
SP PLN group pada tanggal 23 Agustus 2021 mengundang Bro Josua Mata, Sekretaris Jenderal SENTRO melalui pertemuan ZOOM. Josua memaparkan kenapa privatisasi sektor kelistrikan di Filipina gagal? Andy Wijaya, Sekretaris Jenderal PP Indonesia Power, selalu moderator dalam pertemuan tersebut menggaris bawahi, bahwa janji EPIRA (The Electric Power Industry Reform Act (EPIRA)) ketika melakukan privatisasi listrik di Filipina tidak terbukti. Dalam kenyataannya, tidak ada kompetisi dan justru harga listrik menjadi mahal. Yang terjadi justru oligopoli, di mana sekelompok orang menguasai ketenagalistrikan dan mengendalikan ketenagalistrikan. Pelayanannya pun juga belum baik. Faktanya, di Manila masih sering terjadi pemadaman. Bahkan, harga listrik naik signifikan sejak EPIRA diberlakukan, yakni 55% .
Dari apa yang disampaikan Josua, setidaknya ada 5 hal yang bisa kita jadikan pembelajaran dari kekalahan di Filipina. Pertama, berkaitan dengan sikap pemerintah. Kedua, PLN-nya Filipina (atau NPC – National Power Corporation) digambarkan sebagai perusahaan yang tidak efisien dan korup, sehingga tidak lagi mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Ketiga, NPC terlilit dalam hutang yang besar. Keempat, kongres (DPR Filipina) disuap agar bisa memuluskan EPIRA. Dan yang terakhir, dukungan masyarakat yang kurang.
Dalam kesempatan ini, Ketua Umum SP PLN M Abrar Ali menyampaikan, bahwa saat ini peran negara dalam ketenagalistrikan semakin dikecilkan. Sementara peran swasta semakin besar. Padahal jika negara tidak lagi memiliki kendali terhadap listrik, rakyatlah yang akan merasakan dampaknya. Pengalaman di Filipina membuktikan hal itu.
Abrar mengaku, bukan hal yang mudah memperjuangkan sesuatu yang sebenarnya menjadi kewajiban dari negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Terlebih ketika saat ini kita melihat integritas penegakan hukum di Indonesia.
Dulu kita sangat percaya pada lembaga MK, di mana perannya begitu idiologis dengan mengabulkan judicial review yang diajukan SP PLN untuk menghadang privatisasi. Tetapi di kondisi sekarang, kita agak pesimis. Namun demikian, kita akan tetap berjuang untuk menahan privatisasi listrik.
Kita berpedoman bahwa negara berkewajiban mensejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu, serikat pekerja yang menaungi pekerja di sektor ketenagalistrikan adalah bagian dari negara itu sendiri dalam bidang ketenagalistrikan. Oleh karena itu, kita mempunyai kewajiban untuk mengawal konstitusi. Terlebih lagi, umur PLN dengan Indonesia hampir sama. Hanya beda 3 bulan.
Tetapi yang menjadi masalah, semakin ke sini peran negara semakin dikecilkan. Hal ini terlihat dari kontrak IPP (independent Power Producers) di pembangkit swasta atau proyek-protek EBT (energi baru terbarukan) yang terus diprivatisasi. Dengan dikelola oleh negara, harga listrik menjadi terjangkau. Hal ini bisa terjadi, karena sebagain besar ditanggung pemerintah dalam bentuk kompensasi dan subsidi. Tetapi ketika nanti jatuh ke pengelolaan swasta, maka bisa dipastikan akan ada kenaikan harga. Karena, memang, yang dipikirkan swasta adalah keuntungan semata.
Bersama serikat pekerja lain di Gekanas, kita juga berdiskusi tentang peran swasta yang semakin dominan dan peran PLN makin berkurang. Ke depan, otomatis akan ada kenaikan harga listrik. Termasuk listrik untuk sektor industri juga akan terdampak. Jika ada kenaikan harga listrik industri, maka yang paling fleksibel dilakukan efisiensi adalah upah pekerja. Bisa jadi mereka upahnya tidak naik. Dan kalau misalnya kenaikan listrik memicu kenaikan biaya pokok produksi, bisa saja akan ada pengurangan atau PHK. Hal inilah yang kita komunikasikan dengan kawan-kawan serikat pekerja lain. Sehingga perjuangan kita di internal sesama serikat pekerja akan semakin intensif lagi.
Bung Dewanto Wicaksono selaku Sekretaris Jenderal SP PJB memempertanyakan, apakah di Filipina yang diprivatisasi ketiga unsur listrik seperti pembangkitan, transmisi, dan distribusi. Kemudian, dari pengalaman di Filipina, praktek untuk melakukan privatisasi pada tiga proses pembangkitan itu menjadi sesuatu yang harus diwaspadai di seluruh negara di ASEAN. Apalagi saat ini trend dunia adalah melakukan kemandirian energi. Dewanto juga meminta saran Josua, untuk menghindari terjadinya privatisasi apakah ada trik yang bisa di share kepada kawan-kawan di Indonesia. Menjawab hal ini, Josua menegaskan bahwa serikat pekerja wajib melawan privatisasi. Menurutnya, janji privatisasi tidak akan terwujud sama sekali. Untuk itu, penting bagi kita untuk membuat analisis apa yang sesungguhnya menjadi persoalan.
Neoliberal dan pasar bebas berserta pendukungnya mempunyai prinsip idiologis dalam hal pasar bebar. Bagi mereka, semua persoalan bisa diselesaikan dengan pasar bebas. Mereka percaya itu. Dari sini, kita bisa mengidentifikasi, apa persoalan yang membuat sistem ini tidak berfungsi dengan baik, kemudian menanyakan apakah solusi dengan privatisasi. Atau negara justru harus bisa mengatasi persoalan ini tanpa harus melakukan privatisasi. Meski demikian, neoliberal akan berusaha untuk memotong debatnya dengan melompat pada kesimpulan dengan menawarkan deregulasi. Di sini penting bagi kita untuk membuat konsep yang kuat terlebih dahulu.
Josua mengatakan bahwa, 20 tahun lalu NPC memang tidak efisien, korup, dan tidak bisa diandalkan. Tetapi ketika dilakukan privatisasi, perusahaan yang mengendalikan listrik sekarang juga tidak efisien dan tidak bisa diandalkan.
Oleh karena itu, yang harus kita lakukan, di awal kita perlu membangun argumentasi dengan membuat pertanyaan apa yang perlu diselesaikan. Di sini kita bisa fokus untuk menginventarisir tentang hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk menghentikan privatisasi.
Apakah energi terbarukan juga akan diprivatisasi? Yang kami percaya di demokrasi energi, kenyataanya kalau kita membiarkan sektor swasta memutuskan maka mereka tidak akan berinvestasi di sektor energi terbarukan. Karena energi terbarukan tidak murah.
Selanjutnya, PS Kuncoro dari PPIP mempertanyakan apakah privatisasi di Filipina dilakukan dengan membagi-bagi antara pembangkitan, transmisi, dan distribusi. Kemudian, setelah masyarakat sadar terkait dengan layanan kualitas listrik yang tidak baik melakukan upaya class action. Menjawab pertanyaan itu, Josua menyampaikan bahwa ada dampak buruk ketika listrik diprivatisasi. Ketika berbicara tentang industri listrik, maka akan ada perusahaan pembangkit sendiri, perusahaan transmisi sendiri, begitu juga dengan distribusi. Ada perusahaan pemasok. Bahkan, pembangkitan yang dimiliki negara dijual ke swasta. Transmisinya diprivatisasi. Swasta datang mulai dari asset negara melalui perusahaan jaringan nasional yang bekerjasama dengan perusahaan dari China dan kemudian mereka mengambil alih jalur transmisi. Apa dampaknya bagi buruh. Awalnya, buruh mendapatkan upah yang besar. Kemudian diganti lulusan baru yang upahnya sama atau kemudian dipaksakan untuk menerima upah yang lebih rendah. Karena di bawah hukum Filipina, semua orang bisa di PHK ketika terjadi privatisasi.
Ketika satu perusahaan diprivatisasi, misal jaringan transmisi, kita mau memasukkan ketentuan perusahaan yang mengambil alih harus menghormati serikat pekerja dan PKB (Perjanjian Kerja Bersama) juga sulit. Tetapi hal ini tidak dimasukkan di dalam undang-undang. Yang terjadi, ketika perusahaan swasta mengambil alih, tiba-tiba terjadi PHK.
Selanjutnya, Andy mempertanyakan, apakah pada saat itu masyarakat Filipina tidak mendukung gerakan untuk menghalangi privatisasi? Menjawab hal ini, Josua menyebutkan bahwa kita bisa menunda privatisasi selama kurang lebih 10 tahun. Saat itu, undang-undang pertama dibuat pada tahun 1993. Tetapi kemudian undang-undang itu disahkan pada tahun 2001. Selama itu, kita berhasil menunda. Karena rakyat menyadari, kalau listrik diprivatisasi, maka listrik akan sangat mahal bagi bagi semua orang. Tetapi persoalannya, sebagaimana saya sebutkan, kita hanya bisa membuat mereka tetap mendukung kita selama mereka tidak harus menanggung konsekwensi atau tidak marah dengan sistuasi kelistrikan. Persoalannya, pemerintah tidak peduli dengan rakyatnya karena NPC tidak bekerja dengan baik. Listrik padam selama berhari-hari. Ini menjadi kesempatan untuk mereka mengatakan, kalau listrik diprivatisasi, maka tidak akan terjadi pemadaman. Dan rakyat pun tidak bisa bertahan.
Untuk itu, kita perlu harus bekerja terus menerus dengan rakyat dan mengatakan semua orang berhak atas listrik dan memperlihatkan ada solusi lain yang bisa diterima selain privatisasi.
Selanjutnya, Sekretaris Jenderal SP PLN Bintoro Suryo Sudibyo menyampaikan bahwa iklim politik di Filipina sangat mirip dengan di Indoensia. Modus untuk melegalkan privatisasi pun mirip. Bahkan dibentuk isu adanya krisis energi, listrik ke harga keekonomian, hingga persaingan bebas. Dari sisi DPR dan eksekutif pun hampir sama. Sehingga privatisasi bisa berjalan secara legal. Kemudian, apa yang kita lakukan juga sama dengan yang dilakukan kawan-kawan di Filipina. Mulai dari perjuangan judicial review sampai dengan aksi turun ke jalan semua dilakukan. Termasuk melalui media dan seminar.
Pertanyaannya, sebenarnya apa sih yang membuat privatisasi di Filipina bisa tidak terbendung, selain yang tadi sudah disampaikan. Dari situ kita bisa belajar agar privatisasi tidak terjadi di Indonesia. Apakah itu memang kehendak negara, atau memang murni kehendak dari pengusaha yang masuk melalui elemen negara, baik eksekutif dan legisatif.
Menjawab hal ini, Josua menyampaikan bahwa salah satu faktor terbesar yang membuat kita kalah melawan EPIRA adalah fakta bawah IMF, ADB, dan Bank Dunia bekerjasama memberikan tekanan kepada Filipina untuk mengesahkan undang-undang ini. 20 tahun yang lalu, NPC memiliki hutang yang sangat besar. Oleh karena itu, pemerintah berusaha menyembuhkan hutang itu. Maka solusi untuk mendapatkan lebih banyak pinjaman dari IMF, Bank Dunia, ADP adalah dengan mengikuti saran IMF dengan memprivatisasi industri listrik. Jadi, salah satu hal terbesar yang membuat kita kalah yaitu tekanan internasional.
Di sisi lain, karena rakyat ingin mendapatkan listrik yang lebih baik, mereka pun berpandangan harus diprivatisasi. Ini masalahnya. Karena NPC sendiri juga gagal menyediakan listrik yang memadai. Namun demikian, sekarang bahkan IMF dan Bank Dunia tidak setuju lagi jika persoalan ini diselesaikan melalui privatisasi. Faktanya, privatisasi tidak bisa betul-betul menyelesaikan persoalan. Untuk itu, harus upaya yang kuat untuk melawan privatisasi.