Apa jadinya jika para pengurus serikat pekerja sektor energi kelistrikan di Asia Pacific berkumpul untuk berbagi pengetahuan tentang dampak kebijakan dekarbonisasi pada sektor energi, energi terbarukan, dan kebijakan transisi yang adil? Tentu saja, yang akan terjadi adalah tumbuhnya kesadaran dan solidaritas internasional untuk menghadang privatisasi.
Adalah Public Services International (PSI), sebuah serikat pekerja global yang beranggotakan lebih dari 700 serikat pekerja dan mewakili 30 juta pekerja di 154 negara, yang mengadakan workshop bertajuk PSI Energy Affiliate Workshop Fighting for Publicly Owned Renewable Energy Systems itu. Workshop diselenggarakan secara daring melalui Zoom, Kamis (2/9/2021).
Mengawali kegiatan, Regional Secretary for the Asia Pacific, Kate Lappin menyampaikan bahwa pihaknya sudah mendengar laporan terkait dengan pentingnya untuk bergeser dari bahan bakar fosil menuju ke energi terbarukan. Tetapi sayang, banyak pihak yang kemudian menjadikan ini sebagai kedok untuk memprivatisasi energi.
“Ketika energi diserahkan pada mekanisme pasar, pada akhirnya mereka tidak akan mampu menyedikan energi yang terjangkau bagi rakyat,” kata Kate. Dia mengkritik dampak buruk dari privatisasi energi.
Dalam kesempatan ini, Kate mengajak kita melihat pengalaman dari berbagai negara, tentang bagaimana dampaknya ketika pengelolaan energi diprivatisasi. Berangkat dari sana, dia menegaskan bahwa PSI akan melakukan kampanye sekuat-kuatnya agar energi dimiliki publik.
Sektor swasta selalu berusaha untuk mendorong privatisasi. Sebagai contoh, ini bisa diidentifikasi terjadi di Indonesia, Filipina, Vietnam. Dalam proposalnya, mereka membuka energi terbarukan. Tetapi dalam praktiknya tidak sepenuhnya menjauh dari bahan bakar fosil.
“Kita harus menyiapkan langkah-langkah. Memang benar, perubahan iklim tidak bisa dipisahkan dari layanan publik. Tetapi bukan berarti kita harus membuka layanan publik untuk swasta,” tegasnya.
Workshop ini, lanjut Kate, adalah kesempatan untuk saling bekerja sama. Dari sini kita bisa melihat beberapa agenda ke depan yang harus dilakukan untuk mencegah privatisasi. Termasuk membuat rencana, apa saja yang harus dilakukan pasca Covid-19.
Setidaknya ada 4 narasumber dalam workshop ini. Masing-masing berasal dari Korea Selatan, India, Australia, dan Indonesia. Narasumber pertama, Tae-Sub Nam, Head of FKPIU’s Strategic Planning Department, FKPIU/KNEWU, menyampaikan, sejauh ini ada upaya untuk merubah kepemilikan energi publik di Korea Selatan. Menurutnya, ini terjadi karena adanya dorongan dari perusahaan energi utama. Dari tahun ke tahun kepemilikan sektor swasta selalu meningkat. Hal ini terjadi akibat privatisasi dari listrik negara.
“Ada perusahaan baru yang dibuat pada tahun 2019 yang menguasai kurang lebih 27%. Hal ini meningkatkan rasio privatisasi penguasaan swasta atas listrik, dan meningkatkan harga listrik sebagai kebutuhan barang publik,” katanya.
Melihat fakta ini, Tae-Sub Nam menegaskan bahwa energi terbarukan harus berada dalam kepemilikan publik. Bukan dimiliki oleh swasta.
Di Korea Selatan, energi terbarukan semakin meningat dari tahun ke tahun. Dengan sendirinya, ini mengubah pasar. Korea juga membuat kebijakan, perusahaan harus menurunkan emisi karbon dioksida sampai dengan 2030. Di samping itu, pemerintah juga mengeluarkan undang-undang untuk menghentikan karbonisasi dan mengurangi karbondioksida. Dalam kaitan dengan ini, pemerintah memutuskan untuk menerapkan rencana untuk energi terbarukan tahun 2025.
“Akan ada 11 ribu lapangan kerja yang hilang jika ini terjadi. Selain itu, diperkirakan akan lebih banyak lagi pekerjaan yang akan hilang, yang berkaitan dengan energi,” ujarnya. Lantas bagaimana respon serikat terhadap semua ini? Di level nasional, pemerintah melakukan dialog sosial bersama dengan perwakilan serikat. Tidak hanya untuk menentukan strategi yang tepat untuk mengatasi kesenjangan sosial dan solusi terkait dengan tenaga kerja. Ada ketidakcocokan yang terjadi di pasar kerja. Salah satunya adalah pendidikan yang tidak cocok dengan permintaan tenaga kerja. Dengan demikian, tumbuhnya pekerjaan dan kemungkinan hilangnya pekerjaan sama besar. Kita juga akan mendorong kebijakan transisi yang berkeadilan, kebijakan perluasan energi terbarukan. Diyakini, cengkraman sektor privat di dalam energi terbarukan justru akan mendorong krisis energi.
“Yang kami lakukan bersama afiliasi adalah pemetakan transisi berkeadilan,” ujarnya. Kemudian dia melanjutkan, bahwa pihaknya sudah menghubunngi ILO dan organisasi internasional lainnya, untuk mendorong transisi berkeadilan. “Gerakan ini harus didengar di seluruh dunia. Kita melakukan berbagai strategi, yang tidak hanya melibatkan serikat pekerja saja. Tetapi dengan lintas elemen. Kita melihat relasi krisis iklim dan ketimpangan keadilan sosial. Dalam hal ini, kita bisa mendorong kampanye yang lebih luas.” Dia menggaris bawahi.
Sementara itu, Prema Walter, Vice President, Tamilnadu Electricity Employees and Contract Labourers Union, menyampaikan, layanan publik untuk energi sebesar 40%. Sedangkan sisanya adalah swasta. Pembangkit energi yang utama adalah bertenaga panas bumi, uap, dan nuklir. Disampaikan Prema, perusahaan litrik negara dalam kondisi devisit. Pembangkitan listrik India juga bergerak lambat. “Ada hubungan dengan musim hujan. Pembangkit listrik panas bumi di musim ini biasanya harus ditutup. Kemudian di musim yang lain akan bergantung pada panas bumi, sehingga pembangkin panas bumi harus bekerja sangat keras untuk menyediakan lsitrik ketika yang lain ditutup,” ujarnya. Energi terbarukan dari tahun ke tahun terus tumbuh. Tetapi saat ini, energi terbarukan sebagian besar dikelola oleh sektor privat, karena ada subsidi bagi mereka.
Beberapa waktu yang lalu, federasi serikat pekerja listrik di India melakukan unjuk rasa untuk menolak privatisasi. Serikat pekerja sudah melakukan dialog dengan beberapa kementerian dan semua pihak terkait. “Kami terus melakukan protes dan berjuang melawan privatisasi,” pungkasnya.
Sementara itu, Michael Wright, National Assistant Secretary, Electrical Trades Union of Australia, membagikan pengalaman serikat pekerja di Australia dalam melawan privatisasi. Jaringan listrik di Australia awalnya dikelola oleh jaringan perusahaan negara. Tetapi kemudian ada dorongan untuk melakukan privatisasi, dengan mengatakan bahwa hal ini bisa menurunkan harga.
Privatisasi di Australia memuncak pada tahun 2009. Sejak itu ada suplay lebih banyak listrik sehingga lebih besar dari permintaan. Ini menguntungkan sebagian kecil orang. Diceritakan, di sebuah negara bagian, tahun 1996 listrik dimiliki oleh pemerintah. Tetapi kemudian listrik di sana diprivatisasi. Meski sudah diprotes oleh serikat, tetapi mereka jalan terus. “Sebelumnya, kita tidak punya krisis listrik. Tetapi kemudian terjadi bencana kebakaran besar,” ujarnya. Kebakaran ini menyebabkan 37 orang meninggal dunia, 400-an orang luka, dan 2.000 rumah rusak. Ini menjadi bencana besar.
Hal ini terjadi, salah satunya adalah karena adanya asset listrik yang sangat buruk. Setelah kebakaran itu, pemerintah harus membangun rumah dan memberikan santunan untuk keluarga korban dalam jumlah yang sangat besar. Termasuk memperbaiki jaringan listrik. Di sini jelas terlihat, perusahaan swasts hanya mengutamakan keuntungan dibanding untuk kepentingan rakyat. Sementara itu, di bagian yang lain, pada tahun 2015 memiliki pemerintah negara bagian yang menang dan berjanji tidak akan memprivatisasi jaringan listrik jika terpilih. Serikat pekerja melakukan kampanye di akar rumput untuk melawan kebijakan ini, yang disebut dengan: Kampanye Tidak untuk Dijual. “Kampanye ini cukup besar. Kita sudah punya pemerintah yang terpihak sebelumya dan itu tidak mencukupi dengan hanya memiliki perwakilan di pemerintah. Sebab listrik bukan hanya untuk serikat, tetapi juga untuk seluruh rakyat,” ujarnya.
Pemerintah berkomitment tidak memprivatisasi listrik. Termasuk investasi. Investasi ini adalah untuk membangun instrastruktur baru. Ada peningkatan asset yang dimiliki oleh publik, yang dioperasikan pada pembangkitan listrik terbarukan dan dimiliki publik. Ini kemenangan besar bagi buruh dan komunitas. “Aset ini akan dikelola dengan baik, atau kalau tidak kita akan menyaksikan bencana,” dia menegaskan. Terkait dengan perusahaan listrik swasta, ada beberapa tantangan. Pertama, di salah satu perusahaan swasta, kita menemukan fakta ada buruh yang tidak dibayar dengan baik. Bahkan ada dua pekerja yang dibawa dari Filipina dan Thailand, yang upahnya dibayar lebih kecil dari ketentuan. Upaya membangun energi terbarukan, di sisi lain juga akan menciptakan lapangan kerja.
Dalam hal ini, harus ada rencana kerja nasional yang komprehensif. Namun pemerintah yang konservatif dinilai tidak melakukan apapun. Kegagalan koordinasi di nasional tidak menghambat energi terbarukan. Kita kehilangan kesempatan untuk menciptakan lapangan kerja yang menjadikan harapan bagi banyak orang di sektor energi. Ada juga pembangkitan energi di tengah laut. Jumlah pekerja yang akan dipekerjakan juga sangat besar. Tidak hanya pada fase konstruksi, tetapi juga pada saat proses maintenance. Tetapi sayangnya, pemeintah federal gagal mewujudkan ini.
Narasumber terakhir dalam workshop ini adalah Sekretaris Jenderal PP IP, Andy Wijaya dari Indonesia. Andy menyampaikan, di Indonesia, sumber energi yang menggunakan fosil mencapai 86,45% sedangkan untuk energi terbarukan sebesar 13,55%. Di mana untuk bauran energi komposisinya meliputi 63,52% batubara, 18,70% gas, 7,59% air, 5,63% panas bumi, BBM+ BBN sebesar 4,23%, dan EBT lain sebesar 0,33%. “Per April 2021, pemerintah menguasai 59,4% pembangkitan. Sedangkan swasta atau IPP mencapai 40,6%. Ini memperlihatkan, swasta menguasai pembangkitan cukup besar,” ujarnya.
Sebagai gambaran pembangkit di seluruh Indonesia, ada 6 pulau besar dan ribuan pulau kecil. Dari total itu, untuk energi fosil yang dimiliki PLN adalah 56.166 MW. Sedangkan swasta adalah 6.237 MW. Perbandingannya adalah 88% banding 12%. Sedangkan untuk energi terbarukan, PLN sebesar 7.626% dan swasta sebesar 2.864 MW. Dengan perbandingan 72% : 28%. Komparasi tadi, kata Andy, menggambarkan PLN memiliki di atas 76%. Tetapi komposisi ini akan berubah, karena saat ini ada pembangunan 35.000 MW. Padahal saat ini saja sudah ada kelebihan tenaga listrik sebesar 36%. Sementara masih ada 72% yang belum masuk ke jaringan.
Sementara dengan adanya penambahan 35 ribu megawatt, maka komposisinya akan berubah. Di mana IPP (Independent Power Producers) akan mendominasi. Bisa dibayangkan apabila swasta masuk semua dengan 23 MW, maka pembangkit milik negara akan stop produksi. Hal ini, karena, IPP dilindungi dengan regulasi TOP (Take or Pay) 70%. Di mana PLN wajib membeki 70% dari kapasitas yang dimiliki swasta, dipakai atau tidak dipakai. Energi fosil masih besar. Pada saat yang sama, konstitusi di Indonesia menghendaki negara menyediakan listrik sesuai berkualitas dengan harga yang murah. Nah, di sini TOP menjadi persoalan. Karena listrik yang dihasilkan IPP wajib dibeli. Di sinilah harga akan menjadi tinggi, karena mereka pun mengambil keuntungan ketika menjual ke PLN.
Perjalanan privatisasi di Indonesia sudah terjadi lama. Sejak tahun 1998. Dalam kaitan dengan itu, SP PLN Group menentang IPO, penjualan saham perusahaan pada tahun 1998 dan 2005. Karena ada perlawanan dari serikat, akhirnya tidak jadi. Serikat juga mengajukan judicial review UU 20/2002 tentang Ketenagalistrikan berhasil kita menangkan. Kita juga melakukan penolakan program kebijakan pengelolaan pembangkitan yang dimiliki pemerintah ke pihak asing. Kita juga melakukan judicial review ketika UU Ketenagalistrikan memungkinkan kepemilikan swasta. “Saat ini, kita melakukan judicial review terhadap UU Cipta Kerja, khususnya terkait dengan klaster ketenagalistrikan. Dan terbaru, kita sedang melakukan perlawanan terhadap holding-subholding dan IPO,” ujar Andy.
Usai semua narasumber memaparkan materinya, ada beberapa peserta yang memberikan komentar. Di antaranya adalah Youngbae Chang, Executive Director, PSI Korean Council (PSI-KC). Dia menyampaikan, bahwa ketidakseimbangan akan menciptakan kektidakadilan. Oleh karena itu, kita tidak hanya bicara tentang lsitrik. Tetapi juga mengaitkan dengan isu yang lain.
Perlu ada pendekatan khusus untuk energi. Di sini, kita perlu pemerintah demokratis. Di mana kita punya waktu yang cukup untuk mencapai tujuan kita. Apapun yang kita lakukan harus meningkatkan rasio energi terbarukan. Pemerintah harus ikut berpartisipasi dalam pengelolaannya sehingga kita bisa mendorong transisi berkeadilan di banyak negara. Noh You Keun dari Korea menceritakan, tahun ini pemerintah Korea menciptakan komite kabron dan mendorong transisi energi. Beberapa politisi mendukung kebijakan ini. Tetapi berbagai perusahaan mendorong privatisasi. Kemudian serikat pekerja mendorong adanya dialog sosial untuk menciptakan transisi yang berkeadilan dan bersamaan dengan itu melakukan riset dan menerbitkan buku tentang transisiberkeadilan. Serikat pekerja tidak mungkin diam dengan adanya privatisasi. Privatisasi dilakukan dalam 25 tahun yang lalu, dan terbukti privatisasi mempunyai dampak yang tidak baik. Ia meningkatkan subsidi. Dalam hal ini, energi terbarukan itu lebih baik dan lebih murah.
Di akhir workshop, David Boys, PSI Deputy General Secretary, menyampaikan, bahwa serikat pekerja di sektor energi sangat kuat dan mempunyai sejarah yang panjang. Perlawanan terhadap privatisasi dilakukan di Tahiland, India, hingga Indonesia. Memang melelahkan. Tetapi sejauh ini kita menang. Salah satu faktor menentukan dalam kemenangan ini adalah, afiliasi memberitahu dengan cepat ke PSI. Di mana kita mempuyai riset yang membahas privatisasi energi. Ini adalah kemampuan PSI dalam memberikan semacam panduan kepada afiliasi untuk melakukan perlawanan terhadap privatisasi. Beberapa serikat menggunakan cara yang berbeda. Mereka juga melibatkan publik. Dengan demikian, serikat memahami bahaya privatisasi. Ada begitu banyak riset yang sudah dilakukan. Pemerintah perlu mendengarkan testimoni dari serikat pekerja tentang dampak buruk privatisasi. Bahkan, akan ada riset yang akan keluar sebentar lagi, terkait dengan privatisasi.
Ini untuk melihat berbagai pilihan strategi. Kita perlu menuliskannya dan menganalisis dengan baik. Bagi sebagain kita, membangun aliansi adalah dengan melihat berbagai perpektif yang digunakan. PSI sebagai organisasi trade union untuk demokrasi yang anggotanya banyak di sektor energi, menggunakan analisis ini untuk membuktikan bahwa privatisasi tidak sejalan dengan energi terbarukan. David menegaskan, kita harus menghubungkan krisis iklim dan energi. Di mana kita butuh kebijakan yang progresif, dan menjadikan isu itu sebagai prioritas. “Kita bergantung pada afiliasi dan sektor energi untuk memimpin perjuangan ini untuk anggota dan kelansungan hidup ini,” pungkasnya.