
SP PLN Group melakukan diskusi dengan Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, Kamis (12/8). Diskusi ini membahas problematika ketenagalistrikan di Indonesia. Mengawali diskusi, Sekretaris Jenderal PP IP Andy Wijaya menyampaikan bahwa saat ini yang menjadi perhatian di PLN adalah program holding subholding dan IPO.
Disampaikan Andy, skema pembentukan tarif listrik di masyarakat adalah 70% serta 30% di transmisi dan distribusi. Di mana salah satu fungsi PLN adalah pembentukan tarif listrik di Aceh sampai Papua menjadi satu harga.
Masalahnya, skema bisnis yang sekarang adalah IPP dengan TOP 70%. Jika dilakukan holdingisasi di PLN dan anak usahanya, maka akan ada IPP baru dengan skema TOP 70%. Belum lagi dengan jangka waktu kontrak yang didasarkan pembangkitnya masing-masing. Untuk PLTU adalah 30 tahun, untuk PLTA 40 tahun, dan PLTGU kalau tidak salah 25/35 tahun. Skema proses bisnis inilah yang akan berlaku jika ada subholding dan IPO.
Sebagian pembangkit di Jawa juga akan direlokasi ke luar Jawa Bali. Berdasarkan DMN tahun 2019, IPP sebesar 25%. Sekarang diperkirakan sudah mencapai 45%. Dan nanti, dua-tiga tahun ke depan, diperkirakan IPP di Jawa-Bali akan hampir 80%. Karena ada penambahan 6.000 MW untuk PLTU Batang, Tanjungjati, Cilacap dan ada pemindahan dari PLTGU yang ada di Jawa sebesar 2.500 MW ke luar Jawa.
Jika di Jawa ada 80% milik IPP, maka komposisi harga akan menjadi persoalan. Karena dari 80% IPP, harus dibeli minimal sebesar 70% nya oleh PLN. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan, ke depan di Pulau Jawa semuanya adalah IPP.
Saat ini terjadi over capacity di Jawa-Bali, karena hanya mempunyai demand setengahnya. Dengan capacity factor PLN dan anak usahanya di bawah 30% dan IPP sebesar 70%. Ini menyebabkan pembangkit PLN di Jawa Bali menjadi underutilize. Padahal asetnya besar. Untuk di Jawa Bali saja, IP itu punya 9.000 MW, kalau PJB totoalnya ada 6.000 MW. Tapi jadi underutilize. Mengapa? Karena kewajiban TOP IPP yang 70% tersebut.
“Bagaimana ketika nanti ada holding dan subholding? Permsalahan akan semakin runyam,” tegas Andy. Apalagi ini tidak peduli dengan kinerja operasi. Karena sebenarnya, kinerja operasi milik PLN lebih bagus dari IPP.
Ada bocoran, di dalam rapat terbatas antara Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan ESDM pada tanggal 5 Agsutus ada beberapa hal yang dibahas. Misalnya, terkait dengan holding PLTU ini dimintakan ke kementerian ESDM terkait persetujuan tarif PPA kalau misalnya di spin off. Bahkan sudah ada permintaan ke Kementerian Keuangan terkait kenaikan subdisi komposisi tarif listrik PPA dengan perusahaan baru yang mengelola PLTU Batubara. Jadi, sudah hampir pasti akan ada kenaikan subdisi bagi holding PLTU.
Dampaknya, BPP mengalami kenaikan 1 T per tahun. Kriteria awal PLTU Batubara yang akan diholding PLTU kan ada tiga. Pertama umur teknologi yang tua sehingga kurang efisien, kemudian ada ability factor dalam 5 tahun kurang 80%, kemudian proyeksi factor 50% dalam 5 tahun.
Terkait dengan capacity factor proyeksi, kita terkendala dengan TOP IPP. Maka untuk proyeksi capacity factor sudah pasti terpenuhi semua. Idealnya 28,3%. Kalau dasarnya ini maka nanti rata-rata semua akan diholdingkan sehingga tidak ada lagi yang masuk dalam pengelolaan PLN Group. Kita tahu bahwa PLN memang agak kesulitan dalam membuat pembangkit-pembangkit muda. Jadi, memang, tiga kriteria itu menyasar semua ke PLN Group.
Setelah TOP IPP 70%, di ketenagalistrikan itu ada marriage order berdasarkan komponen C. Seluruh pembangkit sejenis yang ada di Jawa Bali dirankingkan berdasarkan komponen C. Komponan C adalah berapa kalori yang dibutuhkan untuk membangkitkan 1 Kwh. Setelah di ranking, yang ranking paling tinggi dioperasikan terlebih dahulu untuk mencapai beban yang dibutuhkan oleh masyarakat. Marriage order ini dibuat per bulan, sehingga ketahuan berapa yang bisa dioperasikan.
Di PLTU swasta rata-rata per bulan 70%. Sedangkan yang di bawah 70% itu biasanya adalah milik PLN, karena dia dikalahkan. Sebagai gambaran, di Suralaya 1-4 dan 5-7 IPF nya itu 66 dan 60%. Dia di urutan 23-24 untuk urutan marriage order dan komponen C. Padahal, kalau misalnya di situ bertanding di komponen A, B, C, D; maka Suralaya ini murah sekali. Sampai Mei 2011 per KWH hanya 511 untuk Suralaya 1-4 dan untuk 5-7 itu hanya 551. Masalahnya, yang ditandingkan hanya komponen C nya saja. Tetapi yang dibayar oleh PLN adalah komponen ABCD.
Ibaratnya, kalau mobil itu yang diadu adalah kecepatannya. Antara angkot dengan Ferrari, kalau diadu kecepatannya angkot pasti kalah. Tetapi karena macet, maka sampainya sama. Cuma kalau kita bayar untuk penumpang, angkot lebih murah dari Ferrari. Padahal kan biayanya tidak hanya soal penumpang, karena ada ongkos sopir, investasi, pemeliharaan, dan lain sebagainya.
Menyambung uraian Andy sebagaimana di atas, Fabby Tumiwa mengatakan, bahwa fenomena ini bukan hal yang aneh. “Dulu, kita sudah sering bilang ada perlakuan berlebihan terhadap IPP. Itu sudah berkali-kali disampaikan,” tegasnya.
Fabby melanjutkan, dengan kondisi PLN yang mengalamai over supplay, maka rencana 35 GW untuk proyek IPP harusnya ditunda terlebih dahulu.
Selanjutnya dia menyampaikan, TOP 75% dimulai dari Paiton 1. Karena dinilai terlalu tinggi, kemudian renegoisasi tarif turun, tetapi kontrak diperpanjang dari 35 ke 40 tahun. Belakangan, inilah yang kemudian menjadi standar.
Kita sudah lama keblinger mengenai listrik swasta. Menurutnya, ini konyol. Karena misalnya dengan kebijakan 35GW yang sekarang; sebenarnya itu bermasalah sejak awal direncanakan. Apalagi dengan target pertumbuhan listrik yang sangat tinggi. Yang jelas, menurut Fabby, IPP 35GW itu keliru besar dalam pelaksanaannya.
Karena IPP sudah dipatok dengan TOP yang tinggi, akhirnya di kebijakan di marriage order pasti akan didahulukan. Sementara pembangkit PLN yang menjadi paling bontot. Terlebih lagi, antara PLN dan anak perusahaan tidak ada hubungan kontraktual. Ini harus diselesaikan PLN. Di mana hubungan dengan anak perusahaan pembangkitanya seharusnya juga ada kontrak. Nggak bisa seenaknya, seperti sekedar menjadi bumper.
Kenapa di tahun 2005 ada generation company yang kemudian menjadi IP dan PJB? Idenya adalah, PLN bisa menjalankan tata kelola korporasi secara professional supaya ada hubungan kontraktual dengan anak perusahaan. Tetapi sepertinya ini tidak dilakukan.
Kita tahu penyebabnya kenapa? Tadi yang dibilang, adalah bentuk konsekwensi dari PLN menerapkan TOP dengan tingkat CF yang tida wajar.
“Saya bilang, kontrak dengan IPP ini merugikan negara. Tetapi tidak ada yang menyuarakan ini. Saya kira serikat pekerja perlu menyuarakannya,” tegas Fabby.
Dalam kondisi hari ini kita lupakan saja pertumbuhan 70% dalam 5 tahun ke depan. Over capacity PLN berdasarkan data yang saya miliki di seluruh Indonesia sudah 52%, bukan hanya 48%. Sampai dengan tahun 2025, Fabby memperkirakan kondisi ini tidak akan membaik.
Sekarang PLN masih bertahan karena ada efisiensi besar dan injeksi dari pemerintah dalam bentuk subsidi. Tapi kita tahu kondisi itu tidak ideal. Bahkan sepanjang tahun lalu mengalami cashflow stag. Jadi saya melihat keuangan PLN dalam kondisi berbahaya. Perusahaan dengan asset 1.500 T tetapi hanya membuat profit 5 T. Ini kecil sekali. Untuk perusahaan yang normal, kondisi ini sangat tidak wajar.
Saat bertemu dengan Direksi PLN, saya was-was. Hutang 500 T harus berinvestasi di sisi transmisi. Transmisi itu long time investmen di atas 20 tahun. Return of investment di bawah 5% dan akan lama sekali pengembaliannya. Kalau hutang jangka pendeknya 120T tidak menjadi masalah. Tapi kalau ita bicara beban dalam jangka panjang akan sulit. Terutama sekarang yang tadi dibilang, pembangkit PLN hanya running cash flow. Pembangkit dari sisi usia juga suda tua, tidak lama lagi akan dipensiunkan karena sudah masuk limit dan biayanya menjadi lebih mahal. Di sini ada tantangan, sumber cash flows dari mana?
Mengenai subholding PLTU, Fabby mengaku masih akan mempelajari lebih lanjut.
“Tapi bayangannya begini. Kalau saya menjadi Menteri BUMN, sebagai Menteri saya punya kepentingan untuk memaksimalkan nilai asset. Saya tahu pembangkit sudah hampir selesai massa fasenya, di mana mereka sudah tidak efisien. Yang dimiliki IP dan PJB juga sudah tua. Bagaimana bisa melakukan refreshing asset sehingga ada nilai asset yang bertambah?”
Di sisin lain, bertahun-tahun PLN masih fokus pada IPP. Sementara pengembangan asset anak perusahaannya tidak bisa diprioritaskan.
Porsi IPP masih besar di atas 75%. Jadi ini memang mungkin arahnya yang akan dilakukan, seperti yang dilakukan dengan Suralaya. Suralaya hanya 1 pembangkit di asset backed securities. Konsep yang sama nampaknya mau dipakai untuk pembangkit PLTU yang lain, karena itu pilihannya adalah mengkonsolidasikan asset-asset itu di new generation yang baru.
Jadi bisa jadi caranya seperti itu. Tapi saya menduga, kalau itu dilakukan tapi itu dananya untuk replacing asset untuk IP dan PJB untuk asset energi terbarukan, mungkin butuh pendanaan baru. Bisa juga sepeti itu dari perspektif mengelolaan asset. Hanya nanti konsepnya bagaimana ketika asset itu diberikan ke orang. Apakah akan diberlakukan seperti pembangkit swasta atau dengan kontrak TOP 70%. Jika ini yang dilakukan, ini akan menimbulkan dampak yang tidak efisien. Jadinya seperti pagar makan tanaman.
Usai mendengar paparan Fabby Tumiwa, Andy Wijaya menyampaikan, berdasarkan data yang ada, dari 35,000 MW, IPP mendapat 75% dan PLN 25%. IPP sudah terkontrak tapi belum konstruksi adalah 6.228 MW. Sementara yang PPA juga sudah banyak.
“Kalau tadi perkiraan bang Feby seperti yang pernah dilakukan di Suralaya, maka nanti akan ada Suralaya baru. Dia akan memberatkan kita,” ujar Andy.
“Nanti akan meminta jaminan, ini yang sebenarnya dikhawatirkan,” lanjutnya. Kalau mau pakai FW apa salahnya tidak usah dijadikan holding, tetapi di EBA kan.
Pengalaman di Suralaya memberatkan cashflow PLN, karena harus rutin setiap bulan — tidak peduli apakah Suralaya menghasilkan atau tidak, di dispached atau tidak — pengembalian EBA ini wajib terus. Ini memberatkan. Di satu sisi mereka sudah tercukupi dengan TOP IPP. Kalau dinyalakan dobel bayar, tetapi kalau tidak dinyalakan bayar kuponnya dari mana?
Sekarang belum kelihatan, holding PLTU seperti apa. PPA baru atau perusahaan baru. Kalau dengan anak perusahaan, boro-boro ada PPA.
Fabby menyahut, tantangan IP dan PJB sekarang, bagaimana tidak hanya mengelola asset eksisting, tetapi juga asset sudah tua dan harus diganti. Bersama replacing asset yang besar itu tidak bisa semudah membalikkan telapan tangan. Itu semua harus dilakukan. Kalau tidak, lama-lama tinggal tulang dan mati sendiri.
“Dari dulu saya sudah ingatkan itu. Dananya jangan masuk ke holding. Tapi ke IP. Karena IP harus replace asset,” ujar Fabby.
“Waktu itu kan Abang menyampaikan ada tiga yang harus dikelola PLN. Satu, mini grid /transmisi. Energi baru terbarukan, sama non fosil. Sekarang ini menjadi strategi Swasta. IPP merubah menjadi visi green player, seperti contohnya yang dipunyai Barito Pasific dan Medco, yang tadinya pemain fosil. Dengan demikian dia dapat keuntungan dobel. TOP IPP dari Pembangkit PLTI sudah di jamin untung. Karena main di green yang juga dibeli 100% harus dibeli PLN, memastikan harganya dipenuhi sebagaimana yang ada di RUU terbaru ini,” urai Andy.
Menjawab itu, Fabby menilai bahwa hal ini harus dilihat beberapa hal. Mereka melakukan transformasi bisnis. Karena pasarnya memintanya untuk bergerak decarbornisasi dengan menurunkan penggunaan eneri fosil. Ini harus dilakukan. Perusahaan tahu bahwa ke depan tidak bisa mengandalkan asset dari utilitasi asset yang dari energi fosil. Hal yang sama harusnya juga dilakukan oleh PLN.
Kalau mau ambil contoh kita bisa melihat Malaysia. Malaysia membuat perusahaan yang khusus berinvestasi di dalam negeri. Mereka mendorong setiap rumah memasang PLTS di atap lalu memakai jaringan mereka untuk jualan kistrik. Mereka melihat replace asset tidak lagi membuat PLTU Batubara, tetapi membuat energi terbarukan. Mereka bekerjasama dengan bandara, memasang PLTS nya. Mereka juga membuat perusahaan yang tidak saja berinvestasi di Malaysia. Tapi juga keluar, seperti Inggris, Pakistan, dan Bangladesh. Mereka tahu, pasar di dalam negeri sudah jenuh. Ini contoh bagaimana utility melakuan terobosan bisnis. PLN harus mendorong perusahaan yang sama yang dilakuan di swasta, kalau tidak mau ditinggalkan pelanggan.
Serikat pekerja harus melihat feature PLN seperti apa dengan kondisi lingkungan yang berubah ini. Saat ini, swasta kalau mau jualan listrik, yang paling enak ya ke PLN. Karena PLN yang paling besar. Mereka ingin diamankan bisnisnya dengan mempengaruhi regulasi .
Sekarang yang harus dipikirkan adalah, bagaimana formulasi yang tepat. PLN bisa membeli tarif yang lebih mahal. Ini persoalan tarif yang tidak mencerminkan keekonomian. Kebijakan tarif harus didorong tidak membuat bisnis PLN tumbuh dengan sehat. Kalau anak perusahaan ditekan, tetapi mengapa buat swasta renegoisasi saja ngak mau? Padahal dalam konteks bisnis to bisnis, renegosasi kontrak wajar saja.
Menjelang akhir diskusi, seorang peserta (Budi) meminta izin untuk memberikan tanggapan. Dia tertarik, tadi dibilang regulasi yang berimbang.
Menurutnya, persoalannya salah satuanya dari situ. Mengapa PLN tidak ngebet di EBT ini. Dulu Salim Group mendapat 5,2T untuk membagun PLTA. Sinarmas juga dapat. Ada posisi Bank di perusahaan besar tadi. Di sisi lain ada konsumen, di mana bagi perusahaan besar; PLN adalah konsumen. Sementara PLN, Bank tidak mau memberikan pinjaman karena ujungnya tarif ke pelanggan tidak menarik untuk investasi.
Kalau bank didorong oleh pemerintah untuk bisa fair, bisa jadi PLN akan lebih bersemangat. Tidak harus memberikan porsi keluar. Karena saat melakukan judicial review dulu, di dalam pertimbangan mahkamah, kalau PLN masih kekurangan bisa mengajak swasta tetapi PLN sebagai holdingnya.
Menanggapi hal itu, Fabby menjawab, bahwa ini ada plus minusnya. Karena tugas BUMN salah satunya adalah melaksanakan tugas pemerintah. UU BUMN menyebutkan harus ada konpensasi, sehingga aspek good corporate govermennya terpenuhi.
Sering kita tidak melihat, PLN dan BUMN lain mempunyai keistimewaan penyertaan modal negara yang tidak perlu dikembalikan. Di swasta, tidak ada kemewahan seperti itu. Lembaga BUMN seperti PLN, di mana 100% kepemilikannya pemerintah, tidak perlu khawatir akan mengalami kerugian sampai minus. Kalau hutangnya sudah dianggap mengkawatirkan negara, akan diambil alih oleh pemeirntah. Itu yang membuat PLN lebih istimewa dibanding swasta, yang motivasinya pasti profit.
Saya kira, PLN harus tumbuh dengan sehat. Soal tarif, berikan tarif yang wajar. Kalau swasta tidak mau investasi kalau return-nya tidak sampai 12%. Utility-nya harus mendapat perlakuan yang sama. Pemerintah dan DPR tidak ingin menaikkan tarif, sehingga tarif dibuat rendah. Kalau menaikkan tarif akan ada dampak politik. Karena tarif rendah, return tidak sesuai dengan kebutuhan yang wajar. Maka finansial mengalami kendala. Ini seperti lingkaran setan.
Kenapa swasta masuk tahun 90an, karena ada kebutuhan membangun kebutuhan listrik. PLN tidak punaya kapastitas, sehingga swasta diundang. Kenapa PLN tidak mempunyai kemampuan, karena tidak dibangun kapasitas finansialnya.
“Saya melihat, masalah ini harus diselesaikan dengan memotong lingkaran setannya itu. Saya mau bilang, naikkan tarif minimal 10%. Sekarang hanya 2%. Gimana public utility investasi 100T per tahun kalau margin hanya 2%. Kan tidak mungkin itu,” kata Fabby.
Pengelolaan hari ini saja tidak sehat. Banyak aspek yang harus dibenahi. Itu harusnya menjadi perhatian serikat pekerja
Sehatkan keuangan PLN, sehingga tidak tergantung pada IPP. Kalau tidak mempunyai kemampuan, mereka akan bilang, jangan persoalkan jika swasta masuk.
“Teman-teman harus strategis. Persoalan di depan mata adalah keuangan PLN. Kalau tidak dibenahi akan semakin memburuk, tinggal menunggu waktu pemerintah akan mengundang swasta untuk masuk,” pungkasnya.