PP IP Pertanyakan Motif DPD RI Inisiasi Revisi UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Sekretaris Jenderal Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP) Andy Wijaya mempertanyakan motif DPD RI berinisatif terhadap isu perubahan UU SP/SB? Apalagi tugas DPD seperti yang tertera pada UUD 1945 adalah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini disampaikan Andy Wijaya saat diundang sebagai Narasumber dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komite III DPD RI terkait dengan inventarisasi berkenaan dengan penyusunan RUU Inisiatif tentang Perubahan UU No 21 Tahun 2000, Senin (20/6).

Terlebih lagi, kata Andy, saat ini serikat pekerja lebih condong untuk mengawal agar UU Cipta Kerja yang mengubah sebagian UU Ketenagakerjaan. Di mana ditemukan adanya setidaknya 3 (tiga) pelanggaran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi agar dibatalkan. Dengan kata lain, revisi UU No 21 Tahun 2000 bukankah sesuatu yang mendesak untuk dilakukan.

Sementara itu, jika UU No 21 Tahun 2000 hendak direvisi, PP IP yang berafiliasi dengan Public Service International (PSI), dan beraliansi dengan Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS), dan Global Union Federation (GUF) Indonesia, berpandangan harus didasari setidaknya hal-hal berikut:

Pertama, jumlah keanggotaan SP/SB yang cenderung tidak bertambah sejak reformasi 1998 namun jumlah SP/Federasi/Konfederasi yang semakin besar.

“Informasi dari satudata.kemenaker yang kami dapatkan, hingga tahun 2020 terdapat 3.256.025 pekerja yang tergabung berorganisasi SP yang masuk kedalam 10.746 SP/16 Federasi/6 Konfederasi. Jumlah ini cenderung tidak banyak berbeda sejak era reformasi dan jauh dari jumlah pekerja formil yang ada menurut Data BPS tahun 2021 yang mencapai lebih dari 50 juta pekerja,” kata Andy.

“Bahkan dalam beberapa hal, keberadaan SP selain ditemukan tumpang tindih sektoral keanggotaan satu dengan lainnya. beberapa SP/SB diduga terdapat logo dan lambang yang sama atau mungkin nomor bukti pencatatan yang sama,” lanjutnya.

Andy juga berpandangan, penguatan fungsi SP/SB juga perlu didukung dengan menyatakan dengan tetas SP/SB adalah badan hukum yang diakui dan dapat bertindak atas nama organisasi dalam berbagai hal yang menurut hukum juga dapat dilakukan oelh badan hukum pada umumnya.

Hal kedua yang harus diperhatikan adalah adanya anti pembentukan SP/SB di suatu perusahaan. Karena SP/SB dianggap akan menggangu harmonisasi antara pekerja dengan pengusaha.

Ketiga, kurangnya dorongan dari pemerintah terhadap perkembangan fungsi SP/SB.

Hal lain yang perlu diperhatikan, hak berserikat perlu diinisasi sejak awal pekerja bekerja. Selain itu, hak berserikat perlu diselaraskan dengan rezim perizinan pembentukan perusahaan. Bukan hanya kewajiban kepesertaan BPJS, kewajiban untuk memfasilitasi pembentukan SP atau menginfokan pekerja untuk ber SP atau tidak juga sejak awal secara regulatif masuk kedalam sistem perizinan perusahaan yang juga memasukan isu penegakan HAM seperti kebebasan berserikat.

“Perlu juga diatur, bahwa pembentukan PKB yang berkualitas dan ekslusif hanya bermanfaat bagi anggota serikat pekerja,” kata Andy Wijaya.

Hal ini, karena, PKB yang saat ini juga berlaku bagi non anggota SP disatu perusahaan tak dapat dibantah menajdi salah satu pemicu kian berkurangnya keanggotaan SP karena Ber SP menjadi “tidak istimewa’ Oleh Karena itu, sebagaimana asas perjanjian pada umumnya, haruslah hanya mengikat pada pihak yang membuatnya. Memang secara regulatif, ketentuan ini selama ini ada diatur dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Permenaker No 28 tahaun 2014, namun perubahan UU SP/SB dapat menegaskan salah satu fungsi SP/SB adalah membentuk PKB yang hanya berlaku bagi anggotanya.

Serikat Pekerja jyuga berkepentingan untuk mendukung upaya produktivitas kerja dan mampu meningkatakan pertumbuhan perusahaan guna mewujudkan peningkatan kesejahtaran bersama

“Hal lain yakni temuan banyak pemberi kerja yang enggan membantu iuran SP dengan menggunkana mechanism COS, sehingga SP harus satu persatu secara manual meminta iuran anggota. Hal ini seharusnya tidak terjadi manakala perusahaan diwajibkan untuk memfasilitasinya,” ujarnya.

Sementara itu, menanggapi usulan perubahan dalam beberapa pasal dalam UU SP/SB, Andy menyoroti perubahan pasal 4 yang mengesankan terjadinya paradigma konflik dalam relasi SP dengan pemberi kerja. Oleh karena itu, perlu kiranya dilihat dari perspektif pemberi kerja itu sendiri juga, bukan sekedar dari norma-norma hukum terkait fungsi dan tujuan SP.

“Norma-norma yang ada dalam pelaksanaan fungsi-fungsi SP hendaknya didukung dengan norma sanksi agar hukum lebih bermakna untuk dijalankan,” tegas Andy.

Sehubungan dengan pengaturan mengenai federasi dan konfederasi, Andy berpandangan harus ada perbedaan sektor yang jelas antara satu federasi dan federasi lainya. Bahkan terdapat SP yang keanggotaannya multi dan lintas sektor bisnis.

“Oleh karena itu, hemat kami federasi SP perlu dikembalikan terhadap sektor apa dia berfungsi dan melekat keanggotannya yang juga akan berdampak pada representasi pada lembaga kerjasama tripartite dan kelembagaan sejenisnya. Sedangkan keberadaan konfederasi menurut kami tidak perlu terlalu banyak, cukup 2 atau 3 maksimal konfederasi itu ada dan menjadi ujung dari hierarkisme perjenjangan serikat tertinggi dengan fungsi dan kerja-kerja nasional,” ujarnya.

Kami mengusulkan perlu dipastikan ada unsur perlindungan. Karena itu bab tersebut menjadi perlindungan, pembinaan, dan pengawasan. Unsur perlindungan yang ditambahkan mengenai perlindungan terhadap imolementasi fungsi-fungsi SP yang tidak mampu/mau dijalankan oleh mitranya yakni perusahaan.

Koreksi terhadap kerja dan tugas instansi ketenagakerjaan juga perlu diatur agar instansi ketenagakerjaan dapat lebih cakap dan cekatan bertindak terhadap berbagai penerapan perlindungan SP. Misalkan pengaturan bagaimana instansi ketenagakerjaan merespon pengaduan terhadpa dugaan pelanggaran fungsi SP yang tidak harus berujung pada perselisihan, melainkan cukup penindakan tegas dari pengawas ketenagakerjaan dengan sanksi yang ada.

“Hematnya, yang ingin kami katakan, atur juga agar instansi ketanagakerjaan gerak cepat dan cermat dalam bekerja,” tegas Andy.

Hal lain yang perlu dijawab adalah terkait dengan bagaimana bentuk tindakan intimidasi atau penghalangan kegiatan SP itu dapat mudah diukur. Misalkan yang perlu dicontohkan, perusahaan yang tidak mau merundingkan PKB, tidak mau memotong iuran anggota melalui Check Off System (COS), tidak memberikan dispensasi kegiatan SP yang dilakukan dengan wajar.

Menurut Andy, kasus-kasus nyata tersebutlah yang seharusnya diatur dalam norma tambahan pasal 28 yang berkorelasi dengan pasal 43 UU SP/SB. Selain itu, pelaksanaan Pasal 43 perlu dipertegas dan diperjelas mekanisme pelaksanaan pasal tersebut. bagaimana hubungan pengawas ketenagakerjaan dan instansi kepolisian.

“Bahkan UU dapat juga memerintahkan di setiap kantor kepolisian daerah khusus membuat direktorat khusus mengenai isu ketenagakerjaan ini sehingga laporan pekerja terhadap dugaan tindak pidana tersebut lebih terarah,” tegasnya.

Dalam pertemuan ini, Andy membawa kertas posisi sebagai naskah pandangan PP IP terkait Inisiasi DPD RI terkait Revisi UU No 21/2000 tentangf SP/SB. Bisa diunduh dibawah ini:

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s