, apa namanya jika bukan pemaksaan? Dan pemaksaan sepihak untuk melakukan ratifikasi itulah yang patut diduga sebagai union busting gaya baru. Serikatnya masih ada, tetapi tidak bisa lagi memutuskan syarat kerja. Belum lagi adanya potensi pelanggaran dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu syarat sah perjanjian, khususnya dalam syarat Kesepakatan Para Pihak, Dimana kesepakatan para pihak tersebut harus lahir dari kehendak para pihak tanpa ada unsur kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Jika hal seperti ini terjadi di PLN Group, bukan tidak mungkin akan diterapkan di group-group yang lain.
Semangat dalam perundingan PKB mustinya adalah perbaikan, “More or Equal”. Tetapi kali ini dibayangi dengan penurunan. Perundingan kali ini dilakukan untuk mengakomodir Perdir 30. Padahal di dalam Perdir 30 tersebut terdapat sejumlah hal yang kualitasnya lebih rendah jika dibandingkan dengan apa yang telah di dapat oleh PT Indonesia Power.
Pegawai PT Indonesia Power mendukung penuh tim perunding serikat pekerja. Mereka tidak mau benefit yang selama ini didapatkan akan diturunkan. Dukungan itu dilakukan dengan membuat status serentak di media sosial dengan poster bertuliskan “We Support PPIP in Collective Bargaining Agreement! More or Equal.” Dengan tagar #WeStandWithPPIP.
Dukungan itu menjadi bukti, perundingan ini dikawal oleh ribuan anggota PPIP yang tersebar di berbagai daerah. Dan tidak hanya itu, Serikat Pekerja dan Pekerja yang lain pun juga mencermati apa yang terjadi di PLN Group. Mereka tidak ingin apa yang patut diduga sebagai “union busting gaya baru” ini sama juga terjadi tempat yang lain.
English version, below!
PPIP Suspects of New Style of Union Busting in the 2022-2023 CBA Addendum Negotiation
A new version of union busting. It only right to name the situation as a new version or new style of union busting. The situation in question is the addendum of Collective Bargaining Agreement (CBA) negotiation in PT Indonesia Power. If union busting was done by “removing” union leaders, now, by ‘removing’ the role and authority of union.
Normally, CBA in PT Indonesia Power will end on December 2023. However, on November11, 2022, the company requested an addendum to the CBA to be negotiated. The company sent a letter to the union for the request. Upon the request, the union replied on November 15, 2022 that the union agreed to prepare a revised CBA and appoint a negotiator. On November 30, the union and the company submitted their version of CBA revised draft.
The negotiation is scheduled to be held in Semarang on 1 to 2 December 2022. Then, it was continued in Bogor on 5 – 7 November .
Why addendum? It was started when PT PLN (Persero) issued a new policy of assigning their workers to work in their sub-holding companies. For this, PT PLN stated that the compensation (remuneration and benefits) for the workers who are assigned to the subholdings will not be lower than the compensation for workers who are assigned to the holding companies in order to ensure the implementation, sub holding companies must ratify PT PLN’s CBA. Hopefully, this will guarantee equality of workers’ rights between PT PLN (Persero) workers who are assigned to sub holding companies with the ones who are assigned to holding companies.
For PPIP, the requirement to ratify PT PLN’s CBA is seen as PT PLN enforces some rules to PPIP. Whereas, although under the same group, PT PLN and PT PPIP has its own distinct regulation. On the other hand, PT PLN does not consider the benefits that are already applicable in its subsidiaries, such as PT Indonesia Power. If PT Indonesia Power, then, follows the new policy imposed by PT PLN, there will be benefit loss or decrease in PT Indonesia Power.
What PT PLN should have done is to do an initial mapping. From the mapping, PT PLN would find out which benefit is higher then it would be the base line for systemic change. To follow the standards set by the mother company, there will be decrease in benefit, as the benefit in the subsidiaries are better than in the mother company, especially in PT Indonesia Power and PT PJB.
To hold a negotiation, both parties must be on an equal position. A negotiation must not be enforced. PPIP has the right to diasagree to the new benefit that would be lower than the benefit they received before the new policy. The poblem is mother company has a pressure power. They holds the veto over its subsidiaries Budget Workplan (Rencana Kerja Anggaran/RKA). The Budget Plan includes payrolls, operational cost, and many other item budgets. PT PLN, the mother company, holds the right to cut the payroll item in the Budget plan of its subsidiaries. If that should happen, PT Indonesia Power as a subsidiary of PT PLN will not be able to do anything. It means, whatever is agreed in the CBA of PT Indonesia Power will not be implemented.
If that happens, is it a coercion? A coercion to ratify PT PLN’s CBA is a union busting, a new version. The union still exists, but is no longer able to negotiate the requirement. There is also a potential violation of article 1320 of the Civil Code on the conditions that are required for the validity of agreements, specifically on the condition of the parties in agreement. There must be consent of the individuals who are bound thereby, meaning no coercion nor fraud; capacity to conclude an agreement, a specific subject, and an admissible cause. Should this happen in PLN Group, other companies will follow.
The spirit of a CBA negotiation is improvement, to be “More or Equal”. However, this time, it leads to a deterioration. The negotiation is done to accomodate the Director Regulation No. 30. Although in that regulation, there are lower qualities of benefits compared to what is applicable in PT Indonesia Power currently.
PT Indonesia Power workers support the union’s negotiation team. They do not want to lose the benefits that they have been having. The support is expressed in a social media simultaneous status with a poster of “We Support PPIP in Collective Bargaining Agreement! More or Equal,” and a hashtag #WeStandWithPPIP.
The support proves that this negotiation will be monitored by thousands of PPIP members all over Indonesia. In addition to that, union and other workers are scrutinizing what is happening in PT PLN Group. They do not want what is suspected as a new style of union busting to happen in other workplace, in or outside PLN Group.
“Kalau baru sanggup makan tempe, jangan dipaksa makan daging. Jangan sok-sokan ikut Barat.” Istilah ini disampaikan Ekonom INDEF Abra Talattov dalam diskusi bertajuk Seri Pembelajaran Serikat Pekerja: ‘Pembentukan Sub-Holding PLN Dari Kacamata Konstitusi dan Ekonomi’ yang diselenggarakan secara daring, Selasa (18/10).
Menurut Abra, negara-negara di dunia memang memiliki komitmen kuat dalam mewujudkan transisi energi menuju green energy. Tetapi masing-masing negara juga melihat kepentingan nasional. Khususnya bagaimana transisi energi harus bisa memenuhi tiga aspek: security, affordability, dan low emission.
Di mana transisi energy dilakukan dengan melihat kesiapan dan kemampuan masing-masing negara. Termasuk dari sisi keuangan negara, keuangan masyarakat, dan BUMN. “Tidak dipaksakan kita latah mengikuti agenda global. Padahal negara maju yang saat ini mengembar-gemborkan energi hijau juga menjilat ludah sendiri, dengan memanfaatkan energi berbasis fosil dalam jumlah besar,” tegasnya.
Transformasi holding dan sub-holding di PLN sudah menjadi keputusan pemerintah. Tugas kita sekarang adalah memastikan agar Geothermal Co dan New Energi Co tidak menyebabkan liberalisasi ketenagalistrikan. Karena, memang, ada dorongan untuk meningkat peran swasta yang lebih besar.
Abra menguraikan, bagaimana swasta diberi karpet merah untuk masuk di sektor ketenagalistrikan dengan dalih transisi energi. Salah satu strateginya adalah dengan pembentukan subholding. Menurutnya, memberikan insentif agar swasta membangun EBT tidak cukup. Karena listrik dari swasta, khususnya EBT, harus bisa terserap dan bersaing dengan listrik yang disuplay PLN. Dibutuhkan desain kebijakan agar swasta tertarik untuk masuk. Di sini terlihat jelas, ada kesadaran untuk mengundang swasta.
“Tetapi swasta pun tidak mau mengeluarkan investasi besar, tetapi tidak ada kepastian siapa yang akan membeli listrik mereka. Tidak ada kepastian penjualan kepada masyarakat. Kita tahu, PLN adalah BUMN ketenagalistrikan yang bisa mensuplay listrik sampai ke konsumen. Di sini ketemu jawabannya. Transformasi kelembagaan PLN tidak lepas dari konstelasi bagaimana bisa mendorong peran swasta lebih maksimal,” ujarnya.
Di sisi lain, potensi geotehermal Indonesia memang sangat besar, nomor 2 di dunia. Saat ini baru 2.132 MW yang sudah teroptimalkan, dari potensi 23,9 GW. Baru 8,9%. Inilah juga yang menjadi daya tarik swasta untuk bisa mengembangkan energi terbarukan sekaligus memanfaatkan potensi yang besar ini. Awalnya ada skenario dibentuk perusahaan baru, tetapi berhenti di tengah jalan. Dan sekarang menggunakan mekanisme holding dan sub-holding, termasuk geotermal co.
Di samping itu, potensi EBT yang lain juga sangat menjanjikan. Tenaga air, surya, angin, dan sebagainya. Di tengah potensi besar untuk dikembangkan, dari kapasitas pembangkit yang dimiliki PLN maupun kerjasama IPP yang setiap tahun bertambah, capacity faktornya relatif stagnan. Meskipun masih ada ruang untuk menambah pasokan lsitrik dengan meningkatkan capacity factor. Apalagi kalau ditambah pembangkit baru, termasuk EBT, maka over kapasitas akan semakin besar.
Ironisnya, meski EBT didorong akan tumbuh ambisius, tetapi kebutuhan untuk tetap menggunakan baturabara masih tinggi. Sampai dengan 2030, kebutuhan batubara diperkirakan mencapai 153 juta ton. Masih dominan. Tentu ini menunjukkan kita tidak serta merta menjalankan transisi energi tanpa melihat bukan hanya dari aspek lingkungan, tetapi juga dari sisi keekonomian yang masih sanggup kita jalani, Jangan juga memaksakan diri, yang diistilahkan Abra baru sanggup beli tempe sudah dipaksa makan daging.
Di sisi lain, subdisi dan konpensasi listrik masih besar. Tahun ini konpensasi listrik 41,0 T dan subdisi 59,6T. Tahun depan, subdisi listrik diperkirakan 72,3T. Ini belum termasuk konpensasi. Kesimpulannya, pembiayaan listrik tidak lepas dari supposrt atau dukungan dari rakyat melalui APBN. Jangan sampai pemerintah mengatakan ini uang nagara. APBN adalah pajak rakyat, uang rakyat,” ujar Abra.
Dengan kata lain, meski saat ini tarif listrik kita termasuk yang murah di ASEAN, hanya 1.445, tetapi itu berkat dukungan rakyat. Di Filipina yang menerapkan liberalisasi listrik sudah mencapai 2.616. Hal ini menunjukkan liberalisasi listrik membuat harga listrik semakin mahal dan memberatkan rakyat.
Bahwa liberalisasi listrik harus dihindari, hal ini juga ditegaskan oleh Praktisi Hukum M. Fardian Hadistianto. Liberalisasi listrik bertentangan dengan konstitusi.
Fardian menyampaikan, listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam hal ini, kita harus memaknai penguasaan oleh negara dalam kaca mata konstitusi. Merujuk pada ketentuan dalam pertimbangan hukum ptusan MK No 001-021-0211/PUU-I/2002, di sana disebutkan. penguasaan negara berada dalam 5 dimensi: kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan. dan pengawasan. Kelimanya bersifat kumulatif, satu kesatuan. Tidak boleh diterapkan hanya salah satunya.
“Kalau kita bicara bagaimana listrik bisa dinikmati rakyat Indonesia, ada beberapa tahapan yang harus dilewati. Dimulai dari tahapan pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan ke konsumen. Maka penguasaan negara harus dalam semua tahapan tersebut. Tidak bisa dimaknai hanya di tahapan retail saja, atau transmisi saja. Semuanya dalah satu paket,” ujarnya.
Kemudian dia menegaskan, “Karena pengejawantahan penguasaan negara mengamanatkan penyediaan ketenagalistrikan tidak boleh bersifat unbandling atau terpisah-pisah.”
Dengan demikian, pembentukan holding sub-holding PLN berpotensi kuat bertentangan dengan UUD 1945. Karena akan menyebabkan praktek unbundling dan hilangnya pengusahaan negara dalam usaha penyediaan ketenagalistrikan karena kepemilikan Geothermal Co dan New Energy Co tidak dimiliki secara langsung oleh PT PLN sebagai BUMN yang ditugaskan untuk menyelenggarakan usaha ketenagalistrikan.
Selain itu, ketergantungan dengan pembangkit listrik tenaga uap dan energi baru terbarukan dalam usaha penyediaan ketenagalistrikan yang jika diterapkan konsep holding sub-holding menyebabkan Geothermal Co dan New Energy Co merupakan perusahaan murni swasta dan lepas dari penguasaan PT PLN sebagai pengejawantanhan negara di sektor ketenagalistrikan.
Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PPIP) represented by its chairperson, Dwi Hantoro Sutomo, and the secretary, Andy Wijaya, and the Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa-Bali (SPPJB) represented by Agus Wibawa, the chairperson, and Ide Bagus Hapsara, the general secretary, gave a statement related to the launching of PLN (Persero)’s subholding formation on September 21, 2022
The news said that the Ministry of State-Owned Companies (BUMN) has officially established the Holding dor PLN (Persero)’s subholding. This corporate action resulted in the consolidation of PLN’s generation assets to be into two Subholding Generation Companies (Genco) i.e. PLN Indonesia Power (Genco 1) and PLN Nusantara Power (Genco 2).
This corporate act has caused the consolidation of PLN’s generation assets. PT PLN Indonesia Power which was known as Indonesia Power will manage 20.6 GW generation facilities. This subhodling will be the biggest electricity generation company in SouthEast Asia.
Previously, the President Director of PLN, Darmawan Prasodjo, said that the restructurization is a strategic step to adapt to future changes. Moreover, he added, the company’s target is 22.9 GW of generation facilities up to 2025.
To accelerate the transition to clean energy, PLN Indonesia Power as a generation subholding company will have subsidiaries. A subsidiary will focus on Geothermal (Geothermal Co) with capacity of 0.6 GW and a renewable energy generator, such as solar generator, wind, or hydro – generator (New Energy Co) with capacity of 3.8 GW).
In the video, the Union (Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali and Persatuan Pegawai PT Indonesia Power) responding the formation of PT PLN (Persero) Subholding stated the following:
First, the formation of Geothermal Co. and New Energy Co. each of which the subsidiary of PT PLN Indonesia Power and PT PLN Nusantara Power shows that the Sate no longer control the sectors of production which are important for the country. It is also inconstitutional by violating the Constitutional Court decision No. 111/PUU-XIII/2015 and No. 61/PUU-XVIII/2020.
Sectors of production which are important for the country and affect the life of the people shall be under the powers of the State.
Second, the formation of Geothermal Co. and Energy Co. is the a form of government’s authority abuse to PT PLN (Persero) under the pretext of energy transition.
Third, Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PPIP) and Serikat Pekerja PT. Pembangkitan Jawa Bali SP PJB have sent two letters to the majority shareholders i.e. PT PLN (Persero) President Director, to question the formation of Goethermal Co. and New Energy Co.. However, up to this date, there has not any good will at all and allegedly it is the violation of article 126 of Perseroan Law.
Fourth, asset transfer from PT PLN (Persero), a State-Owned Enterprise, to new entities whose share are now owned by the State (Geothermal Co. and New Energy Co.) can be considered as hidden privatization.
Based on the above points, the following is our statement:
We reject the establishement of PT PLN (persero) Subholding, especially the joint-subsidiaries, i.e. Geothermal Co and New Energy Co.. This is a form removal of State’s control over national electricty/energy sector.
We request PT PLN (Persero) to take over the role and resposibility directly in the transition process to new and renewable without having to transfer the assets to other business entities by creating subholding (the Geothermal Co. and Energy Co).
We request to the majority shareholder of PT Indonesia Power and PT Pembangkitan Jawa Bali to comply with and obey the article 26 of Law on Limited Company (Perseroan Terbatas) during the process of subholding formation of PT PLN (Persero)
PPIP Chairperson, Dwi Hantoro Sutomo: 0812-8643-9018 SPPJB Chairperson, Agus Wibawa: 0896-8750-0696 PPIP General Secretary Andy Wijaya: 0813-1115-1305 SPPJB General Secretary, Ide Bagus Hapsara: 0857-3102-0947
Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PPIP) dengan Ketua Dwi Hantoro Sutomo dan Sekretaris Andy Wijaya serta Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa-Bali (SPPJB) dengan Ketua Agus Wibawa dan Sekjen Ide Bagus Hapsara memberikan pernyataan sehubungan dengan launching pembentukan subholding PT. PLN (persero) pada tanggal 21 september 2022.
Diberitakan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meresmikan pembentukan Holding Subholding PT PLN (Persero). Aksi korporasi ini membuat seluruh aset pembangkitan PLN terkonsolidasi dalam dua Subholding Generation Company (Genco) yaitu PLN Indonesia Power (Genco 1) dan PLN Nusantara Power (Genco 2).
Aksi korporasi ini membuat seluruh aset pembangkitan PLN terkonsolidasi. PT PLN Indonesia Power yang sebelumnya dikenal lewat brand Indonesia Power akan mengelola pembangkit dengan kapasitas 20,6 GW. Subholding ini akan menjadi perusahaan pembangkit listrik berkapasitas terbesar di Asia Tenggara.
Sebelumnya, Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menyampaikan, restrukturisasi ini merupakan langkah strategis guna bisa beradaptasi dengan perubahan ke depan. Terlebih, imbuhnya, perusahaan memiliki target pengoperasian pembangkit hingga 22,9 GW pada 2025.
Untuk mempercepat transisi energi bersih, PLN Indonesia Power sebagai subholding pembangkitan bersama PLN Nusantara Power juga akan memiliki anak usaha bersama yang fokus pada pembangkit panas bumi (Geothermal Co) berkapasitas 0,6 GW dan pembangkit energi baru terbarukan, seperti tenaga surya, tenaga angin dan tenaga hidro (New Energy Co) berkapasitas 3,8 GW.
Berdasarkan video pernyataan sikap Serikat Pekerja PT. Pembangkitan Jawa Bali dan Persatuan Pegawai PT. Indonesia Power ketika menanggapi pembentukan subholding PT PLN (Persero), disampaikan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, pembentukan geothermal.co dan new energy.co yang merupakan anak perusahaan bersama PT. PLN Indonesia Power dan PT. PLN Nusantara Power adalah contoh nyata hilangnya penguasaan negara dan bentuk pelanggaran konstitusi yaitu melanggar putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 dan putusan MK No. 61/PUU-XVIII/2020.
Kedua, pembentukan geothermal.co dan new energy.co adalah bentuk penyelewengan tugas pemerintah kepada PT. PLN (persero) dalam pemenuhan transisi energi.
Ketiga, Persatuan Pegawai PT. Indonesia Power dan Serikat Pekerja PT. Pembangkitan Jawa Bali telah membuat surat sebanyak 2 kali kepada pemegang saham mayoritas dalam hal ini adalah dirut pt. Pln (persero) mempertanyakan pembentukan geothermal.co dan new energy.co dan sampai saat ini belum ada itikad baik sama sekali dan hal itu diduga pelanggaran terhadap pasal 126 uu perseroan terbatas.
Keempat, hibah aset-aset BUMN dalam hal ini PT. PLN (persero) kepada entitas baru yang sahamnya tidak dimiliki oleh negara (geothermal.co dan new energy.co) dan selanjutnya bila dijual, patut diduga sebagai bentuk baru privatisasi terselubung.
Berdasarkan poin-poin tersebut di atas, dengan ini kami menyatakan sikap sebagai berikut:
Menolak pembentukan subholding PT. PLN (Persero) bila di dalamnya masih terdapat struktur anak perusahaan bersama, yaitu geothermal.co dan new energy.co karena menyebabkan hilangnya penguasaan negara pada sektor ketenagalistrikan nasional.
Meminta PT. PLN (Persero) untuk mengambil peran dan tanggung jawab secara langsung pada transisi energi baru dan terbarukan tanpa mengalihkan kepada entitas di bawah subholding (geothermal.co dan new energy.co).
Meminta pemegang saham mayoritas PT. Indonesia Power dan PT. Pembangkitan Jawa Bali untuk tunduk dan patuh pada pasal 126 UU Perseroan Terbatas pada proses pembentukan subholding PT. PLN (Persero).
Terima Kasih
Ketua Umum PPIP, Dwi Hantoro Sutomo: 0812-8643-9018 Ketua Umum SPPJB, Agus Wibawa: 0896-8750-0696 Sekretaris PPIP Andy Wijaya: 0813-1115-1305 Sekjen SPPJB, Ide Bagus Hapsara: 0857-3102-0947
Toolkit that has been translated into bahasa Indonesia
“One of our strength to fight against violence and harassment at the workplace is by organizing ourselves in the union. By joining the union, we can sit equally with and have more strength to push the company to agree on the regulation related to women protection in the CBA,” Izzah Inzamliyah in her opening remark. She was the trainer of Training for Trainers for women leaders and activists under the theme of “ILO Convention 190 on Elimination of Violence and Harassment at the Workplace” organized by The Public Services International (PSI) held in 5G Resort Cijeruk, Bogor, 29-31 August 2022.
Izzah continued by saying that when the CBA contains women’s protection, it will minimize gender-based violence. In turn, it will change the mindset of workers and employers, that every person has the right of a world free of violence and harassment.
Talking about violence and harassment, women are the most vulnerable object of violence in under employement relation. Women are considered to be weak creature, abide to, and dependent upon superiors or men.
“Women’s fear and weakness are the cause of violence in the employment relation. Therefore it is just right for women workers to be active in the unions. By joining the union, workers have the strength to fight against the violence and harassment at the workplace,” Izzah asserted the importance of organized workers in front of 20 women workers , the participants of the ToT. The participants came from SP PLN, SP PPIP, SP PJB, SP EE, dan SPICON+.
Indah Budiarti, the PSI Communications and Project Coordinator, added that this training is also about introduction to use the ILO Convention 190 toolkit. The toolkit is translated into Bahasa Indonesia by IndustriAll Indonesi project office so that it would be easier for participants and unions to design their own activities.
“PSI together with trade unions globally promote the ratification of this convention,” asserted Indah.
She hoped that with this training will be beneficial and encourage the campaign on local and national level. She also hped that the action plan produced in the training wold stimulate the participants and their unions to take a step to push the campaign for Convention 190 ratification in Indonesia.
There are many people who do not understand the real definition of gender-based violence. Therefore, many tolerate the gender-basd violence. Gender-based violence is violence that is aimed at specific gender. It is happen due the social/cultural/religious belief that is embedded to certain gender that result in violence or disproportionate treatment.
There are at least four important features to understand gender-based violence. They are (a) threat; (b) physical, verbal, social, and economic acts that are harmful and detrimental or there is a possibility of harm; (c) beyond one’s will; and (d) based on the social construction on “women” and “men”.
“Silence is not consent. We have to see whether there is a power relation invloved between the perpetrator and the victim. If the perpetrator holds a power over the victim, the victim tends to be silent,” she added.
The problem of power relation is also the root of gender-based violence. The socio-cultural patriarchal belief that presume that women are in the position of non-importance, where the power rests on men (power relation), women are not decision makers, only complementing. Women’s role are in the domestic realm and reproduction only. Whe women enter the public sphere/employment, their income is secondary, as a compliment for their husbands’.
The adoption of the ILO Convention No. 190 and Recommendation No. 206 on Violence and Harassment in the world of work brings a new hope for us. We can say that the adoption of both instruments is a victory for the trade union and labour movement. The adoption of these instruments is the culmination of years of campaigning and lobbying by trade unions, and in particular women trade unionists, built on the narratives and experiences of discrimination and violence from women workers global. The convention is an instrument to recognizes the right of everyone to have the a working life free from violence and harassment. For the first time ever internationally agreed the definition of violence and harassment in the world of wok, including the gender-based violence that is understood as “unwanted behavior and practices that is directed to, or result in, or possible to result in physical, psychological, sexual, or economic harm.” The definition covers everyone in this world, including person in training (interns and apprentices), and individuals exercising the authority, duties, or responsibilities of an employer, and includes public and private sector, informal and formal economies, and urban and rural areas.
As trade unions, we have an important role to play in ensuring this Convention and Recommendation do not just remain on paper but are transformed into action on local. Trade unions are leading local and global campaigns, calling for the ratification and effective implementation of C190 and R206, so that these standards are integrated into national legislation.
“Salah satu kekuatan kita dalam melawan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja adalah dengan bergabung dalam serikat pekerja. Dengan berserikat, kita bisa duduk dalam status yang sama dan memiliki kekuatan untuk mendorong Perusahaan agar menuangkan aturan terkait perlindungan perempuan di dalam PKB,” demikian disampaikan Izzah Inzamliyah dalam Pelatihan untuk Pelatih bagi Pemimpin dan Aktivis Perempuan dengan tema “Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang diselenggarakan Public Service International (PSI) di 5G Resort Cijeruk, Bogor, 29-31 Agustus 2022.
Ketika perlindungan terhadap perempuan diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama, lanjut Izzah, diharapkan akan meminimalisir kekerasan berbasis gender. Pada gilirannya, hal ini akan mengubah cara berfikir para pekerja dan pengusaha, bahwa semua orang memiliki hak atas dunia yang bebas dari kekerasan dan pelecehan.
Bicara tentang kekerasan dan pelecehan, perempuan adalah objek yang paling rentan terhadap kekerasan dalam hubungan kerja. Perempuan dianggap makhluk yang lemah, tidak bisa melawan, dan merasa tergantung terhadap atasan atau laki laki.
“Ketakutan dan kelemahan perempuan itulah yang menjadi penyebab seringnya terjadi kekerasan dalam hubungan kerja. Karenanya, tepat sekali jika buruh perempuan harus terlibat aktif di dalam serikat pekerja. Dengan berserikat, pekerja memiliki kekuatan untuk melawan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja,” tegas Izzah di hadapan 21 orang pekerja perempuan yang merupakan peserta pelatihan yang berasal dari SP PLN, SP PPIP, SP PJB, SP EE, dan SP ICON.
Indah Budiarti selaku PSI Communications and Project Coordinator menambahkan, pelatihan ini juga mengenalkan bagaimana mengunakan ILO Toolkit Konvensi ILO 190. Toolkit ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh kantor IndustriAll proyek Indonesia sehingga memudahkan peserta dan nantinya serikat pekerja dalam merancang aktifitasnya sendiri.
“PSI secara global bersama serikat pekerja global unions lainnya mendorong pada ratifikasi konvensi ini,” tegas Indah.
Pihaknya berharap, melalui training yang diselenggarakan akan mendorong pada kampanye lokal dan nasional, melalui rencana aksi yang diskusikan bersama diharapkan para peserta bersama serikat pekerjanya mengambil langkah untuk mendukung kampanye ratifikasi Konvensi 190 di Indonesia.
Masih banyak yang belum memahami arti sesungguhnya dari kekerasan berbasis gender. Sehingga peristiwa ini seringkali ditolerir. Disampaikan, kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang ditujukan terhadap jenis kelamin tertentu. Terjadi karena adanya keyakinan sosial/budaya/agama yang dilekatkan terhadap jenis kelamin tertentu yang mengakibatkan kekerasan atau berakibat pada perlakuan yang tidak proporsional.
Setidaknya ada empat hal kunci terkait kekerasan berbasis gender. Meliputi: (a) adanya ancaman; (b) tindakan dalam bentuk fisik verbal, sosial, serta ekonomi membahayakan dan merugikan atau ada kemungkinan merugikan; (c) di luar kehendak seseorang; dan (d) berdasarkan konstruksi sosial tentang “perempuan” dan “laki- laki”.
“Diam tidak sama dengan setuju. Harus dilihat apakah ada relasi kuasa antara pelaku dan korban. Ketika yang melakukan memiliki kuasa, korban cenderung takut untuk bersuara,” ujarnya.
Persoalan relasi inilah yang juga menjadi akar masalah kekerasan berbasis gender. Keyakinan sosial/budaya patriartki yang menganggap perempuan berada di posisi tidak dianggap penting, kuasa ada pada laki-laki (relasi kuasa), bukan pengambil keputusan, pelengkap, khusus pada peran domestik dan seputar reproduksi saja, ketika masuk ke ruang publik/dunia kerja dianggap pencari nafkah tambahan, dsb.
Adopsi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) No. 190 dan Rekomendasi No. 206 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja membawa harapan baru bagi kita. Bisa dikatakan, lahirnya konvensi dan rekomendasi ini merupakan kemenangan bagi serikat pekerja dan gerakan buruh. Adopsi dari kedua instrumen ini merupakan titik kulminasi dari kampanye dan lobi selama bertahun-tahun yang dilakukan oleh serikat pekerja, dan khususnya para pemimpin serikat pekerja perempuan, yang dibangun di atas narasi dan pengalaman tentang diskriminasi dari perempuan di seluruh dunia.
Konvensi ini merupakan instrumen untuk mengafirmasi bahwa semua orang memiliki hak atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan. Konvensi ini juga memberikan definisi yang pertama kali disetujui secara internasional tentang kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, termasuk kekerasan berbasis gender, yang dipahami sebagai “berbagai perilaku dan prakti yang tidak bisa diterima” yang “bertujuan untuk, berakibat pada, atau kemungkinan besar akan berakibat pada luka atau kerugian fisik, psikologis, seksual atau ekonomi”. Definisi ini melindungi semua orang di dunia kerja, termasuk pekerja magang, dan orang-orang yang menjalankan tugas atau wewenang sebagai pemberi kerja, dan mencakup sektor publik maupun swasta, ekonomi informal maupun formal, dan wilayah perkotaan maupun pedesaan.
Sebagai serikat pekerja, kita memiliki peran penting dalam memastikan bahwa Konvensi dan Rekomendasi ini tidak hanya berada di atas kertas tetapi mengubahnya menjadi tindakan. Di tingkat lokal maupun global, serikat pekerja mendorong ratifikasi dan implementasi efektif Konvensi dan Rekomendasi tersebut sehingga standar yang berada di dalamnya terintegrasi ke dalam perundang-undangan nasional.
Para peserta pertemuanBro Farizan Fajari, SASK Regional Coordinator.Group foto bersama bro Ian Mariano, PSI SEA
PSI/SASK menyelenggarakan pertemuan perencanaan dan workshop start-up dengan Serikat peserta proyek di Indonesia, pada tanggal 3 – 4 Agustus 2022 yang dihadiri serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan dan air Jakarta. Serikat pekerja sektor ketenagalistrikan yang hadir adalah Serikat Pekerja PLN (SP PLN), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), Serikat Pekerja Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB), Serikat Pekerja Elektronik Elektrik (SP EE), Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) dan Serikat Pekerja PDAM Jakarta (SP PDAM Jakarta).
Dalam pertemuan tersebut, SASK Regional Coordinator, Farizan Fajari menjelaskan proyek kerjasama antara PSI dan SASK ini bertujuan untuk memajukan hak-hak serikat pekerja. SASK merupakan singkatan dari Trade Union Solidarity Centre of Finland (SASK). Ini adalah serikat pekerja pekerja solidaritas yang ada di Finlandia.
“SASK berdiri tahun 1986. Salah satu isu yang kemudian melahirkan SASK adalah perjuangan apartheid di Afrika. Adapun partners SASK adalah serikat pekerja di negara berkembang: Afrika, Amerika Latin, Asia Tengah, dan Asia Tenggara,” kata Farizan.
Lebih lanjut dia menjelaskan, strategi SASK adalah meningkatkan decent work dan living wage. SASK juga menambahkan fokus perjuangan, seperti gender equality, just transition, dan digitalisasi. Dalam hal ini, PSI dan serikat pekerja sektor publik di Indonesia merupakan salah satu contoh, bagaimana serikat pekerja ikut berperan dalam memajukan isu just transition.
Farizan juga mengungkapkan keinginannya untuk menyambungkan kawan-kawan di Indonesia dengan serikat pekerja di Finlandia. Di sana serikat pekerja sudah maju. Dengan adanya pertemuan antara serikat pekerja di Finlandia dan Indonesia, diharapkan pekerja di Indonesia bisa belajar dari gerakan serikat pekerja di Finlandia.
Pohon Masalah
Dalam pertemuan ini, Indah Budiarti, PSI SEA Communications & Project Coordinator menjelaskan beberapa persoalan perburuhan yang terjadi, baik di Indonesia maupun di Filipina.
“Ada 4 pohon masalah yang ditemukan. Pertama, kapasitas internal serikat pekerja yang lemah. Kedua, lingkungan kerja yang buruk. Ketiga, keanggotaan serikat pekerja yang rendah. Dan keempat, kesadaran tentang kesetaraan dan perbedaan gender,” kata Indah.
Menurutnya, ada beberapa sebab mengapa kapasitas internal serikat pekerja lemah. Di antaranya adalah kapasitias pengurus serikat pekerja yang tidak kuat. Pemimpinnya kurang pengalaman atau kurang mendapatkan pelatihan. Sehingga serikat pekerja terfokus di pimpinan pusat. Sementara itu, di tingkat cabang dan tempat kerja tidak kuat. Akibatnya, proses kaderisasi tidak berjalan dengan baik.
“Berikutnya adalah tentang keterampilan membuat PKB yang masih rendah. Di beberapa perusahaan, PKB memang sudah ada. Tetapi kualitasnya tidak baik. Hal ini terjadi karena kemampuan untuk menegosiasikan PKB masih kurang memadai,” kata Indah Budiarti.
Terkait dengan lingkungan kerja yang buruk, ini bisa kita lihat dengan lahirnya omnibus law UU Cipta Kerja. Dengan lahirnya regulasi yang baru ini, penggunaan buruh outsourcing dan kontrak semakin merajalela.
Di Filipina, ada kebijakan anti terror. Di mana kebijakan ini menggangu aktivitas individu serikat pekerja. Karena aktivis buruh yang dianggap menganggu keamanan, bisa ditahan tanpa ada surat penahanan.
Berikutnya adalah muncul precarious work. Seperti buruh kontrak, outsourcing, harian. Ada banyak buruh yang tidak memiliki jaminan sosial. Mudah di PHK, kontrak kerja yang bebas. Hal ini membuat keamanan pekerjaan terganggu.
Permasalahan ketiga adalah keanggotaan serikat pekerja yang rendah. Banyak serikat pekerja tidak mampu meningkatkan jumlah anggota. Faktor internal, bisa jadi karena kurangnya organizer serikat. Sedangkan faktor eksternal, adanya union busting yang mempersulit serikat pekerja dalam mengorganizing. Pemberangusan serikat pekerja mempersulit langkah dan gerakan serikat. Kondisi ini juga disumbang dari rendahnya kesadaran berserikat di kalangan pekerja.
Ian Mariano, Sub-regional Secretary PSI Asia Tenggara juga hadir dalam pertemuan hari ke dua, dia menjelaskan persoalan kritis yang terjadi di Filipina, dengan maraknya tindakan pemerintah melakukan red tagging.
“Di masyarakat, khususnya di Filipina, masih ada yang menganggap mereka yang aktif di serikat ditandai (red tagging). Baik sebagai komunis atau teroris. Itu yang membuat banyak pekerja tidak tertarik dengan serikat,” katanya.
Masih banyak serikat belum mencapai keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan. Persoalan ini muncul karena ada banyak hambatan. Mulai dari persoalan kesempatan yang diberikan kepada perempuan. Termasuk peran ganda pekerja perempuan juga mempersulit mereka dalam berinteraksi atau aktif di dalam kegiatan serikat.
Setelah mencermati pohon masalah yang dijabarkan di atas, berikutnya Indah Budiarti selaku PSI Communications and Project Coordinator menjelaskan, bahwa projek ini akan berlangsung dari tahun 2022 sampai 2025.
Adapun hasil yang diharapkan, sampai dengan tahun 2025, serikat layanan publik menjadi serikat yang kuat dan mampu berhasil melindungi dan memajukan hak-hak serikat pekerja di Indonesia dan Filipina.
“Kemudian, dampak yang diharapkan, pada tahun 2030, serikat pekerja layanan publik di Indonesia dan Filipina bisa menjalankan hak politik, ekonomi, dan sosial sepenuhnya,” ujarnya.
Setidaknya ada 4 hal yang diharapkan:
Pertama, pengetahuan dan sumber daya yang digunakan untuk meningkatkan kapasitas serikat pekerja untuk bertindak, terlibat, dan mengambil tindakan atas persoalan hak-hak serikat pekerja.
Kedua, sampai dengan 2025, legislatif, eksekutif, dan influencer kunci mendukung dan menyetujui tindakan yang diajukan yang mendorong dan memajukan hak-hak serikat pekerja.
Ketiga, pada tahun 2025, keanggotaan serikat sektor layanan publik akan meningkat dan terkonsolidasi secara signifikan.
Sedangkan hasil keempat, pada tahun 2025, pemimpin perempuan yang berdaya mampu mengampil peran utama dalam memajukan hak-hak serikat pekerja dan mendorong tempat kerja yang bebas dari kekerasan.
Education Program at Kamojang UnitPelatihan bagi teman-teman PPIP JeranjangPelatihan di PPIP Uker LontarPelatihan bagi teman-teman PPIP BantenPelatihan bagi teman-teman PPIP SemarangPelatihan bagi teman-teman PPIP SemarangPelatihan bagi teman-teman PPIP SemarangPelatihan bagi teman-teman PPIP AdipalaPelatihan bagi teman-teman PPIP Priok
Knowledge is the fuel to advance union. It is only when unions have sufficient knowledge about their respective organization, the unions will be strong and militant. Knowledge begets awareness. With awareness, members will participate in unions’ activities voluntarily. We know that participation is the key to create change to betterment. This statement was expressed by Dwi Hantoro, the chairperson of PP Indonesia Power on National level in a planning meeting for education for union structure and members in 2022.
A way to raise awareness and increase members’ participation is by union education. Education must be understood as more than just knowledge transfer, but also attempts to bring togetherness and raise the sense of belongingness of unions
With that in mind, Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP) for the last few months, have been organizing education meetings and basic trainings in several units just like had planned. PPIP has tens of members who work in PT Indonesia Power. Of course, unions’ ups and downs do not only depends on just a few people. They are determined by all the activists and members in them. Unions must be collectively working.
One thing to highlight is that as unions in electricity/energy PPIP has a strategic role and position. PPIP does not only ensure its’ members’ welfare but also bears the resposibility of ensuring the electricity in Indonesia to benefit each and every Indonesian people.
Therefore, through this education, PPIP will try to make its members understand what union is. Including labor issues and electricity/energy issues. With the knowledge they gained, it is hoped htat ter will be more collective work in the union.
If the structure/activists and members are no longer care about the existence of unions, unions will die eventually. When this happen, union will turn into a merely signboard that unable to defend, protect, and fight for members and their families’ interest. This is something that none of us want to happen. Therefore, PPIP uses this education meeting and training as a way to strengthen its members’ awareness on union rights and their rights.
That is exactly what was written on the early part of this article. That raising awareness witll make members and union strucutres/activities to participate in the strugggle of unions voluntarily—without coercion. They finally aware that only by joining the union workers will be dignified.
Another important thing is that the understanding about labor issues and electricity issues in this education meeting and training.
The training included labor issues because, indeed, all participants are workers. As workers, whether they want to or not they must have understanding aobut labor issues. Regulations related to their position as workers.
By understanding labor issues, workers will be more aware about their existence. That the are not just workers but they are entitled to embedded rights such as right of a decent wage, right of not to be terminated without reason, right to get social security, right to have a leave, right to negotiate CBA, and more importantly, right to organize.
The training included electricity issues in order to strengthen PPIP’s position together with other unions in electricity sector in advocating for energy sovereignty. As we know, PPIP is always on the forefront to reject electricity privatization. This is to fight for electricity, as an important business that related to peoples’ lives, to be in the hands of the state. Under public ownership, peoples will get the most benefit from reliable and affordable electricity.
Learning from the Philippines, after the electricity is privatized, people must pay more expensive electricity. The price soared. Besides, when liberalization happen, there will not be any energy sovereignty. We don’t want that to happen.
In short, through education and training, PPIP is strengthening its existence as workers’ rights defenders as well the Indonesian peoples’ defenders, especially in electricity.
Finally, we hope that this program will go beyond training and education. We hope that there will be follow ups to implement the knowledge gained from the training and education. Only then, the victory gained.
————————-
Teguhkan Eksistensi Sebagai Pembela Pekerja dan Rakyat: PPIP Gelar Pelatihan Serikat
Pengetahuan adalah bahan bakar untuk memajukan serikat pekerja. Hanya ketika anggota serikat memiliki pengetahuan yang cukup tentang organisasinya, serikat akan menjadi kuat dan militan. Pengetahuan menumbuhkan kesadaran. Dengan tumbuhnya kesadaran, anggota akan berpartisipasi di dalam kegiatan serikat pekerja tanpa ada keterpaksaan. Kita tahu, partisipasi adalah kunci untuk terjadinya perubahan yang lebih baik lagi. Pernyataan ini disampaikan oleh Dwi Hantoro, Ketua PP Indonesia Power Tingkat Pusat ketika merencanakan pendidikan bagi pengurus dan anggota di tahun 2022 ini.
Salah satu cara untuk menumbuhkan kesadaran dan meningkatkan partisipasi anggota adalah melalui pendidikan serikat pekerja. Di sini, pendidikan harus dimaknai lebih dari sekedar transfer pengetahuan. Tetapi juga sebagai ikhtiar untuk merekatkan kebersamaan dan menumbuhkan rasa cinta pada serikat pekerja.
Sadar akan hal itu, Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP) dalam beberapa bulan terakhir ini melakukan pendidikan dan pelatihan dasar serikat pekerja di beberapa unit seperti yang mereka telah persiapkan. PPIP memiliki anggota puluhan orang yang bekerja di PT Indonesia Power. Tentulah maju mundurnya serikat pekerja tidak ditentukan oleh satu dua orang. Tetapi ditentukan oleh seluruh pengurus dan anggota yang tergabung di dalamnya. Serikat bekerja secara kolektif.
Satu hal yang harus digaris bahwai, sebagai serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan, PPIP adalah serikat pekerja yang memiliki peran dan kedudukan strategis. Ia tidak hanya bekerja untuk memastikan kesejahteraan anggoa. Tetapi juga memiliki tanggungjawab moral untuk memastikan agar ketenagalistrikan di Indonesia bermanfaat untuk seluruh rakyat.
Itulah sebabnya, melalui Pendidikan ini, PPIP hendak memberikan pemahaman kepada anggotanya terkait dengan serikat pekerja. Termasuk di dalamnya memberikan pembekalan mengenai isu ketenagakerjaan dan ketenagalistrikan. Dengan pengetahuan seperti ini, diharapkan kerja kolektif di dalam serikat pekerja semakin terlihat.
Ketika pengurus dan anggota sudah tidak lagi peduli dengan keberadaan serikat pekerja, niscaya serikat akan sekarat. Jika itu terjadi, serikat akan berubah menjadi sekedar papan nama yang tidak sanggup membela, melindungi, dan memperjuangkan hal serta kepentingan anggota dan keluarganya. Tidak ingin hal itu terjadi, PPIP menjadikan pendidikan dan pelatihan ini sebagai sarana untuk menguatkan kesadaran hak pekerja dan serikat pekerja.
Persis itulah yang kami sampaikan di awal artikel ini. Bahwa dengan tumbuhnya kesadaran, pengurus dan anggota akan ikut berpartisipasi dalam perjuangan serikat pekerja tanpa ada rasa keterpaksaan. Mereka sadar bahwa hanya dengan berserikat pekerja akan bermartabat.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah pemahaman mengenai isu ketenagakerjaan dan ketenagalistrikan yang juga disampaikan dalam pendidikan dan pelatihan ini.
Isu ketenagakerjaan disampaikan, karena, memang, seluruh peserta dalam pendidikan ini adalah para pekerja. Sebagai pekerja, mau tidak mau mereka harus memiliki pemahaman mengenai isu ketenagakerjaan. Aturan-aturan apa yang menyangkut posisinya sebagai pekerja.
Dengan memahami isu ketenagakerjaan, pekerja akan menjadi lebih peduli dengan keberadaannya. Bahwa ia bukan hanya sekedar orang yang bekerja. Tetapi juga ada sejumlah hak yang melekat di dalam dirinya, seperti hak untuk mendapatkan upah yang layak, hak untuk tidak di PHK tanpa sebab, hak untuk mendapatkan jaminan sosial, hak untuk beristirahat/cuti, hak untuk membuat PKB, dan yang tak kalah penting adalah hak untuk berserikat.
Isu ketenagalistrikan disampaikan, untuk semakin mengukuhkan posisi PPIP bersama serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan yang lain dalam mengawal kedaulatan energi. Sebagaimana kita tahu, selama ini PPIP selalu berdiri di garda depan untuk menolak privatisasi listrik. Ini dilakukan untuk memperjuangkan agar ketenagalistrikan, sebagai usaha penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetap dikuasai negara. Dengan dikuasai negara, maka rakyat akan mendapatkan listrik yang handal dan harga terjangkau.
Belajar dari pengalaman Filipina, ketika listrik di swastanisasi, rakyat harus membayar mahal. Harga listrik melambung tinggi. Di samping itu, ketika liberalisasi terjadi, tidak ada lagi kedaulatan energi. Kita tidak mau hal ini terjadi.
Pendek kata, melalui pendidikan dan pelatihan ini, PPIP meneguhkan eksistensinya sebagai pembela pekerja sekaligus pembela rakyat Indonesia, khususnya di bidang ketenagalistrikan.
Pada akhirnya, kita berharap program ini tidak berhenti sebatas pada pelatihan dan pendidikan. Tetapi ada tindak lanjut yang dilakukan, untuk mengimplementasikan pengetahuan yang didapatkan di dalam kelas. Dengan demikian, kemenangan bisa segera kita dapatkan.
The General Secretary of Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP), Andy Wijaya, questions the Regional Representative Council of Indonesia’s (hereafter, DPD RI) motive on initiating the amendment to Law no. 21 of 2000 on Trade Union/Workers Union. The DPD RI’s tasks as stated by the 1945 Constitution is to propose to the People’s Representative Council of Indonesia (hereafter, DPR RI) a bill related to regional autonomy, relation between national and regional government, formation, expansion, and unification of areas, natural resources management and other economic sources, and in relation to fiscal balance between central and regional governments. Andy Wijaya told this when he spoke in a Public Hearing with Commission III of DPD RI in relation to inventory on initiative bill drafting on amendment of Law No.21 of 2000, on Monday (20/6).
Further, Andy said, unions currently tend to focus on the Employment Creation Law that already amended some of the clauses in the Labor Law. The Constitutional Court found at least three constitutional violation and stated that the Employment Creation Law must be cancelled. In other words, the revision of Law No. 21 of 2000 is not an urgency.
Meanwhile, if the Law No. 21 of 2000 is to be revised, the unions thinks that it must be based on:
First, the number of trade union/workers union membership that tend to stagnate since the Reformation 1998 but on the other hand, the number of union, federation, and confederation increased.
“An information from satudata.kemnaker said that up to 2020 there are 3,256,025 unionized workers in 10,746 unions/16 Federations/6 Confederation. This number is not much different from the Reformation era and relatively very small compared to the number of formal workers in 2021 that is more than 50 million workers as showed by BPS’ data,” said Andy.
“Even in some cases, there are overlapped unions in terms of membership and sectors. Even there are some unions who have similar or exactly same logos and emblems or even same registration number,” he proceeded.
Andy also thought that in order to strengthen the function of unions, there needs to be acknowledgment that unions are legal entitites who can act on the name of the organizations legally as other legal entities.
Second, there are efforts to stop or prevent the formation or establishment of unions in a company. Unions are considered to be obstruction to the harmony between workers and the company.
Third, lack of support from the government to the development of unions function.
Another important point is that the rights to union must be initiated since the very first day of a worker works. Besides, the right to union must be aligned with the permit regime of company establishment. A company permit mus also include informing workers to union and facilitate union formation in addition to BPJS subscription for the workers. A company must also include human rights enforcement, such as freedom of association.
“There also needs to be a regulation on quality and exclusive CBA that will benefit the members of the union,” added Andy Wijaya.
Currently, CBA in a particular company is also applicable to non-union members. This can be seen as one of the reasons why union membership is decreasing as being members of unions are not a “privilege”. We should hold on to a contract principle, i.e. the agreement only applies on the parties who agrees. There have been several regulations on this matter i.e. Law No. 13 of 2003 on Labor and Minister of Labor Regulation No. 28 of 2014. However, the amendment of Law No. 21 of 2000 could assert that a function of union is to form a CBA that is only applicable to its members.
Unions also have interests in supporting company’s productivity and growth to create common welfare.
“Another thing is that we found many employers who refuse to help unions with union dues by using COS mechanism. Therefore, unions must collect dues mannually to each and every member. This should not have happened if companies/employers are obliged to facilitate the collection,” he added.
Meanwhile, in responding the proposal of amendment of some clauses of Law No. 21 of 2000, Andy highlighted article 4 that seems to be using conlict paradigm in the relation between unions and employers. Therefore, there needs to be the employers’ perspective added, not just the legal norms related to the function and objectives of union.
“The existing norms on implementation of union function should also be supported by sanction so that the law is enforced and more meaningful,” Andy asserted.
In relation to regulaiton on federation and confederation, Andy thought that there must be clear sector differentiation between one federation with the other. There are even unions whose membership is multi and cross business sectors.
“Therefore, we think that union federation needs to be returned to the sector where they function and their membership are. This will also impact the representation in the tripartite institution and other similar institutions. In terms of confederation, we think that there should only be a few, maybe 2 or 3. Confederation is the the top of hierarchy of unions,” he added.
We propose for a protection. The chapter is now on protection, development, and monitoring. There should be protection on implementation union function that are not carried out by their partners, i.e. the company.
There should be a regulation on labor offices so that those office would be more competent and capable in taking action needed to protect unions. For example, regulation on how labor office must respond to a complaint on alleged union function violation so that it would not be a conflict. And then labor office would take a decisive action and impose a sanction.
“In short, what we want to say is that the law must also regulate labor office so that they would be more competent and capable,” added Andy.
Another problem to be discussed further is related to intimidation and obstruction to union activities and how they can be measured. For example, the company is not willing to negotiated the CBA, refuse to cut workers’ wage for union dues using Check off system, and not willing to give dispensation for workers to participate in union activities.
According Andy, those real cases should be regulated in the article 28 that is added in the law and that has correlation to article 43 of Law No. 21 of 2000. In addition, the mechanism of implementation of article 43 must be clarified and emphasized. As well as the relation between labor office and the police.
“Even the Law could just order local police offices to create a special for labor issue so that any complaint or reports from workers on any criminal violation can be responded better,” Andy added.
Herewith position paper that presented by bro Andy Wijaya during the workshop, please click here (bahasa Indonesia)