Rangkuman Paparan Bro Josua Mata (Sekretaris Jenderal SENTRO) dalam pertemuan zoom dengan SP PLN group pada tanggal 23 Agustus 2021
“Teman-teman di Indonesia harus melawan privatisasi. Jangan sampai terjadi seperti di Filipina, karena betapa buruknya jika energi listrik diprivatisasi.”

Dalam kesempatan ini, saya ingin membagi pengalaman selama berpuluh tahun perjuangan dalam melawan privatisasi industri kelistrikan di Filipina.
Saya berasal dari serikat di sektor kelistrikan. Di mana posisi saya sekarang adalah sebagai Sekretaris Jenderal SENTRO di Filipina. Dan apa yang sedang kita kerjakan ini adalah bagian dari demokrasi energi.
Apa itu demokrasi energi? Kita percaya bahwa semua masyarakat membutuhkan energi yang lebih berkelanjutan. Hal itu hanya bisa dilakukan jika publik mengendalikan sumber daya energi. Kalau listrik berada di tangan swasta, maka transisi itu tidak akan pernah terjadi.
Demokrasi energi menekankan bahwa buruh harus memiliki suara yang real terkait dengan bagaimana energi ini dibangkitkan dan digunakan. Dari mulai diproduksi dan ditransmisi, dalam hal ini penjualan. Kita juga percaya bahwa energi harus diakui sebagai barang publik dan hak-hak dasar. Ini adalah hal-hal yang bisa ditemui di dalam dokumen deklarasi serikat untuk demokrasi energi.
Kita juga percaya bahwa demokrasi energi bisa menggantikan pasar energi yang diliberalisasi dengan perencanaan yang demokratis dan memastikan ada pendanaan publik. Selain itu juga membuka potensi energi terbarukan, agar energi tidak diproduksi semata-mata untuk keuntungan.
Kemudian yang terakhir, melepaskan ketidakpedulian rakyat dalam menyelesaikan berbagai persoalan energinya. Dalam hal ini, rakyat harus mempunyai kekuatan untuk menggunakan atau mengelola listrik.
Kita juga percaya, bahwa demokrasi energi bersifat imperatif. Terutama sekarang, ketika IPCC mengeluarkan studinya yang paling baru, bahwa terdapat kebutuhan yang sangat besar untuk bertranformasi ke energi yang terbarukan dan tanpa karbon.
Mungkin kita sudah mendengar bahwa IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) mengatakan, bahwa aktivitas manusia menyebabkan perubahan iklim. Dalam kaitan dengan itu, sektor yang paling besar yang mengeluarkan karbon adalah sektor energi. Ada kemendesakan yang sangat besar dari system energi, yang saat ini bergantung pada bahan bakar fosil untuk berpindah ke sumber energi yang lebih terbarukan.
Di dokumen TUED (Trade Unions for Energy Democracy) juga menjelaskan, bahwa kita memerlukan transisi secepatnya. Tetapi tidak akan terjadi transisi, kecuali jika kita terus mendorong agar transisi itu benar-benar terjadi. Karena yang terjadi sekarang, penggunaan bahan bakar fosil masih meningkat. Meskipun penggunaan energi terbarukan juga meningkat, seperti penggunaan angin dan matahari. Namun demikian, produksi total pasokan global untuk eneri terbarukan masih sangat kecil.
Hambatan paling besarnya adalah, saat ini energi dianggap sebagai komoditas. Ini adalah konsekwensi dari dikendalikannya listrik oleh swasta.
PSI (Public Services International) berkali-kali sudah menunjukkan, bahwa energi harus berada di tangan publik. Untuk itu, teman-teman di Indonesia harus melawan privatisasi. Jangan sampai terjadi seperti di Filipina, karena betapa buruknya jika energi diprivatisasi.
Refleksi saya atas apa yang terjadi di Filipina, pertama, saya harus katakan bahwa dalam 20 tahun terakhir sejak ada UU reformasi industri energi listrik kondisinya semakin memburuk. Dulu mereka mengatakan, bahwa kalau pasar beroperasi dengan baik maka akan ada kompetisi dan oleh karena itu terjadi efisiensi. Dengan demikian, kita akan mempunyai listrik yang efisien, aman, dan bisa diandalkan, serta harga listrik menjadi lebih murah. Itu janji 20 tahun lalu.
Apa yang terjadi sekarang? Alih-alih kompetisi yang didapat. Segera setelah UU ini disahkan pada tahun 2001, kita berganti dari monopoli negera menjadi oligapoli. Artinya hanya beberapa pemain yang bisa berpartisipasi dan mendominasi system ini. Dalam beberapa kasus, ada kolusi di dalamnya. Saya tidak akan menyebutkan mereka siapa saja, tetapi di Filipina disebut sebagai Taipan. Bisnisman paling besar di industri energi, di mana mereka lah yang mendorong privatisasi di sektor energi.
Kita bisa temukan di Filipina, di mana setelah UU yang membuka ruang privatisasi itu disahkan, semua binsisman yang bermain di industri listrik dijamin mendapat keuntungan karena semua resiko yang bisa diderita oleh bisnisman dibebankan kepada konsumen. Itu juga alasan, meskipun kita sudah mengalami berbagai persoalan dengan listrik, mereka terlepas dari berbagai persoalan yang kita dapat. Mereka tetap mendapat keuntungan yang besar.
Kedua, bisa dilihat bagaimana mereka bisa menciptakan pasar sendiri. Di seluruh negeri, penguasaan swasta terhadap energi semakin besar. Alih-alih pasokan energi semakin berlimpah, justru yang saat ini terjadi adalah krisis energi.
Di Filipina sering terjadi pemadaman bergilir. Ketika sekarang musim kemarau, betapa panasnya kita tanpa AC dan kipas. Kadang-kadang pemadaman listrik terjadi selama berhari-hari, bahkan pernah terjadi selama 3 hari. Pemadaman bergilir ini terjadi secara periodik, terus-menerus.
Dari sini kita bisa mengatakan, bahwa sektor swasta tidak pernah bisa menyediakan listrik yang bisa diandalkan. Sebaliknya, ketika negara mengendalikan industri energi, tentu saja negara bertanggungjawab merencanakan kapasitas pembangkitannya. Kita mengasumsikan bahwa negara akan menjalankan pekerjaanya dengan baik.
Tetapi privatisasi membagi-bagi pembangkitan energi ke tangan swasta. Ketika berada di tangan swasta, Negara tidak memiliki kekuasaan apapun untuk mengintervensi dalam pembangkitan dan merancang berapa kapasitas pembangkitan untuk bisa memenuhi kebutuhan. Bahkan swasta bisa saja secara sengaja menunda investasi, menunda perbaikan pembangkit.
Mereka bisa merencanakan dan merancang krisis. Mengapa demikian? Karena mereka mendahulukan bisnis daripada melayani rakyat. Mereka mempunyai tanggungjawab untuk menciptakan keuntungan.
Di jalur transmisi, ada anggapan bahwa kita tidak bisa bersaing dengan membangun jalur transmisi sendiri karena itu akan sangat mahal. Maka jalur transmisi pun diprivatisasi, yang dikerjakan oleh perusahaan rekanan dari China. Akibatnya, sekarang hal itu menjadi persoalan keamanan. Mereka menyadari bahwa system yang digunakan menggunakan teknologi China, termasuk sofwarenya. Bahkan meskipun kita punya seorang IT yang bisa dengan mudah menggunakan kodenya, tetapi mereka tidak bisa berbahasa China. Ketika sekarang kita sedang punya permasalahan dengan China perihal Laut China Selatan, hal ini menjadi permasalahan. Saya takut mereka akan punya kontrol sepenuhnya atas jalur transmisi, dan mereka bisa menggunakan ini untuk melemahkan kita. Ini jelas membahayakan kedaulatan negara.
Persoalan lain, saat ini harga listrik sangat mahal. Harga listrik adalah 5,56 per Kwh pada tahun 2001. Sekarang, pada Juli 2021 menjadi 8,9071 per Kwh. Ada kenaikan sebesar 55%.
Filipina menjadi salah satu negara dengan listrik yang paling mahal di dunia. Kadang-kadang kita membayar nomor 2 tertinggi di Asia, kadang-kadang nomor 5. Tetapi di dunia, kita kadang-kadang menjadi 10 negara termahal harga listriknya.
Belajar dari apa yang dialami oleh Filipina, saya mendorong kawan-kawan menghentikan privatisasi listrik di Indonesia. Sebab pada akhirnya, semua resiko akan ditanggung oleh kita.
Refleksi Dalam Melakukan Perlawanan
Pada waktu itu, kita merupakan aliansi buruh progresif. Kita bekerja dengan koalisi yang sangat luas, yang disebut FDC. Ini adalah sebuah aliansi yang besar pada saat itu.
Di dalam gerakan buruh, kita merasa bahwa kita tidak cukup kuat untuk melawan. Oleh karena itu, kita perlu bekerjasama dengan semua elemen. Karena tidak hanya buruh yang akan terdampak, tetapi semua orang.
Kemudian kita menggunakan semua potensi yang ada untuk berjuang. Bertemu dengan eksekutif, legislatif, bahkan kita juga ke pengadilan. Termasuk dengan turun ke jalan, melakukan unjuk rasa. Apapun kita lakukan untuk menyampaikan pesan, bahwa kita menolak privatisasi. Dalam hal ini, kita juga bekerjasama sangat dekat dengan media.
Pada akhirnya, kita gagal. Tetapi kita terus berjuang. Selama 10 tahun kita bisa menunda privatisasi, karena kita menggunakan semua front perjuangan yang bisa kita lakukan.
Pada akhirnya, kita kalah. Saat itu, perekonomian sedang tumbuh di berbagai negara. Maka negara ini menangkap peluang itu. Maka negara kemudian tunduk pada satu idiologi, yang menyebutkan bahwa kita membutuhkan pasar. Karena itulah kemudian terjadi kediktatoran pasar, tunduk pada mantra neoliberal.
Hal lain yang mengalahkan kami adalah fakta bahwa pada waktu banyak orang berfikir bahwa BUMN sektor kelistrikan ini sangat tidak bisa diandalkan. Ada banyak korupsi dan tidak efisien.
Itu memag benar. Bahwa BUMN yang dimaksud tidak bisa diandalkan dan korupsi. Tetapi keberadaan BUMN yang buruk itu tidak bisa digunakan sebagai pembenaran untuk melakukan privatisasi. Jika memang BUMN-nya buruh, yang kita butuhkan adalah manajemen baru yang lebih bauk, bukan justru diprivatisasi.
Di tahun 90-an, kita berusaha mengejar ketertinggalan ekonomi. Saat itu ada pertumbuhan populasi yang tidak diperhitungkan. Tumbuhnya kelas menengah membuat kebutuhan energi semakin besar. Karena orang-orang mampu membeli AC dan alat-alat listrik yang lain. Terjadilah krisis. Krisis energi menjadi alasan yang mudah digunakan untuk tunduk pada kebijakan neoliberal, kemudian mendorong untuk menggunakan solusi paling instan yaitu tunduk pada pasar.
Terlebih NPC (National Power Corporation) hutang yang sangat besar, yang menggerogoti anggaran yang sangat besar. Maka disampaikanlah, bahwa alasan privatisasi untuk menghentikan hutang yang sangat besar. Tetapi yang kemudian terjadi, ketika diprivatisasi, sebagian hutang ini dibebankan kepada konsumen. Siapa yang membayar hutangnya? Tentu saja pembayar pajak. Kita semua.
Pada tahun 2001, ketika kongres (DPR) memutuskan UU yang membuka ruang privatisasi, kita membongkar bahwa semua orang di kongres sudah dibayar oleh mereka yang ingin memprivatisasi industri listrik.
Ini dibongkar oleh salah satu anggota kongres yang menolak privatisasi. Dia terkejut, ketika di kantor menemukan uang sangat besar, setengah juta peso. Kemudian dia menyadari, semua orang yang menolak UU itu diberi setengah juta peso. Tetapi yang menyetujui mendapat lebih besar dari itu. Kita akhirnya mempublikasikan hal ini dan menjadi skandal yang besar. Tetapi privatisasi tetap terjadi.
Persoalannya adalah, kami tidak mampu memobilisasi opini publik secara massif. Sehingga kita tidak mampu memberikan tekanan yang lebih besar.
Apalagi, rakyat tidak mendapatkan listrik yang dibutuhkan. Pada akhirnya rakyat sangat muak dengan system ini. Sehingga mereka berpendapat; oke, sudahlah kita privatisasi saja.
Setelah 2001, perjuangan bergeser. Salah satu yang kita lakukan sejak 2001 adalah mempertahankan koperasi listrik di negara ini. Di mana ada 120 koperasi listrik yang dimiliki oleh orang orang-orang yang membayar listrik. Di banyak kasus, kita mengorganisasi koperasi listrik, selain membangun serikat. Kita membangun manajemen yang transparan. Kita juga mengorganisasi konsumen, sebagai sekutu untuk melawan privatisasi.
Kita juga mendorong tansisi ke energi terbarukan dan mengembangkan adovkasi ke iklim yang berkeadilan. Hal lain yang harus dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat harus dilakukan jika ingin melawan privatisasi. Ini tidak mungkin dilakukan, jika kita tidak melibatkan seluruh masyarakat sipil yang terdampak. Sambil terus memberikan pemahaman, kita juga harus memperjuangkan energi yang terjangkau dan bisa diandalkan. Jika ini tidak bisa kita lakukan, maka publik akan sangat mudah dibujuk oleh neoliberal.
Pingback: Privatisasi Bukan Solusi – Strengthening Unions in the Energy Sector in Indonesia